Tumbal

Orang-orang bagai rusa masuk kampung. Bingung. Subuh tadi, anak Lik Karimun yang baru berusia tujuh bulan, hilang. Konon, si Nok tiba-tiba raib dari sisi tetek simboknya. Kontan saja Yu Painem menjerit-jerit histeris. Lik Karimun yang tidur di sisi Yu Painem pun limbung. Tubuhnya loyo.

“Wah! Ini pasti ulah demit jembatan itu lagi. Sudah tiga anak yang jadi tumbal!” kata seorang lelaki tua di sela-sela kerumuman banyak orang di rumah Lik Karimun.

Suasana bagai lebah mencari sarang. Onar dalam kebingungan. Saling pandang. Saling tanya. Namun, tak ada jawaban. Mereka mengurai menurut alur pikiran masing-masing.
“Kalau begitu, betul-betul gawat kampung kita. Kita harus mbudidaya agar demit itu tak lagi seliweran kemari!” lanjut lelaki tua itu penuh dendam.

Suasana kian menyiratkan kebimbangan. Rumah Lik Karimun penuh sesak. Rumah berdinding bambu itu bagaikan hendak runtuh. Suara-suara tangis, kebingungan, dan kengerian campur aduk dalam ketakpastian.

Di bilik, sesosok wanita kurus dan pucat tak sanggup lagi menjerit. Wajahnya kuyu. Rambutnya terburai acak-acakan. Tubuh kurus itu nggelosor di atas amben bertikar lusuh. Di belakang rumah, seorang lelaki bertubuh gempal tersandar lemas di pohon kelapa. Orang-orang di sekelilingnya tak bisa berbuat apa-apa. Pandang mata memelas terpancar dari wajah mereka. Orang-orang kian berjubel. Banyak orang salat subuh tergesa-gesa. Bahkan, banyak pula yang pura-pura lupa salat.

Subuh itu, kampung di tepi kali itu berselimut kabut duka. Singup. Memang sudah tiga anak raib tak diketahui rimbanya. Orang tua mereka tak tahu pasti, kapan anak-anak itu raib. Tahu-tahu, anak-anak itu hilang dari pelukan ibunya. Pertama, anak Pakdhe Darso. Kedua, anak ketujuh Kang Sunari. Dan ketiga, yang barusan itu, anak pertama Lik Karimun. Yu Rati, istri Pakdhe Darso, dan Yu Blonok, istri Kang Sunari, sedikit terhibur juga di tengah-tengah duka yang menyeruak kampung. Mereka merasa mendapat teman, sama-sama kehilangan anak.

“Untungnya kok ya bukan anak kita saja yang dipangan demit ya, Yu!” bisik Yu Rati di telinga Yu Blonok yang menanggapinya dengan anggukan.
***

Matahari sepenggalah. Kehidupan kampung berhenti. Ada rasa solidaritas yang harus mereka tunjukkan kepada Lik Karimun dan Yu Painem. Bagaimanapun, keduanya adalah sepasang suami-istri yang baru punya anak, patut diringankan duka mereka.

Ketika matahari mulai meninggi, orang-orang kampung masih berjubel di sekitar rumah Lik Karimun, sembari ngobrol ngalor-ngidul. Namun, wajah kecemasan dan waswas tetap membayang.

“Para Sedulur! Kampung kita baru tertimpa musibah, kita harus mawas diri!” kata seorang lelaki tua berikat kepala hitam. Sorot matanya tajam. Menyiratkan wibawa.
Orang-orang terhenyak. Serentak menatap lelaki tua itu, lalu menunduk. Tak seorang pun yang berceloteh. Hanya gumam-gumam pendek yang tertelan di tenggorokan. Lelaki tua berpipi cekung itu terus bicara panjang lebar. Dia mengingatkan, penduduk kampung harus kembali ke tradisi leluhur yang sudah lama mereka tinggalkan.

“Kita harus bersedekah bumi di makam Nyai Gending. Nyai Gendinglah yang mbahureka kampung kita ini!” sambungnya bersemangat. Sorot matanya kian tajam menyapu kerumunan. Suaranya lantang, keras, penuh ketegasan. “karena murka, Nyai Gending menyuruh para demit untuk menculik anak cucu kita sebagai tumbal jembatan!” Terdiam sejenak. Lalu, matanya yang tajam seperti mata elang itu menatap satu persatu orang-orang di sekelilingnya.

Sementara itu, di rumah Lik Karimun, para wanita masih saja sibuk menolong Yu Painem yang pingsan. Ada yang memijit kaki, kepala, perut, dan sebagian lagi memaksakan telur mentah masuk ke mulut Yu Painem yang kaku. Sebagian lagi, para lelaki, berusaha membujuk Lik Karimun yang masih bersandar di pohon kelapa dengan tatapan kosong.

“Ini tidak lain karena bangunan jembatan itu! Jembatan yang dibangun di bekas tempat keramat itu minta tumbal anak-anak!” lelaki tua berikat kepala hitam itu masih meneruskan ceramahnya. Orang-orang mengangguk. Ellaki tua yang biasa dipanggil Mbah Kamin itu tersenyum tipis. Kebanggan memancar di wajahnya yang keriput.

Dari depan gang, muncul rombongan Pak Kades beserta perangkatnya. Setelah saling bersalaman, rombongan Pak Kades segera menuju rumah Lik Karimun. Ada pancaran kebencian menggantung di wajah Mbah kamin atas kedatangan pemimpin desa itu. Lelaki tua kurus itu segera beringsut, berbaur bersama orang-orang kampung menuju rumah Lik Karimun.

Di belakang rumah, beberapa lelaki memapah Lik Karimun. Pak Kades tersentak. “Sungguh memprihatinkan kehidupan keluarga ini,” pikirnya. Berkali-kali, kepala desa yang masih muda itu mengerutkan jidat.

“Para Sedulur …,” kata Pak Kades sembari menyapu kerumunan. Matanya yang tersembunyi di balik kacamata minus berkeriyap. “Kejadian ini sudah kami laporkan kepada pihak yang berwajib. Kami memperoleh keterangan bahwa akhir-akhir ini memang ada sekelompok orang yang terlibat dalam penculikan bayi!”

Orang-orang kampung terhenyak. Mereka saling tatap dan saling tanya. Kebingungan menyeruak dada mereka. Suasana mendadak kacau. Di pojok emper Lik Karimun, beberapa orang terlibat perdebatan. Riuh.

“Tenang para Sedulur!” sergah Pak Kades.

“Tapi, Pak, kalau ini ulah manusia, pasti jejaknya bisa diketahui orang-orang kampung!” sahut seseorang.

“Betuuul!” timpal yang lain serempak.

Pak Kades membetulkan letak kacamatanya. Lalu, dengan tenang berupaya menyiasati suasana yang kacau itu.

“Justru karena itulah kami minta bantuan pihakyang berwajib untuk menyelidiki kasus ini!” jawab Pak Kades.

Orang-orang kampung tak percaya. Mereka yakin anak-anak yang hilang itu telah menjadi tumbal pembangunan jembatan. Suasana memanas. Pertentangan pendapat antara orang-orang kampung dan Pak Kades tak terelakkan. Malah sudah ada warga yang berani menuding-nudiong Pak Kades sebagai pamong yang tak becus ngemong warga. Namun, Pak Kades tetap tenang.

“Sekali lagi, tenang … tenang! Persoalan ini sudah ditangani pihak yang berwajib. Kita tak perlu berdebat dengan saudara sendiri!” tegasnya. Orang-orang kampung tak peduli. Mereka masih bersitegang.

“Gagalkan saja pembangunan jembatan itu! Gagalkan! Biar tak ada lagi anak-anak yang jadi tumbal!” teriak seorang lelaki muda berjidat klimis. Matanya mencereng, menatap tajam Pak Kdes.

Suasana kian tak terkendali. Hampir saja rumah berdinding bambu itu menjadi ajang perkelahian ketika dengan serta-merta lelaki muda berjidat klimis itu melabrak Pak Kades. Pak Kades tak sempat menghindar hingga kacamatanya jatuh. Untunglah para perangkatnya berhasil melerai. Lelaki muda berjidat klimis itu bersungut-sungut meninggalkan kerumunan.

“Pembangunan jembatan itu kan hanya kedok Sampeyan toh, Pak! Iya, toh? Agar uang Bandes terus mengucur dan Sampeyan bisa menilapnya!” kecam lelaki muda berjidat kl;imis itu sebelum pergi dari rumah Lik Karimun.

Kali ini, sang pemimpin itu panik. Kursi kadesnya seolah tergoyang. Tujuannya menjernihkan persoalan anak yang hilang pupus sudah. Malah kini dia seperti dilempari telur busuk oleh warganya. Tanpa permisi, Pak Kades beserta perangkatnya meninggalkan rumah Lik Karimun.
***

Matahari memanggang bumi. Panas menyengat. Lik Karimun dan Yu Painem yang berduka tak pernah tahu kejadian di sekelilingnya. Rumahnya telah menjadi ajang saling menabur benih kebencian, kasak-kusuk, dan prasangka. Orang-orang kampung masih berjubel. Hanya beberapa orang yang sudah pergi.

Tuduhan lelaki muda terhadap Pak Kades membius mereka. Tuduhan itu mereka yakini lantaran dalam waktu singkat, Pak Kades berhasil membangun rumah bagus dan membeli sebuah mobil. Kasus hilangnya anak-anak itu tergeser dan tak lagi menjadi perbincangan menarik.

Lima hari sudah kasus itu berlalu. Belum ada perkembangan berita baru. Warga kampung masih dihinggapi kecemasan dan ketidakpastian. Malam-malam berlalu dalam kecemasan, kebingungan, dan kekhawatiran. Kampung sunyi. Singup. Jubah Malaikat Maut bagai memayungi perkampungan.

Pada malam keenam, pas dini hari, mereka tersentak. Mereka mendengar suara rintihan wanita memecah kesunyian. Rintihan yang sambung-menyambung silih berganti. Mengiris-iris nurani.

Pagi harinya, tersiar kabar: malam itu Yu Rati, Yu Blonok, dan Yu Painem merasa menyusui seorang bayi. Mula-mula nikmat, namun lama-lama mulut bayi itu mencengkeram dengan kuat payudara mereka. Mereka merintih kesakitan, namun mulut-mulut bayi itu terus menyedot kuat-kuat. Para ibu itu merasakan bukan hanya air susu yang tersedot, melainkan juga darah mereka. ***

(Suara Merdeka, 5 Mei 1996)

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *