Guru, sebagaimana diyakini banyak orang, dianggap sebagai sosok pinunjul yang berdiri di garda depan dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Di tangan merekalah nasib anak-anak masa depan negeri ini dipertaruhkan. Kalau sampai loyo dan tak berdaya, jangan harap negeri ini akan memiliki generasi masa depan yang cerdas, bermoral, dan bermartabat. Begitulah ungkapan-ungkapan pujian yang sering terlontar terhadap figur seorang guru. Tidak heran apabila pada setiap pergantian etafe kepemimpinan di tingkat elite negara, sosok guru selalu dilirik dan diperhatikan.
Kini, sosok guru kembali menjadi sorotan. Mereka dinilai belum layak menjadi pendidik profesional. Mereka tidak cukup hanya mengantongi kualifikasi ijazah keguruan, tetapi juga –sesuai amanat Standar Nasional Pendidikan (SNP) dan Undang-undang Guru dan Dosen (UUGD)– wajib memiliki sertifikat pendidik. Imbas lanjutannya, mereka berhak mendapatkan tunjangan profesi guru sebesar satu kali gaji pokok. Ya, sebuah rangsangan yang menggiurkan.
Untuk mendapatkan sertifikat pendidik, guru mesti berkutat mengikuti program sertifikasi guru dengan mengumpulkan sejumlah dokumen portofolio –sebagai bukti fisik– minimal 850 poin. Dari situlah, konon kompetensi guru, baik profesional, kepribadian, pedagogik, maupun sosial, bisa terpotret. Sahih atau tidak model penilaian semacam itu, agaknya tidak terlalu penting lagi untuk dijawab. Yang pasti, program sertifikasi jalan terus. Sudah banyak guru yang berhasil memperoleh sertifikat pendidik, bahkan konon sudah ada yang menikmati tunjangan profesinya sebagai pendidik. Ribuan, bahkan jutaan guru yang lain, mesti harus antre menunggu giliran. Mereka yang dinilai telah memenuhi syarat, harus “berjibaku”; mengumpulkan dokumen sebagai bukti kiprah profesionalitas mereka selama menjadi tenaga pendidik.
Terlepas dari kontroversi yang masih terus berlangsung, suka atau tidak suka, kebijakan program sertifikasi guru agaknya akan terus berlangsung. Bahkan, mungkin hingga guru yang menduduki peringkat paling buncit. Bisa dibayangkan, betapa besarnya jumlah anggaran negara yang tersedot untuk tunjangan profesi guru. Andai saja tunjangan profesi setiap guru sebesar Rp1.500,000,00 dikalikan, misalnya, 2 juta guru, pemerintah mesti mengeluarkan anggaran sebesar 3 trilyun setiap bulan. Wah, angka yang tidak sedikit jika dibandingkan dengan alokasi gaji guru selama ini.
(Berikut adalah beberapa gambar ketika acara penyerahan sertifikat pendidik yang berlangsung di Universitas Negeri Semarang –Rayon 12– kepada sekitar 1.334 guru dari 19 kota/kabupaten se-Jawa Tengah pada Sabtu, 5 April 2008)
Persoalannya sekarang, setelah guru mendapat sertifikat pendidik dan berhasil menikmati tunjangan profesinya, lalu bagaimana? Benarkah kinerja guru akan meningkat? Apakah anak-anak bangsa negeri ini benar-benar menjadi lebih cerdas dan kreatif? Seandainya, sertifikat pendidik itu ternyata bukan jaminan kelayakan sebagai tenaga pendidik profesional, lalu bagaimana solusinya? Dicabut kepemilikannya atas sertifikat pendidik yang telah dikantongi yang sekaligus dicabut tunjangan profesinya atau dipensiun dini karena dinilai tidak layak menjalankan tugas profesinya?
Seandainya sertifikat pendidik itu berhasil mengatrol kesejahteraan guru, lalu bagaimana halnya dengan guru yang berkualifikasi ijazah diploma yang jelas-jelas dinilai tidak memenuhi syarat mengikuti sertifikasi guru? Haruskah mereka perlu melakukan re-edukasi? Guru yang masih berusia muda, re-edukasi bisa jadi solusi yang tepat. Namun, bagaimana halnya dengan guru yang usianya sudah di atas kepala 5 yang hanya tinggal menunggu detik-detik pensiun? Apakah mereka sama sekali tidak memiliki hak untuk menikmati tunjangan profesi itu? Kalau itu yang terjadi, sungguh, kita benar-benar hidup di sebuah negeri yang sarat ironi. ***
@ lahapasi:
Yaps, mudah2a begitu, mas. btw, pernah bercita2 jadi guru juga?
@ andi basuki:
yups, sepakat pak andi. setelah menerima sertifikat, kinerja mesti meningkat, hehehehe 💡
@ Yari NK:
betul banget bung yari. anggaran itu memang besar, meski dibandingkan dg negeri jiran kita konon belum sebanding juga, heheheh 🙂
@ Menik:
sepaka banget, bunda! guru idealnya memang mesti menjadi figur teladan bagi murid2nya agar lebih mudah menananmkan berbagai macam nilai di tengah tantangan zaman yang rumit dan kompleks ini.
@ fauzan sigma:
walah, ndak utopis juga, mas sigma, asalkan semua pihak mau melakukan perubahan paradigma dan kultural. kalau tdk ada perubahan, apa pun hanya akan menjadi sebuah utopia.
@ Fadhiel yang sedang bingung dan pusing:
yak, sepakat banget, mas fadhiel. btw, kenapa bingung dan pusing? sedang punya masalahkah?
@ quelopi:
yups, semoga diimbangi dg kinerja yang bagus, mas.
sawali tuhusetya’s last blog post..Setelah Memperoleh Sertifikat Pendidik, Lalu Bagaimana?
setifikat itu kan hanya pengakuan bahwa si penerima itu adalah guru, tapi layak tidaknya dia jadi soerang pendidik kan tidak diukur dari apakah dia sudah menerima setifikat atau belum. alah.. serias amat ngomong opo to yooo…. kabur 🙂
bejozz’s last blog post..Komputer gue kena Spyware
selamat-selamat, selamat buat para guru
acara meriah yah
Yah semoga dengan sertifikasi kualitas guru di negeri ini meningkat.
Dengan menambah tunjangan guru negara kita tidak akan bangkrut kok Pak lah wong buat nggaji DPR saja mampu, kalo perlu gaji DPR potong saja untuk para Guru!
Fadhiel yang sedang bingung dan pusing’s last blog post..Pamit
semoga dengan sertifikasi guru itu tidak hanya berjualan sertifikat, karena hanya dengan legitimasi selembar sertifikat blm bs menjamin kesetaraan kualitas seorang pendidik.. kenapa indonesia tdk segera membuat evolusi dlm pendidikan, khususnya tenaga pendidik dengan memberi system requirement yg lbh tinggi, misalnya seperti di China, yaitu minimal S2.. dengan itu jg, jaminan akan kualitas guru ditingkatkan.. hubungan antara siswa, org tua murid dan guru sndiri berjalan dgn harmonis, peserta didik dapat mengevaluasi guru ttg metode pengajaran, dll nya..
*utopis yah pak, hehe*
fauzan sigma’s last blog post..Tuntut Pelibatan Mahasiswa dalam Otonomisasi Kampus (BLU/BHP)