Dalang: Ki Sawali Tuhusetya
Mata Tumenggung Wilmuna melotot. Jidatnya yang lebar berkerut-kerut. Belum tuntas berita dalam majalah itu dibaca, buru-buru dibanting keras-keras di atas meja kerjanya yang mengkilat. Wayang separo baya itu segera memanggil salah seorang staf kepercayaannya untuk menghadap.
“Bapak memanggil saya?” tanya stafnya sembari menatap penuh kecemasan. Tubuhnya yang kurus membungkuk dalam-dalam.
“Duduk!” perintah Tumenggung Wilmuna dengan muka merah dadu. Staf yang masih muda itu dengan sangat sopan segera menunduk hormat, lalu dengan gerak pelan segera menggeser kursi. Dadanya berdenyar-denyar.
“Coba baca majalah ini!” seloroh Tumenggung Wilmuna sambil menjatuhkan majalah di hadapan stafnya yang dilanda kecemasan. Dengan sangat hati-hati, majalah itu dibacanya. Keningnya berkerut.
“Paham, kan?” sergah Tumenggung Wilmuna mengagetkan stafnya yang lagi asyik membaca berita dalam majalah itu. “Berita ngawur itu! Sepihak! Tanpa konfirmasi dulu! Masak sih persoalan privacy seorang raja di-ekspose secara murahan kayakgitu?” berondong Tumenggung Wilmuna dengan mata nanar. Stafnya yang kurus itu semakin tak sanggup menutupi kecemasannya. Ia bagaikan ditelanjangi. Wayang kurus itu hanya bisa diam. Telinganya panas seolah berondongan pertanyaan itu ditujukan pada dirinya.
“Jangan sampai majalah murahan itu jatuh ke tangan publik. Dampaknya, tentu sangat riskan. Wibawa dan kharisma beliau bisa anjlog di mata rakyat Traju Trisna. Paham Kamu? Secepatnya, suruh semua agen majalah itu tutup! Jika macem-macem, sikat saja!” Berkata demikian, Tumenggung Wilmuna beranjak dari kursi empuknya, lalu mojok di sudut kamar kerjanya sembari menatap lukisan abstrak yang sulit dimaknainya. Stafnya hanya bisa geleng-geleng.
“Ayo, cepaaaat!” bentak Tumenggung Wilmuna ketika melihat stafnya masih ngungun di atas kursi. Dengan tergopoh-gopoh sopan, wayang kurus itu segera berjingkat keluar kamar kerja atasannya. Wajahnya diselimuti kecemasan yang dahsyat. Ia tahu persis tabiat atasannya. Perintah dan komando wajib hukumnya dilaksanakan tanpa komentar, tanpa cacat. Jika tak beres, jangan harap bisa dlimik-dlimik di kantor yang megah itu. Para wayang yang mengabdi di tempat itu sangat paham bahwa Tumenggung Wilmuna adalah pejabat yang perfeksionis.
Alhasil, dalam waktu singkat, majalah ibukota bertiras lumayan itu hilang dari peredaran. Majalah itu telah dianggap merusak kehidupan istana yang pantang dipublikasikan. Lantaran dengan blak-blakan, bahkan vulgar, mengungkap kasus perselingkuhan Nyonya Hagyanawati dengan ksatria Paranggaruda, Raden Samba, yang notabene adalah adik Raja Boma sendiri.
Para pelanggan uring-uringan. Mereka yang haus informasi mengumpat-umpat. Kasus di-cekal-nya majalah yang cukup berpengaruh itu akhirnya tercium juga oleh wartawan, baik media cetak maupun elektronik. Tanpa dikomando, para pemburu berita itu berbondong-bondong menyerbu kantor katumenggungan. Untuk menghilangkan kesan anti-keterbukaan, Tumenggung Wilmuna segera memberikan keterangan pers.
“Majalah murahan ya begitu itu! Memuat berita tanpa konfirmasi dulu!” komentar Tumenggung Wilmuna menjawab pertanyaan seorang wartawan tentang di-cekal-nya majalah tersebut.
“Tapi dalam laporan itu kan sudah jelas diketahui dari ucapan Nyonya Hagyanawati! Jadi, bukan sekadar isu lagi, Pak!” desak wartawan yang lain.
“Ah, omong kosong itu! Apalagi ini menyangkut citra seorang pejabat. Jika ada koran, majalah, atau televisi yang menjelek-jelekkan raja, langkahi dulu mayat saya! Apa sih untungnya? Cari sensasi? Bisa kubredel media kalian!” tegas Tumenggung Wilmuna. Para wartawan blingsatan. Beberapa media segera memuat pernyataan Tumenggung Wilmuna itu dalam headline berita. Para pakar diburu untuk mengomentari pernyataan tersebut. Sebagian besar menyatakan bahwa tindakan Tumenggung Wilmuna merupakan cermin seorang pejabat yang menggunakan aji mumpung dan penjilat atasan.
Menyadari posisinya yang tengah jadi sorotan pers dan publik, Tumenggung Wilmuna buru-buru menghadap Raja Boma Narakasura di istana pribadinya yang mewah dan megah. Itu memang sudah jadi tradisi sang Tumenggung. Antara tugas kedinasan dan masalah pribadi tak ada bedanya.
“Mengapa sih Saudara nekad berbuat seperti itu? Sikap Saudara justru telah menodai demokrasi dan keterbukaan yang ingin saya bangun di Traju Trisna ini!” komentar Raja Boma yang bertubuh gempal berkumis lebat itu mengenai sikap Tumenggung Wilmuna yang men-cekal sebuah majalah. Tumenggung Wilmuna tersentak. Namun, dengan cepat segera membenahi cara duduknya.
“Maaf, Pak! Ini semata-mata saya lakukan demi menjaga nama baik Bapak sekeluarga!” jawab Tumenggung Wilmuna sembari menunduk dalam-dalam.
“Mbok biarkan saja pers berbuat seperti itu, wong kenyataannya memang demikian, kok! Buat apa kita harus methentheng, sok suci, sok baik, padahal kenyataannya nol?” sahut Raja Boma sambil menatap tajam Tumenggung Wilmuna yang terus menunduk. Sang Tumenggung benar-benar tak menduga kalau akan dicocor dengan pernyataan sang Raja yang demikian pedas.
“Jadi, langkah saya salah, Pak?”
“Jelas!”
“Kalau begitu, sekali lagi maaf, Pak!” kata Tumenggung Wilmuna sambil berusaha untuk tersenyum.
“Ah, sudahlah! Kita bicara soal tugas-tugas kenegaraan!” sahut Raja Boma seakan mengerti benar perasaan yang berkecamuk di dada tumenggungnya yang dikenal arogan di mata rakyat Traju Trisna itu.
“Masih ada satu persoalan lagi, Pak!” kata Tumenggung Wilmuna setelah denyut jantungnya teratur. Raja Boma mengerutkan alisnya. “Raden Samba itu sama halnya telah melakukan pelecehan terhadap perempuan, Pak! Apalagi, yang diserobot itu istri Bapak! Jangan-jangan setelah bosan, istri saya disikatnya juga, Pak!” lanjut Tumenggung Wilmuna serius.
“Apa maksud Saudara?” sahut Raja Boma. Matanya tajam menatap Tumenggung Wilmuna yang tersenyum dibuat-buat.
“Dibuat mampus saja, Pak, agar tak ada lagi lelaki rakus semacam Raden Samba yang dhemen mengendus-endus perempuan!”
“Saudara sangat ngawur! Dia kan adikku sendiri?”
“Lho, katanya ingin membangun demokrasi dan keterbukaan, Pak. Ya, jangan pandang bulu! Meski saudara sendiri jika bersalah tak boleh luput dari jerat hukum!” tegas Tumenggung Wilmuna. Perasaannya tiba-tiba saja terasa plong seperti baru saja melepaskan beban yang teramat berat. Wayang penjilat itu bisa berkata-kata sedemikian fasihnya. Raja Boma manggut-manggut, membenarkan ucapan Tumenggung Wilmuna.
Dialog dan tukar pikiran dua tokoh teras di Traju Trisna itu sesekali berlangsung menegangkan. Namun, berkat argumen dan kefasihan Tumenggung Wilmuna bersilat lidah, Raja Boma seringkali tak berkutik. Akhirnya, sang Raja menyatakan persetujuannya. Raden Samba harus di-dor agar pelecehan terhadap kaum perempuan tak merajalela. Karena dirasa cukup, Tumenggung Wilmuna segera kabur dari istana Raja Boma.
Sementara itu, di Kesatrian Paraggaruda, sepasang wayang muda tengah asyik bercengkerama. Nyonya Hagyanawati yang nekad kabur dari sisi Raja Boma tak jemu-jemunya bergelayut di pundak Raden Samba yang tegap dan kukuh.
“Kenapa sih Dinda lebih menyukai aku ketimbang Mas Boma?” tanya Raden Samba.
“Habis gimana, yah? Hidup bersama Mas Boma memang serba ada. Semua fasilitas komplit. Tapi …. emmm … aku kan juga perempuan normal, Mas. Butuh kemesraan. Gimana bisa mesra kalau kenyataannya Mas Boma, aduh …. nggak bisa menjalankan tugasnya sebagai lelaki sejati!” sahut Nyonya Hagyanawati lembut dan romantis. Raden Samba tersentak. Tapi dengan cepat dia mampu mengendalikannya ketika hidung perempuan sintal itu menyentuh pipinya. Lalu, dengan dekapan yang lembut *weks 😈 * disambutnya sinyal asmara itu.
Belum sempat mereka menuntaskan gelegak asmara yang menyumbat di dada, tiba-tiba mereka dikejutkan oleh kedatangan seorang ajudan. Dilaporkan bahwa ada tamu penting dari Traju Trisna yang hendak menghadap. Wajah mereka tersipu dan saling berpandangan.
Di ruang tamu, Raden Samba melihat seorang lelaki yang amat dikenalnya duduk di kursi dengan mata jelalatan menatap lukisan di dinding.
Tumenggung Wilmuna kaget ketika Raden Samba menyapanya. Lalu, dengan tingkah dibuat-buat, segera memperbaiki tempat duduknya. Tanpa basa-basi, orang kedua di Traju Trisna itu segera mengutarakan maksud kedatangannya. Dengan rekayasa yang sudah terskenario matang, Tumenggung Wilmuna mengajak Raden Samba ke wilayah Traju Trisna untuk ikut menyelesaikan masalah kenakalan remaja yang belakangan ini dinilai makin liar dan bringas.
Tanpa berprasangka buruk, Raden Samba segera kabur ke Traju Trisna setelah berpamitan dengan Nyonya Hagyanawati. Ketika hendak memasuki wilayah Traju Trisna, alangkah terkejutnya ketika Raden Samba mendengar suara tembajan diikuti dengan meletusnya ban mobil yang dikendarainya. Raden Samba buru-buru turun.
Baru saja menginjakkan kakinya ke tanah, tiba-tiba beberapa tangan yang perkasa mencengkeram dan menggelandangnya. Lalu, diikuti berondongan peluru di sekujur tubuhnya. Tanpa ampun lagi, tubuh Raden Samba terkapar mencium bumi. Tubuhnya tatu arang kranjang tertembus peluru. (Tancep kayon) ***
oOo
Keterangan:
Gambar diambil dari sini.
Urutan gambar:
1. Kayon Gapuran Manteb
2. Boma Narakasura
3. Samba
4. Hagyanawati
It’s truly a nice and useful piece of info. I am happy that
you simply shared this helpful info with us. Please keep us
informed like this. Thanks for sharing.
Terus berkarya ya, tulisannya enak di baca.
first comment, yeeey!
Masalah asmara merupakan piranti purba yang tetap menarik untuk diselipkan di mana saja dan kapan saja sebagai bumbu. Tentu saja kelihaian penulislah yang membuat piranti itu terasa halus maupun kasar. Well done dear..! 🙄
>>>
hehehehe 😆 wah, ungkapannya menarik banget mbak najwa, makasih apresiasinya, yak! 💡
ha,.a…a.aa…a
Demokrasi itu seperti pisau bermata dua, kalau di tangan yang salah bisa jadi democrazy. Menurut saya ga semua negara bisa menerapkan sistem demokrasi, ada negara tertentu yg lebih cocok dgn sentralisasi kekuatan di satu tangan, pemerintahan dgn tangan besi.
CYs last blog post..Hari Disaat Telor Bisa Berdiri