Menyikapi Angka Keramat 4,26

Usai sudah hajat nasional berlabel Ujian Nasional (UN) yang paling menyita perhatian publik pendidikan itu digelar. Hasilnya pun sudah sama-sama kita lihat. Baik, di tingkat SMP/MTs maupun SMA/SMK/MA, terjadi kenaikan persentase kelulusan yang dianggap “luar biasa”. Sampai-sampai Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) yang untuk pertama kalinya menggelar UN merasa bangga dan bertepuk dada atas keberhasilan itu. Persentase kelulusan sebesar 90% lebih dinilai sebagai awal meningkatnya mutu pendidikan nasional.
BSNP boleh bangga dengan kenaikan persentase kelulusan itu. Namun, banyak kalangan menilai, pemerintah keliru jika menerapkan UN menjadi alat ukur bagi kelulusan pelajar SMA/SMK/MA dan SMP. Padahal, seharusnya UN hanya menjadi standar pemetaan kondisi sekolah dan alat evaluasi kualitas pendidikan di Indonesia.

Yang lebih menyedihkan adalah nasib anak-anak yang tergolong “jenius” yang bernasib kurang beruntung. Mereka sudah bersusah-payah berhasil menembus “barikade” ketatnya persaingan memerebutkan kursi perguruan tinggi. Namun, apa boleh buat. Angka “keramat” 4,26 gagal ia raih pada mata pelajaran tertentu yang diujikan secara nasional. Alhasil, anak-anak jenius itu terpaksa harus terampas masa depannya akibat kebijakan yang dinilai kurang menghargai potensi anak-anak bangsa.

Banyak kalangan menilai, UN sangat tidak akomodatif terhadap proses pembelajaran, mutu, dan tingkat kesukaran soal, serta mekanisme penilaian atau scoring. Belum lagi jika menjelang UN terjadi mobilisasi kegiatan berupa penyiasatan soal-soal berkedok bimbingan belajar di luar persekolahan, serta kecurangan selama UN berlangsung. Siswa lebih banyak diasah menyiasati soal melalui bimbingan belajar ketimbang mengoptimalkan pemahaman mendasar terhadap ilmu yang ditransformasikan di sekolah bersangkutan. Padahal, peningkatan mutu pendidikan harus memerhatikan banyak aspek, termasuk tingkat kesukaran soal dan seberapa jauh siswa memahami secara mendasar materi pelajaran yang diujikan. Nilai UN yang diraih siswa juga tidak menjamin bahwa siswa punya kemampuan mendasar dalam memahami prinsip ilmu yang transformasif.

Ini tidak berarti bahwa UN harus ditiadakan. UN tetap dilaksanakan, tetapi bukan lagi sebagai alat ukur kelulusan siswa, melainkan mengembalikannya hanya sebagai alat pemetaan pendidikan dan sekolah bagi kepentingan perbaikan kebijakan dan pembenahan kualitas pendidikan di daerah-daerah yang belum maju.

Yang lebih urgen dipikirkan adalah bagaimana mengemas UN agar tidak menjadi “pembunuh” masa depan anak, tetapi justru bisa menjadi pemicu anak untuk meningkatkan potensi dan aset diri yang dimilikinya. Hal ini penting dipikirkan, sebab UN selama ini dinilai amat mengebiri potensi dan aset diri siswa.

Implikasi Sosial
Disadari atau tidak, UN tahun ini yang mematok angka keramat 4,26, telah membawa implikasi sosial yang cukup kompleks. Pertama, pihak sekolah merasa tidak nyaman karena harus menghadapi serbuan orang tua murid yang anaknya gagal meraih predikat lulus. Para orang tua murid umumnya tidak mau tahu terhadap ketentuan dan Prosedur Operasi Standar (POS) yang ditetapkan BSNP. Yang mereka pahami, si anak harus lulus tepat waktu. Apalagi, mereka telah mengeluarkan sejumlah biaya untuk keperluan si anak selama menimba ilmu di bangku sekolah. Di tengah-tengah situasi ekonomi yang sulit, biaya sekolah yang mahal sering menjadi beban tersendiri bagi orang tua murid yang berpenghasilan pas-pasan. Jika si anak tidak lulus, hasil jerih payah mereka seolah-olah tak ada harganya. Apalagi, sudah ada ketegasan dari Depdiknas bahwa tahun ini tidak akan ada ujian ulang. Untuk meraih predikat lulus, siswa harus mengikuti ujian penyetaraan paket B atau paket C. Namun, kebijakan alternatif ini dinilai hanya merupakan kebijakan “dadakan” untuk mengurangi merembetnya efek sosial yang lebih luas. Substansinya sudah jauh menyimpang, sebab paket B atau C sebenarnya hanya diperuntukkan bagi mereka yang hanya sekadar memburu ijazah, bukan ilmu.

Kedua, pihak sekolah harus menghadapi ledakan jumlah siswa yang tidak lulus sehingga dikhawatirkan akan menghambat kelancaran pendaftaran siswa baru untuk tahun pelajaran berikutnya. Sebagai ilustrasi, jumlah siswa di sebuah SMP yang mengikuti UN pada tahun ini 160 siswa (empat kelas). Dari jumlah tersebut, siswa yang tidak lulus, misalnya 80 siswa (dua kelas). Ini artinya, pada tahun pelajaran berikutnya, sekolah hanya bisa menerima siswa baru dua kelas sesuai dengan daya tampungnya. Lantas, harus belajar ke mana 80 calon siswa baru yang semestinya berhak menikmati bangku SMP tersebut?

Ketiga, secara psikologis anak yang tidak lulus akan dihinggapi sikap inferior dan rendah diri secara berlebihan akibat stigma “bebal dan bodoh” yang diberikan oleh orang-orang di sekitarnya. Dampak psikologis semacam ini, disadari atau tidak, memiliki daya “pembunuh” yang luar biasa terhadap motivasi anak dalam mewujudkan masa depan yang lebih baik. Mereka akan menjadi pribadi-pribadi yang terbelah (split personality), menjadi anak-anak yang terampas masa depannya akibat vonis “bebal dan bodoh” yang mereka terima.

Dalam konteks demikian, tidak berlebihan jika ada yang mengatakan, POS UN yang ditetapkan oleh BSNP telah menciptakan kecemasan yang menghantui stakeholder pendidikan: siswa, orang tua, dan sekolah. Guru-guru kelas III, khususnya pengampu mata pelajaran Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan Matematika yang naskah soal UN-nya dibuat oleh pusat, banyak yang stres dan selalu dihinggapi kecemasan karena khawatir mata pelajaran yang diampunya menjadi “kambing hitam” dan biang penyebab ketidaklulusan siswa.

Bagi guru kelas III, saat-saat menjelang pelaksanaan UN adalah situasi yang menegangkan dan mendebarkan sehingga harus memeras otak dan menempuh berbagai cara untuk menyiapkan siswa didiknya dalam menghadapi UN; entah melalui les, drill soal-soal, atau pemadatan materi. Belum lagi menghadapi tuntutan dan tekanan dari atasan yang “mewajibkan” mereka untuk menjadi “dewa penyelamat” citra dan nama baik sekolah.

Mengebiri Perbedaan
Siapa pun setuju, mutu pendidikan di negeri ini harus ditingkatkan. Sudah saatnya bangsa ini memiliki generasi-generasi masa depan yang andal dan mumpuni sehingga mampu berkiprah dan proaktif dalam menghadapi tantangan zaman di tengah-tengah peradaban global, tidak hanya sekadar jadi penonton. Namun, terlalu naif jika mutu pendidikan semata-mata diukur berdasarkan tinggi rendahnya batas kelulusan siswa.

Penentuan kriteria kelulusan 4,26 untuk setiap mata pelajaran yang diujikan, pada hemat saya, justru memiliki kelemahan yang mendasar, yaitu tidak diakuinya perbedaan kemampuan siswa secara individual, bahkan bisa dibilang telah mengebiri perbedaan individual anak yang seharusnya ditumbuhkembangkan secara optimal di bangku sekolah sesuai dengan talenta mereka masing-masing.

Secara alamiah dan kodrati, anak-anak pada hakikatnya memiliki perbedaan kemampuan. Anak yang menonjol di bidang kesenian misalnya, belum tentu berkemampuan yang sama di bidang eksakta. Anak yang menonjol di bidang ilmu-ilmu sosial, bisa saja lemah penguasaannya terhadap ilmu-ilmu alam. Demikian pula anak-anak yang memiliki talenta di bidang olahraga, bisa jadi mereka memiliki kelemahan dalam menguasai bidang yang lain.

Namun dengan patokan angka keramat 4,26, muncul kesan kemampuan anak-anak hendak diseragamkan. Mereka harus memiliki standar kemampuan yang sama untuk semua bidang ajar yang diujikan. Agar bisa lulus, mereka harus mendapatkan nilai minimal 4,26 untuk setiap mata pelajaran yang diujikan. Akibat keputusan tersebut, bisa saja terjadi seorang peserta UN — sebut saja si A– yang mendapatkan nilai rata-rata 7,50 terganjal kelulusannya karena ada salah satu mata pelajaran yang nilainya di bawah 4,26. Dan faktanya, memang telah banyak anak di tingkat SLTP maupun SLTA yang menjadi korban.

Sebaliknya, siswa yang mendapatkan nilai rata-rata 4,51- sebut saja si B– karena secara kebetulan nilai setiap mata pelajaran dapat melompati angka keramat 4,26, bisa meraih predikat lulus, memperoleh ijazah, dan berhak melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.

Kalau mau jujur, si A jelas lebih bermutu karena hanya memiliki kelemahan pada salah satu mata ujian dibandingkan dengan si B yang memiliki kemampuan pas-pasan yang merata di semua mata ujian. Pertanyaannya sekarang, generasi masa depan macam apakah yang diinginkan negeri ini. Generasi semacam si A yang berkemampuan menonjol di bidang tertentu atau generasi semacam si B yang berkemampuan pas-pasan secara merata di berbagai bidang? Jika generasi semacam si B yang dibutuhkan, lantas untuk apa program penjurusan di SMA/MA/SMK atau fakultas di perguruan tinggi? Sia-sia saja program “spesialisasi” itu diterapkan jika pada kenyataannya perbedaan kemampuan anak secara individual dikebiri dan tidak diapresiasi.

Jika generasi semacam si B yang lebih dibutuhkan, harus ada pemikiran ulang dalam menetapkan kriteria kelulusan siswa pada tahun-tahun mendatang. Patokan yang digunakan bukan batas nilai minimal untuk setiap mata pelajaran, melainkan batas nilai minimal rata-rata untuk semua mata pelajaran yang diujikan, misalnya dengan mematok nilai rata-rata akhir 6,01. Dengan cara demikian, kelemahan siswa pada mata pelajaran tertentu bisa tertutup oleh keunggulan siswa pada mata pelajaran yang lain. Langkah ini akan lebih banyak manfaatnya daripada membiarkan jutaan anak bangsa di negeri ini terampas masa depannya. Kriteria kelulusan dengan menggunakan nilai rata-rata akhir, pada hemat saya, lebih masuk akal dan memanusiakan peserta didik secara utuh. Kemampuan individual siswa diakui dan dihargai, sehingga anak-anak yang memiliki kemampuan di bidang tertentu tidak menjadi “kelinci percobaan” yang sia-sia akibat kebijakan yang belum teruji benar kesahihannya.

Yang perlu dipikirkan, harus ada penegakan hukum secara jelas dan tegas untuk mengantisipasi munculnya kecurangan dan manipulasi nilai yang dilakukan oleh oknum-oknum tertentu. Pengawasan dan koreksi UN harus benar-benar dilakukan secara ketat, fair, jujur, adil, dan transparan. Mereka yang diduga terlibat dalam praktik kecurangan dan manipulasi nilai harus ditindak tegas, tanpa pandang bulu. Jika penegakan hukum dilakukan secara konsisten, bukan mustahil negeri ini akan memiliki sistem pelaksanaan UN yang benar-benar objektif dan akuntabel. ***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *