Imajinasi “Sang Pembunuh” dan “Kebusukan” Penjara

Sejujurnya, saya tersentak ketika membaca komentar Bu Amanda terhadap cerpen saya “Sang Pembunuh”. Mohon maaf sebelumnya kepada Bu Amanda kalau komentar Ibu saya jadikan sebagai topik tulisan. Hal ini penting lantaran menyangkut kreativitas dan “keliaran” imajinasi saya yang sedang belajar menulis cerpen. Apalagi, cerpen tersebut dinilai oleh Bu Amanda “tidak mungkin murni dari bayangan atau ide kreatifitas semata tanpa ditunjang beberapa fakta-fakta yang nyata. Kenapa? Karena cerita tersebut sarat dengan elemen-elemen fakta nyata yang hanya bisa diketahui dan diresapi oleh seseorang yang memang benar-benar telah melalui sebuah masa dibalik jeruji besi.” *Aduh, garuk-garuk kepala.*

Berikut ini komentar Bu Amanda selengkapnya.

Dengan Hormat,
Saya sangat terkesan dengan tulisan “Sang Pembunuh”. Maafkan asumsi saya yang mengatakan bahwa ide cerita tersebut tidak mungkin murni dari bayangan atau ide kreatifitas semata tanpa ditunjang beberapa fakta-fakta yang nyata. Kenapa? Karena cerita tersebut sarat dengan elemen-elemen fakta nyata yang hanya bisa diketahui dan diresapi oleh seseorang yang memang benar-benar telah melalui sebuah masa dibalik jeruji besi.

Kebetulan sudah empat bulan ini saya menjadi istri napi. Dan gambaran yang disodorkan kepada pembaca melalui cerita “Sang Pembunuh” memang benar adanya sehingga membuat saya miris karena begitu mendekati realita.

Sejujurnya, saya tidak pernah tahu mengapa saya setuju menikahi seorang napi. Mungkin karena saya percaya bahwa napi adalah manusia yang tetap memiliki hak hidup dan hak untuk diberlakukan layaknya manusia pada umumnya terlepas dari apapun kejahatan yang telah dilakukannya. Dan penjalanan hukuman kemungkinan besar tidak salah bila diartikan sebagai sebuah bentuk rasa tanggung-jawabnya untuk “menebus” kesalahan.

Namun, tampaknya, gambaran bahwa napi bukan manusia, yang bisa dengan seenaknya dilecehkan dan diperlakukan semena-mena oleh mereka-mereka yang berlindung dibalik seragam aparat semakin jelas terpapar. Penganiayaan napi sudah semakin menjadi-jadi.

Saya menanti karya tulis Bapak dalam memaparkan sebuah cerita “sejenis” cerita “Sang Pembunuh” namun dalam sudut pandang yangberbeda. Mungkin dari segi pandang penantian seorang istri napi, atau justru mungkin dari sudut cerita yang sama sekali berbeda – bagaimana perasaan para sipir penjara yang “terpaksa” menyiksa, menganiaya dan mengintimidasi napi atas suruhan KPLP atau KaLapasnya.

Tulisan Bapak sedemikian hidup. Jauh lebih hidup dari buku-buku beberapa penulis ternama yang berhasil menjual ratusan buku cerita dengan modal nama tenar semata. Mulai saat ini, Bapak merupakan icon saya. Icon penulis yang mengerti betul apa itu menulis.

Salam kenal dari saya, seorang istri napi.

Secara spontan, saya pun merespon balik komentar Bu Amanda berikut ini.

Waduh, saya jadi ge-er nih Bu Amanda. Memang, cerita yang saya paparkan tidak murni dari olahan imajinasi. Ada beberapa fakta menarik yang membuat saya ingin mengungkapkannya dalam bentuk fiksi. Dari berbagai berita sudah sering saya baca bahwa para napi mendapatkan perlakuan yang kurang simpatik dari aparat. Nah, ini yang menarik buat saya. Tentu saja sebagai sebuah fiksi, saya tidak hanya mengalihkan fakta2 manrik itu apa adanya, sebab tugas semacam itu sudah dijalankan oleh para jurnalis atau wartawan. Sebagai orang yang sedang belajar menulis, saya ingin mengungkap fakta dari sudut pandang imajinasi saya, mengamatinya dari susut pandang *halah* hati nurani dan kemanusiaan. Saya sedih terhadap opini yang berkembang di tengah2 masyarakat bahwa Napi identik dengan pesakitan yang layak disingkirkan dan diisolir dari pergaulan. Saya ingin menyatakan bahwa tidak ada seorang pun yan sempurna. Tidak bisa kita nilai seseorang secara hitam putih bahwa mantan napi pasti jelek, sebaliknya orang yang selama ini dinilai baik pasti tidak memiliki cacat.
Terima kasih Bu Amanda atas apresiasinya, semoga Ibu sabar dan tabah menghadapi persoalan yang Ibu hadapi. Tuhan pasti bersama orang-orang yang sabar.

(Cerpen “Sang Pembunuh” dan komentar Bu Amanda bisa dilihat di sini. )

Komentar itu meluncur secara spontan dan saya sama sekali tidak kenal siapa Bu Amanda yang sesungguhnya. Keesokan harinya, ketika jam istirahat sekolah, saya iseng membuka blog. Ternyata sudah ada respon balik dari Bu Amanda dengan menggunakan nama Ipan Irtsi. Berikut komentarnya:

Mohon pendapat Bapak tentang situs ini: harian-istri-napi.blogspot.com

Akhirnya, saya pun segera meluncur ke sini. Dari blog yang belum lama dibuat itu –bisa dilihat berdasarkan arsip postingan– saya benar-benar bungkam. Tak sanggup berkata apa-apa, apalagi meninggalkan komentar. Suara anak-anak yang riuh di luar sana tak lagi masuk dalam gendang telinga saya. Mouse terus saya pegang, meluncur dari kata per kata, kalimat per kalimat, postingan per postingan. Aduh, tubuh saya bergetar, membayangkan seorang istri yang tengah berjuang sendirian dalam upaya memastikan nasib suaminya yang kini tengah terombang-ambing, bahkan mendapatkan perlakuan yang kurang manusiawi di penjara. Lobi ke lobi tak henti-hentinya dilakukan, tak mengenal ruang dan waktu. Bu Amanda terus menembus batas-batas kesetiaan sebagai seorang isteri.

Saya makin trenyuh ketika perjuangan Bu Amanda (nyaris) tak ada yang meresponnya. Terlepas dari masalah yang sedang menimpa suami Bu Amanda, ada sisi kemanusiaan kita yang sedang terusik. Sedemikian burukkah stigma yang menempel di tubuh seorang nara pidana sehingga tak sedikit orang yang memalingkan muka ketika beradu jidat dengan keluarga sang napi? Bukankah hidup manusia juga akan terus berubah seiring dengan detak zaman dan peradaban yang terus bergulir dalam lipatan waktu?

Saking hanyutnya, saya lupa tidak meninggalkan komentar apa pun di blog Bu Amanda. Ketika tiba di rumah (pukul 15.00 WIB), saya kembali membuka blog Bu Amanda. Kembali saya bungkam. Haruskah saya “menjual” pepatah-petitih tentang moral dan sikap empati secara verbal? Aduh, dengan permohonan maaf, akhirnya saya putuskan untuk membuat tulisan ini.

Mohon maaf, Bu Amanda, kalau saya terlalu berlebihan. Cerpen “Sang Pembunuh” hanyalah sebuah teks fiksi. Memang, ada fakta yang saya hadirkan di sana. Namun, saya tak hanya sekadar mengalihkan fakta ke sebuah teks. Tugas semacam itu sudah dilaksanakan dengan baik oleh para jurnalis. “Sang Pembunuh” sudah melewati penjelajahan batin dan transpirasi batas-batas penulisan cerpen bagi saya yang sedang belajar menulis sebuah cerpen. Bahkan, “busuk”-nya penjara itu sudah “tercium” oleh kepekaan intuisi saya sejak saya belajar di SPG sekitar tahun 1980-an yang kebetulan saat itu ada saudara saya yang sedang berada di penjara.

Perlakuan yang kurang manusiawi ketika para napi berada di penjara juga banyak diberitakan di berbagai media. Itulah yang akhirnya memantapkan langkah saya untuk sekadar mengabadikannya menjadi sebuah cerpen. Hanya itu. Bisa jadi, suasana penjara juga akan terus mengusik para penulis untuk memotretnya ke dalam teks-teks lain yang lebih liar dan imajinatif.

Selamat berjuang Bu Amanda dalam menembus batas-batas kesetiaan sebagai seorang istri napi, semoga ibu bangga dengan predikat semacam itu. Salam hormat. ***

No Comments

  1. buat bu amanda, saya cuman bisa mendoakan
    smoga apa yg diperjuangkan tidak menjadi sia-sia
    tanggal pernikahan kita beda 2 hari, bu 🙂

    pak guru, ajarin bikin cerpen dooong :mrgreen:

  2. Saya juga tidak bisa sok berbicara karena saya tidak mengalami sendiri. Seberapa maksimal upaya empati saya lakukan tetap tidak akan menyamai apa yang dialami oleh Bu Amanda secara langsung. Empati saya mungkin hanya akan sebatas pada tataran imaji saya pribadi.

    Jadi… saya hanya bisa turut mendoakan saja semoga perjuangan Bu Amanda menuai hasil yang indah.

    Kepada Pak Sawali:
    Maaf Pak saya jarang mampir, saya masih “tiduran” dan tidak setiap hari menyempatkan diri jalan2 di seputaran “kompleks”. Oleh karena itu saya melakukan silaturahmi secara bergantian saja

  3. Jadi tersentuh membaca posting ini *meluncur*
    banyak fakta2 yang memang selalu bersesuai dengan orang lain, hal itu wajar koq.
    semoga bisa saling memberikan masehat aja 🙂

  4. kalo menurud saia sendiri, fenjara itu seferti sebuah dunia yang lain sangadh..
    yep, dunia yang ndak cuma make hukum rimba yang amadh sangadh…
    dan susa dihilangkan karena suda jadi lingkaran setan T_T

  5. Lembaga Pemasyarakatan atau biasa kita sebut penjara, pada dasarnya dibangun dengan harapan memperbaiki mental, moral dan kehidupan dari orang2 yang pernah ‘secara sengaja maupun tak sengaja’ melakukan suatu tindak kejahatan. Tapi sungguh disayangkan citra ini sudah lama pudar, entah itu dilakukan oleh para napi sendiri ataupun para ‘pembina LP’ itu sendiri.
    Cerita2 kejahatan didalam tahanan yg sudah menjadi rahasia umum ternyata tidak membuat sadar para pejabat hukum kita untuk berupaya memperbaiki sistem. Ternyata LP bukanlah tempat yg aman bagi napi untuk memperbaiki diri, ditempat ini justru kejahatan semakin berkembang. ditempat ini justru mereka malah benar2 jadi penjahat..
    *halah ko’ saya jadi so’ tau gini ya* 😛

  6. Jadi ingat lagunya Ebiet
    “orang-orang terkucil”
    Sungguh bukan hanya saat dipenjara saja yang mengalami penderitaan.
    Saat keluar, masih teriring dengan kekhawatiran dan keraguan, apakah masih akan diterima oleh lingkungan??

    “Kini aku pulang,
    Smoga dapat diterima
    Inginku buktikan maknanya bertobat,
    Seperti impianku, akan kubangun kecerahan
    Kubaktikan kisah hidup untuk kebajikan
    Namun ternyata apa yang kuterima,
    Semburan ludah sumpah serapah”

    Terima kasih Paman Sawal, kembali kesadaran kemanusiaan saya ada yang “sekedar” terusik
    -salam-

  7. @ deKing yang pura-pura hiatus lagi:
    Ya, Pak deKing, kita hanya bisa ikut berdoa smg masalah Bu Amanda cepat kelar.
    Nggak apa-apa Pak, saya malah yang berterima kasih Pak deKing dah berkenan mampir ke sini. Urusan studi memang perlu lebih diprioritaskan, Pak.

    @ suandana:
    Ya, sama juga dengan saya Pak Adit. Kita hanya bisa berdoa aja.

    @ GRaK:
    Betul Mas. Saya kira ini juga hanya karena faktor kebetulan saja.

    @ hoek:
    *Wah Mas hoek dah kembali lagi? Wah senenag saya 😆 *
    Wah, agaknya fenomena seperti itu memang sudah tampak, Pak. Bener2 lingkaran setan nih kayakna…

    @ brainstorm:
    Bukan sok tahu, Mas, memang feneomenanya semacam itu. Yak, mudah2an semakin bertambahnya usia kemerdekaan, tak hanya para petugas di LAPAS, di institusi lain mudah2an makin bertambah arif dan dewasa dalam menangani masalah yang muncul.

    @ goop:
    Ok, makasih Mas Goop. Agakya pendengar lagi Ebiet juga nih Mas Goop.

    @ Ersis WA:
    OK, makasih juga Pak Ersis telah berkenan mampir. Jelas, ini sebuah kehormatan bagi saya.

    @ edo:
    *Walah, *hanya bisa garuk2 kepala*
    OK, makasih Pak Edo.

  8. wah kok gak nyambung komentar saya? maaf pak sawali, tolong dihapus saja. agaknya saya sedang nglindur. mohon maaf sekali lagi… entah kenapa kok jadi salah gini… 🙁

  9. Aku sudah baca cerpen-nya Pak Guru. Dan…

    Ya, aku bisa memahami ke-heran-an Bu Amanda Pak Guru, karena aku juga melihat kalau penggunaan setting dan tindakan-tindakan pada cerpen itu sedikit banyak memiliki per-sama-an dengan kenyataan yang sebenar-nya
    (ber-dasar-kan cerita dari banyak teman-teman-ku yang sudah men-jalani-nya)

    Tapi bagi-ku itu juga merupakan daya tarik dari cerpen itu, karena bukan-kah sebuah karya fiksi juga akan lebih baik jika di-ikuti oleh bumbu-bumbu yang di-comot dari ke-nyataan? Karena bukan-kah aneh kalau seorang Gatotkoco di-cerita-kan datang dari Amerika sana? 🙂

    Sekali lagi Pak Guru, dua jempol untuk Pak Guru.

  10. @ tobadreams:
    *Garuk2 kepala* OK, trims Bang Huta, dah mampir.

    @ Mihael “D.B.” Ellinsworth:
    Cerpen ini sebenarnya sudah lama, Mas DB dan dimuat di harian sore Wawasan tahun 1999. Jadi dah 8 tahun. Cerpen itu memang sebagian dari fakta yang terjadi ketika saya duduk di SPG tahun ’80-an yang kebetulan ada saudara saya yang harus masuk ke jeruji besi. Itulah yang mengendap dalam memori hingga akhirnya jadi cerpen itu.

    @ extremusmilitis:
    Makasih apresiasinya Bung Militis. Tapi, terlalu berlebihan memujinya. Jadi sesek bernapas nih, 😆 Memang sebagian saya ambil dari fakta dan berita yang saya dengar tentang suasana “busuk” yang terjadi di penjara. Tapi, sebagian besar sudah masuk pada ranah imajinasi yang sedikit *halah* “liar”. Kalau ternyata Bu Amanda merasakan keresahan yang sama, itu semata2 hanya faktor kebetulan semata.

  11. Ehm…
    Dapat respon yang baik dari pembaca, nih, pak. Petanda saya biasanya ga berlebihan dan asal memuji, kan, kan, kan?. Makanya cepat-cepat terbitin buku, Pak. Saya jadi pembeli pertama plus tanda tangannya yo. Kalau berkenan saya juga mau mohon bimbingan untuk bisa menulis cerpen dengan lebih baik lagi. Salam, Pak.

    Untuk Bu Amanda

    Saya sangat tersentuh membaca tulisan Ibu di atas. Sebagai perempuan saya sangat salut dengan perjuangan Bu Amanda. Berjuang terus, Bu! Saya hanya bisa membantu doa, ya.

  12. Agh… jujur saya belum baca cerpen itu dan belum juga berkunjung ke link bu Amanda yang dimaksud,

    saya pikir banyak sekali aspek yang perlu untuk dikaji ketika kita membicarakan hal seperti ini, selain dari fiksi yang mendekati fakta yang sudah pak Sawali tulis dalam cerpen tersebut, tentu pengawasan dari bermainnya pihak yang terkait didalamnya, dari polisi, jaksa dan hakim, setelahnya adalah petugas sipir yang terus menyiksa napi.

    Shawshank Redemtion mungkin sedikit nyata dengan realita para napi kita.

    sudah semestinya peradilan kita itu mendapat pengawalan dan public information tentang jalannya persidangan sudah selayaknya diketahui publik secara luas.

  13. @ Hanna:
    Walah, makasih banget supportnya, Mbak Hanna, tetapi pujiannya jangan terlalu tinggi, bisa2 nanti saya malah terjerembab, hehehe 😆
    Yak, mudah2an Bu Amanda membaca support dari Mbak Hanna, yak!

    @ peyek:
    Setuju banget, Mas. Dari berbagai kritik yang berkembang, agaknya memang diperlukamn perubahan mendasar, terutama menyangkut masalah kultur kinerjanya. Agaknya memang ini amat sulit karena sudah mengakar *halah sok tahu nih* sejak jadul. Ini penting, supaya jangan sampai salah dalam membuat keputusan.Makasih informasi link-nya, Mas!

    @ Imam Mawardi:
    Hehehehehe 😀 Dalam hal ini kita juga bicara soal realita dan dunia fiksi, Pak Mawardi 😆

  14. Wah…bingung saya mau komen apa nih…. :mrgreen:

    Tetapi begini ya Pak Sawali, mungkin karena Bu Amanda adalah istri seorang napi, jadinya mungkin hati bu Amanda menjadi sedikit sensitif begitu membaca cerpen2/artikel2 yang berbau napi/kejahatan. Atau bisa juga Bu Amanda sedikit berkhayal dengan berharap Bu Amanda bisa sedikit ber’imajinasi’ dengan Pak Sawali yang dikhayalkannya sebagai mantan napi seperti suaminya apalagi fotonya Pak Sawali tampak garang seperti seorang mantan napi hehehe…, waduh yang terakhir ini jikalau saya salah kata, saya mohon maaf yang sebesar2nya buat Bu Amanda dan juga Pak Sawali. 🙂

    Ya, tapi ini justru menunjukkan bahwa tulisan/cerpen yang dibuat Pak Sawali sangat prima, menghanyutkan dan akurat sehingga dapat mengundang berbagai macam interpretasi terhadap sang penulis. 🙂

  15. @ Yari NK:
    Walah, pakai bingung segala nih Bung Yari. Berimajinasi dengan mantan napi lewat foto saya yang garang? Hehehehehe 😆 Bisa aja nih, Bung. Tapi nggak apa2 kok, pembaca memang bebas menafsirkan apa saja ketika sebuah cerpen diluncurkan. OK, makasih, Bung Yari.

    @ Anang:
    Mas Anangku badhe tindak pundi? Walah, kok saja kesesa, hehehehe 😆

  16. Ass,pak ini bukan hanya sekedar muji doang terbukti pak Sawali sangat menjiwai tulisan khususnya cerpen lo.Saya salut ama bapak.Makanya setiap saya posting cerpen or puisi saya senang pak Sawali koment agar saya tahu kekurangan saya.Skalian belajar kan pak.Tapi saat sekarang Fira lagi rehat gak seperti dulu lagi selalu cepat posting berhubung kehamilan ini sedikit mengganggu kebiasaan Fira,maklum pak sudah 12tahun Fira baru rasakan lagi seperti sekarang.Jadi agak kaku lagi. Tapi Fira berusaha semoga cepat mengatasinya karena menulis itu tempat Fira beradaptasi dan berinteraksi sesama yang senang menulis juga.OK mohon doanya yah pak.Wassalam.

  17. @ fira:
    Walah, OK, makasih Mbak Fira. Yak, bagaimapun juga kondisi fisik Mbak Fira harus tetap dijaga. Kesempatan dan masa2 untuk aktif dan kreatif menulis pasti ada. OK, Mbak, semoga Mbak Fira tetap sehat dan ceria ketika sedang mengemban amanat Allah yang mulia ini.

  18. pak, saya tak bisa berkomentar seperti biasa, saya telah asyik masuk dengan sosok sang pembunuh..

    Juga, kecemasan bu amanda.

    Saya habis kata2 pak! Maaf!
    Untuk siapa saja yang terpenjara karena fitnah dan karena kebenaran, hormat saya setinggi-tingginya.

Tinggalkan Balasan ke fira Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *