Tiba-tiba saya teringat Sisyphus. Tokoh fiktif dalam mitos Yunani kuno yang diperkenalkan oleh Albert Camus itu, menurut hemat saya, layak dijadikan sebagai analogi terhadap kebijakan “penguasa pendidikan” negeri ini yang suka bongkar pasang kurikulum. Konon, lantaran mengetahui rahasia para dewa, Sisyphus dikutuk dan harus mengangkat batu ke puncak gunung. Namun, selalu gagal. Batu itu kembali menggelinding ke lembah dan Sisyphus harus kembali mengangkatnya ke puncak. Berulang-ulang. Saini KM dalam sebuah puisinya menggambarkan sosok Sisyphus seperti berikut ini.
Sisyphus
Dan batu kembali ke jurang menggelundung.
Bolak-balik beribu tahun: beribu tahun
Sisyphus mendorong batu ke puncak gunung
kau mendaki dan tergelincir, jatuh dan bangun.Jatuh dan bangkit di Babel, Sodom dan Gomorah
Auschwitz, Hiroshima-Nagasaki dan Vietnam.
Dan dari dasar derita, dengan nafas tersengal
kau berseru ke langit: Apakah artinya ini?Langit menjawabmu dengan biru, dengan bisu.
Kau pun bangkit lagi; pucat, berdebu dan luka
kembali mendaki dan memandang Angkasa. Mungkin
itulah artinya: Payah dan luka kau tak tunduk.
Sikap yang memancarkan semangat pantang menyerah atau sebuah kesia-siaan abadi? Ya, dalam penafsiran saya, legenda Sisyphus mengandung dua muatan nilai yang kontradiktif. Pertama, me-“nonsens”-kan sikap putus asa dalam mencapai sesuatu. Meski gagal berulang-ulang, aksi harus terus dilanjutkan. Kedua, kesia-siaan dalam menjalankan aksi yang tak kunjung usai.
Sekarang, kita mencoba melakukan kilas balik terhadap perubahan kurikulum di negeri ini. Setidaknya sudah tujuh kali perubahan kurikulum tercatat dalam sejarah, yakni Kurikulum 1962, 1968, 1975, 1984, 1994, KBK, dan KTSP. Namun, apa dampaknya terhadap kemajuan peradaban bangsa? Sudahkah pendidikan di negeri ini mampu melahirkan anak-anak bangsa yang visioner; yang mampu membawa bangsa ini berdiri sejajar dan terhormat dengan negara lain di kancah global? Sudahkah “rahim” dunia pendidikan kita melahirkan generasi bangsa yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga cerdas secara emosional, spiritual, dan sosial?
Secara jujur, kita mesti mengerutkan jidat berulang-ulang. Secara riil dan kasat mata, kita bisa menyaksikan betapa dunia pendidikan kita hanya berada di “puncak menara gading” kehidupan yang jauh dari sentuhan realitas persoalan keseharian. Proses pendidikan kita menafikan persoalan-persoalan yang relevan dengan konteks keseharian dan persoalan-persoalan yang dihadapi oleh masyarakat dan bangsanya. Tak heran jika setelah lulus pun keluaran pendidikan kita seperti “rusa masuk kampung”. Merasa asing dengan lingkungan masyarakatnya sendiri. Dalam “Sajak Seonggok Jagung di Kamar” WS Rendra membuat satire dalam lirik berikut ini.
…………..
Seonggok jagung di kamar
tak akan menolong seorang pemuda
yang pandangan hidupnya berasal dari buku,
dan tidak dari kehidupan.
Yang tidak terlatih dalam metode,
dan hanya penuh hafalan kesimpulan,
yang hanya terlatih sebagai pemakai,
tetapi kurang latihan bebas berkarya.
Pendidikan telah memisahkannya dari kehidupan
…………..
(Agaknya generasi muda di negeri ini memang telah didesain untuk menjadi “penghafal kelas wahid” dan tak pernah diberi ruang dan kesempatan untuk berkarya secara bebas di sekolah kita …. 😀 )
Reformasi pendidikan –meminjam istilah Abdul Halim Fathani— memang perlu dimulai dari pembaruan di bidang kurikulum. Sebab, kurikulum merupakan semacam satelit yang melacak dan memberi identitas edukatif bagi setiap siklus pendidikan. Secara pedagogis dan didaktis, tujuan kurikulum adalah untuk mempercantik busana kultural maupun formatif, baik itu melalui pengayaan berkesinambungan atas identitas intelektual anak didik mulai TK sampai perguruan tinggi, atau melalui penguatan otonomi pendidikan yang sifatnya subsidiaris, jauh dari sentralisasi edukatif, secara didaktis memberi otonomi pada anak didik sebagai agen yang belajar sesuai kapasitas dan kemampuannya.
Dengan nada sinis, Prof. Aleks Maryunis, guru besar Universitas Negeri Padang (2006), menyatakan bahwa selama ini pemerintah sibuk mengurusi dan membenahi dokumen tertulisnya saja. Menurutnya, perubahan kurikulum di negara kita kebanyakan menitikberatkan pada perubahan konsep tertulis, tanpa mau memperbaiki proses pelaksanaannya di tingkat sekolah. Kurikulum di Indonesia sebenarnya memiliki empat dimensi dasar, yakni konsep dasar kurikulum, dokumen tertulis, pelaksanaan, dan hasil belajar siswa. Di Indonesia yang kerap mengalami perubahan hanya dimensi dokumen tertulis berupa buku-buku pelajaran dan silabus saja yang sudah dilaksanakan. Persoalan proses dan hasilnya, tak pernah mampu dijawab oleh kurikulum pendidikan kita.
Apa yang dikemukakan oleh Prof. Aleks Maryunis tampaknya tidak berlebihan. Kebijakan bongkar pasang kurikulum dinilai tidak berimbas positif terhadap peningkatan mutu pendidikan karena yang diurus hanya sekadar dokumen administratif. Agaknya fenomena ini sudah menjadi rahasia umum sejak zaman “baheula”. Negeri kita, konon, memang lebih mementingkan urusan administrasi ketimbang substansi. Proses akreditasi sekolah, misalnya, pun lebih banyak menggunakan dokumen dan bukti-bukti fisik –dan ini pasti amat gampang direkayasa– sebagai instrumen penilaian ketimbang kinerja para pendidik dan tenaga kependidikan. Tak heran kalau banyak institusi pendidikan di negeri ini yang mentereng gedungnya, tertib administrasinya, tapi sebenarnya sangat rapuh. Kalau boleh diibaratkan, insitusi pendidikan banyak yang seperti kaus lampu “petromax”. Dari luar tampak mentereng, tapi kena sentuhan angin sedikit saja langsung hancur. Dengan kata lain, institusi pendidikan kita baru memiliki kemampuan sebatas “pamer” administrasi. 😀
Akibat atmosfer dunia pendidikan kita yang timpang dan tersaruk-saruk semacam itu, sejak 1962 negeri kita (nyaris) gagal melahirkan sosok negarawan sejati, politisi ulung, ekonom jempolan, pebisnis visioner, atau demokrat elegan yang mau dan sanggup “berdarah-darah” mengangkat pamor negeri ini di mata dunia. Yang tampak telanjang di depan mata kita justru para politisi “kacangan” yang hanya mampu gembar-gembor di atas mimbar kampanye, pebisnis ala kaum borjuis yang suka menumpuk-numpuk harta tanpa memedulikan nasib jutaan penganggur dan kaum dhuafa, para elite negara yang suka berkonflik dan menaburkan jurus “balas dendam” demi menyelamatkan kepentingan dan aset-asetnya. Yang lebih mencemaskan, para koruptor makin bergentayangan di berbagai lapis dan lini birokrasi akibat tumpulnya “pedang” hukum yang mampu mengalgojo dan menyeret pengemplang harta negara itu ke penjara.
Menurut hemat saya, kurikulum memang penting sebagai bagian dari reformasi pendidikan. Namun, hal itu akan sia-sia –seperti nasib Sisyphus— kalau tidak dibarengi dengan pemberdayaan komponen lain secara simultan dan holistik. Profesionalisme guru, misalnya, sejak dulu sudah gencar digembar-gemborkan, betapa amat vitalnya peran mereka sebagai “lokomotif” pendidikan. Tapi, realitas yang muncul, guru hanya dianggap sebagai “objek”, bahkan hanya sebatas dimaknai sebagai “tukang ajar” saja. Lihat saja ketika KTSP diberlakukan. Para guru disibukkan dengan penyusunan dokumen silabus dan RPP. Namun, bagaimana silabus dan RPP diimplementasikan dalam kegiatan pembelajaran, sama sekali tidak diperhitungkan. Itu artinya, kurikulum kita selama ini memang hanya sekadar pembenahan dokumen saja. Persoalan implementasi dan aplikasinya? Wah, jangan tanyakan, Bung! Itu berada dalam barisan pertanyaan yang paling buncit untuk dijawab. 😀 ***
memang mestinya pendidikan tidak hanya mengandalkan sekolah
persis apa kata om Rendra
—————-
Setuju, Bung! Siswa didik juga harus banyak belajar dari alam dan kehidupan yang sesungguhnya. Jangan hanya belajar teori thok.
Ya, setuju. Seringnya, perubahan kurikulum di negeri kita itu baru sebatas perubahan secara tertulis. Namun, kurang dalam hal konsep (paling sering kurikulum kita itu niru-niru negeri orang, contohnya KBK). Kurag juga dalam hal pelaksanaan dan evaluasi pelaksanaan kurikulum.
Yang terakhir saya tulis (evaluasi kurikulum) tampaknya perlu dilakukan. Sehingga bila kita mengganti kurikulum, kita sudah punya ancer-ancer harus bagaimana kurikulum penggantinya itu. Bukan sebaliknya, berubah kurikulum dulu, nanti bila bermasalah berubah lagi ke kurikulum yang lain lagi. Amat disayangkan!
Btw, Pak Sawali ini produktif dalam menulis. Saya juga pengen seperti ini.
Oh, iya. Tentang mitos Syshipus, memang ada dua “nilai” yang bisa kita gali. Keoptimisan (tak kenal putus harapan) dan kedunguan (karena cara yang dipakai itu-itu juga, coba kalau Syshipus itu sedikit berpikir, pakai cara yang lebih canggih, pastinya tujuan pekerjaannya akan tercapai.) Hehe… 😀
——————————
1. Menurut Pak Ersis Warmansyah Abbas di negeri ini telah terjadi kebodohan dan kekacauan pemikiran berjamaah setiap terjadi pergantian kurikulum. Pemerintah nggak mau tahu, yang penting kurikulum harus dilaksanakan. Sementara itu, di lapangan telah terjadi kebingungan. Sejak dulu tuh, pak.
2. Evaluasi kurikulum memang sangat diperlukan. Idealnya memang –menurut pakar nih– pergantian kurikulum sebaiknya 10-15 tahun. Pergantian itu harus didasarkan pada hasil evaluasi dengan melibatkan orang dari berbagai kalangan yang berkompeten.
3. Produktif menulis hanya kebetulan kalau “mood” saja, Pak. Setiap kali muncul ide, langsung saja jari menekan keyboard, sambil mencari rujukan dari sana-sini. Pak Al-Jupri juga sangat produktif. Di tag pendidikan WP, nama dan tulisan Bapak selalu nongol. Bagus itu, Pak. Mengelola blog memang diperlukan konsistensi dan kerutinan memosting agar tetap eksis, apalagi Pak Al-Jupri di WP kan dah lama. Sanggup bertahan itu layak diacungi jempol. Saya masih harus banyak belajar ngeblog, Pak. Di WP saya baru bergabung sejak 11 Juli yang lalu. Di blogspot memang dah punya, Pak. Tapi nggak segampang di WP dan agak susah loadingnya sehingga sekarang nggak saya urus lagi.
4. Ok, setuju, Pak. Itu juga sering menimbulkan banyak tafsir karena suasana absurd yang terkandung di dalamnya.
Ok, ,makasih, pak, salam.
Bagaimana menurut pak Sawali yang berkecimpung dalam dunia kependidikan? Apakah kurikulum yang sekarang semakin baik atau semakin buruk atau sama saja? Coba dibandingkan juga dengan kurikulum waktu kita sekolah dulu, kurikulum 1975 (di luar pelajaran PMP, tentu saja!), apakah lebih baik? Mudah-mudahan saja lebih baik sehingga anak2 kita nanti lebih pandai dari ‘kita2’ ini.
Omong-omong saya kok bingung ya dengan puisi di atas, kok ada Auschwitz, Hiroshima-Nagasaki, dan Vietnam ya? Kok Irak tidak dimasukkan sekalian ya? Hehehehe… maklum deh pak Sawali penghayatan saya terhadap sastra kurang! 😀
—————-
Dari sisi muatan dan materi kurikulum memang ada kemajuan, Bung. Beban belajar siswa berkurang, alokasi waktu pun dikurangi sehingga anak-anak tidak terlalu terbebani, tidak “stress”. Beban PR pun sudah siatur melalui tugas mandiri tidak terstruktur. Tapi sayang, Pak. Kemajuan itu tidak diimbangi dengan persiapan yang matang, sehingga banyak guru yang belum siap. Mereka harus menyusun dokumen II (silabus dan RPP). Ini tidak sama dengan kurikulum sebelumnya yang hanya tinggal pakai saja. Semuanya sudah berupa paket kurikulum dari pusat.
Puisi memang memiliki multitafsir, Bung. Siapa pun boleh menafsirkan menurut tingkat dan daya apresiasinya masing2. Menurut saya sih, penggunaan nama-nama tempat seperti Auschwitz, Hiroshima-Nagasaki, dan Vietnam untuk menunjukkan betapa penderitaan yang dialami Sisyphus sedemikian beratnya dan selalu gagal. Seandainya Saini KM mau, mestinya juga perlu mengilustrasikan tempat-tempat tertentu yang medannya lebih berat. 😀
Ok, makasih, Bung!
Legenda Sisyphus dalam perkara kurikulum = proyek baru untuk birokrat = cetak buku2 baru untuk penerbit = sengsara buat murid dna orang tua, mas.
—————-
Oh, begitu, ya, Kang Adhi. Kok di negeri kita ini setiap kali ada kebijakan baru kok mesti jadi lahan proyek buat para birokrat dan relasinya, ya? Repotnya proyek itu nggak menguntungkan buat rakyat. Apa nggak ada cara lain yang lebih menguntungkan bagi kepentingan dunia pendidikan. Kalau begini terus gimana mutu pendidikan kita bisa meningkat? Persoalan ini menjadi rumit kalau DPR sebagai kekuatan kontrol ikut2an menikmati proyek. Wah, bisa cilakak 12. hehehehe 😀
memang mestinya pendidikan tidak hanya mengandalkan sekolah
persis apa kata om Rendra
—————-
Setuju, Bung! Siswa didik juga harus banyak belajar dari alam dan kehidupan yang sesungguhnya. Jangan hanya belajar teori thok.
Mungkin inilah dampak dari komersialisasi pendidikan….mungkin
Uppsss maaf ada yang kurang….
Mungkin ini adalah dampak dari komersialisasi dan politisasi pendidikan kita…
——————
Betul kali, ya, Pak. Coba lihat saja, untuk sosialisasi perubahan kurikulum saja, berapa duwit yang telah tersedot? Kayaknya makin ruwet saja nasib dunia pendidikan di negeri ini. 😀
Saya mau tanya pada Sampeyan: Kenapa dengan semakin berjubelnya Doktor dan Magister, keluaran dalam negeri atau luar negeri, kenapa justru berakibat kualitas pendidikan menjadi terbungkuk?
Kalau itu sudah terjawab, ada pertanyaan berikut: Kenapa perubahan atau pembaharuan kurikulum tidak membawa perbaikan signifikas terhadap kualitas pendidikan nasional?
Lalu, kenapa guru-guru Indonesia maunya saja selalu dijadikan obyek, bukan subyek dalam gerak pendidikan?
Jangan dijawab dengan: Pilihlah saya sebagai Mendiknas, jangan ekonom, sejarawan, filosof, tentara, he … he …
Jangan pula dijawab: Roh pendidikan sudah mati di negeri ini.
—————–
1. Hehehe… pertanyaan yang menarik dan menantang, Pak. Saya akan mencoba menjawab berdasarkan analisis awam saya, Pak. Menurut hemat saya sih, lantaran banyaknya doktor dan magister “gadungan” yang gampang beli ijazah karena punya duwit. Bukankah ini sdh menjadi fenomena yang kasat mata di negeri ini, Pak? Jangan tanya lagi soal kualifikasi dan kompetensi mereka, Pak. 😀 Alih-alih berdiskusi dan brainstorming, menulis saja diragukan kemampuannya karena disertasi atau tesisnya pesan kepada “tukang”. Dus, memahami “karya-nya sendiri aja mereka kelimpungan. Bagaimana mungkin kiprah keilmuan mereka bisa diharapkan untuk ikut mengatrol mutu pendidikan di negeri ini? 😀
2. “Guru juga manusia”, Pak. 😀 Untuk bisa menghindari jeratan sebagai objek, agaknya butuh organisasi profesi yang kuat sebagai “backing”. Yang ada sekarang, organisasi profesi guru seperti lumpuh. Yang agak gencar berdemo memang PGRI. Tapi, limbah masa lalu yang ditimbun oleh Golkar dan Orba dalam tubuh PGRI tampaknya belum terkikis habis sehingga belum banyak diharapkan aksinya untuk membebaskan guru dari belenggu birokrasi. Yang sulit dilakukan juga masih kuatnya kultur paternalistik di kalangan guru. Imbauan atasan seringkalai dipahami sebagai instruksi alias komando. Kalau saya sih paling-paling melampiaskan “kejengkelan” saya lewat blog atau sesekali nulislah di media cetak. Syukur-syukur Panjenengan berkenan memberikan komentar apa pun di blog saya seperti ini. Wah, sungguh, sebuah kehormatan bagi saya. Ok, Pak, makasih masih berkenan bersilaturahmi. Salam budaya.
Ha .. ha tambah lagi … Menurut Sampeyan guru-guru itu (saya guru juga. lho) berkualitas ngak?
Jangan dijawab, hanya mampu melemparkan masalah yang membelit porofesinya kepada orang lain. Kurang inilah, kurang itulah, maunya politikuslah. Hayo, yang lemah diri sendiri kog pihak lain yang dihujat.
Demo ngak penting, yang penting kerja nyata. Wong politikus banyak yang ngak sekolahan kog … mereka berani, punya harga diri, nekad lagi. Guru? Ngeluh dan ngeluh.
Guru itu adalah pelari tangguh … jagi lari dari kenyataan yang membelit profesinya … lalu lempar ke pihak lain. Inilah kelompok profesi beranggotakan 2,7 orang yang giginya tumpul.
Mas, saya bercanda. Jangan tersinggung dan marah ya (sifat umum guru). Tapi, sungguh saya ingin diskusi serius. OK, kita coba yang ringan-ringan dulu di blog Sampeyan. Saya masih melihat fajar harapan bangsa ini di tangan guru. Saya yakin, kita perlu waktu membenahinya.
Salam hangat.
——————-
Ok, trims banget responnya, Pak, ha-ha-ha 😀 makin menarik nih tampaknya. “Gigi tumpulnya” dah keluar. Tapi nggak apa2 kok, Pak. Saya malah seneng, bisa jadi sarana untuk otokritik, he-he-he. Saya pun sependapat dengan Bapak. Peningkatan mutu pendidikan masih bisa diharapkan dari tangan guru. Jujur saja saya ingin mengatakan bahwa kualitas guru belum seperti yang kita harapkan. Taruhlah saja tentang penyusunan silabus dan rencana pembelajaran. Masih kacau, Pak. (Saya mungkin termasuk di dalamnya, Pak, hehehehe). Inginnya cepet-cepet rampung, tapi jadi nggak cocok. Lha wong KTSP itu mestinya kan mencerminkan karakter siswa didik, latar belakang sos-bud masyarakat setempat, dan kondisi sekolah. Tapi yang digunakan malah KTSP sekolah Jakarta atau dari negeri Antah Berantah. Gimana tuh, pak. Kalau mau flashback sedikit –tdk bermaksud cari kambing hitam lho, Pak– LPTK pun saya pikir tidak benar2 matang mempersiapkan calon guru, hehehe. Lihat saja mata kuliah yang disajikan. Nggak match dengan kondisi yang akan dihadapi calon guru. Buku setumpuk waktu kuliah jadi nggak “bermakna” untuk diterapkan dalam KBM. Secara riil, kemampuan guru dalam mengajar lebih banyak ditentukan oleh pengalaman secara empiris di lapangan. Teori dari LPTK ada manfaatnya juga, sih, Pak. Tapi kalau LPTK tidak melakukan perubahan paradigma, hanya sekadar mencetak lulusan karbitan, bahaya juga tuh, Pak. Ini artinya, harus ada link yang jelas antara LPTK dan institusi pendidikan. Kurikulum LPTK harus mengakomodasi hal-hal penting dan substansial yang ada di sekolah, mulai pendidikan dasar hingga pendidikan menengah. Atau jangan-jangan kurikulum di LPTK hanya dirumuskan dari belakang meja, tanpa melihat kondisi sekolah yang sesungguhnya di lapangan (?) (Maaf, Pak, bukan serangan balik, lho).
Ok, trims banget, Pak.
Salam takzim kembali, Pak, matur nuwun.
Mungkin inilah dampak dari komersialisasi pendidikan….mungkin
Uppsss maaf ada yang kurang….
Mungkin ini adalah dampak dari komersialisasi dan politisasi pendidikan kita…
——————
Betul kali, ya, Pak. Coba lihat saja, untuk sosialisasi perubahan kurikulum saja, berapa duwit yang telah tersedot? Kayaknya makin ruwet saja nasib dunia pendidikan di negeri ini. 😀
Kira2 .. para pengambil kebijakan di dunia pendidikan pernah membaca cerita Sisyphus ga ya Pak .. semoga beliau bisa mengambil hikmahnya.
———————-
Nah, itu persoalannya Pak Erander, saya juga ragu. Jangan2 para birokrat pendidikan kita itu terlalu banyak proyek sehingga nggak sempat (bahkan malas) membaca, hahahaha 😀 Buktinya aja banyak kebijakan yang tidak populer alias merakyat. Moga2 aja ke depan para pejabat kita memiliki kearifan sehingga mau memikirkan dunia pendidikan yang diyakini banyak kalangan sebagai tempat untuk menaburkan nilai2 peradaban yang religius, bermoral, dan berbudaya.
Tertarik dengan komentar Pak Ersis:
Jawaban saya sederhana saja Pak…
Saya mencoba menjawab sebatas pemahaman saya…jawaban saya sama dengan komentar saya di atas: Politisasi pendidikan.
Jawaban Pak Sawali tentang para intelek gadungan memang ada benarnya. Tetapi saya mempunyai pendapat lain, yaitu seberapa banyakkah akses yang diberikan kepada orang2 intelek (doktor dkk) untuk melakukan suatu upaya perubahan?
Benarkah sudah dilaksanakannya penyusunan kebijakan secara profesional, lepas dari segala macam unsur politis?
————————–
Ha…ha….ha…. Komentar Pak DeKing ada benarnya juga. Di negeri kita ini mana sih yang nggak dipolitisir? Hampir semua bidang tak lepas dari unsur yang satu ini. Rekrutmen pejabat, visi pendidikan, bahkan juga sembako yang notabene menyangkut hajat rakyat banyak pun tak lepas kena pelintiran politik, hehehe 😀 Mungkin ada baiknya didirikan saja sekolah calon politisi… biar mereka kelak makin pintar bersilat lidah dan berkoar-koar di atas mimbar kampanye menjelang Pemilu, hahaha 😀
Wah, saya hanya pelajar kehidupan.Untuk sementara hanya numpang-numpang baca ,pak. Saya menyukai tulisan bapak.Selain tutur bahasanya yang ngalir,rapi,enak dibaca juga terkesan rendah diri.Maaf, tidak bermaksud memuji tapi apa adanya.Saya sangat tertarik dengan tulisan-tulisan tentang pendidikan di Negeri kita ini.Tapi sejauh ini saya belum bisa menulis dengan sempurna apalagi menulis tentang pendidikan kita.Inilah yang saya katakan kendala menulis tanpa pendidikan yang cukup.Sedikit banyak ada kaitannya.
Akan sangat bagus bila apa yang sudah pernah di pelajari di sekolah di terapkan dalam kehidupan sehari-hari.Sejelel-jeleknya mutu pendidikan kita pasti masih ada manfaatnya.Saya sangat yakin akan hal itu.Untuk ini butuh kerjasama yang baik antara orang tua siswa/i ,siswa/i itu sendiri dan guru-guru yang bersangkutan.Katakanlah anak kita disekolahkan ke sekolah yang paling bermutu tapi kalau anak itu sendiri tidak berniat belajar apapun yang mau dikata akan susah.Pendidikan kita bisa sukses bila semua pihak terkait mau bekerja sama bukan saling menyalahkan.
Trim’s ya,pak, sudah berkenan berkunjung di blog saya.
Sementara belum bisa membuat blog baru.Maklum masih ngaptek, he he.Menulis itu hoby saya.Meski saya tau menulis bukanlah hal yang susah seperti kata orang dan memang tida
————————
“Pelajar kehidupan”, idiom yang bagus tuh, Mbak Hanna. Memang justru itu menurut saya yang paling hakiki dalam dinamika kehidupan manusia. “Belajar sepanjang hayat”! Menulis pun saya kira juga demikian. Penulis adalah pelajar kehidupan yang tak pernah berhenti mencari tafsir terhadap berbagai fenomena kehidupan untuk kemudian diekspresikan melalui media bahasa. Bahasa kehidupan tentunya, hehehe. 😀
Dunia pendidikan kita hingga saat ini memang terus menjadi bahan perbincangan banyak kalangan. Saya pun meresponnya biasa-biasa saja. Tidak terlalu berlebihan, Mbak. Kalau kebetulan di beberapa postingan ini muncul tulisan yang banyak berkaitan dengan dunia pendidikan hanya faktor kebetulan saja. Blog ini bisa dikunjungi dan dibaca oleh siapa saja. Tidak mengenal segmen. Ok, makasih, Mbak Hanna, sampai ketemu, salam.
Jangan kaget, temen-temen. Dibalik semua itu proyek. Ada juga ego. Ada juga karena pejabat baru bingung buat program. Yaaa paling enak menyengsarakan rakyat
—————
Hahahaha…. 😀 Betul banget tampaknya itu, Pak Mawardi. Ada proyek, ego, bingung, akhirnya pilih menyengsarakan rakyat dan mencari serta mencuri untuk kepentingan pribadi dan kroninya. Paling enak tuh, Pak.
Ups ! kepenggal tulisannya. Tapi sudahlah, lain kali lagi sambungannya. He he.Beginilah komentar orang yang tidak berpendidikan.
Salam.
Kira2 .. para pengambil kebijakan di dunia pendidikan pernah membaca cerita Sisyphus ga ya Pak .. semoga beliau bisa mengambil hikmahnya.
———————-
Nah, itu persoalannya Pak Erander, saya juga ragu. Jangan2 para birokrat pendidikan kita itu terlalu banyak proyek sehingga nggak sempat (bahkan malas) membaca, hahahaha 😀 Buktinya aja banyak kebijakan yang tidak populer alias merakyat. Moga2 aja ke depan para pejabat kita memiliki kearifan sehingga mau memikirkan dunia pendidikan yang diyakini banyak kalangan sebagai tempat untuk menaburkan nilai2 peradaban yang religius, bermoral, dan berbudaya.
Mbak Hanna kan sudah punya keyakinan sebagai pelajar kehidupan. Dalam dunia semacam itu pendidikan formal tidak penting lagi untuk dipikirkan. Dari kehidupanlah manusia makin arif, matang, dan dewasa. Ditempa oleh berbagai dinamika kehidupan seperti pohon kehidupan. Makin tinggi menjulang, makain banyak tiupan angin yang menerpa. 😀
Jangan kaget, temen-temen. Dibalik semua itu proyek. Ada juga ego. Ada juga karena pejabat baru bingung buat program. Yaaa paling enak menyengsarakan rakyat
—————
Hahahaha…. 😀 Betul banget tampaknya itu, Pak Mawardi. Ada proyek, ego, bingung, akhirnya pilih menyengsarakan rakyat dan mencari serta mencuri untuk kepentingan pribadi dan kroninya. Paling enak tuh, Pak.
Ups ! kepenggal tulisannya. Tapi sudahlah, lain kali lagi sambungannya. He he.Beginilah komentar orang yang tidak berpendidikan.
Salam.
Kesalahan semua elemen, pasti itu … di LPTK lebih parah lagi. Sebenarnya, pendidikan mau diapain aja —termasuk komersialisasi ya tergantung guru, dong. Kalau guru ngak mau, hayo mau apa?
Tapi, kan guru itu yang payah (paling payah), berikutnya LPTK, pakar-pakar, baru birokrat pendidikan, politisi, dan pemerintah …
Kalau mau baik gurunya harus sadar …. coba bayangkan berjaah mendustai UN, apa ngak gila … dari kecil anak-anak uda ‘diajarin’ curang —tu– Kelmpok Air Mata yang kena, jujur saja susah … setelh lulus lalu jadi pejabat atau pengusaha, ya curang itu biazza-biazza sazzza wong dah dipraktekkan gurunya. Lalu setelah mereka sukses, mereka ngak mau nengok gurunya, membela nasib gurunya, memperjuangkan etc … soalnya gurunya ‘penjaga’ kecurangan.
Mungkin kita-kita yang guru bisa marah. Tapi, ityu belum seberapa. Kemampuan guru lebih payah. Apa sih susahnya memahami dan mengembangkan KTSP. Guru ngak mampu, to. Lalu yang salah pemerintah, Depdiknas, LPTK, apa ngak lucu.
Ntar, kalo guru ngak mampu disain web, e-learning, yang salah pihak lain lagi. Belajar dong. Gimana tu hidup di era IT, ngajar masih aja pakai kapur.
Puluhan tahun ngajar, bikin LKS aja ngak bisa, apalagi bikin buku. Bikin karya ilmiah ngak mampu, gimana mau naik pangkat ke IV B. Jadi, yang utama dan pertama, guru harus punya kompetensi profesional, dan … jati diri. Baruuuuuuu … mungkin tidak dijadikan bulan-bulanan pihak lain.
Pertanyaan pokoknya: Apakah guru mau belajar dari kedunguan selama ini? Hanya beberapa orang.
——————-
OK, Pak Ersis, diskusi masih bisa berlanjut kok, hehehe 😀
Dalam konteks UN, sebenarnya ada dua kelompok. Ada yang pro, ada juga yang kontra. Saya sendiri termasuk kelompok yang kontra. Tapi untuk melakukan “perlawanan” kan butuh kekuatan presser yang lain. Nggak hanya guru doang. Coba kalangan PT mana yang mencoba untuk bersuara ttg evaluasi yang bener, Pak! Juga pakar-pakar yang hebat-hebat itu. Mana ada suaranya. Kalau selama ini guru menjadi penjaga kecurangan, mbok dibantu gitu hheehehe 😀 Terus terang saja, meski secara kuantitas jumlah guru di negeri ini cukup besar, tetapi posisi tawarnya rendah. Apalagi, seperti yang saya sampaikan sebelumnya, guru juga manusia. “Kekurangan” guru yang paling utama adalah kultur untuk memuliakan yang lebih tua dan menjaga nama baik atasan. Ini fenomena umum yang terjadi, lho, Pak. Dus, kalau guru diminta untuk melakukan aksi, tanpa backing organisasi, sama saja teriak di tengah arus lalu lintas yang ramai dan kacau. Nggak ada gemanya. Saya setuju dengan pernyataan Bapak di awal komentar, semua komponen pendidikan di ini negeri harus kompak. Kalau melingkar-lingkar cari “kambing hitam” sampai kapan pun nggak akan ketemu, Pak …. 😀
Ok, memang gampang saja menuding guru sebagai biang kerok rendahnya mutu pendidikan lantaran gurulah yang terkait langsung dengan proses pembelajaran di sekolah. Memang harus jujur diakui 4 kompetensi guru: kepribadian, sosial, pedagogik, dan profesional, masih babak belur. Dan yang paling parah adalah kompetensi profesional. Ternyata untuk membikin guru profesional nggak mudah tuh, Pak. Selain saking banyaknya, juga proses rekrutmen guru dan produk lulusan dari LPTK pun rata-rata diragukan kompetensinya. Gaji dan penghasilan guru yang rendah membuat animo lulusan SMA jarang yang mau masuk ke LPTK. Yang masuk ke sana, rata2 mahasiswa “sisa-sisa” yang nggak diterima di PT favorit. Akibatnya apa? Hancur. Kualitas lulusan jelek, materi yang disajikan di PT pun nggak match dengan kondisi di lapangan. Kalau calon-calon guru yang masuk ke LPTK betul-betul manusia pilihan, mungkin ini bisa mengurangi rendahnya mutu kompetensi profesional guru.
Nah, akibat banyaknya lulusan LPTK yang bermutu rendah, maka ketika menjabarkan KD menjadi indikator, apalagi membikin silabus dan RPP jadi gelagapan. Bisanya hanya copy-paste. Salah siapa hehehe … ? 😀 Belum lagi kalau nanti guru harus bersentuhan dengan ICT untuk keperluan pembelajaran. Bikin media lewat power point saja masih belepotan.
Tapi, tanggapan Pak Ersis, membuat saya makin tergugah, betapa makin rumit dan kompleksnya persoalan yang dihadapi guru. Dan ini perlu ada aksi nyata untuk mengatasinya. Semua komponen harus kompak dan bersama-sama untuk mendongkrak mutu pendidikan dengan cara yang benar. Tidak hanya sekadar untuk menjaga gengsi pejabat atau mengangkat daya saing bangsa an-sich.
Ok, Pak Ersis, salam takzim.
O ya … maaf … saya pikir komentar-komentar disini dapat saya olah untuk menyelesaikan buku tentang guru (simak http://www.webersis.com pada dataran Guru). Kalau boleh lho. Saya jadikan artikel dan … jadi deh buku. Sekali lagi kalau boleh. Saya takut juga, ini soal etika menulis.
—————————
Ok, makasih, Pak, mangga, saya malah jadi ikutan senang, Pak. Asal jangan lupa, kalau dah jadi bukunya, tolong dikasih, Pak hehehe …….. 😀 *bercanda lho, Pak*
Mbak Hanna kan sudah punya keyakinan sebagai pelajar kehidupan. Dalam dunia semacam itu pendidikan formal tidak penting lagi untuk dipikirkan. Dari kehidupanlah manusia makin arif, matang, dan dewasa. Ditempa oleh berbagai dinamika kehidupan seperti pohon kehidupan. Makin tinggi menjulang, makain banyak tiupan angin yang menerpa. 😀
Harus diakui kalau nasib pendidikan kita selama ini seperti nasibnya Sysiphus itu. Yang perlu kita cermati sebenarnya dimana simpul awalnya? Sebagai “pemain” di dunia pendidikan saya sangat prihatin.Selama ini secara konsep menurut saya sudah bagus. Yang saya tahu justru pelaksanaannya yang tidak sesuai konsep. Ibarat orang mau bikin martabak. Resepnya ada tapi ternyata waktu bikin martabak bahannya diganti, bumbunya tidak sesuai resep, dan prosesnyapun tidak pas. Maaf kalau saya terpaksa pakai analogi ini. Pengalaman menerapkan kurikulum 1994, sebagai guru coba bung Sawali amati berapa prosen guru yang paham benar kurikulum? Berapa yang sudah baca buku I, atau buku III? Bahkan banyak yang belum pernah lihat wujud dokumennya, apalagi membaca. Padahal kita tahu di kedua dokumen itu ada tujuan yang perlu dipahami, dan di buku III ada cara-cara baku semacam SOP dan ”resep” untuk bisa menghasilkan “masakan” yang bermutu. Kalau tujuannya saja nggak dipahami ya wajar saya kira kalau nggak pernah sampai di tujuan, dan bahkan tanpa merasa bersalah.
Meminjam percakapan dalam cerita anak : ”Alice in Wonder Land” : ketika Alice dan kucingnya tersesat di hutan dan menemukan beberapa pilihan jalan, bertanyalah si Alice pada kucingnya:
– tolong tunjukkan pada saya jalan mana yang harus saya ambil agar tidak tersesat lagi?
Si kucing ganti bertanya :
– Sebelum saya tunjukkan jalan maukah kau beritahukan padaku akan pergi kemanakah engkau?
Alice menjawab :
– Saya tidak tahu mau pergi kemana.
Akhirnya si Kucing berkata :
– Jika kamu tidak tahu mau kemana, maka jalan mana saja yang akan kau ambil tidak akan membuatmu tersesat, toh kamu tidak mempunyai tujuan yang hendak dituju.
Banyak kasus yang menurut konsepnya baik tetapi dalam implementasinya ternyata menjauhkan dari tujuan pendidikan. Ujian Nasional misalnya. Ujian sebagai salah satu evaluasi untuk mengetahui sejauh mana kwalitas proses pendidikan adalah hal yang lumrah. Yang menurut saya salah adalah cara guru mensikapi ujian nasional. Beberapa contoh sikap yang salah dalam menghadapi ujian antara lain :
1. mengesampimpang mata pejaran lain hanya karena memprioritaskan persiapan ujian nasional. Hal ini menunjuukkan tidak dipahaminya tujuan pendidikan. Bukankah tujuan pendidikan itu komprehensip, komplit plit tidak hanya mencerdaskan anak saja tetapi juga akhlak, keimanan, tanggungjawab, dan keterampilan?
2. memberikan bantuan jawaban pada saat ujian nasional dengan harapan siswa memperoleh nilai yang baik. Bukankah ini malah bertentangan dengan tujuan pendidikan itu sendiri? Kalau toh nilai ujian akhirnya baik, itu tujuan yang mana yang tercapai? CERDAS? TANGGUNG JAWAB? AKHLAHNYA MULIA? Apa malah tujuannya tidak tercapai semua?
Dan masih sederet lagi “ketersesatan” kita dalam praktek pendidikan yang tidak disadari karena kurang dipahaminya tujuan.
Akhirnya bung, meskipun kita akui bahwa pada hampir semua kurikulum ada kelemahannya tetapi kurikulum hanyalah sarana/alat. Yang penting manusianya: GURU,KEPALA SEKOLAH,DAN BIROKRAT PENDIDIKANNYA.
———————-
Idiom dan perumpamaan yang Bapak pakai saya kira tepat sekali. Dalam melakukan aksi, orang harus tahu dulu tujuannya. Lebih-lebih dalam dunia pendidikan sebagai basis dan agen peradaban. Mau atau tidak, semua komponen pendidikan harus paham dulu ke mana tujuan pendidikan ini akan dibawa. Kalau tidak, ya muter-muter terus, bahkan bisa terjadi tabrakan dan tumpang-tindih.
Berkaitan dengan masalah ujian, kalau boleh meminjam istilah Pak Ersis Warmansyah Abbas –dosen UNLAM Banjar Masin– telah terjadi kebdohan dan kedunguan berjamaah yang telah dilakukan oleh guru karena membiarkan berbagai kecurangan terjadi. Ini mengindikasikan bahwa UN selama ini memang masih memiliki kelemahan mendasar yang harus dibenahi. Fenomena itu telah umum terjadi di mana-mana. Tapi kalau “dosa” itu ditimpakan kepada guru, saya kira, nggak fair juga. Meskipun banyak jumlahnya, posisi tawar guru masih rendah untuk beraksi. Saya kira mutu pendidikan di negeri ini akan bisa terangkat mutunya apabila semua komponen terkait mau dan sanggup untuk bekerja secara kompak, cerdas, dan menguntungkan dunia pendidikan. Tak akan banyak gunanya apabila hanya muter2 mencari kambing hitamnya.
Ok, Pak Ut, makasih silaturahminya, mudah2an kita masih terus bisa berdiskusi secara online. Mudah2an dapat inspirasi untuk ikut berkiprah meningkatkan mutu pendidikan di negeri ini. 😀
Salam takzim,
O ya … maaf … saya pikir komentar-komentar disini dapat saya olah untuk menyelesaikan buku tentang guru (simak http://www.webersis.com pada dataran Guru). Kalau boleh lho. Saya jadikan artikel dan … jadi deh buku. Sekali lagi kalau boleh. Saya takut juga, ini soal etika menulis.
—————————
Ok, makasih, Pak, mangga, saya malah jadi ikutan senang, Pak. Asal jangan lupa, kalau dah jadi bukunya, tolong dikasih, Pak hehehe …….. 😀 *bercanda lho, Pak*
Duh … salam kenal tu sama Mas Ut … saya kira ini intinya … guru tau dirilah dulu. Setelah sadar, baru lakukan aksi perbaikan tanpa menuntut pihak lain. Guru adalah obor dan guide ke arah kebaikan. Ini jangan didebat lagi.
Saya muak dengan segala keluhan … suatu kali merenung bermalam-malam, lalu sadar, kesalahan juga bersaham di LPTK, saya ‘pengajar’ guru, lalu beralih menjadi ‘pendidik’ guru. Simpul renung, perbaiki dari hal paling kecil, ya itu tadi beralih dari pengajar menjadi pendidik.
Kini, lebih senang ‘mendidik’ di luar sekolah. Bagaimana mungkin guru menjadi penanam basik ilmu sampai fasilitator kalau kompetensinya saja guru tidak paham he … he …
Mudah-mudahan eksprimen saya berhasilnya. Soal materi, tidak didongengkan di bangku kuliah, cari sendiri di internet, di ruang kuliah diskusi dan berpikir merdeka untuk mencari solusi teoritik untuk diimplementasikan. Calon guru wajib membelajarkan dirinya, kalau diajar nanti tidak kreatif dan inovatif. Kayaknya ada perbuahan tu.
Kata-kata saya: Saya akan malu pernah jadi teman kalian di ruang kuliah kalau soal-soal sepele kayak email, web, sampai e-learning ngak paham, kalian bisa jadi guru paling antiq di dunia. Saya juga malu kalau kalian ngak bisa ngembangkan silabus dan saudara-saudaranya. Guru-guru bodoh yang ngak bisa bikin LKS atau buku teks yang tiap hari puluhan tahun diajarkan di kelas … menulis apa yang diomongin (diajarkan saja ngak bisa), guru macam apa kalian … he he
Persis seperti temanmu ini (dosen) yang hanya bisa ngomong di kelas … tapi tidak menulis he … he … Akhirnya kami sepakat membentuk komunitas menulis (KP EWA’MCo) dengan syarat anggota harus rajin baca, apa saja. E … jadi ramai, dan malahan melebar kemana-mana. Anggotanya jadi banyak banget, kewalahan deh kita. Tahu rahasianya?
Saya bilang, saya dosen dungu, nah sekarang mari kita sama-sama ngak mau jadi dungu, belajar sama-sama. Jadi, melalui EWA’Mco. berkumpulah para pedunggu untuk tidak mau dungu lagi. Suhunya Ersis … he he … yang dungu tapi ngak mau dungu terus-menerus.
Bagaiman menurut Sampeyan?
—————-
Bagus dan Ok, Pak. Model perkuliahan yang dilakukan Pak Ersis termasuk sebuah inovasi yang layak diapresiasi. Kayaknya masih lang deh dosen2 yang mau kreatif seperti Bapak itu. Semoga sukses, Pak. Salam.
Pingback: Menghijaukan Pendidikan, Bagaimana Caranya ? « The Sun and The Moon Site
Saya minta alamat email Sampeyan, juga Al Jupri … ntar saya kirim passwood jadi bisa ngisi sendiri di blog. Langsung saya buat blog nih. Aturan saya kirim lewat email he he ntar ketahaun ayng lain bisa diketawaiin he he. Oh ya, mulai hari pertama puasa … saya lagi resensi buku tentang Rasulullah tinggal 12 buku lagi.
Saya minta alamat email Sampeyan, juga Al Jupri … ntar saya kirim passwood jadi bisa ngisi sendiri di blog. Langsung saya buat blog nih. Aturan saya kirim lewat email he he ntar ketahaun ayng lain bisa diketawaiin he he. Oh ya, mulai hari pertama puasa … saya lagi resensi buku tentang Rasulullah tinggal 12 buku lagi.
Setiap kali ingat blog pak Sawali, saya suka ingat kalau banyak bapak ibu kita di DPR yang suka studi ke Eropah dll. Bagaimana ya, sekali-sekali bapak-bapak dan ibu-ibu guru kita juga dikasih kesempatan seperti bapak ibu di DRP untuk jalan-jalan melihat sekolah di luar negeri selama 2, 3 bulan?
Tapi ah, ini cuma lamunan saja koq pak. Oh, ya saya punya blog bahasa Indonesia sekarang pak. Jangan lupa mampir.
Tabik,
Aris/
juga mantan guru. 😆
@ drt:
Waduh, kalau “lamunan” Pak Aris bisa terwujud, wah, pasti banyak anak muda yang bercita-cita guru, Pak, karena ada bonus jalan-jalan ke Eropa. Wah, salut Pak Aris, nih, mantan guru ya, Pak. OK, salam.
jadi ngga ada kurikulum 1999, ya, pak? pantesan saya bingung pas dapat bab kurikulum 1999.
Sebelumnya terima kasih pak, saya baru mampir di blok ini. Subhanallah banyak pencerahan yang bisa saya terima, terutama bagaimana menjadi guru yang baik.
Ada harapan semoga perubahan kurikulum yang terjadi bukan sekedar menjalankan proyek tanpa ada evaluasi yang mendalam misalnya tanpa ada penelitian atau evaluasinya hanya sekedar dari obrolan para pendidik dan pemegang kebijakan yang akhirnya hanya membebani guru dengan hal-hal yang tidak seharusnya…….maksudnya bikin bingung guru dengan seringnya berubah kurikulum.
Ada pertanyaan ni pak…
Kurikulum sering berubah….tapi kondisi anak untuk bertanggung jawab sebagai pelajar/murid untuk belajar kok sekarang semakin menurun padahal PR dan beban materi sudah dikurangi…bagaimana ni pak menghadapinya….?
walah, makasih banget, mas wayandayu. agaknya persoalan yang dihadapi anak2 sekarang semakin rumit dan kompleks, mas. ada yang bilang, anak2 tengah mengalami split personality. nilai2 yang ditanamkan di sekolah seringkali bertentangan dg apa yang mereka liht di tengah2 kehidupan masyarakat.
sepakat dengan adanya split personality nya pak. maaf juga baru gabung. ditambah lagi, anak2 (juga yg dewasa) zaman sekarang memiliki bathok kepala yang berasumsi, kalau blm makan KFC blm bs dianggap modern, kalau tidak clubbing namanya bukan anak gaul, kalau belum pernah ML nggak jantan, dan seabrek salah kaprah2 yg lain yg memenuhi bathok kepala mereka. walhasil rasanya semakin penuh saja itu otak dengan hal2 yg sebenarnya banyak yg kurang bermanfaat tetapi terlanjur difahami sbg sebuah keharusan, akibatnya nilai2 moral menjadi terabaikan, bahkan untuk menghafal pelajaran yg mudah saja kadang harus sampai banjir keringat. Ini sangat jauh dg kemampuan otak orang2 zaman dulu. Lalu kesalahan apa yg terjadi dlm sistem hidup kita yg katanya sdh modern dan maju ini? Semoga, minimal, keluarga kecil kita, atau lingkungan sekitar kita bisa kita warnai dg paradigma yg tdk salah kaprah.
Salam kenal dari kairo
@havna,
salam kenal juga dari indonesia. wah, terima kasih banget sudah berkenan berkunjung di gubug maya saya. tambahan infonya sangat berharga buat saya. sekali lagi, terima kasih. salam sukses!
blh mnt alamat email bapak?
@havna,
Kenapa tidak? mbak havna bisa kontak saya via email: sawali64@gmail.com
terima kasih. saya tunggu infonya! salam hangat!
wah… tulisan dan diskusi yang menarik seputar pendidikan…
bookmark dulu pak, kapan2 balik lagi buat baca abis… lagi ada kerjaan sih, hehehe..
Pak, saya mau bertanya.
Menurut Bapak, bagaimana perubahan kurikulum di Indonesia sejak tahun 1945-2006?
Makasih………..
WAH, ULASAN YANG Menarik pak 😀