Ijazah di negeri ini agaknya telah menjadi ”berhala” yang dipuja dan diburu banyak orang. Tak melulu dalam dunia kerja. Hampir semua ceruk kehidupan selalu bersentuhan dengan selembar kertas itu. Bahkan, pernikahan yang disakralkan dan disucikan pun secara tak langsung telah menjadikan ijasah sebagai penentu kualitas prosesi. Sebelum ijab kabul berlangsung, calon mertua tak jarang menanyakan kualifikasi ijasah calon menantunya. Ya, ijasah sudah menjadi bagian jatidiri yang menyatu dalam lembar kehidupan. Pencitraan publik pun lantas dengan cepat memosisikan ijasah sebagai penentu kualitas hidup. Sudah demikian parahkah belenggu ijasah di negeri ini sehingga tak sedikit orang yang menghalalkan segala cara untuk mendapatkannya?
Maka, ritual tahunan perburuan ijazah pun dimulai. Setiap orang tua rela mengeluarkan ratusan ribu, bahkan hingga jutaan rupiah untuk mengantarkan anak-anak mereka ke tengah ladang perburuan. Para pelaku pendidikan sering tak berdaya membaca memo pejabat. Sungguh tidak nyaman kalau harus menolak. Mereka terpaksa menyusupkan anak ”memo pejabat” itu sebagai siswa didiknya. Sementara, anak-anak dari kalangan tak mampu tidak sedikit yang mesti tersingkir lantaran tak memiliki posisi tawar. Sudah demikian parahkah belenggu ijasah di negeri ini sehingga demikian mudah menciptakan machiavelli-machiavelli baru yang menciderai nilai-nilai kejujuran?
Sungguh, ”berhala” ijazah telah memiliki andil yang cukup besar terhadap merebaknya ketidakdilan akses pendidikan. Berapa juta saja anak-anak cerdas negeri ini yang secara sosial gagal meningkatkan taraf hidup? Altar persembahan beserta para pemuja gengsi hidup agaknya tak sanggup menerima kehadiran mereka tanpa mempersembahkan selembar ijazah sebagai ”tumbal”. Kapankah belenggu ijazah itu berhenti menjerat orang-orang miskin?
Yang lebih parah ketika ”berhala” ijazah itu sudah memasuki stadium gengsi dan harga diri. Mereka yang kemaruk gelar tak henti-hentinya mempertajam indera penciuman untuk mengendus jejak lembaga pendidikan yang menggelar ”program tipu-tipu”. Dengan membayar sekian duwit, gelar dan ijazah dijamin masuk kantong. Tak perlu repot-repot mengikuti kuliah, apalagi menyusun skripsi, tesis, atau disertasi. Semuanya sudah diatur dengan rapi dan lincah lewat sentuhan tangan-tangan terampil dan terlatih. Para tetangga dan kolega pun tersentak. Tak pernah mendengar dan menyaksikan sang pemburu gelar kuliah, tetapi di atas pintu rumahnya tiba-tiba tampak setumpuk gelar di depan dan di belakang nama hingga panjangnya melebihi batas lebar pintu.
”Memangnya gue pikirin? Mau bukti?” begitu kilah sang pemburu gelar menghadapi desakan pertanyaan bertubi-tubi sembari menunjukkan selembar ijazah dengan penuh kebanggaan.
Ah, ijazah itu! ***
Keterangan: Gambar dicomot dari sini.
salam kenal saja ya dari saya
walah, kok kenalan terus toh, bos, hiks. (lmao)
by jabon
.
kok seperti jaman dulu aja ya berhala… (lmao)
hehehe …. (lmao)