Seumur-umur baru ini kali Jaidul menatap kasunyatan yang nganeh-anehi. Apa memang zaman sudah terbalik, pikirnya. Betapa tidak! Narti yang dulu gadis lugu, kini berubah liar. Pak Mantri Jamino, yang dulu orang terhormat, kini jadi sumber aib. Persitiwa aib inilah yang menggoncangkan kampung. Di perempatan jalan, di gardu poskamling, di warung, di pasar, dan di mana tempat yang ramai, selalu membicarakan keanehan ini.
“Apa sudah kuwalik impese Pak Mantri Jamino itu. Lha wong anak puponnya sendiri kok ya tegel-tegele dimakan,” ujar Mbok Bakul yang kebetulan lewat di depan rumah Pak Mantri Jamino setelah agak jauh. “Layak, setiap kali mau dilamar orang selalu ditampik,” lanjutnya.
“Ah, embuh, Yu. Zaman sekarang memang ada-ada saja, kok,” sambut Mbok Bakul yang lain. Kemudian, disambung kegaduhan yang lain. Penuh makna. Jaidul yang mendengar rerasan mereka jadi menelan ludah. Risih! Ulah Pak Mantri Jamino jadi mengembara ke mana-mana.
Hari menginjak senja. Perkampungan sudah mulai sepi. Sekadar mengurai lamunan, Jaidul duduk di lincak serambi depan. Dirogohnya rokok di saku yang tinggal sebatang. Disulut dan diisap dalam-dalam. Asap melayang ringan, mengaburkan lamunannya.
Ah, kalau dipikir, Pak Mantri Jamino memang tak boleh selalu dipersalahkan. Ia lelaki normal. Sedangkan, istrinya tak mau lagi diajak bergaul batin. Kabarnya Bu Jamino mempunyai Pundhak Bau Lawe. Setiap kali Pak Mantri Jamino mengajak, ia selalu mengelak.
Bu Jamino sendiri takut kalau Pak Mantri Jamino mengalami nasib seperti suami-suaminya terdahulu. Mati! Sudah tiga kali Bu Jamino menikah, tetapi tiga kali pula suaminya mati setelah berhubungan. Memang tak masuk di akal. Mungkinkah seseorang meninggal akibat berhubungan dengan lawan jenisnya yang ber-pundhak bau lawe? Sekadar gugon-tuhon ataukah memang gendam yang mokal terelakkan?
Ah, Jaidul kian dicekam kengerian. Dan yang tak bisa dipahaminya, mengapa Pak Mantri yang segagah itu bisa juga tergaet Bu Jamino? Apakah memang perempuan setengah baya itu begitu merak hati di mata Pak Mantri, yang sudah menjanda tiga kali pula? Ah, Jaidul semakin tak paham akan makna kehidupan.
***
“Dul, lagi ngelamu?” tanya Darpin Pencok tiba-tiba. Lamunan Jaidul buyar seketika.
“Ah, kamu, Pin,” timpalnya singkat, tak begitu serius.
“Eh, Dul. Ada sayembara menarik, Dul. Barang siapa mau ngawin Narti, akan dibelikan sepeda motor oleh Pak Mantri!”
“Ah, masak, iya,” jawab Jaidul singkat tak bersemangat.
“Sungguh, kok!” timpal Darpin Pencok penuh nafsu.
Seketika ingatan Jaidul jatuh pada Narti. Gadis yang dulu bersahaja itu kini harus menanggung beih aib yang ditaburkan Pak Mantri Jamino. Perutnya kian mengembang. Dan agaknya, Narti begitu pasrah. Ia tak meratapi nasib kegadisannya. Ia juga tak bermaksud menggugurkan kandungannya seperti kebanyakan gadis lain yang hamil karena hubungan gelap dengan pacarnya. Ia sadar betul janin yang dikandungnya sama sekali tak berdosa. Meski kini ia berubah liar, namun sebenarnya ia gadis baik. Jaidul jadi iba melihat nasib yang menghimpit hidupnya. Dan atas ulah Pak Mantri, kini disayembarakan pula. Sungguh tak manusiawi!
“Eh, kamu tertarik nggak, Dul?” celoteh Darpin Pencok ke sekian kalinya. Jaidul jadi gugup sekali.
“Ah, aku nggak, kok,” jawab Jaidul singkat. Penuh makna ketegasan. Dari sorot mata Darpin pencok, agaknya ia begitu bernafsu untuk memasuki sayembara. Penuh harapan. Seperti layaknya orang yang mau dapat kuis undian.
“Aku tawarkan lho, Dul, barang kali kamu tertarik,” celoteh Darpin Pencok lagi. Tapi tawarannya seolah tidak memancarkan ketulusan. Ada perasaan penuh harap agar Jaidul tak mengikuti sayembara itu.
***
Sementara, malam mulai merambat. Namun, diterangi terang rembulan sehingga perjalanan malam tak begitu terasa. Mendadak penduduk kampung mendengar sebuah jeritan yang melengking panjang. Memecah kesunyian malam.
“Tolooong! Aha … aha …” Sebuah lengkingan bernada keluhan yang dahsyat. Jaidul dan Darpin Pencok segera kabur, menuju ke arah lengkingan itu. Dan astaga! Bu Jamino memegang sabit yang mingis-mingis terhunus. Sementara seorang gadis yang tengah mengandung berjuang mati-matian untuk menyelamatkan nyawa dan janin yang dikandungnya. Berulang kali ia menjerit, berulang kali pula sabit yang dipegang Bu Jamino menyambar. Jeritan pun kian dahsyat, bersambung-sambungan.
“Ini sebenarnya ada apa, toh?” tanya seorang perempuan tua yang baru datang menyeruak kerumunan. Napasnya masih sengal. Sedang bayi yang digendongnya terus-terusan menangis.
“Huh, Sampean ini bagaimana? Ndak tahu ontran-ontran. Tuh, lihat pak Mantri!” jawab perempuan tua lain sambil menunjuk tubuh Pak Mantri Jamino yang telah terbujur kaku di atas meja. Suasana kacau oleh ulah perempuan tua yang menggendong bayi itu. Lelap dalam keonaran yang maha hebat. Tangis bayi, suara-suara kotor, langkah-langkah kaki, dan bau-bau mulut yang busuk membaur dengan bau darah yang mulai mengering. Malam itu, perkampungan bagai digoncang-goncang dan diterkam-terkam oleh amarah Malaikat Maut.
“Hayo, mau apa lagi kowe wong-wong edan! Mau menangkap saya? Tangkaplah!” lengking suara seorang perempuan agak samar. Disusul oleh derap langkah kaki beberapa pemuda menuju rumah Pak Mantri.
“Bu … Bu Jamino ngamuk lagi. Ia membawa batu untuk melempari orang-orang kampung,” ujar salah seorang pemuda tergagap. Para penduduk kampung jadi kaget. Dihiasi suara-suara gelisah yang tanpa makna.
Baru saja mereka mau beranjak keluar, mendadak terdengar suara rintihan yang memilukan. Agaknya, ia terkena lemparan batu. Ia terus mengaduh berkepanjangan. Dan setelah dilihat, ternyata perempuan tua yang menggendong bayi. Tubuhnya menggeloso di sisi Bu Jamino yang sedang disergap kebiadaban.
Jerit kengerian dan ketakutan masih menggema di kampung itu. Bu Jamino masih terus membabi buta sambil melemparkan batu seenaknya. Suaranya yang perkasa diikuti tawa yang melengking bagaikan suara petir yang menguasai cakrawala malam.
Jaidul yang telah tiba di rumah jadi miris. Ia segera merapatkan sarungnya rapat-rapat. Namun, matanya sulit dipejamkan. Pikirannya mengembara ke lorong-lorong gaib yang sulit dinalar. Ia jadi ingat dongeng-dongeng kakeknya waktu kecil bahwa perempuan bahu lawe bisa berubah jadi biadab ketika bulan mencapai purnama.
Suasana kampung masih gelisah. Ditingkah lolongan anjing yang membahana di pinggir hutan. Mendadak pikiran Jaidul jatuh lagi pada Narti. Seorang gadis lugu yang mendadak jadi binal yang harus menanggung benih aib Pak Mantri Jamino yang telah terbujur kaku. Pikirannya kembali terbang ke arah Darpin Pencok. Lelaki berjalan pincang itu dibayangkan Jaidul bagaikan orang yang kalah taruhan dalam Pilkades. Harapannya kabur bersama jiwa Pak Mantri Jamino yang telah direnggut maut. Jaidul tertawa kecut sembari kian merapatkan sarungnya di pembaringan. ***
(Suara Merdeka, 4 Maret 1990)