Paling tidak dalam paro dekade terakhir, muncul fenomena baru dalam jagad kesusastraan Indonesia mutakhir, yakni memburu legitimasi kesastrawanan melalui antologi. Seseorang baru layak disebut sastrawan apabila dari tangannya telah lahir sebuah antologi (baik puisi maupun cerpen). Sebaliknya, mereka yang belum memiliki antologi, meski sudah bertahun-tahun intens menggeluti dunia kesastraan, belum layak menyandang predikat sastrawan. Begitu pentingkah sebuah antologi bagi seorang penulis sehingga perlu terus berjuang untuk mewujudkannya?
Ya, ya, ya! Antologi memang bisa menjadi alat dan media untuk mengukuhkan legitimasi kesastrawanan seseorang. Apalagi, seseorang yang memilih dunia kesastraan sebagai bagian dari “panggilan” hidup, tetaplah butuh sebuah pengakuan. Kehadiran sebuah antologi bisa jadi akan makin mengukuhkannya sebagai sastrawan. Namun, persoalan akan menjadi lain ketika antologi menjadi sebuah tujuan.
Menggeluti dunia sastra pada hakikatnya memahami hidup dan kehidupan sebagai bagian dari dinamika kebudayaan yang berujung pada upaya pemuliaan hidup dan martabat kemanusiaan. Teks-teks kreatif yang lahir dari tangan sastrawan mesti dipahami sebagai perwujudan dan pengejawantahan “kebajikan” hidup untuk memberikan penafsiran dan penerjemahan kompleksitas denyut kehidupan sehingga memberikan “katharsis” dan pencerahan hidup dari berbagai macam pembonsaian nilai-nilai kemanusiaan.
Karena menggeluti dunia sastra adalah panggilan hidup untuk memuliakan nilai dan martabat kemausiaan, kreativitas sastrawan akan senantiasa diuji oleh zaman dan dinamika peradaban. Artinya, kematangan dan kedewasaan kreativitas seorang sastrawan tidak semata-mata ditentukan oleh kehadiran sebuah antologi, tetapi lebih oleh gairah dan kesuntukan dalam menggeluti kesastraan sebagai panggilan hidup. Kalau toh hadir sebuah antologi yang menampung teks-teks sastra kreatifnya, itu mesti dimaknai sebagai imbas, efek samping, atau bolehlah disebut sebagai “tonggak sejarah” yang benar-benar melegitimasi derajat kesastrawanannya.
Persoalannya, hidup di tengah-tengah zaman yang kian menghamba pada selera kaum kapitalis ini tidaklah mudah untuk menerbitkan antologi sastra. Untung-rugi selalu menjadi pertimbangan utama. Sebuah penerbit biasanya tidak akan berbuat konyol dengan menerbitkan buku-buku sastra (termasuk antologi) kalau akhirnya buku-buku tersebut “mati” di pasaran.
Ya, para penulis memang masih bisa berkiprah meluncurkan teks kreatif melalui media massa cetak atau blog di dunia maya. Namun, umumnya hanya singgah sebentar dalam imaji publik untuk kemudian segera dilupakan; tidak semua mampu “memfosil” dan menyejarah dalam wilayah apresiasi. Hanya beberapa di antara mereka yang mampu membangun kolaborasi dengan penerbit sehingga mempunyai sebuah antologi.
Lantas, bagaimana dengan karya-karya penulis yang secara literer tidak kalah hebat dari teks-teks sastra yang telah terantologi, tetapi tak terjamah oleh penerbit buku?
Kalau kebetulan kita melakukan blogwalking, kita akan menemukan banyak teks fiksi bertaburan di dunia maya yang layak dikategorikan sebagai teks sastra. Karya-karya “mengagumkan” semacam itu memang memiliki jangkauan pembacaan yang “nyaris” tak terbatas. Siapa pun bisa mengapresiasinya. Namun, seringkali karya-karya bagus semacam itu hanya singgah sebentar dalam imaji publik untuk kemudian terlupakan.
Secara jujur harus diakui, kehadiran sebuah buku belum tergantikan oleh media apa pun dalam upaya mengabadikan pemikiran dan geliat batin seorang penulis. Buku mampu menyuguhkan beragam menu yang bergizi sehingga mampu memberikan asupan batin yang mencerahkan dan sekaligus menyehatkan rohaniah pembacanya. Banyak buku hebat yang mampu membuka dimensi baru dalam dunia pemikiran pembaca sehingga tidak gampang tereduksi untuk melakukan tindakan tak terpuji, menyesatkan, dan terjerat dalam ulah anomali sosial.
Saya menemukan banyak blog yang mampu menjalankan peran semacam itu. (Saya yakin, para pengunjung blog juga bisa memberikan penilaian, sehingga tak perlu *halah* saya sebutkan link-nya). Postingan-postingannya mampu memberikan pencerahan baru melalui gaya ucap yang enak dan komunikatif. Tidak suka mengumbar sensasi dan sebanyak-banyaknya berupaya membangun peradaban yang lebih bermoral, beradab, berbudaya, dan religius.
Karena demikian pentingnya kehadiran sebuah buku dalam upaya membangun peradaban yang lebih bermoral, beradab, berbudaya, dan religius, paling tidak dibutuhkan kehadiran seorang dokumentator yang dengan cermat, suntuk, dan intens senantiasa mengikuti perkembangan dan dinamika tulisan yang terpublikasikan di blog, untuk selanjutnya membedah dan menganalisis tanpa harus menggunakan perangkat teori yang muluk-muluk dan bombastis.
Persoalannya sekarang, adakah seorang dokumentator yang berkenan dengan suka rela menjalankan tugas kemanusiaannya untuk mengumpulkan teks-teks fiksi terbaik yang terpublikasikan di media blog untuk selanjutnya diterbitkan menjadi sebuah buku? Saya yakin, bahkan haqqul yakin, pada saatnya nanti akan muncul dokumentator berhati jujur, mulia, tanpa pamrih, dan berusaha sebanyak-banyaknya merangkul teman-teman blogger untuk selanjutnya diajak beraksi bersama melakukan sebuah perubahan melalui buku. Nah, bagaimana? ***
Ehm… nggak gampang juga untuk mendapatkan sebuah pengakuan eksistensi diri
wah sebentar lagi kayaknya terbit antolaogi sawali.wp.com dech
maaf sangadh nih pak, saia ndak tau afa itu antologi? afa itu sodaranya antobilang?
tafi beneran pak, saia ndak tau antologi itu afa? mohon fenjelasannyah?yang saia tangkaf disini itu antologi maksudna kumpulan karya yang dibukukan oleh orang lain yah? ato ada definisi tersendiri pak?
kalo menurud saia, berdasarkan definisi antologi yang saia buat sendiri kekna menjadi seorang sastrawan ndak ferlu ada antologi-antologian deh, yang terfenting khan kualitas karya sastra itu sendiri, ya seferti yang pak sawali jelaskan diatas lah!
@ peyek:
Tampaknya begitu, Mas. Ada banyak faktor yang memengaruhi seseorang untuk bisa eksis dan mendapatkan pengakuan. OK, trims.
@ kangguru:
Hehehehehe 😀 Kabar dari langit ya Kang Guru? Apa dah layak untuk dibukukan? Tapi doakan aja ya Kang?
@ hoek ga login:
Yak, kan dah dijawab sendiri oleh Mas Hoek. Yang nerbitkan tidak harus orang lain, tapi bisa juga oleh penulisnya sendiri. OK?
Iya nih, Pak Sawali, saya sebenarnya bingung sama definisi antologi.
Kalau yang saya tahu sih, antologi itu seperti cerita2 pendek atau novel2 pendek, dsb. Juga bisa mengenai kumpulan cerita2 pendek dan sebagainya. Menurut yang saya tahu antologi juga bisa merambah dunia pertelevisian seperti contohnya film seri yang putus2, maksudnya seperti kalau di Amerika itu seperti serial The Twilight Zone atau The Outer Limits, yang tiap episodenya ceritanya berbeda dan juga pemerannya berbeda sama sekali. Jadi bukan seperti serial biasa yang pemeran utamanya sama.
Itu yang saya tahu ya. Tapi nggak tahu maksud saya, antologi seperti yang pak Sawali jabarkan di atas. Saya mau komen, nanti salah lagi. Huehehehe…. 😀
Wah ide yang bagus itu Pak Guru, meng-kompilasi hasil karya teman-teman yang belum/tidak terdokumentasi menjadi satu. Tapi apa iya itu akan lebih baik? Aku ndak tahu jawaban-nya Pak Guru, soal-nya belon bisa bayangin wujud-nya 🙂
Ternyata sastrawan sejati seperti itu ya pak.
Berarti sastrawan sejati tidak bisa hanya mengandalkan kemampuan teknis namun juga kepekaan hati.
Seperti itu ya pak?
Saya setuju jika dikatakan buku belum tergantikan, bahkan secara pribadi, buku tidak tergantikan oleh PDF. 😀
Amien, siapa tahu nantinya terwujud. Ada yang berkeinginan mengumpulkan segala pengetahuan dari blog-blog tersebut menjadi buku.
Jadinya lebih enak dibaca, dan yang pasti, lebih hemat listrik pak 🙂 h3w. Nggak kalah dengan mereka yang menerbitkan antologi, bakalan banyak bermunculan sastrawan-sastrawan cyber dari dunia maya, pastinya, mereka juga yang menjadi generasi baru sastrawan bangsa.
@ Yari NK:
Yang di TV serial itu apa nggak fragmen ya, Bung Yari. Kalau menurut kamus sih antologi itu kumpulan karya tulis pilihan dari satu orang atau beberapa orang pengarang. Saya kira nggak ada yang salah kok, Bung. Kosakata dan istilah bahasa Indonesia itu akan terus berkembang seiring dengan dinamika masyarakatnya. OK, Bung Yari, trims.
@ extremusmilitis:
Yak Bung Militis, kalau tulisan di blig bisa diumpulkan menjadi sebuah buku tentu akan lebih besar manfaatnya, karena akan singgah lebih lama dalam memori pembacanya. OK, trims.
@ sigid:
Pendapat Pak Sigid saya kira sangat tepat. Seorang sastrawan tidak cukup hanya menguasai teknik kepenulisan, tetapi juga mesti memiliki kepekaan intuitif dan rasa.
Tentang “keabadian sebuah buku saya kira juga tepat sekali.Hingga saat ini belum bisa tergantikan oleh media apa pun dalam mencerahkan alam pemikiran pembacanya. OK, pak Sigid, trims.
@ SQ:
Ya, ya, ya, Pak Syam, mudah2an bisa terwujud. Itu artinya, iternet telah ikut berkiprah dalam melahirkan sastrawan2 baru Indonesia. OK, trims.
Benar tu, pak. Di blog banyak benar tu karya sastra yang layak jadi buku. Salah satunya blog bapak. Cuma sayang, yang peduli hanya segelintir orang saja. Saya suka sastra, pak. Semoga suatu hari nanti saya juga bisa menulis karya-karya sastra.
@ Hanna:
Wuih, jadi ge-er nih Mbak. Ya hanya sebatas gini doang. Yak, moga2 aja makin banyak orang yang peduli untuk melirik postingan di blog jadi buku. OK, makasih, Mbak Hanna.
Pertama, pedulilah dengan karya sendiri. Kedua, pedulilah dengan karya sendiri. Ketiga, pedulilah dengan karya sendiri. Keempat, … pedulilah dengan karya lainnya. Seterusnya, … mari kita bangun kepeduliaan. Dengan kepedulian kita bisa membangun kepedulian. Mari kita mulai dari diri sendiri. Sampeyan ini, sudah melakoni kog. Sedikit usil: tulisan itu untuk membangun kepedulian bersama?
Wah idenya briliant paman,
antologi blog yang bisa menjadi antologi buku…
baru membayangkeun saja sudah menarik sekali!!
Semoga tidak lama lagi ya, 😀
Hanya dimana mencari dokumentator itu?? Atokah perlu buka lowongan seperti paman hoek??
@ Ersis Warmansyah Abbas:
Yak, makasih Pak Ersis. Selain peduli terhadap karya sendiri, perlu juga ada keterlibatan dan kepedulian pihak lain, kan, pak Ersis? hehehe 😀 Setuju banget, pak, tulisan untuk membangun kepdulian bersama. OK, salam.
@ goop:
Trims banget Mas Goop. Dokumentator saya kira ada di mana2, Mas Goop. Yang perlu dilakukan oleh bloger *halah* mungkin membikin postingan yang kemungkinan layak untuk diantologikan, hehehe 😀 Itu menurut saya loh Mas Goop. OK, makasih.
Bukankah blog ini sebagai alat jitu mengukur kejujruan seorang sastrawan???? salut!
@ Kurt:
Oh, begitu ya Mas Kurt? Setuju aja deh, hehehehe 😀
Pingback: Teks Fiksi dan Kehadiran Dokumentator
Makasih, ya bos atas Silaturrahminya. Njenengan tambah oke saja. Aklu jagi ngiri deh. O.ya saya terinspirasi untuk nulis. O.ya Pak saya sedang buat yang laion, tinggal ketik, Tapi belum sempat. Gek ngrampungke Laporan Revitalisasi. Makasih. Salam untuk teman-teman.
@ yadissetya :
OK, makasih juga Pak Yadi. Yak, dorong terus teman2 yang lain untuk ngeblog. Saya yakin akan sangat banyak manfaatnya untuk dunia pendidikan. OK, salam.
kami mau tanya kapan diklat sertifikasi guru untuk smp yang tidak lulus sertifikasi 2007
hemm, antologi….banyak yang nyebut tapi banyak juga yg belum ngerti artinya…..antologi = bunga…semoga sastra kita lebih berkembang ke depannya ya….seperti bunga
ok salam kenal aja ya bro…..