Tulisan S Bayu Wahyono berjudul “Pendidikan Humaniora Dalam Era Industrialisasi” (Pembaruan, 22/7/96) menarik dan menggelitik untuk ditanggapi. Menurut hemat penulis, setidaknya ada tiga persoalan mendasar yang ingin digarisbawahi dalam tulisan itu. Pertama, munculnya kekhawatiran terhadap nasib pendidikan humaniora akibat dominannya gejala teknokrasi dalam dunia pendidikan.
Hal itu diilustrasikannya dengan “pengucuran” beasiswa program S2 dan S3 bidang iptek yang mencapai 95%. Sementara untuk bidang humaniora atau ilmu sosial hanya mendapat jatah 5%.
Selain itu, juga diilustrasikan tentang pengiriman staf pengajar dan pejabat bidang iptek di lingkungan Depdikbud untuk belajar ke 23negara yang berjumlah 1450 orang dari 1531 orang. Sedangkan dari disiplin hu- maniora atau ilmu sosial hanya 81 orang. Hal itu, jelas mengindikasikan “kesenjangan intelektual” yang bisa berimbas pada kian terpuruknya nasib pendidikan humaniora.
Kedua, menghadapi “kesenjangan intelektual” itu, pendidikan mesti mengacu pada tugasnya sebagai penyebar ide mengenai tata nilai, mengenai apa tujuan hidup manusia, selaras dengan hakikat pendidikan humaniora. Sebab, ilmu pengetahuan tidak dapat menerapkan tentang arti hidup dan tak bisa melenyapkan rasa terpencil atau rasa putus asa yang menimpanya.
Dan ketiga, pendidikan humaniora tidak bertentangan atau menghambat usaha mendidik tenaga-tenaga berkeahlian dan berketerampilan, khususnya tenaga-tenaga yang diperlukan untuk menangani berbagai kegiatan pembangunan, terutama yang bersifat teknologis.
Asumsi ini, secara implisit menyiratkan makna bahwa selama ini iptek nihil dari “sentuhan” humaniora, akibatnya teknologi justru tidak membuat hidup manusia lebih baik, tetapi malah dihadapkan pada persoalan-persoalan baru yang ditimbulkan oleh teknologi itu sendiri.
Relevan dengan ketiga persoalan mendasar tersebut, muncul pertanyaan sederhana, tanpa adanya prioritas di bidang iptek, sanggupkah bangsa kita berdiri sejajar dengan bangsa-bangsa lain menghadapi pasar bebas yang begitu kompetitif di era global? Benarkah kemajuan iptek akan memicu lahirnya dehumanisasi, bukankah esensi iptek justru ingin membuat kehidupan umat manusia menjadi lebih berkualitas dan bermartabat? Sudah demikian antagoniskah dunia iptek memandang pendidikan humaniora, sehingga aspek-aspeknya tak lagi tersentuh? Agar terjadi suasana dialogis dalam memberdayakan dinamika pendidikan kita di era industrialisasi, penulis mencoba untuk menjawab pertanyaan tersebut sebagai bias dari opini yang terlontar lewat tulisan Bayu Wahyono.
Hakikat Pendidikan
UU No 2/1989 (pasal 1) dengan gamblang mengungkapkan, pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan/ atau latihan bagi peranannya di masa yang akan datang. Dari konsep itu, jelas bahwa hakikat pendidikan adalah mempersiapkan peserta didik lewat proses pendidikan agar mampu mengakses peran mereka di masa yang akan datang. Ini berarti, membekali peserta didik dengan keterampilan yang sangat dibutuhkan sesuai tuntutan zaman menjadi sebuah keniscayaan. Hal itu beranjak dari pesimisme prediksi bahwa seiring dengan meledaknya jumlah lulusan, mereka akan dihadapkan pada kesulitan mencari kesempatan kerja akibat tidak seimbangnya dengan lapangan kerja yang ada.
Bahkan, Almarhum Soedjatmoko, pemikir visioner kita itu (Riwanto Tirtosudarmo, 1994:1) pernah melontarkan sinyalemen yang cukup mencemaskan bahwa menurut perhitungan manapun, kaum muda Asia harus menghadapi masa depan yang tidak jelas dan mencemaskan. Prediksi ini, jelas perlu dicermati agar kehadiran mereka tidak menjadi beban bangsa. Apalagi pada abad 21 nanti – sesuai konsensus APEC – negara-negara berkembang (termasuk Indonesia) akan memasuki kisaran pasar bebas yang begitu kompetitif.
Sangat logis, jika akhirnya pemerintah memprioritaskan iptek dalam upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia. Dalam konteks ini, menarik apa yang diungkapkan oleh Dr Anna Suhena (Suara Karya, 27/2/96) bahwa sumber daya manusia yang berkualitas dapat merebut peluang untuk hidup, sehingga kita tidak hanya sejajar, tetapi bisa berkompetisi dengan negara-negara lain, terutama menghadapi pasar bebas yang kompetitif.
Dengan kata lain, kualitas sumber daya manusia merupakan “kata kunci” untuk membuka tabir kecemasan menghadapi tantangan ke depan. Tanpa prioritas di bidang iptek, sebagai pengejawantahan dari rekayasa peningkatan kualitas sumber daya manusia, Indonesia sulit memiliki daya saing handal di era global.
Pesimisme itu semakin menjadi masalah serius ketika Begawan Ekonomi Sumitro Djojohadikusumo menggarisbawahi bahwa ketersediaan lapangan kerja bagi tenaga produktif akan menjadi masalah serius di masa mendatang.
Jika ketersediaan lapangan kerja tidak bisa dipecahkan, akan terjadi arus urbanisasi yang tentu melahirkan persoalan krusial di kota (Jawa Pos, 29/6/96). Untuk mengantisipasinya, Depnaker sudah berupaya dengan memperkenalkan perencanaan sumber daya nasional (national manpower planning) dengan cara membuat PPKL (program pendidikan kerja luar negeri) dan PPKD (program pendidikan kerja daerah).
Dalam wacana inilah kita paham bahwa prioritas di bidang iptek menjadi suatu keniscayaan, pada hakikatnya untuk menghadapi tantangan ke depan bagi bangsa kita yang terasa semakin krusial. Tanpa iptek, bangsa kita ibarat memakai kaca mata kuda yang apatis dan “miskin” kiat menghadapi tantangan zaman. Bahkan jika dianalogikan dalam konteks pewayangan, ibarat “Baladewa ilang gapite” (Baladewa kehilangan wibawanya) yang terpuruk dan tak berdaya karena tipu daya bangsa lain.
Tidak hiperbolik kiranya jika kurikulum 1994 diarahkan ke sana karena tuntutan prospektif-akomodatif dari hiruk-pikuk zaman yang kian terbonsai oleh budaya konsumtivisme dan hedonisme.
Moralitas Kaum Terpelajar
Persoalannya sekarang, jika pendidikan terlalu “berat sebelah” dengan menganakemaskan iptek, bukankah akan melahirkan manusia-manusia hipokrit yang kering “sentuhan” manusiawi, sehingga mudah tergoda oleh nafsu kebendawian dengan menghalalkan segala cara untuk memuaskan kebuasan hati – meminjam istilah Satyagraha Hoerip – dan keangkuhan nurani?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita kembali kepada hakikat dan makna pendidikan. Institusi atau sekolah sebagai wadah penjunjung tinggi moral bangsa – atau sebagai wadah rekayasa pendidikan – tetap bersiteguh pada konsep “memanusiakan” manusia.
Meskipun kurikulum 1994 memiliki muatan iptek lebih, bukan berarti aspek humaniora sama sekali tidak disentuh. Dengan kata lain, pendidikan tetap mengarah pada upaya mempersiapkan peserta didik agar dapat menginternalisasi perannya di masa mendatang dengan pijakan moral yang kuat. Sehingga, nilai-nilai kepribadian yang bersumber pada keluhuran budi tetap menjadi noktah perhatian.
Dengan demikian, kekhawatiran semakin tersingkirnya pendidikan humaniora tak perlu terjadi. Jika belakangan ini tengah meruyak fenomena negatif seperti korupsi, kolusi, manipulasi, atau tingkah amoral lainnya, jangan lantas membuat kita menjadikan pendidikan sebagai kambing hitamnya. Jauh sebelum iptek menjadi fokus sentral pendidikan, tingkah amoral itu sudah merebak. Bahkan sudah menjadi fenomena “purba” sepanjang hayat peradaban manusia.
Persoalannya terletak pada moralitas personal masing-masing. Sudah menjadi kemestian bahwa moral menjadi basis rohaniah yang amat vital dalam setiap peradaban manusia. Betapa pun nyaris setiap waktu, setiap detik, kita diberi khotbah-khotbah kemanusiaan tentang makna kearifan hidup, jika dinding moralnya tipis, akan mudah terjebol desakan-desakan nafsu yang demikian deras arusnya. Tak pelak lagi, moralitas kaum terpelajar kita – sebagai produk pendidikan – diuji oleh hingar-bingar teknologi dengan segala imbasan pengiring dan implikasinya. Sebab, esensi iptek adalah membuat kehidupan umat manusia lebih berkualitas dan bermartabat. Jika kecanggihan teknologi disalahgunakan untuk kepentingan ambisi dan nafsu yang tidak manusiawi, simbol bahwa moralitas sebagai basis rohaniah tak lagi dimilikinya.
Dengan bahasa lain, Indonesia sangat membutuhkan teknologi yang punya pijakan moralitas kuat agar kehidupan bangsa kita menjadi lebih berkualitas dan bermartabat, mampu bersaing di era global. Pendeknya, pendidikan kita tidak akan pernah mencetak teknolog-teknolog hipokrit yang tak berbudi. Sebab, pada prinsipnya iptek yang ideal akan membiaskan pancaran nilai kemanusiaan yang kuyup “sentuhan” nurani.***