Senja Kala di Pancalaradya

Kategori Wayang Oleh

Dalang: Ki Sawali Tuhusetya

Bola mata Prabu Drupada membelalak. Jidatnya berkerut. Wayang bertampang sangar dengan brengos lebat melintang di atas belahan bibir tebal itu benar-benar terusik oleh kehadiran seorang brahmana gembel dan dekil yang tiba-tiba nyelonong di tengah-tengah pertemuan. Yang bikin darahnya mendidih, brahmana kurus bermata cekung itu tanpa unggah-ungguh dan subasita langsung mak grapyuk merangkul erat-erat.

“Brahmana keparat! Cuah! Menjijikkan!” bentak Prabu Drupada sambil menyentakkan tubuh brahmana kurus itu hingga tersungkur ke lantai. Para pembesar dan pejabat istana yang hadir dalam pertemuan serentak berdiri. Bertatapan.

“Kakang Sucitra, mungkin Sampeyan tidak mengenal Drona, pendeta miskin dari Padepokan Sokalima. Namun aku yakin, Kakang masih ingat betul pada Kombayana yang pernah menuntut ilmu bersamamu di negeri Atasangin tempo dulu. Aku Kombayana, Kakang Sucitra!” kata brahmana kurus itu sambil berusaha mengembangkan senyuman. “Maafkan aku Kakang Sucitra kalau kehadiranku telah mengganggumu! Namun sungguh, kedatanganku kemari semata-mata ingin bernostalgia. Separo tanah Pancalaradya yang pernah Kakang janjikan padaku pun sudah bukan hal yang menarik! Aku benar-benar kangen pada Sampeyan, Kakang! Apa tidak boleh seseorang merindukan sahabat lama?” lanjutnya.

“Cih! Benar-benar tak tahu diri! Prajurit, seret brahmana keparat ini keluar!” komando Prabu Drupada geram dengan bola mata memerah saga. “Jenderal Gandamana, urus brahmana itu! Resi brengsek itu benar-benar telah melakukan penghinaan!” perintah Prabu Drupada kepada “jagoan militer” yang selalu dielus-elus itu. Dengan gaya militer yang khas, jenderal berbintang empat itu bergegas menghentakkan sepatu lars, berkelebat meninggalkan ruang pertemuan.

Patih Drestaketu kembali menelan ludah. Pejabat berjidat klimis itu tak bisa membayangkan apa yang bakal terjadi pada Resi Drona jika militer sudah turun tangan.

Kekhawatiran Patih Drestaketu benar-benar terjadi. Atas komando Jenderal Gandamana, para prajurit Pancalaradya segera mengarak Resi Drona menuju ke alun-alun. Dipanggang terik matahari, Resi Drona berteriak histeris menahan sakit. Pukulan dan tendangan sepatu lars bertubi-tubi menghajar tubuhnya hingga babak belur. Mulutnya menyemburkan darah segar. Beberapa giginya rontok dihantam popor senapan. Kekuatannya tiba-tiba lenyap entah ke mana. Tubuhnya nglumpruk seperti gedebog pisang.

“Cukup prajurit! Berikan aku kesempatan untuk memberi pelajaran kepada resi brengsek ini!” teriak Jenderal Gandamana di tengah-tengah kerumunan prajuritnya.

Dalam sekejap, sepatu lars Jenderal Gandamana segera menari-nari di atas tubuh Resi Drona. Tubuh brahmana kurus itu pun makin nglempreg.

“Tinggalkan sendirian brahmana keparat ini di alun-alun biar jadi pelajaran berharga buat siapa saja yang berani melakukan penghinaan terhadap raja!” kata Jenderal Gandamana sambil melintir brengos. Para prajurit mengangguk serentak, lantas meninggalkan alun-alun dengan langkah berderap-derap.

* **

Barangkali terlalu dini untuk mematikan peran Resi Drona dalam pakeliran wayang bebas ini. Selain tidak sesuai pakem, bisa jadi menimbulkan protes para pengamat yang kagum atas keresian putra Bengawan Baradwaja dari negeri Atasangin yang dinilai punya naluri politik tingkat tinggi dalam mewarnai dinamika jagad pewayangan itu.

Tidak perlu heran jika dalam keadaan tubuh cacat dan teraniaya, dia masih sanggup menyelamatkan diri dari ancaman maut. Buktinya, dia masih bisa come-back ke Sokalima dan menemui Endang Krepi, istrinya. Yang tidak bisa dipahami Resi Drona, kenapa Sucitra yang dulu dikenal lembut, bersahabat, dan bersahaja mendadak berubah menjadi Drupada yang arogan dan sewenang-wenang setelah berada di atas panggung kekuasaan?

“Itulah dinamika hidup, Dhi! Wolak-waliking zaman. Wayang jujur bisa saja berubah menjadi korup dan diktator ketika silau dan mabuk kekuasaan! Para politisi yang bicaranya ndakik-ndakik saat kampanye pemilu pun bisa menjadi bromocorah setelah duduk di kursi parlemen. Rakyat tak pernah masuk hitungan dalam kalkulasi politik yang sering menyesatkan. Demikian juga Prabu Drupada! Tapi sudahlah, untuk sementara lupakan semua hiruk-pikuk duniawi! Kamu harus lebih banyak istirahat biar cepat sembuh!” komentar Begawan Krepa, kakak iparnya, yang kebetulan bertandang ke gubugnya yang reot.

Namun, dasar Resi Drona yang kelewat hiperaktif. Belum sempurna benar kesembuhan penyakit yang bersarang di tubuhnya, dia kembali menjalani hidup sebagai avonturir sejati. Dalam keadaan cacat, semangat hidupnya justru tumbuh berlipat-lipat. Perlakuan biadab Jenderal Gandamana membikin imajinasi Resi Drona kian mengembara. Dia bertekad membebaskan belenggu nasib buruk yang bertahun-tahun menelikungnya.

Setelah bertualang sana-sini, akhirnya Resi Drona berjodoh menjadi guru Pendawa dan Kurawa. Meski cacat, dia masih sanggup mempertunjukkan kebolehannya dalam memanah. Puluhan burung yang terbang jauh mengangkasa bisa dibidik dengan jitu. Hebatnya lagi, puluhan burung itu bisa direntengi secara beruntun mirip tusuk sate. Para Pendawa dan Kurawa yang masih ABG benar-benar kagum. Seumur-umur baru kali ini mereka menyaksikan pemanah se-brilian itu. Tidak berlebihan jika mereka merengek-rengek agar dijadikan murid.

Berada di tengah-tengah Pendawa dan Kurawa, hidup Resi Drona makin terhormat dan disegani. Sebagai guru, dia benar-benar bermartabat. Rumah dinasnya magrong-magrong, fasilitas komplit, mobil dan sopir siap antar-jemput ke mana dia suka. Penghasilannya sebulan lebih dari cukup untuk hidup setengah tahun. Konsekuensinya, dia pun benar-benar menjadi figur guru sejati; disiplin, mumpuni, pinunjul, dan cerah budi. Hampir semua ilmu yang dia miliki di-transfer degan gaya didaktika yang hampir tidak pernah ditemukan di bangku pendidikan formal. Teori dan praktik menyatu dalam visi dan misi. Tidak heran jika murid-muridnya yang berbakat, seperti para Pendawa, berhasil digembleng menjadi generasi yang “utuh”; terampil dan cerdas, baik secara intelektual, emosional, sosial, maupun spiritual.

Ketika Pendawa dan Kurawa mulai beranjak dewasa, Resi Drona tiba-tiba teringat Prabu Drupada. Dengan dalih menguji kesahihan teori, dia memberikan tugas murid-muridnya untuk melakukan misi intelijen di negeri Pancalaradya. Dia ingin memberi pelajaran buat Prabu Drupada bahwa arogansi dan kesewenang-wenangan justru bisa menjadi pendulum yang mampu menghancurkan kekuasaannya sendiri.

Namun, misi itu berlangsung di luar skenario. Diam-diam, Sengkuni menguping pembicaraan. Ibarat mendapat durian runtuh, hal itu dimanfaatkan Sengkuni untuk membalaskan dendam lamanya kepada Jenderal Gandamana. Dia membujuk para Kurawa agar mendahului langkah para Pendawa.

“Kalau dibiarkan hidup, Jenderal Gandamana bakal menjadi klilip dan penghalang kalian dalam menguasai tanah Hastinapura, mengerti?” hasut Sengkuni. Dasar Kurawa, hal itu diamini begitu saja. Tanpa sepengetahuan Resi Drona, mereka langsung tancap gas menuju Pancalaradya dengan satu batalyon prajurit.

Prajurit Pancalaradya yang tidak menduga bakal mendapat serangan mendadak langsung kocar-kacir. Mereka gagal membendung arus prajurit Kurawa yang telah berhasil menyerbu istana. Hampir saja sebuah peristiwa Sandyakalaning Pancalaradya terjadi. Beruntung pada momentum yang tepat, pasukan Pendawa datang. Mereka berhasil menyelamatkan Prabu Drupada dan Jenderal Gandamana dari kebrutalan prajurit Kurawa. Kedua pejabat teras itu tak henti-hentinya bersyukur dan mengucapkan terima kasih kepada para Pendawa. Pada saat yang bersamaan, muncullah Resi Drona yang cacat dengan pakaian kebesaran seorang begawan yang wibawa dan terhormat. Prabu Drupada dan Jenderal Gandamana tersentak bukan kepalang.

“Adi Komabayana?” teriak Prabu Drupada tercekat. Jenderal Gandamana blingsatan.

“Sekarang Sang Prabu mengenali hamba setelah hamba dalam keadaan cacat seperti ini?” tanya Resi Drona sambil menatap wajah Prabu Drupada. “Beruntung murid-murid hamba berhasil menyelamatkan Paduka dari kepungan para Kurawa yang telah termakan hasutan Sengkuni!” lanjutnya.

Prabu Drupada dan Jenderal Gandamana bertatapan dengan wajah bagaikan dilempari telor busuk. Entah, tiba-tiba saja kehadiran Resi Drona yang cacat itu dirasakan bagaikan Malaikat yang siap menghakimi mereka berdua. ***

ooo

Gambar diambil dari sini dan sini.

Penggemar wayang kulit, gendhing dan langgam klasik, serta penikmat sastra. Dalam dunia fiksi lebih dikenal dengan nama Sawali Tuhusetya. Buku kumpulan cerpennya Perempuan Bergaun Putih diterbitkan oleh Bukupop dan Maharini Press (2008) dan diluncurkan di Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada hari Jumat, 16 Mei 2008 bersama kumpulan puisi Kembali dari Dalam Diri karya Ibrahim Ghaffar (sastrawan Malaysia).

21 Comments

  1. Saya pulang ke Klaten satu tahun sekali, Pak.

    Seneng juga baca ceritanya. wayang, tapi disampaikan dengan cara gaul.
    Ngomongin Drupada, kayaknya hampir mirip sama politikus masa kini yak? Nggak semuanya sih…

    isnuansa’s last blog post..Kunjungan Ke Lampung

    ooo
    wew… iya, ya, ke klaten setahun sekali juga dah bagus kok mbak is. wah, salut juga nih mbak is kalo seneng wayang juga!

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

*

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Tulisan terbaru tentang Wayang

TEROR DI NEGERI WIRATHA

Dalang: Sawali Tuhusetya Akibat kebencian Kurawa yang telah mengilusumsum melalui aksi tipu
Go to Top