Harga Sebuah Blog
Menunggu Aksi Menjelang UN
Selama dua hari (Kamis-Jumat, 28-29 Agustus 2008), saya mengikuti Rapat Koordinasi (Rakor) Evaluasi hasil Ujian Nasional (UN) di Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) Semarang Jawa Tengah. Dalam acara itu hadir Dr. Baedhowi, Dirjen PMPTK (Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan) Depdiknas, Dr. Ir. Indra Jati Sidi, mantan Dirjen Dikdasmen, Depdiknas, Prof. Dr. Djaali, anggota Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) Depdiknas, perwakilan dari Pemkab/Pemkot dan Komisi E DPRD Kab/Kota se-Provinsi Jawa Tengah, pengurus MKKS (Musyawarah Kerja Kepala Sekolah), pengawas, serta pengurus MGMP (IPA dan Bahasa Indonesia SMP serta Matematika, Bahasa Inggris, dan IPA SMA/SMK) dari 35 kabupaten se-Jateng. Kehadiran saya saat itu mewakili teman-teman guru Bahasa Indonesia yang tergabung dalam Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Bahasa Indonesia SMP Kabupaten Kendal.
Secara jujur harus diakui, masih banyak persoalan yang muncul ketika UN digelar menjadi sebuah “ritual” menjelang akhir tahun; mulai kebocoran soal, materi soal yang diragukan kesahihannya, hingga penghalalan segala macam cara untuk mengatrol nilai UN demi meningkatkan “marwah” sekolah atau daerah. Selain itu, selalu saja ada sindrom kecemasan yang menghantui guru, orang tua, dan siswa ketika saat-saat yang paling mendebarkan itu tiba.
Membumikan Tuhan ala Dharmadi
Untuk ke sekian kalinya, Aula Dinas Sosial, Tenaga Kerja, dan Transmigrasi, Kabupaten Kendal, menjadi saksi sebuah perhelatan sastra. Minggu, 24 Agustus 2008 (pukul 09.00-13.30), penyair Dharmadi (Purwokerto) hadir menemui publik sastra Kendal. Tak kurang, sekitar 100 peminat dan pencinta sastra dari kalangan guru, mahasiswa, siswa SMP/SMA/MAN, dan masyarakat umum mengapresiasi sekaligus membedah teks-teks puisi karya penyair kelahiran Semarang, 30 September 1948, itu. Secara khusus, penyair yang kini menetap di Tegal (Jateng) itu mendedahkan antalologi puisi terbarunya, “Jejak Sajak” yang diterbitkan secara mandiri.
Acara diawali dengan pembacaan dua buah puisi oleh awak Teater Semut Kendal yang sekaligus juga menjadi penjaga gawang acara. Fenny mampu berekspresi secara total dan musikal sehingga mengundang aplaus pengunjung. Agaknya, pembacaan puisi yang total dan ekspresif itulah yang mampu membawa audiens ke ruang imajinasi yang hendak disuguhkan oleh sang penyair. Buktinya, begitu diskusi dibuka, muncul banyak respon. Tak hanya dari kalangan guru. Siswa pun tak kalah bersemangat dalam mengapresiasi dan berdiskusi. Abdul Majid, salah seorang siswa SMA 1 Kendal, misalnya, langsung menghentak lewat sebuah “gugatan”, “Mengapa Pak Dharmadi masih saja selalu mengangkat tema-tema religius ke dalam puisi? Bukankah tema-tema itu sudah menjadi tema umum yang diangkat oleh para penyair?”
Catatan terhadap Cerpen-Cerpen Sawali Tuhusetya *)
Oleh: Kurnia Effendi
Membaca cerpen-cerpen Sawali, saya teringat syarat yang pernah saya terapkan untuk diri sendiri, agar saya “yang lain”, sebagai “pembaca” sebelum pembaca lain, lebih dulu menikmati cerpen itu. Lalu teringat juga pendapat seorang cerpenis jauh sebelum saya, bahwa cerita pendek adalah kisah yang habis dibaca dalam sekali duduk. Namun sebaliknya saya juga mendapatkan pengalaman luar biasa dengan membaca cerpen-cerpen panjang (yang seolah melawan kaidah istilahnya sendiri) karya Budi Darma.
Empat syarat (bisa kurang dan lebih) yang kemudian saya pegang itu adalah sebagai berikut:
- Kemampuan berbahasa: syarat utama penulis, agar cukup komunikatif, syukur-syukur mengandung estetika
- Logika fiksi: sekalipun fantastik ada “hukum” yang menjaga “kebenaran” kisah
- Gaya (meliputi teknik penceritaan, struktur, plot, majas, sudut pandang, karakter atau penokohan, dialog, deskripsi, konflik, dll) bagaimana mengolah gagasan
- Orisinalitas: dewasa ini sangat sulit mencapainya, karena setiap pengarang terdahulu akan memberikan pengaruh kepada kita.
Diskusi Sastra dan Pembacaan Puisi Karya Dharmadi
Pembacaan Cerpen karya Budi Maryono dan Diskusi Sastra
Kangen Rumah Lama
Tanpa terasa, sudah hampir 5 bulan saya tidak mengurus gubug sederhana ini. Mohon maaf kepada sahabat-sahabat pengunjung yang “kesasar” di gubug ini hingga akhirnya kecewa karena tidak pernah muncul tulisan terbaru. Kesibukan *halah sok* mengurus blog Catatan Sawali Tuhusetya agaknya telah membuat saya jadi “lupa diri” untuk mengurusnya. Saya mengucapkan terima kasih kepada para pengunjung yang telah berkenan meninggalkan jejak komentar, sekaligus mohon maaf apabila saya tidak sempat merespon.
Gubug ini memang meninggalkan kenangan yang tak bisa saya lupakan. Saat-saat awal ngeblog, di gubug inilah saya sering berteriak. Meski gubug ini tidak pernah menyajikan sesuatu yang baru sejak 5 Januari 2008, agaknya masih ada juga pengunjung yang berkenan menjenguknya. Iseng-iseng saya melihat statistik blog lewat menu dasbor. Rumah ini rata-rata *halah, narsis* masih dikunjungi sekitar 150-an orang setiap harinya. Berikut ini skrinsyut jumlah pengunjung yang saya ambil pada tanggal 28 Mei 2008 pukul 00.13 WIB dini hari.