“Langit Makin Mendung”: Cerpen Multiwajah yang Kontroversial

Pernah membaca cerpen “Langit Makin Mendung” (LMM) karya Kipandjikusmin? Bagaimana kesan Sampeyan? Benci, geram, atau justru diam-diam mengaguminya? Ya, cerpen itulah yang pernah membikin “heboh” jagad sastra Indonesia karena dinilai telah melanggar batas kepantasan sebagai sebuah teks cerpen yang ingin mengungkap persoalan-persoalan religi. Cerpen yang pernah dimuat di majalah Sastra No. 8 (edisi Agustus) tahun 1968 itu telah mengundang reaksi umat Islam. Ratusan eksemplar majalah Sastra di berbagai toko, agen dan pengecer di kota Medan disita oleh Pihak Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara. Kantor majalah Sastra diberangus dan dicoreti dindingnya dengan berbagai hujatan dan hinaan. Redaktur majalah Sastra, H.B. Jassin harus berurusan dengan pihak yang berwajib, bahkan divonis satu tahun penjara dengan masa percobaan dua tahun karena dianggap melakukan penodaan agama (pasal 156a KUHP).

39 tahun sudah “heboh sastra” itu berlangsung. Namun, LMM dan Kipandjikusmin tetap saja menjadi sebuah fenomena dalam dinamika sejarah sastra Indonesia.

Tulisan ini saya angkat sebagai topik tanpa memiliki tendensi apa-apa. Apalagi, bermaksud mengungkit-ungkit “luka lama” tentang polemik antara kubu yang pro dan kontra terhadap keberadaan LMM. Toh sejarah sastra Indonesia juga telah mencatatnya dalam “dokumen hitam” sebagai wujud “konflik” yang (nyaris) tak pernah berujung antara kebenaran “imajinasi” dalam teks sastra dan kebenaran objektif dalam realitas kehidupan. Saya juga tak bermaksud mengaitkannya dengan “heboh nabi baru” dalam isu mutakhir Indonesia saat ini yang juga disinggung-singgung dalam LMM. Anggap saja tulisan ini sebagai nostalgia “tragik” yang menimpa seorang penulis berbakat –Kipandjikusmin– yang akhirnya harus terdepak dari “singgasana” sastra Indonesia akibat “menghamba” pada liarnya imajinasi dan ke-“kenes”-annya dalam mengangkat persoalan-persoalan religi yang peka dan rentan konflik.

pleidoi-sastra1.jpg

Tak banyak yang tahu siapa sesungguhnya Kipandjikusmin itu. Ada yang menduga –melihat kegigihan H.B. Jassin dalam membela LMM dan Kipandjikusmin di pengadilan– Kipandjikusmin adalah pseudonim H.B. Jassin sendiri. Namun, dugaan itu keliru setelah majalah Ekpress pimpinan Goenawan Mohammad (1970) berhasil mewawancarainya. Kepada Usamah –redaktur pelaksana Ekspress— penulis misterius itu mengaku bahwa nama aslinya adalah Soedihartono yang menempuh pendidikan di Akademi Pelayaran Nasional. Selama 6 tahun menjalani wajib dinas di Jakarta. Hanya itu. Dua tahun sebelumnya, melalui harian Kami (22 Oktober 1968), Kipandjikusmin juga pernah menyatakan bahwa dia tidak bermaksud menghina agama Islam. Tujuan sebenarnya adalah semata-mata hasrat pribadinya untuk mengadakan komunikasi langsung dengan Tuhan, Nabi Muhammad S.A.W, sorga, dll. selain menertawakan kebodohan di masa rezim Soekarno.

LMM bertutur tentang Nabi Muhammad yang turun kembali ke bumi. Muhammad diizinkan turun oleh Tuhan setelah memberi argumen bahwa hal itu merupakan keperluan mendesak untuk mencari sebab kenapa akhir-akhir ini umatnya lebih banyak yang dijebloskan ke neraka. Upacara pelepasan pun diadakan di sebuah lapangan terbang. Nabi Adam yang dianggap sebagai pinisepuh swargaloka didapuk memberi pidato pelepasan. Dengan menunggangi buroq dan didampingi Jibril, meluncurlah Muhammad. Di angkasa biru, mereka berpapasan dengan pesawat sputnik Rusia yang sedang berpatroli. Tabrakan pun tak terhindar. Sputnik hancur lebur tak keruan. Sedangkan, Muhammad dan Jibril terpelanting ke segumpal awan yang empuk. Tak disangka, awan empuk itu berada di langit-langit. Untuk menghindari kemungkinan tak terduga, Muhammad dan Jibril menyamar sebagai elang. Dalam penyamaran itulah, Muhammad berkeliling dan mengawasi tingkah polah manusia dengan bertengger di puncak Monas (yang dalam cerpen itu disebut “puncak menara emas bikinan pabrik Jepang”) dan juga di atas lokalisasi pelacuran di daerah Senen.

Lewat dialog antara Muhammad dan Jibril maupun lewat fragmen-fragmen yang berdiri sendiri, Kipandjikusmin memotret wajah bopeng tanah air masa itu: negeri yang meski 90 persen Muslim, tetapi justru segala macam perilaku lacur, nista, maksiat, dan kejahatan tumbuh subur. Lewat cerpen ini, Kipandjikusmin menyindir elite politik dengan cara culas. Soekarno disebutnya sebagai “nabi palsu yang hampir mati”. Soebandrio yang saat itu menjabat Menteri Luar Negeri disindirnya sebagai “Durno” sekaligus “Togog”.

Cerpen diakhiri dengan sebuah sindiran halus tapi pedas; sebuah sindiran yang persis menancap di ulu hati kepribadian manusia negeri ini. Begini bunyinya: “Rakyat rata-rata memang pemaaf serta baik hati. Kebohongan dan kesalahan pemimpin selalu disambut dengan lapang dada. Hati mereka bagai mentari, betapapun langit makin mendung, sinarnya tetap ingin menyentuh bumi.”

Sebuah cerpen yang sungguh-sungguh “liar” imajinasi, bukan? Dalam penafsiran awam saya, LMM bisa dibilang sebagai sebuah cerpen multiwajah. Ada banyak dimensi yang ingin dihadirkan di sana. Politik, ekonomi, agama, sosial, budaya, bahkan juga militer, tampak benar bagaikan mozaik yang saling bertempelan; membangun sebuah desain cerpen yang liar, menegangkan, sekaligus menghanyutkan. Lewat gaya bertuturnya yang kenes, satire, dan sarat kritik, LMM mampu membombardir imajinasi pembaca dan hanyut dalam emosi purba; “gemas”, bahkan mungkin juga geram.

Paragraf pembukanya saja sudah cukup mampu membangkitkan “aura fanatisme” keagamaan bagi pembaca yang terbiasa membaca teks-teks sastra konvensional. Simak saja beberapa penuturannya berikut ini!

LAMA-LAMA mereka bosan juga dengan status pensiunan nabi di surgaloka. Petisi dibikin, mohon (dan bukan menuntut) agar pensiunan-pensiunan diberi cuti bergilir turba ke bumi, yang konon makin ramai saja.

“Refreshing sangat perlu. Kebahagiaan berlebihan justru siksaan bagi manusia yang biasa berjuang. Kami bukan malaikat atau burung perkutut. Bibir-bibir kami sudah pegal-pegal kejang memuji kebesaranMu; beratus tahun tanpa henti.”

Membaca petisi para nabi, Tuhan terpaksa menggeleng-gelengkan kepala, tak habis pikir pada ketidakpuasan di benak manusia…. Dipanggillah penanda-tangan pertama: Muhammad dari Medinah, Arabia. Orang bumi biasa memanggilnya Muhammad saw…

(Tuhan dipersonifikasikan dengan gaya bertuturnya yang kenes: “menggeleng-gelengkan kepala …”)

Acara bebas dimulai. Dengan tulang-tulangnya yang tua Presiden menari lenso bersama gadis-gadis daerah Menteng Spesial diundang.

Patih-patih dan menteri-menterinya tak mau kalah gaya. Tinggal hulubalang-hulubalang cemas melihat Panglima Tertinggi bertingkah seperti anak kecil urung disunat.

(Kritik terhadap rezim Orde Lama yang suka bernafsi-nafsi dan memanjakan nafsu hedonis, tak peduli terhadap nasib rakyat yang dijerat kemiskinan dan kelaparan).

Di bawah-bawah gerbong, beberapa sundal tua mengerang –lagi palang merah– kena raja singa. Kemaluannya penuh borok, lalat-lalat pesta mengisap nanah. Senja terkapar menurun, diganti malam bertebar bintang di sela-sela awan. Pemuda tanggung masuk kamar mandi berpagar sebatas dada, cuci lendir. Menyusul perempuan gemuk penuh panu di punggung, kencing dan cebok. Sekilas bau jengkol mengambang. Ketiak berkeringat amoniak, masih main akrobat di ranjang reot.

(Satire bagi kalangan wong cilik yang suka mengumbar nafsu birahi, tanpa memikirkan risiko penyakit kelamin).

Di depan toko buku ‘Remaja’ suasana meriak kemelut, ada copet tertangkap basah. Tukang-tukang becak memimpin orang banyak menghajarnya ramai-ramai. Si copet jatuh bangun minta ampun meski hati geli menertawakan kebodohannya sendiri: hari naas, ia keliru jambret dompet kosong milik kopral sedang preman kosong milik Kopral setengah preman. Hari naas selalu berarti tinju-tinju, tendangan sepatu dan cacian tak menyenangkan baginya. Tapi itu rutin–. Polisi-polisi Senen tak acuh melihat tontonan sehari-hari: orang mengeroyok orang sebagai kesenangan. Mendadak sesosok baju hijau muncul, menyelak di tengah. Si copet diseret keluar dibawa entah ke mana.

(Suasana main hakim sendiri sebagai potret ketidakpercayaan rakyat terhadap supremasi hukum).

Masih banyak ungkapan dan idiom menarik dalam LMM yang terkesan vulgar, tetapi juga subtil; mampu membawa imajinasi pembaca pada suasana “tragis” yang berlangsung ketika negeri ini dipimpin oleh Panglima Besar Revolusi (PBR) Soekarno. Perilaku para elite penguasa yang dinilai korup dan culas tak luput dari bidikan Kipandjikusmin lewat gaya ucapnya yang khas; lugas dan apa adanya.

Cerpen LMM selengkapnya, silakan baca di sini atau di sini.

Terlepas dari kontroversi yang telah memancing emosi “fanatisme” umat Islam, LMM secara literer bisa dibilang sebagai teks sastra yang kaya ide. Penuturan-penuturannya lugas dan tidak terjebak pada narasi yang melingkar-lingkar. Sesuatu yang abstrak bisa dikonkretkan lewat diksi yang bernas dan jernih. Sayang, “talenta” Kipandjikusmin telah terbunuh sebelum benar-benar mampu bertahta dalam singgasana sastra Indonesia. Kekayaan ide, imajinasinya yang liar dan mencengangkan, bisa jadi akan mampu menahbiskan Kipandjikusmin sebagai sastrawan “papan atas” seandainya tidak sembrono dan gegabah dalam mempersonifikasikan Tuhan, Muhammad, atau Jibril. Nah, bagaimana? ***

AddThis Social Bookmark Button

No Comments

  1. Kok saya koment di blog Pak Sawali yang satunya error ya… ?

    Btw, benar-benar cerpen yang “hebat”. Pantas saja cerpen tsb dilarang di jaman-nya.

    Selain menyindir agama (Islam), juga sangat menyindir masalah politik negeri kita jaman orde lama.

    Dari cerpen itu saya sedikit bisa membandingkan apa-apa ang tertulis di sejarah Indonesia dengan kenyataan sebenarnya yang terjadi (cukup kontras…) 😀

  2. waduh, belon bisa komen apa-apa ini Pak Guru, ini soal-nya komplikasi abis ini, menyikut sana-sini, jadi kudu hati-hati. dan kaya-nya masih harus baca cerpen-nya dulu, baru bisa ngeh…maap ya Pak Guru 🙂

  3. Saya sudah baca LMM itu tiga tahun lalu.. Dan saya salut dengan Jassin yg rela di penjara demi menjunjung kode etik jurnalisme. Bener2 Paus Susastra Indonesia..
    Eh, Tukang kebun sastra indonesia, kalo menurut Asrul Sani.

  4. @ caplang™:
    *Halah* Baca cerpennya nggak Bung Caplang? Hehehehe 😀 Baru bisa bilang mantap! OK.

    @ mathematicse:
    Hebat dalam tanda kutip! Wah, itu artinya Pak Jupri memiliki penafsiran khusus nih tentang LMM. Yak, agaknya memang LMM memotret berbagai peristiwa yang berlangsung pada ORLA itu, Pak Jupri. OK.

    @ extremusmilitia:
    OK, nggap apa-apa Bung Militis. Cerpennya kan bisa dibaca kapan saja! OK.

    @ qzink666:
    Wah, Bung qzink pengagum Nietzhe yang bilang bahwa “Tuhan itu telah mati”, rupanya. Salut, nih! Almarhum H.B. Jassin memang pantas dikagumi dalam menjaga konsistensi sikapnya yang membela LMM sebagai bentuk tanggung jawabnya sebagai seorang redaktur majalah Sastra yang telah memuat LMM meski ia harus dijebloskan ke penjara. OK.

  5. Saya tak memahami benar, karena kala itu masih muda. Namun dari pengalaman selama ini, membuat tulisan harus hati-hati, walaupun kebebasan menulis perlu, seringnya jika tulisan dikaitkan dengan Nabi, akan banyak yang tersinggung bila tulisannya di luar hal-hal yang umum.

    Jadi penulis harus tetap bertanggung jawab atas isi tulisannya. Jadi menulis di blog pun tetap harus hati-hati, karena bisa dibaca oleh siapapun.

  6. *setelah baca cerpennya*

    Wah, ternyata bagus gitu pak, sebuah cerpen yang membuta kita kontemplasi.

    Dan penutupnya :

    Namun rakyat tidak heran atau marah. Seakan sudah jamak seorang presiden harus bohong dan buka mulut seenaknya. Rakyat Indonesia rata-rata memang pemaaf dan baik hati. Kebohongan dan kesalahan pemimpin selalu disambut dengan dada lapang.

    sepertinya menjelaskan kenapa indonesia tidak maju maju sampe sekarang ini.

  7. Wah, kalimat-kalimatnya dasyat bangat yach. Sayang cuma bisa baca potongan-potonganya saja. Begitulah nasib sastrawan bila tidak berhati-hati dengan kata nabi bisa-bisa mendatangkan bencana. Padahal saya pernah mendengar bahwa nabi MUHAMMAD sendiri ketika ia dihina,dicacimaki Ia malah mengucapkan kata Alhamdullilah. Walah, maaf nih kalo salah. Tapi, itu yang saya dengar lho. Waduh, kita kudu berhati-hati nih dalam menulis meski cuma di blog. Salah-salah bisa ditimpuk.

  8. Ya, cerpen itulah yang pernah membikin “heboh” jagad sastra Indonesia karena dinilai telah melanggar batas kepantasan sebagai sebuah teks cerpen yang ingin mengungkap persoalan-persoalan religi.

    Patokan batas kepantasan seperti apa ya dan siapakah yang menetapkan batas tsb?
    Jika yang menetapkan batasan masih dari kalangan sastrawan sich OK…manut kalau memang dianggap tidak pantas.
    Tapi…
    Jika yang menetapkan dan men-judge akan masalah batas kepantasan itu mereka2 yang dari kalangan non sastrawan atau (maaf) dari kalangan orang awam (seperti saya yang tidak tahu sama sekali ttg sastra) maka menurut saya hal tsb urang tepat.
    Kenapa?
    Karena menurut saya banyak sekali dari bahasa yang dipakai dari sastra adalah bahasa yang menuntut keterbukaan dan kesabaran mengingat gaya bahasa yang tidak bisa secara semena-mena kita tangkap secara textual alias yang tersurat saja… kita harus terbuka dan sabar untuk berusaha menyelami dan mencari makna2 tersirat dari sesuatu yang tersurat itu

    *************
    BTW bukunya sepertinya menarik. Saya suka dengan gaya2 bahasa seperti itu …

    Eh maaf kalau komentar saya tidak tepat. Sudah panjang…tidak jelas pula 😀

  9. *setelah membaca sekilas cerpen (sementara baru saya baca sekilas tapi sudah saya bookmark Pak)*

    MANTAPZX!!!!
    Asyik cerpen-nya.
    Ada satu yang secara spontan membuat saya agak tertawa, yaitu bagian yang ini:

    “Ganyang!!!” Berjuta suara menyahut serempak.

    Serius … kalimat tsb bagi saya menyiratkan sesuatu yang “lucu” ketika saya kaitkan dengan kehidupan nyata (sejak dulu kala sampai sekarang) …

    Silakan ditafsirkan masing2 kira2 apa yang saya maksud dengan “lucu” itu …
    *halah*

  10. “Bukan, mereka justru rakyat negara kapir terbesar di bumi. Pengikut Marx dan Lenin yang ingkar Tuhan. Tapi pandai-pandai otaknya.”

    Sangat mencerahkan!, membuat semangat serasa terbakar, bener-bener membuka imajinasi

  11. @ edratna:
    setuju banget, Bu *maaf kalau salah sapa, hehehe 😀 * Tulisan merupakan ekspresi perasaan dan pikiran sang penulis. Perlu ada komitmen dan tanggung jawab moral penulisnya untuk menyampaikan kebenaran. Tidak asal *halah* sensasional. OK, salam.

    @ danalingga:
    Betul sekali Mas Dana. Agaknya sikap permisif rakyat terhadap pemimpin yang korup dan culas itulah yang membikin negeri ini setback, nggak maju-maju. Dari sisi literer, LMM cukup bagus *halah sok tahu nih* Sayangnya, masih banyak di antara kita yang belum bisa menerima kehadiran teks2 sastra semacam itu. OK, salam.

    @ Hanna:
    Pendapat Mbak Hanna tidak salah, kok. Muhammad merupakan figur *hala kayak ustadz aja nih* uswatun hasanah, pribadi yang layak, bahkan harus diteladani. Contohnya ya seperti yang disampaikan Mbak hanna itu. Bahasa dalam LMM memang “dahsyat”, Mbak. Tahun ’68 udah ada penulis yang berpikiran “liar” semacam itu ternyata. OK, salam.

    @ deking:
    Waduh, batas kepantasan untuk menentukan LMM dibilang sebagai karya menyesatkan agaknya lebih banyak yang di luar sastrawan, Pak Deking. Hukum pun agaknya juga telah ikut mengambil peran hingga akhirnya HB Jassin harus mendekam di balik jeruji besi. Itulah yang telah terjadi, Pak, meski tidak sedikit juga kalangan sastrawan yang membelanya habis2an.
    “Ganyang!”
    Kok lucu sih, Pak, 😆
    *Baru mikir untuk menafsirkannya*
    OK, salam.

    @ peyek:
    Ya, ya, ya, harus menjadi pemicu bagi umat beragama agar kepandaiannya melebihi orang2 yang dianggap kafir. Ngaten nggih, Mas?
    OK, salam.

    @ mbelgedez:
    Oh, begitu, ya, Mas Mbel. Kira2 saat dan tempat yang tepat itu kapan dan di mana, yak? Seandainya cerpen LMM lahir zaman sakini, kira2 kehadirannya bisa diterima nggak, yak? 😆
    *Soory Mas Mbel, balik nanya nih*
    OK, salam.

  12. “Ganyang!”
    Kok lucu sih, Pak, 😆
    *Baru mikir untuk menafsirkannya*

    Bukan kata ganyang-nya yang lucu kok Pak, melainkan reaksi umat tsb-lah yang terasa “lucu”
    Sepertinya memang sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan kita kalau banyak pihak yang sering secara spontan manut sama “pemimpin” tanpa menelaah dulu.
    Telah menjadi bagian kehidupan kita juga reaksi2 spontan penuh amarah dan kebencian seperti itu …

  13. Maaf nyambung lagi Pak … masih ingin tanduk “makanannya”. Habis enak sich Pak …

    Menyambung pendapat Mbak Hanna:

    Waduh, kita kudu berhati-hati nih dalam menulis meski cuma di blog. Salah-salah bisa ditimpuk.

    Hehehehe setuju sekali Mbak
    Tidak salah jika ada kalimat yang mengatakan bahwa “lidah bisa lebih tajam dari pedang”
    Tapi …
    Saya lebih senang menggunakan istilah saya pribadi, yaitu bahasa=bahaya

    Walau kita sudah berusaha mengeluarkan pendapat yang menurut kita bertanggung jawab, tetapi terlalu banyak kepala dengan bisa menyikapi pendapat kita secara beragam… apalagi kalau tulisan sudah tidak dihargai/disikapi secara obyektif, tetapi lebih menyorot pada subyek penulisnya… miris pokoknya

  14. Wah, sebenarnya saya kurang faham nih masalah sudut pandangnya dilihat dari sudut pandang para sastrawan. Sebenarnya hal-hal kontroversial seperti di atas itu sebagai suatu karya sastra “yang tinggi” atau sesuatu yang “murahan” atau dengan perkataan lain hanya ingin “cepat laku” dan “terkenal” karena menghadirkan sesuatu yang kontroversial. Yah, maklumlah di negeri ini kontroversi yang menyangkut masalah agama cepat mendapat “tanggapan” dan cepat “menyebar”.

    Ini mungkin dapat dianalogikan dengan hasil karya sastra yang berbau “ranjang” dan “seks” **haalaah**, di mana bagi sebagian orang hal tersebut dianggap sebagai berseni sedangkan di banyak fihak pula dikatakan sebagai “barang picisan”.

    Nah, sekarang seperti masalah kontroversi di atas, sebenarnya karya tersebut memang benar2 unik atau hanya ingin mencari sensasi saja ya? Wah, masih bingung aku! :mrgreen:

  15. Bahasa sastra memang bisa multi tafsir. Karena di balik keindahannya, seringkali terselip pesan2 yang tak semua pembaca memahaminya…

    BTW, apa ada istilah Sastra Islam, Sastra Kristen, Sastra Hindu, dst nya gitu ya pak ?

    Soale sang penulis kan mendapat ilham penulisan dari keilmuan Islam, apa dia termasuk Sastrawan Muslim ?
    Setuju sih, untuk masalah Sastranya dinilai oleh Sastrawan, dan untuk masalah Nilai2 agama dinilai oleh agamawan. Atau jadilah Sastra nan agamawan … 😀

  16. @ deKing:
    Oh, begitu toh, pak Deking. Ya, sikap latah dan ikut2an, :mrgreen: Sikap2 purba semacam itulah yang seringkali justru menjadi sumber konflik. Bertindak tapi nggak tahu apa2.
    Tentang tulisan di media, termasuk blog, saya juga sependapat dengan Pak deking dan Mbak Hanna. Kita mesti hati2. Wong sudah hati2 aja kadang2 masih kesleo, juga, hehehehe 😆 OK.

    @ Yari NK:
    Hahaha 😆 Masalah kreativitas imajinasi sastrawan memang seringkali berbenturan dengan masalah agama. Bener yang dikatakan Bung Yari. Karya2 semacam itu akan mendapatkan reaksi masyarakat secara cepat dan luas karena inheren dengan masalah keyakinan. Mudah2an saja ada solusi terbaik agar sastrawan tidak terbelenggu kreativitasnya, sementara itu masyarakat sebagai apresiator juga bisa bersikap lebih arif dalam menilai teks sastra. Mungkin demikian, ya, Bung Yari. OK.

    @ Herianto:
    “jadilah Sastra nan agamawan”. Wah, kalau itu bisa dipadukan akan lebih bagus, Pak Heri. Sastra dan agama bisa saling mendukung sehingga tidak terjadi kontroversi yang bisa memancing reaksi masyarakat dalam menyikapi teks2 sastra yang muncul ke permukaan. K.

  17. hmm…saia salud sangadh lho pak, orang-orang dulu yang dibawah tekanan dan cengkraman femerintah berani dan mamfu membuad sebuah karya yang sungguh luar biasa sangadh. sekarang ini malah kbanyakan buku yang beredar ya cuma teenlit-teenlit doank..hiks….
    kemana ya pak, ferginya fenulis-fenulis kritis itu? afa emang uda fada uzur yak…tafi ko fenggantinya dikid sangadh……*geleng-geleng kefala*

  18. Langit makin mendung,
    Sebentar lagi hujan
    Menetes-netes, membasahi.

    Mungkin novel itu seperti bait diatas karena masih belum baca, diartikan beragam basahnya, ada yang bersyukur karena sawahnya tidak kekeringan, dan padi disawah menjanjikan kehijauan. Basah yang sama diartikan kerugian, karena beras yang sudah dipanen tidak bisa digiling akibat kurang dijemur :mrgreen:

    -Basah yang sama diartikan berbeda oleh sesama petani-

    Ah tapi bisa juga

    Langit makin mendung,
    Tapi angin datang
    Dan cumulus pergi.

    Mungkin bla…bla…bla silakan diartikan sendiri 😀

    *coba-coba klik link ke cerpen, ko ga bisa ya paman??*

  19. kadang pada saat makin terjepit keberanian manusia menjadi lebih berguna dari pada saat damai.. mempertahankan keberanian untuk terus bersikap kritis pada saat damai bagaikan menanam bunga di padang pasir
    :mrgreen:

  20. Lihat yang di atas (almas) …
    Salute dengan kata2nya :

    mempertahankan keberanian untuk terus bersikap kritis pada saat damai bagaikan menanam bunga di padang pasir

    Belajar dimana ya Almas… 😆
    Mungkin2 jam terbangnya di proyek2 IT telah membijakkan pemahamannya sedemikian … 😀
    Atau mungkinkah kehidupan nya sudah mulai normal ? :mrgreen:

  21. @ hoek:
    Betul sekali Mas Hoek. Teks2 sastra yang bagus justru seringkali lahir dalam suasana represif dan tertekan. Karya2 Pramudya Ananta Toer, misalnya, sebagian besar justru lahir ketika dia berada di penjara. Mengenai kurangnya generasi penulis yang mampu melahirkan teks2 sastra yang kritis, saya kira hanya soal waktu saja. Ada pemeo yag menyatakan bahwa pengarang itu dibesarkan karena zamannya. OK, salam.

    @ goop:
    Hehehehehe 😆 Ini cerpen lho Mas Goop, bukan novel. LMM bisa jadi menggambarkan suasana Indonesia pada masa Orde Lama yang makin lama makin “sakit” akibat kebijakan penguasa yang korup di mata pengarang (Kipandjikusmin). Yak, cerpen ini boleh dibilang sebagai cermin dan refleksi dari situasi Indonesia pada masa ORLA itu, terlepas dari keberadaannya yang memancing reaksi umat Islam. OK, salam.

    @ almascatie:
    Pernyataan Mas Almas bagus sekali tuh, kayak kaum eksistensialis di mana keberanian muncul justru ketika manusia menghadapai suasana represif dan tertekan. *salut3x* Jika bersikap kritis dalam suasana damai justru seperti orang menanam bunga di padang pasir. Nggak mungkin bisa tumbuh, kan? Bersikap kritis di masa damai mungkin kurang berdampak kali, yeeeaahhh! OK, salam.

    @ Herianto:
    Betul Pak Heri. Kali aja Mas Almas sedang mendalami filsafat, sehingga pernyataannya makin bernas dan bermakna, hehehehe 😀 *Hanya menduga-duga* OK, salam.

    @ kurtubi:
    Emang Mas Kurt selama ini di mana dan mau pulang ke mana? Hehehehe 😆 Silakan istirahat dulu, Mas Kurt. OK, salam.

  22. Ah iya, maaf paman terlalu bersemangat sampai saya terlewat menjadi novel 😀
    dan bagaimana dengan link-nya?? saya mencoba tapi koq tidak sampai ya 🙄
    eh udah bisa ko…
    -Terima kasih-

  23. Seiring berjalannya waktu, tabu di masa lalu, lumrah di masa sekarang.. bukan begitu, pak?! Tapi, memang sastra adalah senjata paling mutakhir ketika semua jalan sudah buntu, teringat bukunya Seno Gumira Aji Dharma “Ketika Jurnalisme dibungkam, sastra harus bicara”..

    sastra tetaplah karya sastra yang tak perlu pertanggungjawaban secara ilmiah dan perlu diseminarkan layaknya skripsi, atau digugat ke pengadilan seperti jurnalisme ketika melakukan kesalahan penyampaian atau dituding menyebar berita bohong..

    sastra hanya akan berurusan dengan publik ketika dia sudah melukai perasaan publik, tapi publiknya juga perlu dipertanyakan.. bukan begitu, bapak?!

    Nuwun sewu!

  24. @ gempur:
    Saya sependapat dengan Pak Gempur. Realitas dalam teks sastra tidak sama dengan realitas objektif dalam kehidupan sehari-hari-hari. Sayangnya, masyarakat kita seringkali masih bertindak secara berlebihan ketika menyikapi teks sastra yang bersinggungan dengan masalah agama. Yang paling mutakhir adalah “teror” yang dialami oleh Syaiful Badar ketika meluncurkan puisi “Malaikat” di harian Pikiran Rakyat, Bandung. Ke depan mudah2an masyarakat kita makian apresiatif terhadap teks sastra sehingga tak gampang membredel dan menghakimi teks sastra sebagai pencerah peradaban. OK, makasih, pak Gempur, salam.

  25. Waaah saya, baru denger nih Pak ada cerpen yang membuat bulu kuduk berdiri… Tapi kenapa ya pak, HB Jassin sampe dipenjara apakah gara2 tidak memberitahu nama samaran Ki Panjikusmin. Kalau Pak Sastra eh Pak Sawali, tahukah siapa tokoh penulis ini dan apakah masih banyak karya2 lainnya… biasanya cerpen yang kontroversi seeprti ini menarik sekali.. sama menariknya dengan The Satanic Verses .. tapi bedanya, di sini malah di bredel yaa ..

    ohya, kok cerpennya gak bisa di buka sih pak…
    heheh.. aku pulang maksudnya pulang ke rumah sebab sedang di jalanan ngenetnya. 🙂

  26. @ Kurt:
    *Maaf nih Mas Kurt, konek internet lagi trouble. Jadi telat nih memebalas komennya. 😆
    Vonis terhadap HB Jassin selama 1 tahun penjara bukan hanya karena merahasiakan Kipandjikusmin, melainkan lebih disebabkan oleh kegigihannya dalam membela LMM yang telah dimuatnya di majalah Sastra yang dia pimpin. Cerpen itu dinilai telah menghina agama Islam dan HB Jasinlah yang dengan ksatria dan berani menanggung risikonya. Hingga kini Kipanjikusmin masih menjadi sosok yang misterius. Hanya sedikit yang bisa terungkap identitasnya. Baca lagi di postingan ini, hehehehe 😀 Selebihnya hanya beberapa cerpen :”dahsyat”-nya yang bisa dibaca, seperti “Hujan Mulai Rintik”, “Domba Kain”, atau “Bintang Maut”. Itu yang saya tahu Mas Kurt. Mungkin ada teman-teman lain yang tahu lebih detil tentang siapa Kipandjikusmin yang sesungguhnya, saya akan sangat berterima kasih jika berkenan menginformasikannya.
    Cerpennya nggak bisa dibuka? Kayaknya lancar2 aja tuh. Tapi sudah kusediakan link lagi di sebelahnya. Kalau Mas Kurt mau baca cerpennya, mangga diklik saja.
    OK, makasih, salam.

  27. Assalamualaikum pak,baru baca penggalan di postingan bapak aja saya sudah berdecak kagum pada LMM Ki pandjikusmin gimana baca keseluruhan cerpen yang menghebohkan itu ya pak. Jadi waswas juga nih buat tulisan gak bisa asal tulis ih ngeri ah…(ngebayangin jeruji penjara) apalagi menyangkut agama.Tapi memang tulisannya penuh imajinasi yang luar biasa pak itu belum baca semuanya yah.sip deh pak,kalau gak salah kita pernah bahas ini waktu kopdar kan pak di Peninsula katanya pak Sawali mau posting tentang cerpen yang heboh di tahun 1968 wah saya belum lahir tuh hehehe.Wassalam.

  28. @ fira:
    Wa’alaikum salam, Mbak Fira. Ya,ya,ya, cerpen itu pernah jadi bahan obrolan. Emang secara literer bisa dibilang dahsyat banget, Mbak. Imajinasinya liar. Sayangnya, bersinggungan dengan masalah agama yang masih termasuk persoalan sensitif bagi masyarakat kita. Tapi jangan lantas berarti kita jadi serba ngeri dan takut untuk menulis, hehehe 😀 Asalkan tak terkait dengan masalah SARa, saya kira penulis siapa pun kok akan tetap nyaman, Mbak. OK, salam.

  29. yang g suka cerpen itu mah otakya belum sampai kepada dimensi 1 alam ketidakberpijakan sajah.

  30. cerpen dari tinta kotoran babi,hanya merekalah yang menyenangi menyembilih dan memakannya yg memeliharanya..sok ngerti sastra,menduga makna abstrak untuk menghakimi,,adalah hak semua juga menghakimi…

  31. novel yang luar biasa, melihat dunia yang sesungguhnya, toh memang begitu kenyataannya…langit memang semakin mendung dan kita tinggal menunggu bom waktu kehancuran:)

Tinggalkan Balasan ke irwansyah Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *