Keberingasan Pelajar, Tanggung Jawab Siapa?

Kategori Pendidikan Oleh

Dunia pendidikan kembali tercoreng. Entah, sudah berapa kali kasus kekerasan yang melibatkan kaum pelajar kita itu terungkap. Aksi mereka, konon tak melulu sebatas kenakalan remaja yang wajar, tetapi sudah memasuki stadium kriminal yang perlu diwaspadai secara serius. Maka, terhenyaklah kita ketika sekelompok pelajar putri yang menamakan diri sebagai Geng Nero (Neka-neka Langsung Keroyok) berulah. Mereka tak segan-segan melakukan praktik kekerasan jika ada anggota gengnya yang tersakiti.

Kasus yang kini telah ditangani aparat keamanan setempat itu tak urung mencuatkan sejumlah pertanyaan dalam benak kita. Sudah demikian parahkah moralitas kaum pelajar kita sehingga begitu mudah melampiaskan naluri agresivitasnya? Sudah demikian mandulkah peran sekolah sehingga gagal menanamkan nilai-nilai budi pekerti kepada siswa didiknya? Sudah tak pedulikah orang tua masa kini sehingga membiarkan anak-anaknya larut dalam ulah premanisme? Lantas, siapakah yang mesti bertanggung jawab?

Pelajar masa kini memang berada dalam atmosfer peradaban yang amat rumit dan kompleks. Mereka tidak hanya menghadapi situasi internal yang berkelindan dengan dinamika psikologis yang tengah memburu jatidiri, tetapi juga situasi eksternal yang menawarkan banyak perubahan dan pergeseran tata nilai. Iklim global yang begitu terbuka terhadap berbagai pola dan gaya hidup setidaknya telah menjadi salah satu jalan bagi kaum pelajar untuk “memanjakan” naluri hedonisnya. Iklim semacam itu diperparah dengan mulai merebaknya sikap permisif masyarakat terhadap berbagai perilaku anomali sosial.

Kaum remaja, disadari atau tidak, tak sedikit yang “berwajah ganda”. Di sekolah, mereka mendapatkan ajaran-ajaran moral dan budi pekerti. Namun, mereka sering melihat kenyataan, banyak peristiwa dan kejadian yang amat bertentangan secara diametral dengan nilai-nilai luhur baku yang mereka terima di sekolah. Pembunuhan, pemerkosaan, korupsi, dan berbagai ulah tak terpuji lainnya bisa mereka saksikan dengan mata telanjang. Berita-berita yang tersebar di berbagai media pun sarat dengan darah, kekerasan, dan kebohongan.

Dalam situasi seperti itu, kaum remaja yang sedang memasuki masa peralihan seringkali dihadapkan pada “keterkejutan” budaya. Nilai-nilai manakah yang mesti mereka anut? Nilai-nilai luhur yang mereka terima di sekolah atau mengikuti arus anomali sosial seperti yang mereka saksikan di tengah-tengah kehidupan masyarakat dan media? Dalam situasi serba gamang dan penuh “keterkejutan” itu, konon kaum remaja kita akan cenderung memilih jalan yang mudah dan menyenangkan jiwanya seiring gejolak keremajaannya yang suka mengendus hal-hal yang berbau hedonistis. Mereka semakin menikmati “dunia”-nya ketika masyarakat cenderung bersikap permisif, apatis, dan cuek terhadap segala bentuk perilaku premanisme yang berlangsung di sekitarnya. Tak pelak lagi, kaum remaja kita merasa mendapatkan “pembenaran” bahwa perilaku anomali yang mereka lakukan bukan hal yang salah.

Merebaknya sikap masyarakat yang permisif semacam itu, setidaknya memicu munculnya opini bahwa sekolah (guru)-lah yang paling bertanggung jawab terhadap aksi kekerasan, kebrutalan, dan keberingasan kaum pelajar kita. Opini semacam itu memang tidak sepenuhnya keliru. Selain sebagai pengajar, guru juga seorang pendidik yang memiliki tanggung jawab untuk mengentaskan kaum remaja dari kubangan lumpur kekerasan dan kebrutalan. Meski demikian, tidak lantas berarti bahwa gurulah sebagai satu-satunya pihak yang paling bertanggung jawab terhadap meruyaknya perilaku tak terpuji itu.

Di tengah atmosfer peradaban yang cenderung tidak memihak terhadap pentingnya nilai-nilai moral semacam itu, idealnya lingkungan keluarga harus memiliki filter yang kuat terhadap gencarnya arus perubahan yang tengah berlangsung. Dalam konteks demikian, peran orang tua menjadi amat penting dan vital dalam memberdayakan moralitas anak. Orang tualah yang menjadi referensi utama ketika anak-anak sedang tumbuh dan berkembang. Idealnya, orang tua mesti bisa menjadi “patron” teladan. Anak-anak sangat membutuhkan figur anutan moral dari orang tuanya sendiri, yang tidak hanya pintar “berkhotbah”, tetapi juga mampu memberikan contoh konkret dalam bentuk perilaku, sikap, dan perbuatan.

Selain itu, masyarakat juga harus mampu menjalankan perannya sebagai kekuatan kontrol yang ikut mengawasi perilaku kaum remaja kita. “Deteksi” dini terhadap kemungkinan munculnya perilaku kekerasan yang dilakukan oleh kaum remaja kita mutlak diperlukan. Potong secepatnya jalur kekerasan yang kemungkinan akan menjadi “jalan” bagi kaum remaja dalam menyalurkan naluri agresivitasnya.  Ini artinya, dibutuhkan sinergi yang kuat antara sekolah, orang tua, tokoh-tokoh masyarakat, tokoh-tokoh agama, dan para pengambil kebijakan untuk bersama-sama peduli terhadap perilaku pelajar yang sedang berada di “persimpangan jalan”.

Tentu saja kita sedih dan prihatin menyaksikan Geng Nero berulah beringas seperti itu. Namun, menimpakan kesalahan dan tanggung jawab seluruhnya kepada pihak sekolah juga terlalu naif. Semoga tidak ada lagi Geng Nero-Geng Nero baru yang sebenarnya amat tidak menguntungkan, baik buat bangsa, orang tua, masyarakat, lebih-lebih buat pelajar yang bersangkutan. Sebuah pelajaran pahit bagi segenap komponen bangsa. ***

Keterangan: Gambar sepenuhnya merupakan karya Mas Toni Malakian.

Penggemar wayang kulit, gendhing dan langgam klasik, serta penikmat sastra. Dalam dunia fiksi lebih dikenal dengan nama Sawali Tuhusetya. Buku kumpulan cerpennya Perempuan Bergaun Putih diterbitkan oleh Bukupop dan Maharini Press (2008) dan diluncurkan di Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada hari Jumat, 16 Mei 2008 bersama kumpulan puisi Kembali dari Dalam Diri karya Ibrahim Ghaffar (sastrawan Malaysia).

57 Comments

  1. Perilaku anak sekolahan Tanggung Jawab Mendiknas alias Presiden.
    gitu ajah… pasti ada yang tak beres disana

    wakakakaka 😆 bisa jadi bener, mas sjahrir. mengurai “penyakit” ini memang rumit dan kompleks, mas 💡

  2. kekerasan, ketidak- pedulian dan korupsi,
    Masih masih saja menjadi cerita sehari- hari.
    Padahal…da’wah katanya ada dari menjelang magrib sampai pagi,
    Baik di koran sampai di tipi,

    Aki Herrys last blog post..AllYouCanEatnyaBatagor&FoodAdventureBarengINA(TamuNeehTamu)

    >>>
    itulah aki heri yang terjadi di negeri ini. agaknya dakwah dan khotbah yang rutin digelar setiap hari tak pernah masuk dalam ranah pikiran dan kalbu kaum remaja kita, hiks 😥

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

*

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Tulisan terbaru tentang Pendidikan

Go to Top