Hingga saat ini, saya masih terkesan dengan pemikiran-pemikiran (almarhum) Rama Mangunwijaya tentang dunia pendidikan. Pandangan-pandangannya mencerahkan, inklusif, kritis, dan selalu menyadarkan insan-insan pendidikan untuk mengembalikan dunia persekolahan kepada “khittah”-nya sebagai pencerah spiritual. Dalam buku Pasca-Indonesisa, Pasca-Einstein (1999), misalnya, Rama Mangunwijaya pernah bilang bahwa dunia persekolahan kita tidak mengajak anak didik untuk berpikir eksploratif dan kreatif. Seluruh suasana pembelajaran yang dibangun adalah penghafalan, tanpa pengertian yang memadai. Adapun bertanya –apalagi berpikir kritis-praktis– adalah tabu. Siswa tidak dididik, tetapi di-drill, dilatih, ditatar, dibekuk agar menjadi penurut, tidak jauh berbeda dari pelatihan binatang-binatang “pintar dan terampil” dalam sirkus.
Suasana pembelajaran yang “salah urus” semacam itu, demikian Rama Mangunwijaya yang semasa hidupnya akrab dengan lingkungan pendidikan kumuh di bantaran Kali Code Yogyakarta, telah membikin cakrawala berpikir peserta didik menyempit dan mengarah pada sikap-sikap fasisme, bahkan menyuburkan mental penyamun/perompak/penggusur yang menghambat kemajuan bangsa. Erat berhubungan dengan itu, timbullah suatu ketidakwajaran dalam relasi sikap terhadap kebenaran. Mental membual, berbohong, bersemu, berbedak, dan bertopeng, seolah-olah semakin meracuni kehidupan kultural bangsa. Kemunafikan merajalela. Kejujuran dan kewajaran dikalahkan. Keserasian antara yang dikatakan dan yang dikerjakan semakin timpang.
Sikap-sikap fasis yang menafikan keluhuran akal budi, bahkan makin menjauhkan diri dari perilaku hidup yang menjunjung tinggi martabat kemanusiaan, tampaknya sudah menjadi fenomena yang mewabah dalam masyarakat kita. Maraknya fenomena dan perilaku anomali semacam itu, disadari atau tidak, merupakan imbas dari sistem pendidikan yang telah gagal dalam membangun generasi yang utuh dan paripurna.
Pertama, selama menuntut ilmu di bangku pendidikan, pelajar yang baik senantiasa dicitrakan sebagai “anak mami” yang selalu mengamini semua komando gurunya. Mereka ditabukan untuk bersikap kritis, berdebat, dan bercurah pikir. Akibatnya, mereka tampak begitu santun di sekolah, tetapi menjadi liar dan bringas di luar tembok sekolah.
Kedua, anak-anak bangsa yang tengah gencar memburu ilmu di bangku pendidikan (hampir) tidak pernah dididik secara serius dalam menumbuhkembangkan ranah emosional dan spiritualnya. Ranah kecerdasan spiritual yang amat penting peranannya dalam melahirkan generasi yang utuh dan paripurna justru dikebiri dan dimarginalkan. Kebijakan dan kurikulum pendidikan kita belum memberikan ruang dan waktu yang cukup berarti untuk memberikan pencerahan spiritual siswa. Yang lebih memprihatinkan, guru sering terjebak pada situasi rutinitas pembelajaran yang kaku, monoton, dan menegangkan lewat sajian materi yang lebih mirip orang berkhotbah, indoktrinasi, dan “membunuh” penalaran siswa yang dikukuhkan lewat dogma-dogma dan mitos-mitos.
***
Idealnya, pendidikan harus mampu memberikan pencerahan dan katarsis spiritual kepada peserta didik, sehingga mereka mampu bersikap responsif terhadap segala persoalan yang tengah dihadapi masyarakat dan bangsanya. Melalui pencerahan yang berhasil ditimbanya, mereka diharapkan dapat menjadi sosok spiritual yang memiliki apresiasi tinggi terhadap masalah kemanusiaan, kejujuran, demokratisasi, toleransi, dan kedamaian hidup. Kita membutuhkan sosok manusia yang memiliki kecerdasan spiritual yang menciptakan damai di tengah berkecamuknya kebencian, yang menawarkan pengampunan bila terjadi penghinaan.
Kecerdasan spiritual mewujud dalam perikehidupan yang diliputi dengan kesadaran penuh, perilaku yang berpedomankan hati nuruni, penampilan yang genuine tanpa kepalsuan, kepedulian besar akan tegaknya etika sosial. Sebaliknya, ketidakcerdasan spiritual menunjukkan diri dalam ekspresi keagamaan yang monolitis, eksklusif, dan intoleran yang sering meninggalkan “jejaknya” pada korban konflik atas nama agama, seperti yang belakangan ini sering kita saksikan.
Kerdilnya kecerdasan spiritual yang mencuat dalam bentuk perilaku yang gemar berkonflik atas nama etnis dan agama, jelas menjadi keprihatinan kolektif kita sebagai bangsa. Ke depan, dunia pendidikan kita harus bersikap antisipatif dengan memberikan sentuhan perhatian yang cukup berarti terhadap ranah spiritual siswa. Kurikulum dan kebijakan pendidikan harus benar-benar mengakomodasi ranah spiritual siswa secara proporsional dan substansial.
Mata pelajaran Pendidikan Agama, selain ditambah alokasi waktunya, hendaknya juga tidak sekadar mencekoki siswa dengan setumpuk teori dan hafalan, tetapi harus benar-benar menyentuh kedalaman dan hakikat spiritual yang membuka ruang kesadaran nurani siswa di tengah konteks kehidupan sosial-budaya yang majemuk. Hal itu harus didukung oleh semua guru lintas mata pelajaran dengan mengintegrasikan nilai-nilai keimanan dan ketakwaan ke dalam materi ajar yang diampunya.
Yang tidak kalah penting, guru yang berada di garda depan dalam dunia pendidikan hendaknya mampu menjadi figur keteladanan spiritual di hadapan peserta didik. Guru hendaknya juga mampu “menanggalkan” jiwa yang kasar dalam mendidik. Sikap pendidik harus demokratis, lebih “conscientious“, lebih mawas diri, yang otomatis akan menular ke jiwa anak didik.
Di tengah situasi Indonesia yang masih “silang-sengkarut” akibat krisis multiwajah dan konflik berkepanjangan, sudah saatnya dunia pendidikan benar-benar mengambil peran sebagai pencerah dan katarsis peradaban yang sakit. Kehadirannya harus benar-benar dimaknai secara substansial sebagai “kawah candradimuka” yang menggembleng jutaan anak bangsa menjadi generasi yang utuh dan paripurna; cerdas intelektualnya, cerdas emosionalnya, sekaligus cerdas spiritualnya. Bukan hanya sekadar pelengkap yang selalu disanjung puji sebagai pengembang SDM, tetapi realitasnya hanya menjadi sebuah “Indonesia” yang terpinggirkan. ***
[…] Pendidikan Spiritual di Sekolah, Apa Kabar? […]
Bored!!!
(Dikutip dari: Harian RADAR Banjarmasin, Jum’at 2 Mei 2008)
Strategi Pendidikan Milenium III
(Tengkulak Ilmu: Rabunnya Intelektual Ilmiah)
Oleh: Qinimain Zain
FEELING IS BELIEVING. MANUSIA adalah binatang yang menggunakan peralatan. Tanpa peralatan, ia bukan apa-apa. Dengan peralatan, ia adalah segala-galanya (Thomas Carlyle).
DALAM momentum peringatan Hari Pendidikan Nasional, 2 Mei 2008, sangat tepat berbenah diri. Banyak kalangan menilai betapa rendahnya kualitas sumber daya manusia Indonesia dibanding bangsa lain. Ini ditandai dengan produktivitas kerja rendah sehingga ekonomi lemah, karena tidak efesien, efektif dan produktif dalam mengelola sumber daya alam yang meski begitu melimpah.
Lalu, mengapa kualitas sumber daya manusia Indonesia rendah?
KAPITAL manusia adalah kekayaan sebuah bangsa dan negara, sama halnya seperti pabrik, perumahan, mesin-mesin, dan modal fisik lainnya. Diakui dimensi teknologi, strategi, aliansi global dan inovasi merupakan komponen penting yang akan mempengaruhi keuggulan kompetitif pada masa depan. Namun demikian, komponen itu masih bergantung pada kembampuan manusia (Gary S. Becker).
Dalam ilmu matematika ada acuan dasar sederhana penilaian apa pun, yaitu posisi dan perubahan. Jadi, jika bicara kemajuan pendidikan kualitas sumber daya manusia Indonesia adalah berkaitan di mana posisinya dan seberapa besar perubahannya dibanding bangsa lain di bidangnya.
Berkaitan dengan perubahan, ada dua cara posisi untuk unggul yaitu bertahan dengan keunggulan lokal dengan fungsi terbatas atau menyerang dengan keunggulan global dengan fungsi luas. Misal, menjadi ahli orang hutan Kalimantan yang endemik, atau menjadi ahli kera seluruh dunia. Jelas, sangat sulit menjadi unggul satu keahlian untuk global diakui secara global, sedang unggul keahlian untuk lokal diakui secara global pun – seperti tentang orang hutan Kalimantan (apalagi tentang gorila), didahului orang (bangsa) lain. Ini terjadi disemua bidang ilmu. Mengapa?
Indonesia (juga negara terkebelakang lain) memang negara yang lebih kemudian merdeka dan berkembang, sehingga kemajuan pendidikan pun belakangan. Umumnya, keunggulan (sekolah) pendidikan di Indonesia hanya mengandalkan keunggulan lisensi, bukan produk inovasi sendiri. Contoh, sekolah (dan universitas) yang dianggap unggul di Kalimantan bila pengajarnya berasal menimba ilmu di sekolah (dan universitas) unggul di pulau Jawa (atau luar negeri). Sedang di Jawa, pengajarnya berasal menimba ilmu di luar negeri. Jika demikian, pendidikan (ilmu pengetahuan dan teknologi) Indonesia atau di daerah tidak akan pernah lebih unggul di banding pusat atau luar negeri. (Ada beberapa sekolah atau universitas yang membanggakan pengajarnya lulusan universitas bergengsi atau menonjolkan studi pustaka di Jawa dan luar negeri. Artinya, ini sekadar tengkulak atau makelar (broker) ilmu dan teknologi). Dan memang, selalu, beban lebih berat bagi apa dan siapa pun yang terkebelakang karena harus melebihi kecepatan lepas (velocity of escape), kemampuan kemajuan yang unggul di depan untuk menang. Perlu kemauan keras, kerja keras dan strategi tepat mengingat banyak hal terbatas.
WALAUPUN Anda berada pada jalan yang benar, maka akan tergilas jika Anda cuma duduk di sana (Will Roger).
Lalu, mengapa otak orang lain unggul? Ada contoh menarik, Sabtu 30 Juli 2005 lalu, Michael Brown dari California Institute of Technology mengumumkan “Keluarkan pena. Bersiaplah menulis ulang buku teks!”. Astronom Amerika Serikat ini, mengklaim menemukan planet ke-10 dalam sistem tata surya yang diberi nama 2003-UB313, planet terjauh dari matahari, berdiameter 3.000 kilometer atau satu setengah kali dari Pluto. Planet ini pertama kali terlihat lewat teleskop Samuel Oschin di Observatorium Polmar dan teleskop 8m Gemini di Mauna Kea pada 21 Oktober 2003, kemudian tak nampak hingga 8 Januari 2005, 15 bulan kemudian.
Sebuah penemuan kemajuan ilmu pengetahuan luar biasa, yang sebenarnya biasa saja dan mungkin terjadi di Indonesia andai ilmuwannya memiliki alat teleskop serupa. Tanpa teleskop itu, ketika memandang langit mata kita rabun, sehingga yang terlihat hanya langit malam dengan kerlip bintang semata. Sejarah mencatat, ilmuwan penemu besar sering ada hubungan dengan kemampuannya merancang atau mencipta alat penelitian sendiri. Tycho Brahe membuat sekstan (busur derajat) pengamatan benda langit, Johannes Kepler dengan bola langit sebagai peta astronomi, Isaac Newton membuat teleskop refleksi pertama yang menjadi acuan teleskop sekarang, atau Robert Hooke merancang mikroskop sendiri. Dan, alat teknologi (hardware) pengamatan berjasa mendapatkan ilmu pengetahuan ini disebut radas, pasangan alat penelitian (software) pengetahuan sistematis disebut teori.
ILMUWAN kuno kadang menekankan pentingnya seorang ilmuwan membuat alat penelitian sendiri. Merancang dan membuat sesuatu alat adalah sebuah cabang keahlian ilmiah (Peter B. Medawar).
Lalu, sampai di manakah perkembangan ilmu pengetahuan (dan teknologi) di negara lain? Untuk (ilmu) pengetahuan sosial, di milenium ketiga kesejajaran dan keterpaduannya dengan ilmu pengetahuan alam, hangat di berbagai belahan dunia. Di ujung tahun 2007 lalu, Gerhard Ertl, pemenang Nobel Kimia tahun itu, kembali mengemukakan bahwa ilmuwan harus menerobos batasan disiplin ilmu untuk menemukan pemecahan beberapa pertanyaan tantangan besar belum terjawab bagi ilmu pengetahuan yaitu ilmu pengetahuan menyatu seiring waktu. Banyak ilmuwan peserta forum bergengsi itu menjelaskan tugas penting ke depan yang harus diselesaikan berkenaan masalah batas, batasan atau titik temu pada dua atau lebih disiplin ilmu. Kemudian sejalan itu, tanggal 28 – 30 Maret 2008 lalu, di Universitas Warwick, Warwick, Inggris, berlangsung British Sociological Association (BSA) Annual Conference 2008, dengan tema Social Worlds, Natural Worlds, mengangkat pula debat perseteruan terkini yaitu batas, hubungan dan paduan (ilmu) pengetahuan sosial dan ilmu pengetahuan alam dalam pengembangan teori (ilmu) sosial dan penelitian empiris, mencoba menjawab pertanyaan kompleks yang selalu mengemuka di abad ke 21 dalam memahami umat manusia. Berikutnya, tanggal 2-5 Desember 2008 nanti, akan digelar The Annual Conference of The Australian Sociological Association (TASA) 2008, di Universitas Melbourne dengan tema Re-imagining Sociology.
Ini peluang momentum besar (yang hanya satu kali seumur dunia) bagi siapa pun, baik universitas atau bangsa Indonesia untuk berlomba memecahkan masalah membuktikan kemajuan, keunggulan dan kehormatan sumber daya manusianya di milenium ketiga ini. (Dari pengalaman, pandangan rendah bangsa lain terhadap Indonesia (dan pribadi), tergantung kualitas kita. Kenyataannya, ilmuwan besar di universitas besar di benua Eropa, Amerika, Afrika, Asia dan Australia pun, dengan rendah hati mau belajar (paradigma Total Qinimain Zain: The (R)Evolution of Social Science: The New Paradigm Scientific System of Science dengan saya) selama apa yang kita miliki lebih unggul dari mereka.
SUMBER daya manusia harus didefinisikan bukan dengan apa yang sumber daya manusia lakukan, tetapi dengan apa yang sumber daya manusia hasilkan (David Ulrich).
Akhirnya, di manakah tempat pendidikan terbaik belajar untuk unggul secara lokal dan global di banding bangsa lain? Di University of Reality di kehidupan sekitar! Dengan syarat (mencipta dan) memiliki alat teknologi (hardware) atau alat teori (software) hebat sendiri. Jika tidak, semua mata intelektual ilmiah rabun, karena belajar dan memahami kehidupan semesta dengan otak telanjang adalah sulit bahkan mustahil, sama halnya mencoba mengamati bintang di langit dan bakteri di tanah dengan mata telanjang tanpa teleskop dan mikroskop. Sekarang rebut peluang (terutama untuk akademisi), bangsa Indonesia dan dunia krisis kini membutuhkan Galileo Galilei, Francis Bacon, dan Rene Descartes muda. Jika tidak, akan hanya menjadi tengkulak ilmu, dan harapan memiliki (serta menjadi) sumberdaya manusia berkualitas lebih unggul daripada bangsa lain hanyalah mimpi. Selamanya.
BODOH betapa pun seseorang akan mampu memandang kritis terhadap apa saja, asal memiliki peralatan sesuai tahapan pemahaman itu (Paulo Freire)
BAGAIMANA strategi Anda?
*) Qinimain Zain – Scientist & Strategist, tinggal di Banjarbaru, Kalsel, email: tqz_strategist@yahoo.co.id (www.scientist-strategist.blogspot.com).
makasih kiriman artikelnya, pak.
……….> ikut mengamini keprihatinan Pak Sawali
Gak usah risau pak masalah anak itu bawaan dari rumah kok, guru tidak sepenuhnya tanggung jawab dalam hal pendidikan keagamaan /moralitas. Karena secara teori guru sudah memberikan mata ajar dari kurikulum.
Yang patut dihawatiri adalah pengaruh anak tak baik namun tidak sebaliknya… inilah sebenarnya tugas yang cukp berat…. 😀
Bahasannya berat. Nggak sanggup berkomentar. Tanda tangan prrsensi saja aahhh…
Arif’s last blog post..Mari Peduli