Romantika, Logika, dan Religiusitas

Nurdien H Kistanto, Sajak-sajak Orang Desaku, IKIN dan Penerbit Undip, Semarang 1996, V+45 halaman.

PROF. A. Teeuw pernah mengatakan puisi tak akan pernah tercipta dalam suasana kosong. Artinya, puisi akan senantiasa diwarnai oleh visi, persepsi, dan obsesi penyairnya dalam memandang kehidupan. Penyair bebas memilih gaya pengucapan sesuai dengan kepekaan intuitifnya.
Oleh karena itu, meskipun objekmya sama jika ditulis penyair berheda akan menghasilkan gaya ucap puisi yang berbeda pula. Dengan kata lain, membaca puisi sama halnya dengan membaca kehidupan pribadi pengarangnya, membaca pandangan hidupnya atau membaca falsafah hidup yang dianutnya. Membaca Sajak Orang-orang Desaku (SOOD) karya Nurdien Kistanto setidaknya kita akan dihadapkan pada keadaan-keadaan semacam itu.

Ada 30 judul puisi disajikan dalam SOOD. Ditulis dalam kurun waktu dua dasawarsa (1976-1996), baik yang sudah diterbitkan di berbagai koran, majalah, dan antologi puisi di Se-marang, Bandung, Jakarta, dan Brunei, maupun yang belum diterbitkan. Terbagi dalam tiga fase penciptaan, yakni fase I (1976-1979), fase II (1980), dan fase III (1981-1996).
Kalau kita tinting seluruhnya, ada tiga dimensi pokok mewarnai puisi-pui.si tersuhut, yakni romantisme, logika, dan religiusitas. Semua itu menggambarkan potret diri penyair dalam menggumuli hidup dan kehidupannya.

Romantisme
Pada fase I (1976-1979), romantisme menjadi dimensi yang sangat kuat dan kental membayangi puisi-puisinya. “Saya Taburkan”, “Siapa Bilang”, atau “Catatan Seorang Pecinta Alam”, jelas menampakkan emosi-emosi purba — meminjam istilah Bambang Supranoto — itu. Bahkan, dalam “Pantai Kartini”, Nurdien terjebak pada pengungkapan romantisme yang terkesan cengeng. Diksinya meluncur seperti romantisme remaja yang tengah dilanda asmara. //Kemelut telah terkikis massa, sejak gelombang pantai memaksa kita, untuk bercanda di tepi senja, Ke-napa kau jadi terharu, Kerna cemaskan kehadiranku?//

Namun, kita pun akhirnya paham, sebagai manusia biasa, ia tak akan sanggup menghindar dari sergapan pubertas, suatu fase yang mesti dijalaninya. Pada puisi yang lain, Nurdien mulai menampakkan kecenderungannya untuk “menyentuh” aspek intelektual setelah masuk dalam lingkaran akademik. Pada “Nusantara”, misalnya, jelas menampakkan opini seorang intelektual dalam menilai kondisi Indonesia –sebagai negara dunia ketiga yang mengalami pembauran antara tradisi denga teknologi modern. Berbicara soal soal Indonesis, sama halnya membahas zaman batu (dengan kepala-kepala suku), sekaligus teknologi maju dengan bangunan-bangunan kota dari baja, beton, dan kaca).

Pada fase kedua (1980), romantisme masih menjadi “warna” puisi Nurdien. Hanya saja, romantisme itu sudah diikuti kepekaannya dalam memandang sisi-sisi kehidupan yang cukup antagonis dengan idealismenya. Pada “Cita-cita Simbok”, misalnya, Nurdien sedikit menyelipkan kritik terhadap para sarjana yang cuma ngerti ilmu, tetapi kering filsafat masyarakat. “… dia cuma ngerti ilmu, lain mbok, padahal sarjana sekarang: b-e-r-a-t, wajib ngerti filsafat masyarakat, harus mumpuni, kata profesor Slamet.” Pada puisi ini pula, Nurdien menampakkan gagasan muluknya sebagai seorang penyair sekaligus intelektual yang ingin mengawinkan antara Timur dengan Barat, tradisional dan modern, antara sains dengan humaniora. “Kawinkan Sartremu dengan Iqbalku, kawinkan Einsteinmu dengan Baiquniku”

Logika dan Religiusitas
Pada fase III (1981-1996), Nurdien mengalami transfigurasi total dalam proses kreativitasnya. Romantisme gaya ucap yang mendayu-dayu seperti pada fase I dan II berubah dengan gaya ucap “diafan” yang ingin mengatakan apa adanya secara lugas, tanpa simbol, maupun metafor yang konotatif.

Barangkali itulah yang menyebabkan Bambang Supranoto saat diskusi puisi “Nurdien Kembali” di Panggung Sastra Undip beberapa waktu lalu mengatakan bahwa puisi Nurdien telah mengindoktrinasikan pembaca. Pembaca tak lagi punya ruang gerak bebas untuk menafsirkan dengan berbagai kemungkinan karena telah terpasung oleh diksi yang monotafsir.

Kalau dicermati, tampaknya “stigma” Bambang Supranoto cukup beralasan. Banyak puisi Nurdien yang kering “sentuhan” estetika. Nurdien lebih banyak menggunakan gaya ucap logika dengan paradigma keilmuannya ketimbang gaya ucap estetik yang mengharubiru sanubari. Sentilan-sentilan kritiknya menjadi amat vulgar dan mengabaikan rima, idiom, simbolik, maupun metafor yang menjadi jatidiri puisi dengan sifatnya yang multitafsir.

Pada “Sajak Orang-orang Desaku” yang sekaligus menjadi titel buku ini, Nurdien ingin mengungkapkan religiusitas masih menjadi dimensi yang disuntukinya, meskipun pernah melanglang buana. Sayangnya, regiliusitas itu belum menjadi “ruh” puisinya. namun sekadar tempelan atau mosaik, seperti syair puji-pujian, Barzanji, atau doa-doa yang sering diucapkan orang-orang desanya.

Kreativitas
Kalau boleh menilai buku ini, selain sampulnya tidak menarik dab tanpa embel-embel nama pengarang dan penerbit seperti yang pemah diungkap oleh Bambang Supranoto, tampaknya pada biografi penyair perlu dilengkapi dengan tempat dan tanggal lahir penyair. Ini penting, sebab sangat berguna untuk melacak proses kreativitas kepenyairan. Meski demikian, kehadiran SOOD, selain memperkaya khazanah Sastra Semarang khususnya dan Indonesia umumnya, jelas menjadi indikasi kepenyairan Nurdien tetap eksis. Bagi yang sudi melacak kepenyaian Nurdien, kehadiran SOOD akan sangat membantu. *** (Sawali Tuhusetya)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *