Dua hari yang lalu, saat pesta ngundhuh mantu, Pak Sukri tampak ceria. Senyum tak pernah lepas dari bibirnya menyambut para tamu. Bu Sukri pun tampak bersemangat. Tubuh tambunnya bukan halangan untuk bergerak dan beramah-tamah dengan para tamu. Namun, hari ini, Pak Sukri lemas. Kekuatannya bagai tersedot. Bahkan, sejak pesta usai, Pak Sukri sulit tidur. Pikirannya kusut. Kepalanya terasa nyut-nyutan. Berkali-kali lelaki separo abad itu menghitung angka-angka di buku catatan pestanya. Sama saja. Pengeluaran untuk pesta itu terlalu besar sehingga saldo dalam buku itu minus. Neraca pestanya gonjing. Bu Sukri yang melihat tingkah suaminya jadi uring-uringan.
“Dulu, aku kan sudah bilang toh, Pak, jangan buat pesta terlalu besar, sederhana sajalah. Tapi Sampeyan tetep saja nekad!” kata Bu Sukri. Pak Sukri terdiam beberapa lama. Pikirannya bundhet bak benang dilanda ayam. “Coba kalau begini, yang repot kita sendiri, kan?” lanjut Bu Sukri ketus. Pak Sukri tergeragap. Kepalanya makin nyut-nyutan.
“Sudahlah, Bu! Sekarang bukan saatnya bertengkar. Kita harus cari cara agar utang-utang kita impas!” balas Pak Sukri.
“Cari saja sendiri, aku nggak mau ikut-ikutan!” sahut Bu Sukri sambil mencibir.
“Lo, ini kan persoalan kita bersama!”
Pak Sukri terdiam beberapa saat. Jidatnya berkerut, memikirkan sesuatu.
“Oh, ya, Bu. Bagaimana kalau perhiasanmu dijual dulu untuk menutup utang-utang itu?” Pak Sukri merajuk. Bu Sukri diam. Pak Sukri tiba-tiba saja merasa plong. Ia sangat paham tabiat istrinya. Kalau diam, itu pertanda setuju.
***
Membuat pesta, memang tak semudah membalikkan telapak tangan. Ada hal-hal sepele yang sering luput dari perhatian sehingga menjadi batu sandungan. Akibatnya?
“Eh, dengar nggak tuh, tetangga kita. Habis pesta, habis pula perhiasan,” sindir Bu Santi ketika arisan di rumah Bu Er-Te.
“Itulah risiko orang yang cari wah,” timpal Bu Erna.
“Alah, biarlah, Bu, itu kan urusan mereka. Kita tepa slira sedikitlah!” sela Bu Er-Te.
Suasana menjadi riuh. Persoalan pesta Pak dan Bu Sukri menjadi gosip utama di tengah-tengah arisan itu. Untung saja Buk Sukri tak bisa hadir. Kalau dia hadir, tentu akan tertelanjangi habis-habisan.
Mungkin itulah konsekuensi hidup bertetangga. Ketika kita mendapat untung, para tetangga cuek. Tapi begitu buntung, mereka beramai-ramai memojokkan kita. Kita menjadi bahan gosip. Ibarat orang di medan perang, Pak Sukri garang di medan laga, tapi jatuh tersandung batu ketika pulang perang. Lantas, prajurit lain bersorak.
Namun, kalau dipikir, apa yang dialami Pak Sukri itu tak perlu terjadi seandainya dia jeli membuat rencana. Dia terlalu memburu status dan gengsi. Tampaknya, dia ingin mendapatkan pengakuan harga diri di hadapan para tamu bahwa “dia bisa”. Hal itu memang wajar-wajar saja. Bahkan, Abraham Maslow lewat teori “hierarki tingkat kebutuhan manusia”-nya pun mengisyaratkan hal itu. Pada tataran tertentu, orang membutuhkan status dan harga diri. Jadi, bukan hal yang aneh kalau Pak Sukri harus tombok demi status dan harga dirinya.
Dari sudut apa pun, yang namanya membuat pesta, lebih banyak buntung daripada untung. Memang, bisa saja berspekulasi. Sebarkan undangan sebanyak mungkin. Persetankan sambutan dan hidangan. Yang penting amplop para tamu masuk kantong. Mungkin kita untung, tapi jangan tanya soal harga diri.
***
Belajar dari pengalaman Pak Sukri, ada baiknya juga kita bersikap samadya. Tak perlu ngayawara. Tidak membuat pesta, juga tidak membuat status dan harga diri kita anjlog. Justru kita akan dipandang “lebih” karena kebersahajaan kita. Undang saja beberapa tetangga, sanak famili, dan rekan terdekat untuk menjadi saksi pernikahan anak kita. Yang penting, maksud kita menikahkan anak telah terwujud. Selesai! Tak ada persoalan yang mengganjal. Seandainya saja kita ingin sedikit wah, membuat pesta, kita perlu membuat planning yang njlimet. Nomor sekian-kan amplop para tamu. Perlu diusahakan semua kebutuhan pesta tertutup oleh tabungan kita sendiri, tak perlu utang sana utang sini. Plong! Usai pesta, kita bisa tidur nyenyak, mengembalikan stamina yang tersedot sebelum, selama, dan sesudah pesta. Kepala tidak nyut-nyutan.
Akan lain halnya kalau di balik pesta ada tendensi bisnis. Keutungan menjadi faktor utama. Hal itu akan membuat kita terjebak pada keangkuhan nurani. Mempersetankan harga diri. Kita jadi memiliki prasangka negatif kepada para tamu dalam soal “amplop”. Amplop ala kadarnya dianggap makian, amplop tebal dianggap sanjungan. Timbul simbolisasi status para tamu lewat amplop. Para tamu adalah saksi hajat kita. Seorang tamu tidak wajib hukumnya memberikan amplop.
***
Sebenarnya, Pak Sukri sudah mendapat warning dari Buk Sukri, jauh sebelum pesta. Namun, kebutuhannya akan status dan harga diri begitu kuat mendesak-desak. Pak Sukri jadi mengabaikan perhitungan neraca pesta. Usai pesta, betapa neraca itu begitu timpang. Dia sekadar nuruti greget, ati karep, ning bandha cupet. Bukan kenaikan status dan pengakuan harga diri yang diperoleh, melainkan sindiran dan menjadi sumber gosip para tetangga.
Hingga matahari condong ke arah Barat, kepala Pak Sukri masih saja nyut-nyutan. Lelaki berjidat licin itu tetap saja puyeng memikirkan nasib pestanya. Meski utang-utangnya tertutup oleh perhiasan Bu Sukri, pikirannya terus menerawang memikirkan cara mengembalikan giwang, kalung, cincin, dan gelang istrinya.
Meski diam, Buk Sukri tetap saja mbesengut, menyiratkan tuntutan agar perhiasan-perhiasannya yang melayang itu bisa segera kembali.
“Aha, pesta itu!” desah Pak Sukri sambil memandang mendung yang kelabu, sekelabu pikirannya. ***
Keterangan:
- Tulisan ini hanyalah fiktif belaka. Kalau ada kesamaan nama, itu hanya kebetulan saja.
- Gambar merupakan karya Mas Dwijo D. Laksono
Daftar kosakata:
- anjlog = turun
- bundhet = ruwe
- buntung, tombok = rugi
- gonjing = timpang (tidak seimbang)
- mbesengut = memendam amarah
- ngayawara = muluk-muluk
- ngundhuh mantu = pesta pernikahan
- njlimet = cermat dan teliti
- nuruti greget, ati karep, ning bandha cupet = menuruti hasrat, niat hati, tetapi tak didukung modal yang cukup
- nyut-nyutan, puyeng = pusing
- plong = lega
- samadya = sederhana, bersahaja
- tepa slira = tenggang rasa
- uring-uringan = marah-marah
Kayaknya saya kenal pak sukri yang dimaksud pak ❓
azaxss last blog post..Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia (kecuali Ahmadiyah)
kita adalah produk dari lingkungan kita….
tidak ada yang salah dan benar disini.
apalagi kalo kita kita emang bener2 tidak punya pilihan,.. ugh,..
bayus last blog post..IM Feeds
memang itulah salah satu bisnis terselubung yang paling umum di negeri ini.
Tapi ngga cuma urusan pesta saja yang membuat orang pengin terlihat wah, banyak juga untuk hal-hal yang lain, terutama untuk sesuatu yang bernama gaya hidup, biar kere yang penting keren
*haris last blog post..Kenapa Pak Satpam Marah??
saya ndak mau ikutan pesta pak! apatis dan anti hingar bingar.. maklum dari dulu tinggal di keramaian membuat saya jadi bosan.. hehehehehe… *gak nyambung* maaf OOT