Kesadaran Kolektif yang Terkoyak

Kategori Budaya Oleh

(Refleksi Satu Dekade Reformasi)

Bangsa merupakan keinsyafan, sebagai suatu persekutuan yang tersusun jadi satu, yaitu keinsyafan yang terbit karena percaya atas persamaan nasib dan tujuan. Keinsyafan tujuan bertambah besar karena sama seperuntungan, malang yang sama diderita, mujur yang sama didapat oleh karena jasa bersama. (Mohammad Hatta)

Sengaja saya kutip pernyataan Bung Hatta sebagai prolog tulisan ini sekadar untuk mengingatkan betapa sebagai sebuah bangsa, kita (nyaris) telah kehilangan keinsyafan diri untuk bersama-sama membangun peradaban yang lebih terhormat dan bermartabat. Tanpa bermaksud ”memberhalakan” romantisme masa silam, agaknya negeri kita justru telah mengalami set-back. Kita sedang memasuki sebuah fase peradaban yang ”sakit”, di mana rasa kebersamaan, keinsyafan diri, dan kesadaran kolektif telah menjelma ke dalam egoisme dan primordialisme sempit yang mewujud pada pemujaan terhadap kultur kekerasan dalam menyelesaikan masalah-masalah kebangsaan. Persoalan-persoalan kebangsaan telah dimaknai secara sempit; mengalami reduksi dan involusi budaya; sehingga menghilangkan kesejatian diri sebagai bangsa yang santun dan antikekerasan.

Satu abad sudah peristiwa heroik yang menggetarkan nurani bangsa itu berlalu. Budi Utomo (1908) dan Sumpah Pemuda (1928) merupakan dua momentum bersejarah yang akan terus dicatat dalam lembar historis negeri ini, betapa kaum muda selalu menjadi motor perubahan. Keberadaan kaum muda dengan segenap gerak dan dinamikanya senantiasa menyajikan adonan sejarah yang manis dalam upaya menggerakkan roda peradaban. Tidak mustahil apabila ada yang bilang bahwa pemuda bagaikan mutiara yang akan terus memancarkan pamor perubahan pada setiap era dan peradaban.

Kalau kita sedikit falshback ke masa silam, tokoh-tokoh semacam Sutomo, Gunawan, Tjipto Mangunkusumo, Suwardi Suryoningrat (Ki Hajar Dewantara), atau Douwes Dekker adalah sosok-sosok kaum muda idealis yang memiliki kesadaran kolektif untuk membangun sebuah bangsa yang merdeka, lepas dari cengkeraman kaum kolonial yang jelas-jelas telah menghancurkan martabat dan eksistensi sebuah bangsa. Dengan nada getir, Ki Hajar Dewantara menyatakan:

Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan dinegeri yang kita sendiri telah merampas kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu. Pikiran untuk menyelenggarakan perayaan itu saja sudah menghina mereka, dan sekarang kita garuk pula kantongnya. Ayo teruskan penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda. Apa yang menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku terutama ialah kenyataan bahwa bangsa inlander diharuskan ikut mengkongsi suatu pekerjaan yang ia sendiri tidak ada kepentingan sedikitpun.

Tulisan yang dimuat di surat kabar de Expres milik Dr. Douwes Dekker (1913) itu merupakan sebuah contoh ”pemberontakan” yang dengan amat sadar diekspresikan sebagai bentuk protes keras terhadap rencana pemerintah kolonial Belanda yang hendak merayakan 100 tahun kemerdekaan Belanda. Karena tulisan itulah, dia dan sahabatnya, Tjipto Mangunkusumo, mesti menjalani masa karantina di Negeri Belanda. Sebuah fakta historis, betapa pada zamannya, figur seorang pemuda mempertaruhkan nyali demi menegakkan nilai-nilai kehormatan dan kebenaran dari sebuah bangsa yang tertindas dan terjajah.

Peristiwa-peristiwa heroik semacam itu memang telah jauh melewat. Seiring dengan gerak dan dinamika peradaban, bangsa kita pasca-kemerdekaan terus mengalami perubahan. Tampilnya dwitunggal Soekarno-Hatta sebagai pucuk pimpinan tertinggi di negeri ini telah membangkitkan sebuah optimisme baru melalui semangat kemandirian dan berdikari sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat. Namun, agaknya kepemimpinan dwitunggal itu dinilai mulai tereduksi oleh fakta lain di mana nilai-nilai demokrasi hendak dikebiri dan dinafikan. Upaya pengangkatan Soekarno sebagai presiden seumur hidup dengan ikon demokrasi terpimpinnya telah melahirkan banyak kegelisahan dan ketidakpuasan di sebagian kalangan pemuda dan kaum intelektual. Kondisi itu diperparah dengan munculnya kalangan kiri yang berafiliasi ke paham komunis hingga membuat situasi negara tak menentu, bahkan telah melahirkan pertumpahan darah antarsesama warga bangsa. Dalam kondisi semacam itu, muncullah generasi 1966 yang dengan amat sadar ikut berkiprah untuk membangun kembali puing-puing bangsa yang berserakan akibat situasi negara yang chaos dan amburadul.

Kembali bangsa kita mengalami suksesi kepemimpinan. Soeharto yang dielu-elukan sebagai ”penyelamat bangsa” hadir mengibarkan “bendera” Orde Baru. Optimisme pun hinggap di setiap kepala. Pembangunan digalakkan. Pertumbuhan ekonomi dan daya saing bangsa dijadikan slogan. Rezim Soeharto pun mampu bertahan hingga tiga dekade. Namun, kekuasaannya yang cenderung berbau korup dengan mengandalkan kekuataan militer yang represif sebagai ”tameng”-nya, membuat kepercayaan rakyat mulai goyah. Hal itu diperparah dengan kondisi perekonomian yang carut-marut akibat krisis moneter pada 1997. Maka, ”keperkasaan”-nya sebagai penguasa tunggal benar-benar berada pada titik nazir ketika kaum muda mahasiswa menggelontorkan roda reformasi. Rezim Orde Baru itu pun tersunggur dari panggung kekuasaan pada bulan Mei 1998, hingga lahirlah Orde Reformasi.

Pasca-reformasi, negeri ini telah mengalami beberapa kali suksesi. Mulai Habibie, Gus Dur, Megawati, hingga SBY. Namun, arus reformasi yang diharapkan mampu melahirkan perubahan yang bermanfaat buat rakyat itu dinilai masih ”mati suri”. Yang terjadi, justru sebaliknya. Krisis ekonomi telah menimbulkan krisis multidimensi. Kran kebebasan yang dibuka lebar-lebar, disadari atau tidak, telah memicu lahirnya ”rezim-rezim” baru. Kekerasan berbasis sentimen kesukuan, agama, ras, dan golongan meruyak (hampir) di seantero negeri. Nilai-nilai primordialisme hadir bersama kultur kekerasan hingga melahirkan berbagai peristiwa tragis. Angka pengangguran pun merangkak tajam. Kemiskinan merajalela. Kelaparan terjadi di mana-mana. Seiring dengan itu, nilai-nilai nasionalisme kita dipertanyakan. Kita demikian loyo dan tak berdaya ketika negeri jiran kita mencaplok beberapa pulau di daerah perbatasan. Kita juga tak bisa berbuat apa-apa ketika bangsa lain mengklaim hasil budaya anak-anak bangsa sebagai miliknya.

Dalam kondisi semacam itu, kita sangat merindukan lahirnya sosok pemimpin yang memiliki wisdom dan kearifan dalam mengelola negara. Sudah terlalu lama rakyat hidup dalam ketidakpastian. Harga-harga kebutuhan pokok yang terus melambung benar-benar telah menghancurkan daya beli rakyat miskin. Ironisnya, pemerintah justru ingin menaikkan harga BBM yang jelas-jelas akan menambah beban rakyat semakin berat.

Sungguh, kesadaran kolektif kita sebagai bangsa yang terhormat dan bermartabat pada satu dekade reformasi ini telah terluka. Setidaknya, ada semacam ”triumvirat” kesadaran kolektif kita yang terkoyak, yakni kesadaran masa silam (historis), kesadaran masa kini (realistis), dan kesadaran masa depan (futuristis). Ketiga komponen ”triumvirat” ini seharusnya membentuk sebuah kekuatan dahsyat dalam membangun sebuah peradaban. Kesadaran historis, realistis, dan futuristis harus kait-mengait dan berkelindan dalam sebuah mozaik peradaban. Hanya memiliki kesadaran historis, kita akan terjebak dalam romantisme masa silam yang berlebihan. Hanya memiliki kesadaran realistis, kita cenderung menjadi bangsa yang prgmatis. Hanya mengandalkan kesadaran futuristis, kita cenderung menjadi bangsa pemimpi.

Kini, saatnya kita kembali bersama-sama membangun kesadaran kolektif yang benar-benar mampu memadukan kekuatan ”triumvirat” yang akan terus mewarnai dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara dari generasi ke generasi. Dalam menjalani realitas hidup berbangsa dan bernegara masa kini, jangan sampai kita terjebak ke dalam pemahaman sempit yang menafikan realitas masa silam dan berbagai kemungkinan yang akan terjadi pada masa mendatang. Kemarin, hari ini, dan esok harus benar-benar dipahami secara utuh sebagai sebuah siklus kehidupan yang harus terus berjalan dari generasi ke generasi.

Sudah lama kita diingatkan oleh Bung Hatta betapa pentingnya membangun keinsyafan kolektif itu. Merasa senasib dan setujuan, seperuntungan, derita dirasakan bersama, mujur dinikmati bersama. Namun, yang terjadi sekarang, betapa makin carut-marutnya kekuatan kolektif itu. Ketimpangan sosial menganga lebar. Yang kaya makin kaya, yang melarat tak jelas lagi kapan mereka harus ”pensiun” dari jeratan kemiskinan. Koruptor yang telah mengemplang harta negara pun makin pandai mencari siasat agar lolos dari jerat hukum. Inikah ”panen” yang kita tuai dari satu dekade reformasi itu? Masih adakah kaum muda di negeri ini yang memiliki semangat heroik untuk mewujudkan bangsa yang berperadaban tinggi? ***

Keterangan:
Gambar diambil dari sini dengan seizin pemiliknya.

Penggemar wayang kulit, gendhing dan langgam klasik, serta penikmat sastra. Dalam dunia fiksi lebih dikenal dengan nama Sawali Tuhusetya. Buku kumpulan cerpennya Perempuan Bergaun Putih diterbitkan oleh Bukupop dan Maharini Press (2008) dan diluncurkan di Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada hari Jumat, 16 Mei 2008 bersama kumpulan puisi Kembali dari Dalam Diri karya Ibrahim Ghaffar (sastrawan Malaysia).

46 Comments

  1. Reformasi 10 tahun?? Hmmmm rasanya jauh lebih berarti kalau dalam hati kita sendiri berniat dan menjalankan reformasi untuk diri kita masing2! Terkadang kita merasa sudah sebagai reformis padahal mungkin masih banyak pola fikir kita dan tingkah polah kita yang masih harus direformasi! 😉

    Yari NKs last blog post..Taruhan Kreatif Menjelang Euro…..

    ooo
    yups, sepakat banget bung yari. kesadaran kolektif itu perlu dimulai dari diri kita masing2 dulu. lama-lama kesadaran individual itu akan juga membentuk kesadaran kolektif. 💡

  2. andeleng bocah sekolah nganggo sragam pramuka
    kanthi asesuka ngibarake gendera
    kumlebet amerbawa Sang Saka Merah Putih
    den aras angin ing tangan-tangan ringkih
    sujudku di telapak kakimu Ibu
    pendurhaka memohon Surgamu
    bila selama ini kututup mataku
    liarkan getar nafsu
    hati kelam membatu

    sujudku di telapak kakimu Ibu
    sesal marah membakar jiwaku
    telah kubiarkan durjana dursila
    memperkosa menjarah bumi sucimu
    sedang kami anak-anakmu
    pecandu peluru berbalut madu

    sujudku di telapak kakimu Ibu

    **–**
    kita lupa sebagai anak-anak IBU PERTIWI
    lebih mengedepankan perbedaan
    mari bersama kita bangun kembali kesadaran itu
    sebagai saudara sebangsa setanah air
    menghadapi segala tantangan demi Indonesia yang lebih baik *bagi semua anak bangsa*

    tomys last blog post..MENJADI DIRI SENDIRI

    ooo
    ajakan yang simpatik, pak tomy, sepakat banget. terima kasih pak tomy 💡

  3. tulisannya renyah dan saya betul2 menikmati sarapan intelektual ini, di satu sisi saya menikmati tulisan ini, di sisi lain saya pun resah, ah betapa saya masih egois, masih juga berjuang hanya untuk mengkenyangkan perut sendiri….. sy jd bertanya… entahlah apakah sy punya kesadaran kolektif atau tidak

    dan sy pun berpikir, kesadaran kolektif itu seperti apa.. ?, bagaimana membangunnya ?, sulitkah membangun kesadaran kolektif dibandingan membangun kesadaran diri sendiri yang biasanya ini berdasar niatan sederhana “perut gwe masing kosong gak nih” ?, apakah bangsa ini mesti dijajah dulu seperti dahulu spy kesadaran kolektif tumbuh kembali ?

    ooo
    wah, makasih mas adit, jadi tersandung, eh tersanjung, nih. mudah2an kesadaran kolektif utk bersama2 bangkit dari keterpurukan itu bisa segera muncul, mas adit. hanya dengan kebersamaan dan kolektivitas yag bagus, bangsa kita akan *halah* menjadi lebih baik. 💡

  4. Sifat kegotongroyongan begitu kental dalam masyarakat kita (tak tau apa masih “terasa” saat ini), mungkin masih ada sifat itu :mrgreen:tapi dalam bentuk yang anomali dan peyoratif seperti rame-rame korupsi…rame-rame nimbun BBM…rame-rame nyerang kelompok lain (yang dianggap agamanya ilegal— :114 )…Dan saat ini sepertinya kita tidak bisa berbicara soal reformasi lagi…sebab nikmatnya hanya pada awal reformasi yang didengungkan para anak bangsa yang cinta perubahan…karena kini bau reformasi itu sudah betul-betul “bau” dan “busuk” lagi. Mahasiswa dan pemuda telah terkotak-kotak pada satu-satu kepentingan yang hanya dan akan melenggangkan para elit untuk tetap berkuasa. Maka berbicara soal kesadaran kolektif terutama berbicara soal nilai-nilai kebangsaan…mungkin tidak ada lagi yang patut dibanggakan!!! 🙂
    Saya sangat senang dengan tulisan Pak Guru.
    (Maesa –> sex: laki-laki)
    Terima kasih…Horas…Horas…Horas

    ooo
    makasih bangat mas maesa atas apresiasinya. memang bener, mas, reformasi yang dulu gencar diperjuangkan agaknya malah jadi bumerang. kini, reformasi sdh banyak kehilangan arah. repot bener! 💡

  5. Yang namanya dekade sekarang, apapun kalau tidak kolektif tak mungkin efektif. Yang payah kalau kolektifnya negatif, misalnya korupsi kolektif, bakar masjid kolektif, selingkuh kolektif (weleh weleh). Sekarang ini serba jamaah.
    Itulah kenapa orang takut pada hujan. Coba aja hujan itu turun dari langit gak kolektif, siapa takut ?!. Paling2 cuma tes… tes…
    Tentang kesadaran kolektif tampaknya susah. Dua orang saja, untuk sadar bareng susahnya minta ampun kok. Bayangkan kalau ada 2174 orang. Yang 751 sadar, yang 1423 pasti gak sadar. Kalau yang 1148 sadar, pasti yang 1026 gak sadar. Begitu seterusnya. Pak sawali tinggal bilang, ada berapa orang, yang sadar berapa, nanti yang gak sadar tak bantu ngetung. Kalau cuman kurang2an, kalkulator beraspun cukup :mrgreen:

    marsudiyantos last blog post..

    ooo
    hehehehe 😆 pendapat pak mar ada benarnya. memang susah membangun sikap kolektif dan kebersamaan. meski demikian, tdk ada salahnya kita terus berupaya utk bersama2 membangun negeri ini *halah* agar benar2 mampu mewujudkan impian2 yang sdh lama dinantikan rakyat. 💡 tanpa kebersamaan dan kolektivitas, agaknya kok makin susah saja membuat bangsa ini maju. :mrgreen:

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

*

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Tulisan terbaru tentang Budaya

Pilpres, Mudik, dan Lebaran

Oleh: Sawali Tuhusetya Suasana Ramadhan tahun ini sangat berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya.
Go to Top