SEIRING digulirkannya otonomi pendidikan, reformasi sekolah idealnya sudah bukan lagi sekadar wacana yang mengapung-apung dalam bentangan slogan dan retorika, melainkan sudah menjadi sebuah keniscayaan sejarah, menjadi realitas praksis dalam dunia persekolahan kita.
Mengapa reformasi sekolah demikian penting dipersoalkan? Setidaknya ada tiga argumen yang layak dikemukakan. Pertama, sekolah merupakan “ikon” masyarakat mini yang diharapkan mampu memberikan bekal hidup (life skills) yang sesungguhnya kepada peserta didik. Ini artinya, sekolah mesti menjadi institusi yang “merdeka” dalam menentukan masa depan bagi si anak yang hanya bisa terwujud jika angin reformasi berembus segar ke sekolah-sekolah.
Kedua, sekolah merupakan lembaga publik yang memberikan layanan kemanusiaan kepada peserta didik. Sebagai lembaga publik, sekolah dituntut untuk memiliki tingkat akuntabilitas, akseptabilitas, dan kredibilitas yang baik di mata publik sebagai “konsumen”-nya. Hanya melalui iklim reformasi yang sehat sekolah dapat menjalankan tugas dan fungsinya secara terhormat dan bermartabat kepada publik.
Ketiga, sekolah merupakan salah satu agen transformasi menuju masyarakat masa depan yang sesuai tuntutan perubahan dan dinamika global. Dalam menghadapi tuntutan semacam itu, sekolah harus memosisikan diri sebagai institusi yang terbuka dan demokratis, sehingga dapat membangun dan membumikan nilai-nilai kebenaran, kejujuran, dan keadilan kepada peserta didik.
Namun, secara jujur harus diakui bahwa reformasi sekolah masih “jauh panggang dari api”. Sekolah belum dipahami sebagai institusi yang “merdeka”, tetapi masih dianggap sebagai subsistem dari sebuah struktur birokrasi pendidikan yang rumit dan kompleks. Para birokrat pendidikan pun masih menampilkan diri bagaikan “borjuis-borjuis” kecil yang berkarakter feodal, sehingga kebijakan-kebijakan yang muncul belum sepenuhnya berpihak kepada sekolah beserta stakeholder-nya. Sekolah hanya menjadi perpanjangan tangan dari birokrasi pendidikan yang acapkali berbenturan dengan kebutuhan dan kondisi riil di lapangan.
SUDAH lama sekolah mendapat “stigma” sebagai produsen ijazah. Esensi fungsi dan perannya sebagai lembaga yang mampu melahirkan manusia-manusia unggul dinilai telah terabaikan.
Jika kondisi semacam itu terus berlanjut, bukan mustahil citra dan pamor sekolah akan meredup, bahkan mungkin kian hilang ditelan zaman.
Kini, sudah saatnya dilakukan upaya serius untuk menata sekolah melalui proses reformasi dalam arti yang sesungguhnya.
Pertama, reformasi pada aras manajemen sekolah. Kepala sekolah sebagai top-leader harus menyadari sepenuhnya bahwa sekolah yang dipimpinnya bukanlah warisan dan milik pribadi yang boleh dikelola “semau gue”. Setiap kebijakan yang hendak diambil sudah seharusnya melalui proses musyawarah yang melibatkan seluruh komponen sekolah (termasuk orang tua dan masyarakat).
Komite sekolah sebagai penjelmaan BP3 harus benar-benar diberdayakan, tidak sekadar menjadi “stempel” yang menjustifikasi kebijakan kepala sekolah seperti pada masa lalu. Para pengawas sekolah pun tidak lagi memosisikan diri sebagai “malaikat” yang menghambat karier kepala sekolah dan guru yang ingin melakukan perubahan-perubahan fundamental dalam lingkungan sekolah, tetapi justru harus mampu menciptakan iklim yang kondusif bagi perwujudan reformasi sekolah.
Kedua, reformasi pada aras pembelajaran di kelas. Agar dapat mewujudkan reformasi pembelajaran di kelas, guru harus benar-benar menjadi profesi yang otonom dan mandiri. Dengan kemandirian tersebut, guru diharapkan dapat menjadi figur profesional yang membawa suasana kelas bagaikan magnet yang mampu memikat dan menarik anak didik untuk belajar dalam suasana yang menyenangkan dan efektif.
Ketiga, reformasi pada aras evaluasi. Dihapuskannya evaluasi belajar tahap akhir nasioanl (ebtanas) menjadi ujian akhir nasional tidak akan memberikan imbas positif apa pun dalam dunia persekolahan selama bentuk yang digunakan masih berupa soal pilihan ganda. Selain tidak memotivasi guru mengoptimalkan proses pembelajaran di kelas, bentuk soal pilihan ganda hanya memperpanjang daftar keluaran yang tinggi nilai akademiknya, tetapi “bebal” sikap kritis dan daya nalarnya.
Oleh sebab itu, untuk melahirkan tamatan yang benar-benar teruji kadar kecerdasannya, mereka perlu diuji melalui soal-soal uraian yang memerlukan daya nalar tingkat tinggi.
Persoalannya sekarang adalah, sudah siapkah pihak yang memiliki otoritas di bidang pendidikan menggulirkan “bola” reformasi dalam arti yang sesungguhnya kepada sekolah? Siap jugakah para praktisi pendidikan di lapangan menafsirkan dan menerjemahkannya menjadi tindakan dan aksi yang benar-benar menguntungkan dunia pendidikan? Nah, kita tunggu saja!
Pingback: Reformasi Sekolah, Kepemimpinan Feodalistis, dan KTSP « JALUR LURUS
Pingback: Sawali’s Weblog » Reformasi Sekolah, Kepemimpinan Feodalistis, dan KTSP
Ya, UAN dengan soal multiple choice memang tidak dapat mengakomodir kemampuan siswa, bahkan untuk sekedar kemampuan berfikir. Karena di dalam bimbel2, biasanya siswa telah diajari trik2 khusus sehingga dapat mengerjakan soal tanpa berfikir, dan menghitung.
Pingback: Catatan Sawali Tuhusetya