Menunggu “Lonceng Kematian” Lewat Ujian Nasional

Jika tidak ada aral melintang, Ujian Nasional (UN) mulai SD hingga SMA/MA/SMK, akan digelar serentak pada Mei 2008. Mendiknas telah mengeluarkan Permen Nomor 34 Tahun 2007 tentang Ujian Nasional Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah/Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa (SMP/MTs/SMPLB), Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah/Sekolah Menengah Atas Luar Biasa (SMA/MA/SMALB) dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Tahun Pelajaran 2007/2008 pada 5 November 2007.

Jika dicermati, ada beberapa perubahan mendasar dibandingkan dengan pelaksanaan UN tahun-tahun sebelumnya. Pada tahun 2007/2008, selain terjadi penambahan mata pelajaran, juga terjadi peningkatan kriteria nilai kelulusan.

Mata pelajaran yang diujikan secara nasional pada tahun pelajaran 2007/2008 antara lain: 1) Mata Pelajaran UN untuk SMP, MTs, dan SMPLB meliputi; Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, dan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA); 2) Mata Pelajaran UN SMA dan MA: (a) Program IPA: Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, Fisika, Kimia, dan Biologi; (b) Program IPS: Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Ekonomi, Matematika, Sosiologi dan Geografi; (c) Program Bahasa: Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, Bahasa Asing lain yang diambil, Sejarah Budaya (Antropologi), dan Sastra Indonesia; (d) Program Keagamaan meliputi; Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, Ilmu Tafsir, Ilmu Hadis, dan Tasawuf/Ilmu Kalam; 3) Mata Pelajaran UN SMALB, meliputi: Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan Matematika; 4) Mata Pelajaran UN SMK, meliputi: Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, dan Kompetensi Keahlian Kejuruan.

Adapun kriteria kelulusan antara lain: (1) memiliki nilai rata-rata minimal 5,25 untuk seluruh mata pelajaran yang diujikan, dengan tidak ada nilai di bawah 4,25, dan khusus untuk SMK, nilai mata pelajaran Kompetensi Keahlian Kejuruan Minimum 7,00 dan digunakan untuk menghitung rata-rata UN; atau (2) memiliki nilai minimal 4,00 pada salah satu mata pelajaran, dan nilai mata pelajaran lainnya minimal 6,00, dan khusus untuk SMK, nilai mata pelajaran Kompetensi Keahlian Kejuruan Minimum 7,00 dan digunakan untuk menghitung rata-rata UN; (3) Pemerintah daerah dan/atau satuan pendidikan dapat menetapkan batas kelulusan di atas nilai sebagaimana pada ayat (1).

Setiap perubahan, apa pun wujud dan bentuknya, pasti akan menimbulkan reaksi. UN pun dari tahun ke tahun tak luput dari kondisi semacam itu. Banyak kalangan yang tidak setuju jika UN digelar. Apalagi, sekarang sudah diberlakukan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) di mana sekolah memiliki hak otonom untuk mengelola sekolahnya sendiri, termasuk dalam menggelar kegiatan penilaian (evaluasi). Namun, agaknya pemerintah –melalui Badan StandarNasional Pendidikan (BSNP)— memiliki kebijakan lain. UN pun jalan terus, meski setiap tahun harus “panen” demo.

Bagi pendukung kebijakan pemerintah, UN dinilai cukup strategis dan relevan sebagai starting point untuk mendongkrak mutu pendidikan yang dianggap sudah berada di ambang batas kecemasan. Ketertinggalan SDM kita di bidang sains dan teknologi harus dikejar melalui peningkatan mutu keluaran sekolah agar kelak mereka tidak mengalami “gagap budaya” ketika menghadapi berbagai perubahan di tengah-tengah peradaban global. Bagi sekolah-sekolah maju, terutama di kota-kota besar, keputusan tersebut mungkin tidak memberikan dampak kejutan apa-apa. Kelengkapan dukungan sarana/prasarana/fasilitas sekolah dan keakraban mereka terhadap dunia mulitimedia bisa menjadi jawaban terhadap tuntutan kelulusan sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan.

Namun, bagi sekolah-sekolah pinggiran di pelosok-pelosok desa yang secara geografis jauh dari sentuhan kemajuan peradaban modern, kriteria kelulusan yang terus meningkat dari tahun ke tahun bisa jadi akan menjadi beban tersendiri. Selain minimnya dukungan sarana, prasarana, dan fasilitas, sekolah-sekolah pinggiran pada umumnya menghadapi masalah rendahnya tingkat kecerdasan input, sikap permisif, dan masa bodoh orang tua terhadap pendidikan atau minimnya tenaga pengajar yang andal dan profesional. Ini artinya, sekolah-sekolah pinggiran akan menghadapi masalah baru akibat banyaknya siswa yang diperkirakan tidak bisa lulus.

Yang lebih memprihatinkan, ternyata UN dinilai kurang sahih; tidak mampu memotret kompetensi siswa yang sesungguhnya. Masih ingat, siswa “berprestasi cemerlang” yang akhirnya gagal menempuh UN? Ya, secara psikologis anak bernasib “malang” ini jelas akan dihinggapi sikap inferior dan rendah diri secara berlebihan akibat stigma “bebal dan bodoh” yang diberikan oleh orang-orang di sekitarnya. Dampak psikologis semacam ini, disadari atau tidak, memiliki daya “pembunuh” yang luar biasa terhadap motivasi anak dalam mewujudkan masa depan yang lebih baik. Mereka akan menjadi pribadi-pribadi yang terbelah (split personality), menjadi anak-anak yang terampas masa depannya akibat vonis “bebal dan bodoh” yang mereka terima.

diskusi-kelompok.jpg

dikusi-2.jpg

UN juga menjadi beban bagi guru-guru yang mengajar di kelas akhir, khususnya pengampu mata pelajaran yang diujikan secara nasional. Tidak sedikit yang stres dan selalu dihinggapi kecemasan karena khawatir mata pelajaran yang diampunya menjadi “kambing hitam” dan biang penyebab ketidaklulusan siswa. Bagi guru kelas akhir, saat-saat menjelang pelaksanaan UN adalah situasi yang menegangkan dan mendebarkan sehingga harus memeras otak dan menempuh berbagai cara untuk menyiapkan siswa didiknya dalam menghadapi UN; entah melalui les, drill soal-soal, atau pemadatan materi. Belum lagi menghadapi tuntutan dan tekanan dari atasan yang “mewajibkan” mereka untuk menjadi “dewa penyelamat” citra dan marwah sekolah.

Siapa pun setuju, mutu pendidikan di negeri ini harus ditingkatkan. Sudah saatnya bangsa ini memiliki generasi-generasi masa depan yang andal dan mumpuni sehingga mampu berkiprah dan proaktif dalam menghadapi tantangan zaman di tengah-tengah peradaban global, tidak hanya sekadar jadi penonton. Namun, terlalu naif jika mutu pendidikan semata-mata diukur berdasarkan tinggi rendahnya batas kelulusan siswa.

Penentuan kriteria kelulusan rata-rata minimal 5,25 untuk seluruh mata pelajaran yang diujikan dengan tidak ada nilai di bawah 4,25, pada hemat saya, justru memiliki kelemahan yang cukup mendasar, yaitu tidak diakuinya perbedaan kemampuan siswa secara individual. Bahkan, bisa dibilang telah mengebiri perbedaan individual anak yang seharusnya ditumbuhkembangkan secara optimal di bangku sekolah sesuai dengan talenta mereka masing-masing. Selama tiga tahun memburu ilmu di bangku sekolah, anak-anak negeri ini seperti menunggu “lonceng kematian” lewat UN.

Secara alamiah dan kodrati, anak-anak pada hakikatnya memiliki perbedaan kemampuan. Anak yang menonjol di bidang kesenian, misalnya, belum tentu berkemampuan yang sama di bidang eksakta. Anak yang menonjol di bidang ilmu-ilmu sosial, bisa saja lemah penguasaannya terhadap ilmu-ilmu alam. Demikian pula anak-anak yang memiliki talenta di bidang olahraga, bisa jadi mereka memiliki kelemahan dalam menguasai bidang yang lain.

Namun, dengan kriteria kelulusan semacam itu muncul kesan kemampuan anak-anak negeri ini hendak diseragamkan. Mereka harus memiliki standar kemampuan yang sama. Agar bisa lulus, mereka harus mendapatkan nilai minimal 4,25 atau 4,00 dengan catatan mata pelajaran yang lain minimal harus 6,00. Akibat peraturan tersebut, bisa saja terjadi seorang peserta UN –sebut saja si A– yang mendapatkan nilai rata-rata 7,50 terganjal kelulusannya karena ada salah satu mata pelajaran yang nilainya di bawah 4,00. Sebaliknya, siswa yang mendapatkan nilai rata-rata 5,25 –sebut saja si B– karena secara kebetulan nilai setiap mata pelajaran 5,25 bisa meraih predikat lulus, memperoleh ijazah, dan berhak melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.

Kalau mau jujur, si A jelas lebih bermutu karena hanya memiliki kelemahan pada salah satu mata ujian dibandingkan dengan si B yang memiliki kemampuan pas-pasan yang merata di semua mata ujian. Pertanyaannya sekarang, generasi masa depan macam apakah yang diinginkan negeri ini. Generasi semacam si A yang berkemampuan menonjol di bidang tertentu atau generasi semacam si B yang berkemampuan pas-pasan secara merata di berbagai bidang? Jika generasi semacam si B yang dibutuhkan, lantas untuk apa program penjurusan di SMA/MA/SMK atau fakultas di perguruan tinggi? Sia-sia saja program “spesialisasi” itu diterapkan jika pada kenyataannya perbedaan kemampuan anak secara individual dikebiri dan tidak diapresiasi.

Jika generasi semacam si B yang lebih dibutuhkan, maka harus ada pemikiran ulang dalam menetapkan kriteria kelulusan siswa. Patokan yang digunakan bukan batas nilai minimal mata pelajaran, melainkan batas nilai minimal rata-rata untuk semua mata pelajaran yang diujikan, misalnya dengan mematok nilai rata-rata akhir 5,75. Dengan cara demikian, kelemahan siswa pada mata pelajaran tertentu bisa tertutup oleh keunggulan siswa pada mata pelajaran yang lain.

Sebelum makin banyak korban yang berjatuhan, alangkah bijaksananya apabila ada “kemauan politik” pemerintah untuk mengkaji ulang kriteria kelulusan sebagaimana yang tertuang dalam Permendiknas Nomor 34 Tahun 2007. Langkah ini akan lebih banyak manfaatnya daripada membiarkan jutaan anak bangsa di negeri ini terampas masa depannya. Kriteria kelulusan dengan menggunakan nilai rata-rata akhir, pada hemat saya, lebih masuk akal dan memanusiakan peserta didik secara utuh. Kemampuan individual siswa diakui dan dihargai, sehingga anak-anak yang memiliki kemampuan di bidang tertentu tidak menjadi “kelinci percobaan” yang sia-sia akibat kebijakan yang belum teruji benar kesahihannya.

Yang perlu dipikirkan, harus ada penegakan hukum secara jelas dan tegas untuk mengantisipasi munculnya kecurangan dan manipulasi nilai yang dilakukan oleh oknum-oknum tertentu. Pengawasan dan koreksi UN harus benar-benar dilakukan secara ketat, fair, jujur, adil, dan transparan. Mereka yang diduga terlibat dalam praktik kecurangan dan manipulasi nilai harus ditindak tegas, tanpa pandang bulu. Jika penegakan hukum dilakukan secara konsisten, bukan mustahil negeri ini akan memiliki sistem pelaksanaan UN yang benar-benar objektif dan akuntabel.

Yang tidak kalah penting, hargailah guru –yang kebetulan mendapatkan tugas sebagai pengawas– atau siapa pun yang ingin membongkar kecurangan-kecurangan tentang pelaksanaan UN. Jangan sampai kasus yang menimpa Kelompok Air Mata Guru dalam Ujian Nasional di Medan beberapa waktu yang lalu kembali terulang. Mereka justru harus mendapatkan perlindungan hukum karena telah membantu menegakkan nilai-nilai kebenaran dan kejujuran, bukannya diintimidasi dan ditakut-takuti. Kriteria kelulusan meningkat bukan berarti harus bersikap permisif dengan membiarkan berbagai ulah kecurangan berlangsung di depan mata, bukan? Nah, bagaimana? ***

——————————–

Catatan:

Teman-teman guru yang membutuhkan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) UN SMP dan Jadwal UN Tahun 2007/2008 bisa mengunduhnya di sini.

AddThis Social Bookmark Button

No Comments

  1. menurut saya, bolehlah UN dipakai sebagai second opinion, tapi jangan mutlak sebagai penentu kelulusan. biarlah kelulusan di tangan sekolah, dan biarlah publik yang menilai output sekolah yang bersangkutan. UN dipakai untuk evaluasi tentang ketidakmerataan kualitas pendidikan dan dipakai menentukan strategi depdiknas untuk menyamakan kualitas pendidikan secara nasional. maap, usulan ra mutu dari seseorang yang awam tentang pendidikan.

    (nyunggi klenthing isi susu
    ora penting tur ora mutu)

  2. Suara ini agaknya mencoba mendobrak sisi gelap dari dunia pendidikan. bahwa ternyata masih ada banyak celah-celah pendidikan yang sangat potensial membawa problem. Alih-alih pemerintah mencoba mengeliminir, tapi justru memberikan beban pada insan pendiikan: guru-murid-orangtua dan tentu saja maysarakat.

    jadi gimana usulannya pak… untuk mengakkan supremasi hukum terkait dengan masalah kecurangan dalam ujian.

    Memang sih pragmatis pak, saat sekolahnya banyak murid tidak lulus, menjadikan nilai sekolah itu sendiri ambruk. malu kan pak… nah pragmatisme ini siapa dong yang membuka peluang… pemerintahahkah, murid-muridkah atau para gurunya….???

  3. Di-satu sisi memang UN ada nilai positif-nya juga lho Pak Guru. Sebagai ajang pen-seleksi-an anak bangsa yang di-harap-kan mampu ber-saing di era global. Meskipun di-satu sisi pada proses pelaksanaan-nya, ke-tidak merata-an proses pendidikan dan fasilitas yang bermutu dan sama di-semua tempat, men-jadi-kan UN ini jelas-jelas tidak bisa di-jadi-kan tolok ukur yang akurat.
    Jadi kalau menurut aku, mungkin akan lebih baik jika UN ini tetap di-ada-kan tapi di-kelompok-kan ber-dasar-kan satu atau dua bidang saja yang di-kuasai oleh tiap siswa-siswi. 😉

  4. @ Dee:
    Walah, di podium satu, pakai rengeng-rengeng parikan segala.
    Di podium 2 dah mulai serius nih. Ya, ya, memang sudah banyak yang mengusulkan agar UN bukan sebagai penentu kelulusan, melainkan hanya sebagai alat standarisasi pendidikan sehingga akan terlihat mutu pendidikan di berbagai daerah yang hingga saat ini belum merata. Sekolah yang bermutu rendah itulah justru yang perlu dibantu sehingga mampu meningkatkan mutu.
    Di podium 3, rengeng2 lagi pakai parikan? Walah!

    * Tuku tape nyang pasar kliwon
    Mas Nude hetrix senenge guyon * 😆
    OK, salam.

    @ kurtubi:
    Itulah persoalan ruwet yang masih menghinggapi dunia pendidikan kita Mas Kurt. UN bukan lagi sebagai alat untuk meningkatkan mutu pendidikan, melainkan justru menjadi tujuan, sehingga cenderung menghalalkan segala cara. Lebih berorientasi pada hasil ketimbang proses. Menurut saya *halah sok tahu nih* kalau prosesnya bagus, hasilnya pun akan bagus. Sejak awal UN harus disepakati sebagai alat, bukan sebagai tujuan. OK, salam.

    @ extremusmilitis:
    Ya, ya, ada yang bilang bahwa UN memang masih diperlukan, Bung Militis. Dalam UU no. 20/2003 pun sudah ditegaskan bahwa yang berhak menilai siswa itu selain guru, juga sekolah dan pemerintah. Ini artinya, pemerintah pun berhak untuk menilai kompetensi siswa melalui UN. Namun, terus terang saja dengan adanya penambahan mapel UN, beban belajar siswa jadi bertambah. Lha wong 3 mapel aja, masih banyak yang belum bisa lulus 100% kok, :mrgreen: apalagi ini ditambah mapel lain. Yak, mudah2an saja para siswa didik benar2 dalam kondisi siap untuk menghadapinya. OK, salam.

  5. Saya kok nggak percaya ya Ujian-ujian semacam itu bisa meningkatkan kemampuan seorang anak. 12 tahun sekolah + 5 tahun kuliah, saya tidak pernah merasakan ‘manfaat’ dari ujian, karena belajarnya juga merasa terpaksa, tidak dari hati yang paling dalam, bukan karena saya ingin belajar…:)

  6. Wah masalah ujian negara ini sepertinya masalah yg kompleks ya? Masalahnya ya itu standard pendidikannya tidak merata tetapi ujiannya dituntut standard yg merata, ya jelas itu bukan suatu keadilan.
    Namun untuk membuat standard daerah sendiri2 tentu juga bukan hal yang terlalu mencerahkan, karena mungkin nanti pada akhirnya juga terjadi pengkotak2an prestasi di perguruan tinggi atau di lapangan kerja nanti, di mana sekolah dengan lulusan2 dari daerah2 tertentu dianggap tidak ‘bermutu’ yang pada akhirnya melahirkan problematika tersendiri juga.
    Nah, itu baru satu contoh saja, sebenarnya banyak juga problematika2 lainnya seperti mata pelajaran yang diujikan, bobot UN pada kelulusan sendiri, dsb. Wah pokoknya bikin pusing deh.
    Nah, ini mungkin tantangan ke depan buat para ahli pendidikan dan juga para praktisi pendidik untuk mengatasi problematika2 spt ini. **halaaah** 😀

  7. Mas, biasa-biasa sajalah menghadapi UN! Aku termasuk guru yang masih percaya dengan pemerintah. Beliau-beliau itu pasti sudah punya pemikiran yang luar biasa untuk mengemas UN ini. Yang perlu dilakukan adalah menyiapkan anak didik kita agar menjadi luar biasa. UN hanya satu pintu kesuksesan. Masih banyak pintu-pintu lain yang harus dipersiapkan. Buat teman-teman guru, sekadar menggerutu ga akan bisa bikin kita maju. Teruslah membimbing anak-anak didik kita untuk menghadapi pintu-pintu tersebut. Termasuk pintu UN. Soal lonceng kematian, asal jangan dipukul atau digoyang bandulnya saja. Aman!

    Tabik!

  8. @ Donny Reza :
    Walah, agaknya UN ndak ada manfaatnya buat Mas Reza, yak! hehehehe 😀 Apa mugkin karena Mas Reza sudah nggak sreg sama UN-nya. Jadi belajar pun terpaksa, hehehe 😆

    @ GRaK :
    Yak, masukan bagus nih Mas GRaK! Mungkin itu sangat diperlukan agar tidak terus terjadi pro dan kontra.

    @ Yari NK:
    Tepat sekali, Bung Yari! UN hanya merupakan satu permasalahan yang kompeks yang dihadapi oleh dunia pendidikan. Tapi, Bung, UN sebagai salah satu permasalahan dunia pendidikan sebaiknya melibatkan banyak pihak, karena pendidikan kan juga merupakan tanggung jawab bersama.

    @ Hanna:
    *Halah* Pura-pura nggak tahu nih, Mbak Hanna. Tapi, nggak apa-apa kok Mbak nitip komen dulu, hehehehe 😀

    @ caplang™:
    Rupanya Bung Caplang lagi sibuk nih sehingga belum sempat baca postingan ini, hehehe 😀 Absennya dah saya cheklist loh, Bung 😆

    @ zulfaisalputera:
    Tapi sikap kritis dari para praktisi pendidikan yang juga terlibat dalam pelaksanaan UN juga penting, pak, agar pemerintah juga mendapatkan masukan agar pelaksanaan UN pada tahun2 berikutnya menjadi lebih baik.

  9. Kalau kebijakan pemerintah terus begini, sepertinya yang diinginkan pemerintah adalah orang-orang yang memiliki keahlian merata di segala bidang. Kalau mengambil contoh A dan B dari tulisan di atas, itu berarti… B. Namun, nilainya tinggi-tinggi. Padahal, orang seperti itu nantinya hanya akan jadi buruh 🙁 …

  10. Supremasi hukum belum juga tegak untuk mengusut kecurangan tahun lalu, kini sudah menambah bakal masalah lagi! cepek deh!

    dalam tulisan saya UN 2008 sudah dihadang masalah sudah saya sampaikan bahwa UN harus ditolak karena madharatnya lebih banyak daripada manfaatnya.

    yang paling menakutkan perliaku budaya mainstream yang menghalalkan kecurangan benar-benar massif berskala besar. Parahnya lagi, yang melakukannya adalah institusi pendidikan.

  11. Disini serba salah ya pak .. nilai minimal direndahkan, ntar hasilnya ga bermutu. Nilai minimal dinaikkan, ntar banyak ga lulus.

    Sebenarnya .. bangsa kita ini perlu apa sih pak? Kualitas apa kuantitas??

  12. @ suandana:
    Betul sekali Pak Adit. Kayaknya pemerintah kita belum juga tergerak untuk menciptakan generasi masa depan nontukang. Waduh, repot juga, ya, Pak?

    @ gempur:
    Ya, supremasi hukum belum bisa ditegakkan karena konon manipulasi dan kecurangan UN ditengarai melibatkan para pejabat teras di institusi pendidikan. Bener apa nggak? Wallahu a’lam.

    @ erander :
    Waduh siap2 kembang untuk ziarah, Pak? Walah, kayaknya memang masih banyak persoalan UN yang harus dibenahi, pak, agar anak2 nggak “terbunuh” masa depannya, hehehehe 😀
    Persoalan kuantitas dan kualitas memang masih sering menimbulkan pro dan kontra, Pak. Wajib belajar 9 tahun, misalnya, selama ini lebih ditargetkan untuk mengejar kuantitas. Persoalan kualitas menjadi urusan nomor sekian. *Halah* kalau kita ingin punya SDM *sok tahu nih* yang andal, idealnya kualitas harus lebih diutamakan. Kriteria kelulusan, misalnya, cenderung menyeragamkan kompetensi anak, padahal setiap anak punya kelebihan dan kekurangan masing2. *Maaf kok jadi kebanyakan nih*

  13. Selamat sore Pak! Melihat betapa pentingnya ujian UN bagi pemerintah ( bukan masyarakat ) kadang saya tertawa geli.Program ini adalah pekerjaan yang membuang-buang waktu saja.
    Program ini boleh dikatakan semacam alat pembunuh bagi anak-anak didik yang cerdas dan kreatif. Logikanya sederhana, jika Bapak seorang guru Bahasa Indonesia belum tentu Bapak pintar melukis atau yang lainnya.Jika ujian UN tentu nilai paling tinggi Bapak ya Bahasa Indonesia,mungkin yang lain pas-pasan atau bahkan ada yang dibawah 40 ( berarti Bapak gak lulus ).
    Jika Bapak Bambang ( Mendikbud ) kita yang terhormat diberi soal matematika smu,jangan-jangan beliau gak gitu fasih juga ( syukur2 kalau bisa ), loh menteri masa gak paham matematika. he..he..he…terima kasih Pak.

  14. Pak Gimana kalau kita jadikan lonceng kemenangan? Guru bisa memperlihatkan dan mempertanggungjawabkan tugas profesinya. Masa sih diuji saja kerja profesionalnya ngeluh. Ah, jangan ah. Kalau guru yang mengisikan jawaban UN, baru guru babi namanya.

    UN sikapi secara jantan. Kalau capaiannya, misal, 20% secara nasional, ya obyektiflah. Lalu? lalunya itu yang penting.

    Misal, kita berjuang memaksa pemerintah agar nmelengkapi sarana dan prasarana, meningkatkan kesejahteraan guru secara ril, jangan pakai jalan berliku ala sertifikasi segal macam. Pokoknya pendidikan yang betullah. Soal carut maut endidikan, menurut saya, karena kita ngak jujur dengan kondisi obektif, maunya … sekses melulu … sampai-sampai menghalalkan segala cara agar 90% lebih lulus.

    Kalau Un tahun-tahun lau kan hebat? SSecara nasional di atas 90%. Artinya, dengan gaji minim, sarana dan prasarana jauh dari standar, hasilnya saja bagus begitu. Itu pertanda guru hebat-hebat. Entah kalau ngak jujur.

    Jadi, bagaimana kalau kita dendangakan sebagai lagu merdu, bulu perindu.

    Bagaimana menurut Sampeyan?

  15. buat mas ersis wa kayaknya anda kurang jeli deh meneropong ke lapangan.
    jujur….. kayaknya kata itu nggak layak lagi disampaikan dalam dunia pendidikan…..
    bagaimana mau jujur, sementera kepala sekolah pada saat UN menginstruksikan anak-anak harus dibantu, bahkan itu juga instruksi dari Kepala dinas daerah yang bersangkutan (katanya untuk mendongkrak persentase kelulusan daerah), sebagai guru tentunya mau tak mau harus dijalankan. kalau mas mengatakan guru yang seperti itu adalah guru BABI, berarti lebih dari 90 % guru di INdonesia ini adalah guru babi, sebab saya yakin hanya sebagian kecil dari sekolah di Indonesia ini yang tidak mempraktekkan hal seperti itu, kita tidak bisa sepenuhnya menyalahkan guru atau lembaga pendidikan. lantas siapa yang salah…………

  16. @ mulut:
    Mangga silakan, Mas Mulut, makasih, yak!

    @ imcw :
    Ya, ya, Pak, hehehehe 😀 Konon ada juga yang menyebutnya negeri penuh ironi, Pak, hehehehe :mrgreen: UN pun ironis. Sudah ada KTSP, tapi UN tetep digelar, ironis, kan, Pak!

    @ Yung Mau Lim:
    Selamat sore juga Mas Lim. Walah, itulah , Mas, kenyataan yang sedang berlangsung di negeri kita. UN dari tahun ke tahun terus dikoreksi dan dikritik, tapi agaknya pemerintah punya kebijakan lain. Yak, termasuk kriteria kelulusan. Agaknya potensi anak masih dikebiri, 😆

    @ Ersis WA :
    Walah, siapa pun akan siap menerima kenyataan kalau memang hasil UN tak seperti yang diharapkan, asalkan dilakukan secara fair dan jujur. Lantas, yang tidak siap itu siapa, Pak? Pemerintah kali ya? Oleh karena itu, agaknya juga berbagai kecurangan pun terus berlanjut dari tahun ke tahun. Repot juga, ya, Pak.

    @ INFOKERJA:
    Yak, makasih infonya.

    @ paktulloh:
    Walah, kepala sekolah melakukan hal itu juga karena mungkin tekanan dari atasan. Serba repot nih Paktulloh. Guru yang mau jujur, dengan mengungkapkan berbagai penyimpangan yang terjadi justru malah tidak dihargai. Masih ingat Kelompok Air mata Guru di Medan setahun yang silam kan, Pak? Mudah2an saja kejujuran di negeri ini masih ada harganya, yak!

  17. weks.. judulnya menyakitkan sekali tetapi mau tidak mau harus diterima sebagai suatu keharusan bahkan kewajiban
    *ga diterima ga lulus pasti*

    makin lama kita makin terbiasa menghitung manusia dalam angka, kita makin akrab dengan angka sampai kadang tidak mempunyai perasaan kemanusiaan sedikitpun, adalah hal naif jika demi angka2 maka kejujuran bahkan kemanusian disingkirkan, demi angka-angka terbaik semua hal disingkirkan tanpa perlu memikirkan bahwa diangka2 itu masa depan anak, orang tua bahkan bangsa ini dipertaruhkan.
    sayah percaya setiap Guru menginginkan yang terbaik bagi anak didiknya, sejahat apapun seorang guru yang berinteraksi setiap hari dengan muridnya mengingankan yang terbaik bagi muridnya, dan hal itu luput dari mata pembuat kebijakan yang lebih mementingkan tercapainya angka-angka yang memuaskan sehingga nama dan gengsi bangsa ini dapat dinaikkan secara mudah.

  18. Maaf … kalau kata-kata saya keras, saya sungguh tidak suka hal demikian. Di agama saya (Islam) itu dilarang. Berbuat curang, apalagi dalam mendidik, akibatnya berkepanjangan. Coba, kalau semasa sekolah ‘diajarkan’ cuang, kalau jadi pejabat, ya curang, curang.

    Persetan dengan Kepala Dinas, atau kepala apa. Saya yakin banyak guru baik. Yang kita perlukan membangkitkan keberanian guru … lawan ketidakjujuran. Mari rapatkan barisan.

    (Kutipan dari paktullah) … jujur….. kayaknya kata itu nggak layak lagi disampaikan dalam dunia pendidikan…… Bagaimana mau jujur, sementera kepala sekolah pada saat UN menginstruksikan anak-anak harus dibantu, bahkan itu juga instruksi dari Kepala dinas daerah yang bersangkutan (katanya untuk mendongkrak persentase kelulusan daerah), sebagai guru tentunya mau tak mau harus dijalankan …

    Jangan mau lagi diinstruksikan … Kita mulai era baru, jujur dan kejujuran dalam pendidikan … Jangan mau lagi guru dijadikan pecundang. Guru adalah gairah fundamental bangsa; dari guru kita belajar dan memasifkan jujur dan kejujuran …

    Selamat wahai para guru, profesi yang saya idaman, dan … saya jalani dengan resiko …

    Saya mohon maaf, kalau kata-kata terlalu keras. Sekali lagi, maaf.

  19. @ almascatie:
    Walah, ya itu, Mas Almas kalau sukses UN hanya dihitung sebatas angka2. UN sukses apabila tingkat kelulusan mencapai angka fantastis 80% ke atas. Tapi, persoalan prosesnya bagaimana? Nah, itu yang sering luput dari perhatian. Akhirnya, kecurangan mengalahkan kejujuran demi menangkat marwah bangsa. Repot juga jadinya nih, Mas. Yang pasti,menurut saya nih, UN hanya sekadar alat untuk mengetahui kompetensi siswa setelah sekian tahun belajar, bukan sebagai tujuan. Kayaknya sekarang ini malah sebaliknya. UN malah jadi tujuan. :mrgreen:

    @ Ersis:
    Terima kasih banget Pak Ersis, malah repot2 harus bikin klarifikasi dan permohonan maaf. Beda pendapat di forum ini sudah menjadi hal yang wajar, Pak. Justru di situlah letak dinamika dunia pendidikan kita. Meminjam istilah Wimar Witoelar, kalau diseragamnkan itu kita tak jauh beda dengan kaum Nazi, hehehehe 😆

    Untuk @ Paktulloh, terima kasih juga telah berkenan untuk ikut nimbrung dalam forum ini. Paling tidak, kita bisa sharing dan diskusi untuk ikut memikirkan dunia pendidikan kita yang memang masih membutuhkan partisipasi semua komponen bangsa untuk meningkatkan mutu demi masa depan anak-anak bangsa. Terima kasih untuk semuanya.

  20. @ landy:
    Wah, salut nih, masih ada juga generasi muda yang kepingin jadi guru. Tapi, kenapa mesti pusing, Mas? Ya, kita mesti menerima dengan lapang dada kalau memang kondisi dunia pendidikan kita *halah sok tahu nih* baru sebatas itu :mrgreen:

    @ SirArthurMoerz:
    Selamat menempuh ujian, Mas Moer, yak! Ikuti semua kegiatan dengan *halah sok nasihatin 😆 * baik, nggak usah banyak protes, yak, hehehehe 😀 Nanti malah bikin repot. Semoga sukses dengan hasil yang memuaskan tentunya.

  21. Secara alamiah dan kodrati, anak-anak pada hakikatnya memiliki perbedaan kemampuan. Anak yang menonjol di bidang kesenian, misalnya, belum tentu berkemampuan yang sama di bidang eksakta. Anak yang menonjol di bidang ilmu-ilmu sosial, bisa saja lemah penguasaannya terhadap ilmu-ilmu alam. Demikian pula anak-anak yang memiliki talenta di bidang olahraga, bisa jadi mereka memiliki kelemahan dalam menguasai bidang yang lain.

    sepakat dengan pak sawali,
    tapi menurut saya, masalah UN ini, nggak fair kalau nasib siswa yang telah belajar tiga tahun hanya ditentukan dalam waktu beberapa hari dengan UN. bukankah yang tahu kemampuan siswa adalah sang guru itu sendiri? so, kenapa yang menguji kelayakan siswanya PEMERINTAH dalam hal ini melalui UN kenapa nggak guru saja?
    seperti kasus yang pak guru sebutkhan di atas, mantan adek kelas saya yang mengikuti ujian kemaren, nggak lulus ujian. padahal dia anak teladan disekolah, sekaligus sebagai ketua osisnya.
    akhirnya dia nggak mau mengulang lagi. MALU dan shock..

  22. Kalau menurut saya pribadi, saya rasa ibu/bapak guru yang lebih tahu kondisi sebenarnya di lapangan. Mereka yang menghadapi siswa secara langsung, mengajar, mendengarkan keluhan mereka, memonitor perkembangan mereka. Ibu/baapak pengambil kebijakan pendidikan mungkin orang yang secara akademis pandai, mereka menyusun konsep yang di atas kertas hebat. Namun kita berbicara tentang manusia, dan kondisi lapangan bisa berbeda. Saya rasa saran dari pengajar-pengajar harus didengarkan oleh pengambil kebijakan.
    Sebuah hal yang sangat masuk akal bila :

    Namun, bagi sekolah-sekolah pinggiran di pelosok-pelosok desa yang secara geografis jauh dari sentuhan kemajuan peradaban modern, kriteria kelulusan yang terus meningkat dari tahun ke tahun bisa jadi akan menjadi beban tersendiri. Selain minimnya dukungan sarana, prasarana, dan fasilitas, sekolah-sekolah pinggiran pada umumnya menghadapi masalah rendahnya tingkat kecerdasan input, sikap permisif, dan masa bodoh orang tua terhadap pendidikan atau minimnya tenaga pengajar yang andal dan profesional. Ini artinya, sekolah-sekolah pinggiran akan menghadapi masalah baru akibat banyaknya siswa yang diperkirakan tidak bisa lulus.

  23. Saya jadi teringat, beberapa tahun yang lalu kala masih sekolah :
    menghadapi Ujian Nasional, benar-benar masa yang mendebarkan
    setiap hari, berdebar-debar nda’ karuan
    dan banyak sekali rasanya yang harus dipelajari mulai dari materi kelas 1 sampai kelas 3.
    Barangkali memang perlu, metode yang lain ya paman, agar sesuai dengan siswa yang akan lulus,
    apa istilahnya??
    metode yang bisa merepresentasikan kemampuan siswa,
    ah semoga bukan sok tau, saya kali ini
    -salam-

  24. @ abee:
    Ya, kesannya memang kurang adil, Mas Abee. Itulah yang disorot banyak pihak. UN dinilai kurang sahih sehingga tidak bisa membedakan mana siswa yang cerdas dan mana siswa yang kurang. Celakanya lagi, siswa yang cerdas justru tak jarang menjadi korban.

    @ sigid:
    Betul, Pak Sigit. Sayangnya, dalam peraturan per-UU-an (UU Sisdiknas No. 20/2003), yang berhak menilai siswa bukan semata-mata guru, melainkan juga oleh pemerintah.

    @ goop:
    Yak, Mas Goop. Kadang2 siswa belajar semalam suntuk atau wayangan ketika menghadapi ujian. Belajar model ini sangat tidak efektif karena otak kita memiliki kapasitas yang terbatas. Idealnya *halah saya yang sok tahu nih* belajar mesti bertahap seperti orang naik tangga, hehehehe 😀

  25. mau tak mau kita harus mengakui kenyataan bahwa ‘sejarah’ pendidikan di negeri ini masih muda. merdeka saja kita baru 62 tahun lalu. dan tak heran jika sampai kini pemerintah masih terus mencoba2 sistem pendidikan yang cocok di indonesia.
    *sigh*
    tapi saya setuju sama pendapat bapak jika sebaiknya kriteria kelulusan itu hanya rata-rata saja. jika memaksakan mematok nilai minimum masing2 mata kuliah, seperti yang bapak jelaskan, ditakutkan akan ada kejadian ‘salah meluluskan siswa’..
    😀
    *mantan calon korban UN..
    alhamdulillah akhirnya bisa lulus dan kuliah..
    😀

  26. @ morissupersaiya™:
    Yak, betul Mas Moris. Dunia pendidikan kita memang masih mencari-cari format pendidikan yang ideal dalam konteks Indonesia. Salah satu di antaranya adalah perubahan kurikulum. Oleh karena itu, perlu banyak masukan, bahkan kritik, dari berbagai kalangan agar dunia pendidikan kita bisa berkembang secara dinamis dan mengakomodasi pendapat dari semua pihak.
    Untuk UN, kalau nilai menimal yang jadi persyaratan, *halah* potensi siswa jadi kurang dihargai.
    *Walah, pernah jadi korban UN juga rupanya. Punya pengalaman menarik nih*

  27. baru mantan calon korban, pak.
    untung saya ini tipikal siswa rajin belajar, baik hati, dan rajin membantu orangtua.. he..
    karena mati2an belajar utk UAN, alhadulillah saya lulus dengan nilai sangat memuaskan. he..
    😀

  28. @ Imam Mawardi:
    Sepakat, pak Mawardi. UN nggal perlu ditakuti. Tapi pelaksanaannya juga perlu diperbaiki. Hindarka kecurangan, apalagi kalau sampai gurunya mengajari cara menyontek! Walah, bisa ancur dah dunia pendidikan :mrgreen:

    @ morissupersaiya™:
    Mantan calon korban? Oh, jadi belum, kan? Syukurlah Mas Moris bisa melewatinya dengan mulus, bahkan sah bisa kuliah. OK, selamat, Mas Moris.

  29. iya pak gimana nih . saya juga cuma bisa menjalani aja.
    bayangkan pak saya sekarang jam sekolahnya ditambah …. pulang jadi jam 4 sore . hueueheue…..

    abis itu udah deh capek dan tertidur di kasur .itu belum ditambah lagi ada tugas2 sekolah , ulangan2 . pokoke sangat berat sekali saya mempersiapkan UN .

    UN kok malah membebani …?

  30. @ bachtiar:
    Nggak usah mengeluh. Jalani semua kegiatan *halah sok nasihatin* dengan senang, ceria, dan nyaman. Jangan jadikan UN sebagai beban, yak, mudah2an lancar dan sukses buat Mas Bach, OK?

  31. @ kangguru:
    Walah, ya itu Kangguru. Agaknya hasil lebih diutamakan ketimbang proses. Akibatnya berdampak buruk bagi masa depan anak2. Mereka nggak siap *halah sok tahu* menghadapi tantangan karena sudah terbiasa meraih sukses secara instan. :mrgreen:

  32. Ujian Nasional Sebagai Penjamin Mutu

    Saya sangat setuju dan mendukung dilaksanakan ujian bagi setiap pelajar yang akan mengakhiri studinya. Ujian dapat dijadikan standar dan indikator untuk mengukur mutu sebuah lembaga pendidikan. Akhir-akhir ini muncul fenomena penolakkan dilaksanakan ujian nasional. Yang lebih parah lagi adalah ada pihak-pihak memprovokasi siswa agar demo menolaknya. Mereka yang menolak mengambil alasan paling tidak adalah sebagai berikut:

    1.Standar ujian nasional belum mecerminkan kondisi masing-masing daerah sehingga di beberapa daerah banyak pelajar jadi korban.
    2.Kebocoran soal masih sangat tinggi.
    3.Ketidakjujuran para guru, pengawas dan bahkan sistem di sekolah secara keseluruhan.
    4.Para murid terjebak pada jalan pintas sehingga terpaksa harus mengikuti bimbel.
    5.Mempertanyakan fungsi ujian nasional secar mendasar. Untuk apa nilai ujian nasional?
    6.Ujian nasional bertentangan dengan UU Sisdiknas
    7.Ujian nasional tidak sejalan dengan prinsip kurikulum modern yang menganut penilaian berbasis kelas (classroom based assesment)
    Saya setuju bukan karena saya ini pegawai pemerintah. Saya hanya pengabdi pendidikan yang tidak pegawai pemerintah. Landasan kesetujuan saya adalah sebagai berikut:
    1.Melalui evaluasi yang dilaksanakan oleh negara secara terencana dengan baik, jujur dan standartnya teruji akan didapatkan data mutu anak didik, mutu guru, dan mutu penyelenggara sekolah secara nasional. Dari data ini akan dijadikan bahan tindakkan peningkatan mutu pendidikan secara nasional. Dari sini kita mempertanyakan apakah setelah diselenggarakan ujian nasional langsung ada tindakkan perbaikan mutu pendidikan?
    2.Ujian nasional tidak harus dikaitkan dengan kelulusan anak didik dari pembelajaran di sekolah tetapi untuk bahan evaluasi daya serap dan sekaligus bahan pertimbangan untuk melanjutkan pada jenjang berikutnya. Kelulusan anak didik diserahkan di masing-masing penyelenggara pendidikan dengan stnadart yang telah ditetapkan oleh pemerintah.
    3.Pemerintah harus mendengar keluhan masyarakat, keluhan para orang tua terhadap kecurangan dalam pelaksanaan ujian nasional. Beri sanksi tegas para pelanggar tersebut. Seperti apa sanksinya, yaaa menurutku seperti para wasit saat di lapangan menghadapi para pemain sepak bola yang cenderung nakal, melukai lawan dan kadang-kadang menipu. Pemerintah harus menyiapkan keberanian untuk mengeluarkan kartu kuning hingga kartu merah.
    4.Peserta ujian yang nyontek, mengerjakan bersama temen-temennya, ada jawaban yang telah disediakan oleh gurunya, jawaban di tulis di kamar kecil dan sekian banyak bentuk kecurangan lainnya yang dilakukan oleh para siswa maka sangat diperlukan penegakkan disiplin. Peneggakan disiplin ini untuk mengetahui secara benar mutu pendidikan. Nahhhh, saat ini atas dasar kejadian kecurangan di lapangan maka hasil ujian nasional hanya tipuan belaka. Maka tujuan diselenggarakan ujian nasional menjadi gagal total. Ada banyak pilihan untuk menghindari nyontek dan pola curang peserta ujian, ada yang ingin menyampaikan pandangannya?
    5.Pemerintah saat memberlakukan ujian nasional harus dibarengi dengan pembenahan pendidikan secara menyeluruh. Semisal pemerintah harus menyikapi perkembangan bimbingan belajar yang ada saat ini. Pemerintah harus menangani kantor-kantor dinas pendidikan yang hanya main proyek dan tidak bersentuhan dengan peningkatan mutu pendidikan. Bahkan banyak pejabat diknas pendidikan yang tidak melayani masyarakat tetapi ingin dilayani. Apalagi kondisi guru yang tidak optimal dalam menjalan tugas KBM-nya.
    6.Buka akses pendidikan untuk semua kalangan masyarakat secara luas, mudah, memadai dan transparan. Sediakan bahan-bahan ajar bagi warga miskin secara mudah agar dapat belajar dengan baik sehingga dapat menjalankan ujian nasional secar maksimal. Melalui ujian nasional berarti membuka kesempatan semua kalangan masyarakat untuk mendapatkan layanan pendidikan berstandart baik. Tidak hanya pendidikan yang asal-asalan saja. Tidak sekeder hanya mutu pendidikan berstandar sekolah.
    Jika suatu saat pemerintah mengalah dan menghapus ujian nasional karena atas desakkan pihak-pihak yang tidak setuju dengan ujian nasional maka pendidikan kita akan semakin morat-marit. Pendidikan secara intern sekolah tidak ada perkembangan untuk tumbuh kembang menjadi lebih baik. Persaingan semakin kecil. Dan tentu akan dapat dilihat generasi yang malas belajar dan malas bekerja keras.

  33. @ Imam Mawardi:
    Makasih banget Pak Mawardi. Saya sudah membaca di postingan Bapak. Saya setuju, Pak, asalkan UN bener2 sahih sehingga mampu memotret kompetensi siswa yang sesungguhnya. Ini bisa terwujud jika segala macam bentuk kecurangan bisa dihindari.

  34. Berikut ini adalah petikan dari beberapa penelitian di berbagai belahan dunia tentang ujian nasional yang terstandar. Penelitian-penelitian ini dimuat dalam Journal of Research in Science Teaching dan Journal of Science Teacher Education.

    1. Tamir (1998): situation that compete with tests are bound to fail.
    2. Dalziel (1998): Researches bear out that decisions that made about students futures on the basis of percentage and even fractioned percentage grades are likely unwarranted.
    3. Black (1995). External public examinations do not deserve support since they are based on faulty assumptions. The implicit public assumption about external assessment is that they are more thrustworthy than those of then classroom teacher. Black warns that great damage to education can follow from action based on such assumptions.
    4. Linn (2001) argue the public administered examination has tended to be surrounded by controversy.
    5. Rothstein (1998), Horace Mann US, secretary to the Massachusetts Board of Education in the 1845 Mann administered first written public examination to Boston brightest 14 year old public school students to encourage the higher degree of standardization and quantitatively scored, Mann have reasoned that if schools were publicly demonstrated to be deficient in examination scores, this would imply incompetence on the part of teachers and headmasters.
    (ujian ini akhirnya dhapuskan karena diprotes oleh dewan guru di Massachusetts). It is of doubtful utility to use the test scores of individual students to rate schools and teachers.

    Kalau di berbagai belahan dunia Ujian Nasional sudah diprotes sejak lebih dulu-dulu, sebetulnya Indonesia ikutan siapa ya?

  35. saya juga seorang guru, baru sih! saya fikir sekolah pasti punya trik tertentu bagemana caranya biar semua anak didik bapak lolos dari “lonceng kematian”. kalo bpk tidak percaya kalo saya seorang guru, liat aja d blog saya. bpk akan tau saya guru apa? yang notabene pelajaran yang saya ajarkan juga ikut di UAN kan. fiuh….

  36. maaf pak,saya sbner nya seorang murid dari salah satu sma swasta di jakarta timur,saya cuma lg bimbang aja nunggu pengumuman hasil UN….
    kalo boleh tau cara liat dari website di mana yah pak ?

    mohon bantuan nya pak…

Tinggalkan Balasan ke erander Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *