Balada Gadis Kecil Berambut Ekor Kuda

Kategori Sastra Oleh

(buat para pejuang yang tak tercantum dalam sejarah, tanpa nama dan prasasti)

Nilai kepahlawanan

Seorang gadis kecil menenteng foto kakeknya yang kusam tanpa bingkai
Kepada para tetangga, dia selalu bilang
“Ini foto kakekku! Seorang pejuang yang gagah berani!”
Para tetangga membuang muka dan meludah
Kebencian menyeruak dari wajah-wajah yang sinis
Gadis kecil berambut ekor kuda tak putus asa
Dia bawa foto kakeknya yang kusam itu dari desa ke desa, dari kota ke kota
Wajah gadis kecil berambut ekor kuda itu selalu ceria, tapi menyunggingkan senyum kegamangan
Tak seorang pun yang menggubrisnya
Semua orang membuang muka dan meludah

Di sebuah gerbong kereta tua, gadis kecil berambut ekor kuda itu bermalam
Dia temukan wajah-wajah asing yang tak dikenalnya
Aroma parfum murahan menyedak indra penciuman
Gendang telinganya menangkap suara-suara bising dan keonaran
Kata-kata seronok, kotor, dan vulgar meluncur dari bibir-bibir bergincu tebal
Suara tawa menyeruak di sela-sela bau pesing dan denging suara nyamuk yang bising

“Aih, aih, kemarin malem saya dapat bandot tua!”
“Aha, saya malah dapat bocah bau kencur! Ndak bayar lagi! Sial!”
“Hehehehehe …. Saya malah ndak dapat mangsa sama sekali!”

Gadis kecil berambut ekor kuda itu tak paham apa maknanya
Dia hanya bisa mendekap foto kusam kakeknya yang tak berbingkai
Di atas koran lusuh, kedua bola mata gadis kecil berambut ekor kuda itu tak bisa terpejam

Dalam bentangan layar memorinya, terpampang jelas kakeknya bersenjatakan bambu runcing
Bersama laskar rakyat, sang kakek mengendap-endap secara bergerilya
Mengintai musuh dari bukit ke bukit, dari jurang ke jurang
Dengan pekik “Merdeka!” sepenuh tenaga
Sang kakek terus merangsek ke tengah kancah pertempuran
Desingan peluru dan martir tak dihiraukannya
Entah berapa nyawa yang telah dihabisi ujung bambu runcingnya yang merah darah
Namun, meski dengan nyawa rangkap sekalipun
Sang kakek tak sanggup menahan desingan peluru dan martir yang membombardir sekujur tubuhnya
Sang kakek tewas meregang nyawa
Menjadi tumbal Ibu Pertiwi yang tengah berduka
Tak jelas lagi di mana jasat sang kakek
Tanpa makam, tanpa tanda-tanda kebesaran seorang pejuang
Hanya rohnya yang terbang bersama jemputan Izrail menghadap ke haribaan-Nya

Begitulah video perjuangan sang kakek yang pernah diputar simbok gadis kecil berambut ekor kuda itu menjelang tidur

“Hei! minggir gelandangan kecil! Tempatmu bukan di sini!” hardik seorang perempuan tambun sembari menggandeng tangan seorang lelaki separuh baya
Gadis kecil itu tergeragap
Sambil mengucak-ucak bola matanya yang silau dalam temaram lampu 5 watt, gadis kecil itu terbirit-birit menembus kegelapan
Sambil menenteng foto kakeknya yang kusam tanpa bingkai
Gadis kecil berambut ekor kuda berjingkat meninggalkan gerbong tua yang sumpek

Di tengah terik matahari yang memanggang, gadis kecil berambut ekor kuda menyaksikan iring-iringan karnaval
Di tengah kelaparan yang melilit, wajahnya tiba-tiba tampak sumringah
Ditatapnya foto-foto pejuang berbingkai rapi di barisan terdepan
Seperti digerakkan oleh sesuatu yang gaib, sang gadis kecil menyeruak kerumunan penonton
Lantas dengan wajah penuh kebanggaan, dia tenteng foto kakeknya yang kusam tanpa bingkai, berjajar bersama gadis-gadis berkebaya rapi di barisan terdepan

“Hei! minggir gelandangan kecil! Tempatmu bukan di sini!” hardik seorang petugas keamanan
Gadis kecil berambut ekor kuda tak peduli
Di bawah dentuman irama drum band yang menghentak-hentak, dia tulikan telinganya
Sang gadis terus berjalan bersama iring-iringan karnaval di barisan terdepan
Karena dianggap mengganggu pemandangan, seorang petugas keamanan menggelandangnya
Diseretnya tubuh yang kurus itu ke tengah kerumunan penonton di pinggir jalan yang berdesak-desakan
Tubuhnya tersungkur
Foto kakeknya yang kusam tanpa bingkai yang selalu dia banggakan telah robek tanpa bentuk
Tanpa sadar, jemarinya yang mungil meraba bibirnya yang pecah
Dia mencium bau darah
Para penonton membuang muka dan meludah
Kebencian menyeruak dari wajah-wajah yang sinis
Di negeri ini, agaknya sudah tak ada lagi tempat yang nyaman untuk gadis kecil berambut ekor kuda

***
Kendal, 15 Agustus 2008 (@17.45)

Penggemar wayang kulit, gendhing dan langgam klasik, serta penikmat sastra. Dalam dunia fiksi lebih dikenal dengan nama Sawali Tuhusetya. Buku kumpulan cerpennya Perempuan Bergaun Putih diterbitkan oleh Bukupop dan Maharini Press (2008) dan diluncurkan di Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada hari Jumat, 16 Mei 2008 bersama kumpulan puisi Kembali dari Dalam Diri karya Ibrahim Ghaffar (sastrawan Malaysia).

32 Comments

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

*

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Tulisan terbaru tentang Sastra

Membalas Cerita Ombak

MEMBALAS CERITA OMBAK Ali Syamsudin Arsi Kata-kata ombak: ( 1 ) “Ya
Go to Top