Karya Sastra yang Baik Tak Lepas dari Dimensi Hidup

Sebuah artikel yang cukup menggelitik disajikan oleh Suara Merdeka Minggu, 15 Oktober 1989 dengan judul “Kritik Sosial dalam Sdastra”. Menurut pemahaman saya, dalam artikel itu ada tiga hal yang ingin digarisbawahi oleh penulis artikel tersebut. Pertama, karya sastra yang mengandung amanat, tendens, bersifat edukatif, dan memberi nasihat kepada pembaca kurang proporsional dan berlebih-lebihan.
Kedua, sasatrawan tidak perlu puisng memikirkan kepincangan-kepincangan sosial yang menggelayuti masyarakat lingkungannya ketika berporses kreatif. Dan yang ketiga, karya sastra (khususnya puisi) haruslah mengutamakan estetika, meskipun harus mengabaikan unsur-unsur signifikan yang lain.

Ketiga ikwal itulah yang berhasil saya tangkap melalui artikel tersebut, sekaligus saya ingin mencoba untuk mengadakan sambung rasa dengan penulisnya. Ya, semacam dialog secara terbuka.

Dimensi Kemanusiaan
Menurut pemahaman saya, sebuah karya sastra yang baik mustahil dapat menghindar dari dimensi kemanusiaan, komplit dengan segala thethek-mbengek yang bergelayut dengan masalah kehidupan manusia dengan segala problematikanya yang begitu majemuk. Kejadian-kejadian yang terjadi dalam masyarakat pada umumnya dijadikan sebagai sumber ilham bagi para sastrawan yang kemudian ditarik dalam khazanah imajinasi untuk dihayati, direnungkan, diendapkan, kemudian disalurkan dalam wujud karya sastra. Dan saya pikir, seorang sastrawan pada umumnya mokal akan menghindari proses kreatif semacam itu.

Nah, beranjak dari konsep itu, maka manusia, masalah, dan lingkungannya itulah uang menjadi garapan para sastrawan. Oleh karena sumbernya berasal dari manusia, maka penggarapannya pun dikembalikan pada hakikat kehidupan manusia di alam semesta ini.
Seorang sastrawan, kebanyakan juga seorang intelektual. Mereka memiliki daya penalaran yang tinggi, mata batin yang tajam, sekaligus memiliki daya intuitif yang peka sekali yang jarang ditemukan dalam diri orang awam. Dalam hal ini, karya-karya sastra yang lahir pun akan diwarnai oleh latar belakang sosiokultural yang melingkupi kehidupan sastrawannya.
Suatu keabsahan tentu jika dalam karya sastra kita jumpai unsur-unsur ekstrinsik yang turut mewarnai karya sastra, seperti filsafat, psikologi, religi, gagasan, pendapat, sikap, keyakinan, dan visi lain dari pengarang dalam memandang sunia. Karena adanya unsur-unsur ekstrinsik itulah yang menyebabkan mengapa karya sastra tak mungkin terhindar dari amanat, tendensi, unsur mendidik, dan fatwa tentang makna kearifan hidup yang ingin disampaikan kepada pembaca. Oleh sebab itu, kehadiran unsur-unsur tersebut berbarengan dengan proses penggarapan kara sastra.

Sastrawan berupaya untuk menyalurkan obsesinya untuk menyalurkan obsesinya yang begitu dahsyat mendesak-desak genderang nuraninya agar mampu dimaknai oleh pembaca. Visi dan persepsinya tentang wksistensi manusia di muka bumi agar bisa ditangkap oleh pembaca, agar pembaca paling tidak terangsang untuk tidak melakukan hal-hal yang berbau hedonis dan tidak memuaskan kebuasan hati. Dus, persoalan amanat, tendensi, unsur edukatif dan nasihat bukanlah hal yang terlalu berlebihan dalam karya sastra. Bahkan, kalau boleh saya bilang, unsur-unsur tersebut ,erupakan unsur paling esensail yang perlu digarap dengan catatan tanpa meninggalkan unsur estetikanya. Sebab, kalau sebuah tulisan hanya mengumbar pepatah-petitih sosial, kepincangan-kepincangan sosial, tanpa diimbangi aspek estetika, namanya bukan karya sastra, melainkan hanyalah sebuah laporan jurnalistik yang mengekspose kejadian-kejadian negatif yang tenagh berlangsung di tengah masyarakat.

Peran Sastra
Barangkali kita ingat luncuran konsepnya Paulo Freire yang mengatakan bahwa rakyat seharusnya jangan hanya dijadikan sebagai objek karya sastra, tetapi justru harus dijadikan sebagai subjek. Pernyataan ini menyiratkan makna bahwasanya rakyat (baca: wong cilik) adalah sosok manusia yang paling berat dihimpit ketidakberdayaan. Oleh sebab itu, persoalan-persoalan yang menggelayuti wong cilik itulah yang perlu diungkap dalam karya sastra. Sanggupkah karya sastra mengentaskan ketidakberdayaan yang menghimpit rakyat? Secara langsung tidak memang. Akan tetapi, seperti kata Chairul Harun, setidaknya masyarakat pembaca mempunyai kemungkinan terangsang untuk melakukan penyadaran tentang pelbagai masalah manusia secara langsung dan sekaligus setelah membaca karya sastra yang memasalahkan problema sosial tersebut kemungkinan tidak dirasakan kehadirannya dalam kehidupan sosial masyarakat.

Nah, di sinilah peran sastra. Barangkali kita juga masih ingat pada insiden-insiden sekitar ’66. bagaimanakah ulah sastrawan pada masa itu? Meeka turun ke jalan-jalan dengan menyebarkan puisi-puisi penyemangat dalam upaya menggulingkan pemerintah Orde Lama sekaligus mengkritik penguasa yang membiarkan secara permisif semua kebobrokan moral yang dilakukan oleh pemimpin-pemimpin korup yang tak jujur. Dan bagaimana hasilnya? Karya sastra memang tidak langsung sekaligus memberikan perubahan-perubahan. Akan tetapi, ia menyemangati dan menyiasati kondiai zaman yang berdiri di belakang layar ketika kejadian-kejadian dalam masyarakat itu tengah berlangsung di layar kehidupan. Dan, akhirnya pemerintah Orde Lama berhasil ditumbangkan.

Produk Budaya
Pada mulanya, karya sastra memang untuk dinikmati keindahannya, bukan untuk dipahami. Akan tetapi, mengingat bahwa karya sastra juga merupakan sebuah produk budaya, maka persoalannya menjadi lain. Karya sastra berkembang sesuai dengan proses kearifan zaman sehingga lama-kelamaan sastra pun berkembang fungsinya. Yang semula hanya sekadar menghibur, pada tahapan proses berikutnya karya sastra juga dituntut untuk dapat memberikan sesuatu yang berguna bagi pembaca. Hal ini relevan dengan idiom sastra “Dulce et Utile” (menyenangkan dan berguna).

Memang, persoalan estetika tak mungkin dilepaskan dalam sastra. Akan tetapi, untuk etika, nilai-nilai moral, dan feneomena-fenomena sosial yang tengah bergolak di tengah masyarakat juga mokal. Jadi, keduanya sama-sama penting kehadirannya dalam karya sastra. Karya sastra yang hanya bertaburkan bias-bias keindahan hanya melambungkan khayal yang bombastis, zonder diimbangi adanya bias-bias sosial, sama saja kita berhadapan dengan rumah sakit yang megah, tetapi tak ada pasien yang dirawat. Kehadirannya tak bermakna. Sepi dan lengang seperti layaknya sebuah goa pertapaan seorang resi.

Nah, kalau demikian halnya, bukankah justru akan memperlebar jarak antara karya sastra dan publik. Kalau kondisinya semacam ini, kekhawatiran bahwa sastra Indonesia mengalami alenasi, terpencil dari masyarakatnya akan menjadi kenyataan. Sebab apa? Ketika pembaca membaca sebuah karya sastra paling-paling hanya perasaan senang dan terpesona melihat keelokan paras Dewi Ratih dan ketampanan Dewa Kamajaya dari khayangan yang menbuat kita menjadi iri dan cemburu.

Sastra tak lagi memburu pegangan nilai-nilai moral, kesetiakawanan soial, dan segala thethek-mbengek persoalan manusia. Dus, dapat ditarik sebuah sintesis bahwa selain aspek estetika (tipografi), karya sastra juga harus menampilkan aspek etika (isi) dengan mengungkap nilai-nilai moral, kepincangan-kepincangan sosial dan problematika kehidupan manusia beserta kompleksnya persoalan-persoalan humani. ***

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *