Berdasarkan pengakuannya sebagai sastrawan, Danarto tergolong lamban dan sangat tidak produktif. Dalam kurun waktu 12 tahun (1975-1987) hanya muncul tiga buku kumpulan cerpen, yaitu Godlob (1975), Adam Ma’rifat (1982), dan Berhala (1987). Hal ini bisa dimaklumi, sebab selain Danarto menggeluti dunia sastra, ia juga mengakrabi dunia seni lain, yakni seni leukis. Baginya, menulis dan melukis berjalan bersamaan. Sebuah pengakuan jujur.
Sebuah cerpen yang baik –setidak-tidaknya menurut persepsi saya—bukanlah produk mentah yang menghidangkan sajian-sajian vulgar, tetapi butuh proses renungan dan pengendapan setelah melalui pergulatan visi, filosofi, dan latar sosio-kultural yang menggelisahkan mata batin pengarang. Bagaimanapun juga sebuah cerpen tak pernah tercipta dalam kekosongan. Artinya, cerpen akan selalu diwarnai oleh worldview (pandangan dunia) dan pretensi pengarang dalam menangkap fenomena-fenomena sosiokultural yang menggelisahkannya. Beranjak dari sisi ini kejujuran Danarto tersebut justru harus dimaknai sebagai tuntutan komitmen seorang sastrawan yang mau tidak mau harus memiliki doktrin moral-force dan jangan dipersepsikan sebagai kreator yang kekeringan objek imajinatif, impresif, dan cuatan ekspresi.
Seorang Pembaharu
Dalam salah satu esainya, Korrie Layun Rampan pernah mengatakan, Danarto adalah seorang pembaharu dalam khasanah sastra Indonesia. Seorang pembaharu yang sadar, bukan kerena eksperimentasi yang mentah dan konyol. (via Eneste, 1983:146). Aset Danarto sebagai pembaharu bukanlah sebuah slogan. Cerpen-cerpennya menunjukkan kebaruan unik yang berbeda dnegan cerpen-cerpen yang pernah ada. Kebaruan tersebut dapat dilihat dari aspek penyajian dan aspek muatan dalam cerpen-cerpennya. Dari aspek penyajian tampak corak penampilan unsur-unsur puisi, musik dan seni lukis, sehingga mampu memberikan efek puitis, musikal, dan artistik-dekoratif, sampai-sampai pembunuhan yang tragis menjadi begitu indah, ceceran darah menjadi adonan yang begitu manis. Dari aspek muatan. Tampak adanya tendensi moral pantheisme, yakni ajaran yang meyakini doktrin segala-galanya merupakan penjelmaan Tuhan (Rayani Sriwidodo, 1983:147-150). Fenomena-fenomena semacam inilah yang menggiring kita untuk sependapat dengan ucapan Korrie Layun Rampan.
Predikat sebagai pembaharu agaknya juga disepakati oleh Umar Kayam yang menyatakan bahwa di Indonesia belum ada seorang penulis cerpen yang dengan sangat sadar menciptakan dunia laternatif dalam cerita-ceritanya, kecuali Danarto. Dua kumpulan cerpen jelas menunjukkan adanya dunai alternatif yang dengan senantiasa mengajak pembaca untuk memasuki sebuah dunia yang bukan milik orang awam. Pembaca dihadapkan pada sbeuah misteri yang tak pernah tuntas, teror, kebrutalan, dan sekian perbuatan superior yang tidak kepalang tanggung. Cerpen Danarto hanyalah memberikan arah saja seperti yang dikatakan Iwan Simatupang (via Eneste, 1983:346) bahwa pengarang cerpen hanyalah memberi arah saja. Danarto lewat cerpen-cerpennya memberikan prelogika yang harus dilogikakan sendiri oleh pembaca sehingga mampu mengundang berbagai alternatif interpretasi. Cerpen yang mengandung kekuatan teror mental yang mahadahsyat.
Pada kumpulan cerpen terbarunya, Berhala, Danarto mencuat dengan gebrakan baru. Saya katakan demikian, sebab persepsinya terdahulu nyaris ditinggalkannya. Dunia alternatif –yang menjadi karakteristik pada kumpulan cerpennya terdahulu- bergeser ke dunia realitas yang manusiawi. Danarto tak lagi berbicara tentang dunia sonya-ruri yang penuh ambigu—meski tidak semuanya—tetapi lebih gelisah pada masalah-masalah sosial yang menghinggapi manusia-manusia metropolis. Keterlibatan tokoh “saya” nyaris menjadi ajang pembredelan borok-borok manusia metropolis. Danarto menjadi peka terhadap problem-problem sosial manusia kapitalis yang cenderung mekanis dan memola manusia untuk menghamba pada kepuasan hedonis. Barangkali Danarto telah punya pandangan lain tentang sastra yang tidak harus melulu mengabdi pada kepentingan susastra, tretapi bisa dijadikan sebagai medium untuk mencuatkan obsesi kegelisahan terhadap kenyataan sosial yang korup. Apakah ini pertanda terbuktinya konsepsi Satyagraha Hurip tentang Sastra Terlibat di mana sastra harus turut memperbaiki moral bangsa?
Doktrin Sufi
Walaupun cerpen Danarto berbicara masalah sosial, agaknya tradisi yang khas yang tak mungkin bisa ditinggalkannya, takni suasana absurditas. Bukanlah Danarto kalau tidak memasukkan suasana absurd dalam cerpen-cerpennya.
Sebagai seorang Jawa Isalam yang taat dan dibesarkan di lingkunagn budaya Jawa Tengah (Sragen, Solo, dan Yogya), Danarto terpelanting pada dunia tassawuf, dunia kaum sufi yang bersiteguh pada doktrin wahdat al-wujud (ketunggalan wujud atau ketunggalan kehadiran) di mana semua pernyataan keheidupan menemukan ke-Esa-annya kepada Sang pencipta (Umar Kayam, 1987). Hal ini sesuai dengan pernyataannya bahwa kita ini adalah milik Sang pencipta secara absolut dan ditentukan (Danarto, 1983). Oleh sebab itu, tidak terlalu mengherankan jika hampir semua cerpennya selalu dinapasi doktrin sufi yang begitu akrab bergelayut dalam perjalanan hidupnya.
Namun begitu, cerpen-cerpennya bukanlah cerpen vulgar yang hanya mengaplikasikan doktrin sufi secara mentah, tetapi melalui pencerapan yang diadopsikan dengan bias-bias realita yang berhasil ditangkap melalui syaraf intuitifnya. Tampaklah bahwa cerpennya bukan sekadar mengobral doktrin mentah seperti orang berkhotbah.
Rayani Sriwidodo pernah menyinyalir bahwa Danarto juga terpengaruh oleh bayangan absurditas yang dianut oleh kaum eksistensialis pemikir Barat yang berdasar pada keyakinan bahwa manusia berada dalam satu dunia irasional yang tanpa arti. Hanya bedanya, Danarto lebih mengandalkan intuisi daripada rasio. Tradisi berpikir sistematis belum menjadi miliknya. Sedangkan, kaum eksistensialis Barat bertolak dari rasio yang menuntunnya ke arah sistem filsafat atau setidaknya kecenderungan falsafi yang jelas penalran ilmiahnya. Namun, agaknya semua itu di-nonsens-kan oleh Danarto yang lebih meyakini adanya proses dalam lingkaran kreasinya.
Tak pelak lagi, doktrin sufi sebagai salah satu corak agamawi berhasil menggiring Danarto untuk menghasilkan karya sastra yang transenden. Kepekaan akan kesadaran religius yang diproses melalui tatapan mata batinnya yang sensitif dalam mencuatkan obsesi kegelisahannya. Doktrin The Merging of Servant and Master (Manunggaling Kawula-Gusti) yang merupakan pancaran wahdat al-wujud senantiasa menjadi titik sentral dengan penggarapannya yang fantastis dan teatral. Hal ini tampak sekali pada salah satu cerpennya “Anakmu Bukanlah Anakmu, ujar Gibran” di mana Niken hamil tanpa seorang lelaki pun yang menjamahnya, meski pada akhirnya Niken menikah dengan pemuda Tomo yang papa dan tak dikenalnya. Anehnya, pada pesta perkawinannya muncul Khalil Gibran –seorang tokoh sufi yang telah meninggal tahun 1931—datang memberikan kado. Atau, pada cerpen “Bulan Sepotong Semangka” (Kompas, 12 Juni 1988), tokoh Nari juga hamil tanpa seorang lelaki pun yang menyentuhnya. Tanpa sesal. Bahkan, Nari bagaikan seorang resi yang bertapa di kamar abadinya. Tanpa makan dan minum sampai akhirnya ia melahirkan, bahkan sampai anaknya, Bim, dewasa, kuliah di Fisipol di universitas kamar abadinya dengan dosesnnya Nari sendiri. Fantastis! Niken ataupu Nari rupanya dijadikan tumpuan Danarto untuk mencuatkan doktrin sufinya. Betapapun masalah yang digarap sederhana, Danarto tak mungkin bisa meninggalkan suasana absurd dalam cerpen-cerpennya yang fantastis dan teatral. Tradisi kreativitas yang telah mengikatnya erat-erat tak mungkin ditinggalkannya. Danarto telah punya tradisi kepenulisan yang khas.
Untuk memahami cerpen-cerpen Danarto secara otentik, paling tidak kita harus menelusuri doktrin sufinya yang liat dan kental dalam perjalanan hidupnya. Selain itu, kita harus meohoknya dari latar sosiokultural yang melingkupinya. Tanpa tohokan semacam itu kita hanya akan dihadapkan pada cerpen abstrak yang sulit untuk dimaknai. ***
Semarang, 1988