Cerpen: Sawali Tuhusetya
Entah! Setiap kali memandangi topeng itu lekat-lekat, Barman merasakan sebuah kekuatan aneh muncul secara tiba-tiba dari bilik goresan dan lekukannya. Ada semilir angin lembut yang mengusik gendang telinganya, ditingkah suara-suara ganjil yang sama sekali belum pernah dikenalnya. Perasaan Barman jadi kacau. Kepalanya terasa pusing. Sorot matanya tersedot pelan-pelan ke dalam sebuah arus gaib yang terus memancar dari balik topeng. Dalam keadaan demikian, Barman tak mampu berbuat apa-apa. Terpaku dan mematung. Getaran-getaran aneh terasa menjalari seluruh tubuhnya. Barman benar-benar berada dalam pengaruh topeng itu.
Memang hanya sebuah topeng. Bentuknya pun mungkin sudah tidak menarik. Permukaannya kasar. Dahinya lebar. Hidung pesek dengan kedua pipi menonjol. Goresan dan lekuknya terkesan disamarkan, tidak tegas. Warnanya pun sudah kusam, menandakan ketuaan. Orang-orang kampung menyebutnya topeng tembem. Tapi dengan topeng itulah nama ayah Barman, Marmo, pernah melambung sebagai pemain reog yang dikagumi pada masa jayanya.
Konon, topeng itu dibikin sendiri oleh ayah Barman almarhum. Untuk mendapatkan bahannya, ayah Barman ketika itu harus mengacak-acak seisi kuburan, lantas melakukan puasa mutih –makan nasi tanpa sayur dan garam– selama 40 hari. Dengan cara demikian, menurut penuturan orang-orang, tangan ayah Barman akan terbimbing oleh sesuatu yang gaib sehingga mampu menghasilkan topeng yang sempurna.
Topeng ayah Barman, akhir-akhir memang benar-benar sempurna. Bukan lantaran bentuknya, melainkan kekuatannya yang mampu menyihir para penonton. Lucu, memikat, dan menghanyutkan. Para penonton benar-benar dibikin terpesona setiap kali ayah Barman bermain reog dengan mengenakan topeng itu. Grup reognya kisan berkibar. Harganya tinggi, tapi selalu laris ditanggap orang. Bahkan, sering diundang pentas menyambut tamu penting di pendapa kabupaten.
Bila mengenakan topeng itu, ayah Barman benar-benar menjelma jadi tembem, badut kocak yang mampu mengocok perut penonton lewat gerakan-gerakannya yang sulit dan mustahil: indah dan atraktif. Tarian-tariannya menyatu dan hanyut bersama irama gamelan dan terompet reog yang khas. Para penonton berdecak kagum. Begitu sempurnanya ayah Barman dalam memainkan topeng tembem, sampai-sampai para pengagumnya memanggilnya dengan sebutan Marmo Tembem. Dan ayah Barman merasa bangga dengan dengan panggilannya itu.
Namun, rupanya ayah Barman belum siap untuk menjadi pemain reog yang menyandang nama besar. Uang hasil pentasnya sering dihambur-hamburkan untuk memanjakan perempuan nakal; dan memelihara “gundik”, bahkan sering ludes di meja judi. Rezekinya jarang nyanthol di rumah. Seiring dengan itu, seni reog mulai tergusur oleh berbagai hiburan modern yang terus bermuculan. Jarang, lebih tepat dibilang langka, orang yang mau menanggap reog lagi. Pelan-pelan nama Marmo Tembem pun semakin tenggelam oleh arus zaman yang gencar menawarkan perubahan-perubahan.
Hingga meninggal, Marmo Tembem tak meninggalkan warisan secuil pun. Satu-satunya harta peninggalan, yakni sepetak sawah yang dibeli saat jayanya, sudah jatuh ke tangan Mak Karni, istri simpanannya yang berakal bulus.
Barman masih terpaku dan mematung di depan topeng tembem. Tiba-tiba saja muncul hasratnya untuk mencoba mengenakannya. Tapi setiap kali jari-jarinya menyentuh permukaannya yang kasar, kekuatan aneh yang muncul dari balik topeng itu semakin dahsyat menyedot kekuatannya, Barman menyurutkan langkah ke belakang. Sepasang bola matanya mendelik. Keringat dingin meleleh di sekujur tubuhnya. Barman memekik dahsyat ketika menatap sepasang mata topeng itu membelalak lebar dan bergerak-gerak.
“Ada apa, Kang?” tanya Saritem, istrinya yang tampak seperti perempuan yang baru kejatuhan cicak.
“Tem, coba tatap topeng itu, Tem!” sahut Barman cemas.
“Memangnya kenapa?”
“Matanya!”
Serentak, perempuan bermata juling itu menjatuhkan pandangannya ke arah topeng yang lekat terpajang di dinding. Tapi begitu sepasang matanya hinggap di sana, perempuan itu malah tertawa. Barman tersipu. Topeng itu memang tak lebih dari sebuah topeng badut usang yang kaku dan beku. Lekukan dan goresan matanya yang nampak samar, tak lagi membelalak dan bergerak-gerak. Barman geleng-geleng.
“Sudahlah, Kang? Kakang terlalu capek! Sebaiknya Kakang istirahat saja, bukankah besok harus menghadiri undangan di balai desa?” kata istrinya sambil beringsut dari depan suaminya. Barman termangu. Benaknya seperti disentakkan oleh sebuah arus yang tidak bisa dipahaminya.
***
UDARA pagi di kampung tak berubah. Dingin. Kabut dari pinggang bukit terus menyembur-nyembur menyelimuti perkampungan. Mata Barman masih diserang kantuk. Pelan-pelan, lelaki gempal itu beringsut dari pembaringan, mengambil segelas air putih dan meneguknya. Sisanya disemburkan ke lantai. Sayup-sayup gendang telinganya menangkap kesibukan kampung yang mulai menggeliat. Suara deru motor, lengkingan tangis bocah, yang ditingkah hiruk-pikuk suara ternak piaraan.
Barman menyambut surat undangan yang tergeletak di atas meja. Sambil merapatkan sarung, Barman membacanya berulang kali di atas dipan, seakan hendak memperoleh kepastian tentang kebenaran isi surat itu.
Mata Barman berbinar-binar. Benaknya menerawang. Tiba-tiba saja ia mampu mengucapkan rasa syukur yang demikian tulusnya. Ia merasa benar-benar tersanjung dan begitu dihormati. Ia diundang dengan hormat ke balai desa untuk menerima penghargaan dari pemerintah atas jasa-jasa almarhum ayahnya melestarikan kesenian tradisional, reog.
Di mata Barman, tiba-tiba ayahnya muncul begitu agung dan berwibawa. Tabiat ayahnya yang keranjingan judi dan perempuan seolah-olah tenggelam di balik surat undangan yang tengah dibaca dan dipahaminya. Berulang-ulang Barman menarik napas lega. Dadanya ditimbuni harapan, penghargaan itu setidaknya akan sanggup menggeser nasib hidupnya yang kurang beruntung. Lebih-lebih setelah belakangan ini perubahan musim mulai tak menentu, hasil panen sepetak sawahnya tak mampu lagi menutup kebutuhan rumah tangganya yang membengkak.
Tapi harapan indah itu pun pupus di balai desa ketika ia hanya menerima selembar kertas yang diserahkan dengan bangganya oleh Pak Lurah atas nama pemerintah daerah. Saat itu memang ia tidak sendirian, para awak pemain reog yang kini masih hidup dan para ahli waris teman-teman seangkatan ayahnya juga menerima penghargaan yang sama. Tak henti-hentinya kepala Barman dicecar pertanyaan, kenapa penghargaan mesti diwujudkan dalam selembar kertas? Apakah tidak ada bentuk penghargaan lain yang lebih pantas dan manusiawi, dengan duit, misalnya? Dengan langkah tak bersemangat, Barman mengepit selembar kertas itu, lantas menyodorkannya di depan hidung istrinya. Istrinya melengos. Uring-uringan.
***
TIBA-TIBA saja, sepasang mata Barman kembali terusik untuk memandangi topeng tembem yang lekat terpajang di dinding. Kekuatan aneh itu muncul kembali dari balik topeng, lewat goresan dan lekuknya. Tubuh Barman bergetar seperti ada sebuah arus kuat yang menjalar bersama aliran darahnya. Gendang telinganya menangkap sayup-sayup suara yang tak dikenalnya. Suara yang muncul dari sebuah ketersiksaan dan penderitaan. Mengerang dan merintih-rintih sekujur tubuhnya.
Suara-suara ganjil itu terus mendesing-desing di telinganya, memekakkan. Bersamaan dengan itu, Barman menyaksikan kedua mata topeng itu membelalak lebar dan bergerak-gerak, tapi sejurus kemudian mengatup rapat. Dan kini mendadak sepasang mata topeng itu mengeluarkan air mata. Semula hanya satu-dua tetes, tapi lama-lama menderas dan mengucur bagaikan pancuran. Dan yang lebih menyentakkannya, air mata itu pelan-pelan berubah memerah seperti darah. Seketika itu pula bau anyir darah menyerang hidungnya.
Tubuh Barman lemas. Kekuatannya seperti dibelejeti oleh sebuah kekuatan aneh yang tak dipahaminya. Sementara itu, suara mengerang dan merintih, suara yang muncul dari sebuah ketersiksaan dan penderitaan itu terus membombardir telinganya.
Gila! Secara tiba-tiba pula topeng itu terlepas dari dinding. Seperti melesatnya anak panah dari busur, topeng itu secepat kilat menancap dan menyatu dengan wajah Barman sedemikian kuat mencengkeramnya. Barman meronta dan dan memekik dahsyat. Setelah itu ia merasakan tubuhnya melayang entah ke mana. Istrinya bingung. Di matanya, wajah Barman benar-benar telah berubah, berganti rupa menjadi wajah topeng peninggalan almarhum mertuanya. Sepontan perempuan itu menjerit histeris memecah perkampungan.
Kampung gempar. Para penduduk berdatangan. Desahan, gumam, teriakan, dan berbagai komentar tumpah campur aduk, bersambung-sambungan.
“Barman jadi tembem!”
“Hiii … ngeri!”
“Jangan ada yang mendekat, Barman bisa ngamuk!”
“Celaka!”
Para penduduk tak ada yang memberikan pertolongan ketika tubuh Saritem ambruk di kaki Barman. ***
Vertamax, ya.
Baca dulu ah…
Ceritanya menarik, pak. Agak misteri. Tapi, boleh tahu ga, pak. Diakhir cerita tu, kok Saritem yang ambruk, bukan Barman. Maaf, imajinasinya belum nyampe nih, he he. Malu2in ya.
Weeeekz! Mbak Hanna curang tuh! Aturan saya yang vertamax tuh! Tapi karena mbaca ceritanya mbak Hanna dulu jadi ketigax deh! Huehehehehe…. 😀
Just kidding! 😀
Kalau saya baca cerpen ini seperti nonton serial The Twilight Zone yang menyatukan antara dunia kehidupan kita yang riil ini dengan the world beyond yang menyatu menjadi sebuah bacaan yang unik, menarik dan penuh dengan impetus dan stimulus, menjadikan bacaan seperti ini seperti sebuah ‘daerah remang-remang’ yang membuat banyak pembacanya terperagkap dengan rasa penasaran akan konklusi cerita tersebut.
Namun bagi sebagian orang yang tidak terbiasa dengan ‘daerah remang-remang/The Twilight Zone‘ ini mungkin cerita akan terdengar sedikit eksentrik dan agak membingungkan seperti labyrinth.
Namun bagi saya, saya sebenarnya suka cerita macam The Twilight Zone seperti ini, apalagi kalau akhir ceritanya dapat ‘keluar’ dari daerah remang2 ini, baik yang keluar ke daerah yang terang ataupun keluar ke daerah yang gelap! 😀
pak saya baru baca dikit aja udah menarik bagus banget
http://www.fikri92.wordspress.com
@ Hanna:
Ya, vertamax, Mbak Hanna. Iya, sih, Saritem, yang ambruk. Cerpen khas orang ndesa, nih, Mbak. Terkejut dan shock OK, makasih, Mbak Hanna, salam.
@ Yari NK:
Makasih, Bung Yari. Cerita remang2 memang seringkali bikin penasaran. Tapi saya nggak pernah punya konsep menulis cerpen. Asal ada ide, ya secepatnya ditulis. Alur cerita kok mengalir dengan sendirinya, hehehehe 😀 OK, makasih, Bung Yari, salam.
fikri92:
Hehehehe 😀 Baru baca dikit kok dah bilang bagus. Mesti dituntasin tuh bacanya, hehehehe 😀 OK, makasih, Mas, salam.
bagus… alur ceritanya bisa bikin penasaran Orang lain. (dan saya adalah satu dari “yg penasaran” tsb).
kasih kabar kalau sudah ada lanjutannya ya… 🙂
*ditunggu. Jgn lama2…*
Ide dasarnya kayak film The Mask.
Tapi pengembangannya boleh, lah….
(tampilan Blog nya mangkin keren ajaah,….) 😆
Benar-benar pak, saya seperti kesihir dengan ciratanya… mata ndak bisa lepas dari layar monitor buat ngebaca cerpennya…
Apa efek cerpen ini sekuat topeng itu? 😉
@ telmark:
Hahahaha 😀 Cerpennya kan dah selesai. Ya hanya begitu. Kalau ada cerita baru kan dah ganti judul cerpennya. Ntar nanti saya kabari, Mas. OK. thanks. Salam.
@ mbelgedez:
The Mask? Ya, ya, ya, yang suka mengenakan topeng itu, ya, mas Mbel? Saya juga suka itu. (Jadi geer nih, hehehe 😀 ). OK, thanks. Salam.
@ rozenesia:
Wah, makasih Mas Roze. Terlalu berlebihan, nih. Yang tahu persis kan Mas Roze sendiri. OK, thanks. Salam.
Maksih, pak jawabannya. Dasar oon saya ini, he he he.
Ada yang suruh saya ngejemput bapak ke pesta blogger. Saya bilang mesti sewa helikopter dulu nih, biar ga telat. Parkirnya dilantai paling atas, pak. He he he he. Bercanda ya, pak. Wong aku ora teko(belajar dari mba saya, pak, he he he).
Salah kasih koma tu, pak. Tapi, ya sudahlah. Sekali lagi makasih, pak. Salam hangat kembali.
@ Hanna:
Hahahaha 😀 Pesta Blogger? Wah, Mbak Hanna nggak ikut juga, ya? Saya sih memang belum kepikiran ngrameinnya. Udah cukup *halah* diwakili para blogger WP yang kebetulan bisa hadir, hehehehe 😀 Wualah, Mbak Hanna ternyata juga bisa basa Jawa juga, ya? Weh, salut nih! Singkawang punya, tapi berbau Jawa, hehehe 😀 OK, makasih, Mbak.
Tadinya saya ngebayangin pak Sawali baca cerpen di even pesta blogger atau via tele conference gitu hehehhehe biar saya bisa mengikuti dari YM hahhahaha
wogh! cerfen-cerfen pak Sawali ndak jauh-jauh dari kefala ya pak? kefala, mistis, dan desa.
ah ya, alur, plot, dan ceritanya sendiri ditata apik sangadh, tanfa melufakan esensi dari sebuah cerpen : nasehad. 😉
@ kangguru:
Hahahahaha 😀 Kalau ke pesta blogger nanti yang ngajar anak-anak siapa, Pak? *bercanda* Baca cerpennya cukup di depan layar monitornya sendiri aja. Hehehehe 😀
OK, makasih Kangguru, ya.
@ hoek:
Ya, ya, ya, Mas hoek. Akrab dengan alam ndesa, kepala, dan mistis 😀 Entah, ya, Mas hoek, saya kok selalu terbawa romantisme alam desa waktu kecil, hehehe 😀
OK, makasih, Mas hoek
waaaduh cerpen seperti ini khas penggiat sastra. perlu kecermatan memahaminya. heheh tapi dibalik semua peristiwa itu apa sih pesan moralnya ya kang. Apakah topeng Barman warisan mertua itu gak di tirakati seperti budaya jawa pada umumnya yang memperlakukan benda² keramat atau memang sudah habis masanya bagi keperkasaan si topeng itu.. ah mbahu ah kang ora ngertos ke dalam². Sejauh ini cerpen ini enak dibaca dan mengalir deras alur critane…
Dilema penghargaan, saya masih belum tau apa gunanya itu…
Misalnya, ayah saya pernah menerima predikat guru teladan, mungkin paman sawal juga pernah?? tapi ya cuma ditata rapi di rak almari.
Di lain tempat, sebuah warung ada pula yang menempel sertifikat tentang warung soto itu, mungkin ada gunanya ya?? meski saya tau, jarang pengunjung warung yang membacanya??
Ah paman sawal, memang paling bisa 😀
-Syaluth-
KEDOK…..wekekekkk…..
beres pak !
@ kurtubi:
Hehehehe 😀 Mas Kurt, ini hanya cerpen biasa saja, kok. Topeng, ya, apa memang perlu laku tirakat untuk menjinakkan keliaran topeng Barman itu? Hanya menuruti imajinasi saya yang kebetulan sedang kepingin nulis tentang topeng. OK, salam.
@ goop:
Hahahaha 😀 Bagi orang semacam Barman, penghargaan dalam bentuk materi agaknya lebih tepat dalam bentuk uang ketimbang sertifikat kali, ya, Mas Goop? OK, salam.
@ Bachtiar:
Dah bisa memamahami makna tersiratnya, ya Mas Bachtiar. Syukurlah! OK, salam.
Sepertinya sekarang ini kita hanya tinggal menghitung waktu munculnya hal yang saya pertebal tsb 🙁
************
BTW sudahkah kita melepas topeng2 kita?
************
Nice story Pak 😉
@ deKing:
*Hahaha 😀 Dapat kehormatan dari Pak deKing nih setelah lama hiatus*
Ya, ya, ya, agaknya kepekaan dan empati kita terhadap sesama pun mulai surut, bahkan sudah menembus hingga ke pelosok2 dusun seperti yang dialami Yu Saritem itu
Topeng memang simbolik dengan kepalsuan. Tanpa kita sadari selama ini kita masih sering menutup wajah kita dengan topeng. Apakah memang ini pertanda bahwa kejujuran memang sudah hilang dalam memori dan kepribadian kita, ya, Pak? *Balik bertanya nih*
OK, makasih apresiasinya Pak deKing, salam hangat.
Pak Sawali rupanya berbakat jadi sastrawan. Eh, apakah memang sudah jadi sastrawan? (Kalau aku sih, paling2 berbakat mengenakan topeng sastrawan.)
bener-bener gambaran pemerintah dalam menghargai seniman
..dalam bentuk selembar kertas
btw, setelah pake topeng, Barman berubah menjadi Batman?
@ Manusia Kerbau:
Ah, nggak juga Pak Shodiq, hanya kebetulan saja seneng nulis cerpen, hahaha 😀 OK, makasih Pak.
@ caplang™:
Ya, ya, ya, gitulah, Bung. Wakakakakak 😀
Apakah mungkin si Barman menjadi terpengaruh oleh prilaku [buruk] ayahnya melalui topeng yg ditinggalkan. Atau ia marah karena rendahnya penghargaan material untuk jasa-jasa sang ayah.
Ah, saya sok tau aja… Sastra memang multi tafsir ya pak…
Dari p Sawali sendiri gmana nih tafsirnya… 😀
Nice post pak… 🙂
Pak Guru, kalau mo jujur:
1. Alur cerita-nya menarik, seperti biasa karya Pak Guru 😉
2. Misterius tapi gak Menyeram-kan, dan itu bagus sekali
3. Sayang-nya, ending-nya kok kurang greget ya Pak? Maaf lho.
*kapan yah bisa buat cerpen kaya Pak Guru* 😥
@ Herianto:
Ya, begitulah, pak. Pak Heri bebas menafsirkannya, kok. Kan teks sastra memang multitafsir. Saya malah senang kalau setiap pembaca memiliki penafsiran yang berbeda-beda. Kalau saya yang menafsirkan sendiri berarti saya akan menjadi juru bicara untuk karya saya sendiri, Pak, hehehehe 😀 OK, makasih apresiasinya, Pak. Salam.
@ extremusmilitis:
Hahahaha 😀 Ya, ya, ya, endingnya memang kurang greget, ya, Bung Militis. Dalam dunia cerpen *halah sok tahu* ada istilah never ending story. Ya, cerita yang tak pernah berakhir. Konon, memang dibiarkan ngambang *sok membela diri*
OK, makasih, Bung Militis, salam.
Nice blog………….
Mohon maaf bila informasi ini mengganggu dan tidak berhubungan dengan tema sobat…..
Saya hanya ingin berbagi sedidikit tentang …..Cara tepat menyulap BLOG WORDPRESS menjadi sumber dollar.
Sobat bisa jadikan wordpress menjadi blog bisnis. Setiap klik di blok sobat akan mendapatkan sekitar Rp.1,- sampai Rp.2,-. selama ini wordpress melarang penggunaan javascript sehingga untu memasukkan iklan insentif tidak bisa. Untuk itu sobat bisa memilih alternatif lain untuk dapat tetap memberikan dollar gratis.
informasi dan petunjuk silahkan klik di :
gallery-c5lxeuuycpfssic.usercash.com
Tuingg… Kalo boleh tau pak sawali ? Ide ceritanya banyak didapat dari cerita-cerita rakyat juga ya ?
Soalnya, cerita kayak gini sering juga muncul di daerah pedalaman suku saya…(suku ???)
Tapi cerita pak Sawali yang ini lebih hidup. jadi serem pulang malam-malam, apalagi jalan ke rumah banyak pu-un beringinnya ..Hiii
wadduh…aku malah baca baru selese tiga hari, kepotong gara-gara ngurus forum 😛 maaf ya pak 😛
ahh bagus ceritanya…tapi yang saya bingung apa ndak aneh kali si sari jatuh dikaki barman…???
nggak agak jauhan gitu pak…???
@ gama:
OK, makasih Pak infonya. Salam.
@ Sq:
Ya, ya, ya, memang sebagian besar cerpen2 saya terinspirasi dari cerita2 rakyat. Masa lalu saya yang sangat dekat dengan alam membuat saya selalu tertarik untuk mengabadikannya ke dalam cerita fiksi. OK, Pak, Syam, makasih, salam.
@ celotehsaya:
OK, makasih atas apresiasinya, Mas. Nah, menurut Mas Celoteh sendiri gimana? Pembaca, termasuk Sampeyan, hehehe 😀 bebas kok untuk menafsirkannya. OK, salam.
membaca cerpen ini kerasa banget nuansa konfliknya hehhehe
ada konflik keluarga yang ditunjukkan oleh si bapak
ada konflik pribadi antar mengikuti kemauan topeng dan tidak
dan mungkin konflik antara warisan tradisional dan modern
disatu sisi warisan2 lokal sudah tidka lagi menjadi primadona bahkan hanyalah sisa-sisa jaman perang yang tidak layak dikeluarkan lagi jaman skarang.. tapi.. saya kecewa dikit iks karena akhirnya sang topeng tidak mampu melawan desakan modernitas akhirnya mencari jalan sendiri dengan “ngamuk:
😆
@ almascatie:
Hahahaha 😀 Penafsiran yang bagus Bung Almas, hehehe 😀 OK.
apan tu??? cerpen buatan anak TK bru gtu,, gak pnah diajarin ya???? tu namanya khotbah tau……..
dasar bodoh!!!!!!
Ceritanya bagus juga menyimpan misteri…..
BaGUS CuY!!!!
mAKASih mas SawaLi……..