Suara Merdeka edisi Minggu (18/2/2001) memuat cerpen berjudul “Dialog Kambing di Pasar Hewan” (DKPH) karya T. Atmawidjaja. Cerpen itu betutur tentang sekelompok kambing dengan beragam karakter di sebuah pasar hewan yang riuh. Dalam bahasa kambing yang sulit dipahami manusia, mereka (baca: para kambing) berdialog tentang nasib teman mereka yang disembelih, dijadikan tumbal akibat kebiadaban massa di Kendal beberapa waktu lalu. Darahnya digunakan untuk menandatangani pernyataan sikap sekelompok orang yang akan dikirim ke Jakarta sebagai respons terhadap situasi politik yang berkembang saat itu.
Dalam situasi demikian, muncullah solidaritas para kambing, mengutuk kebiadaban massa yang telah memperlakukan sesamanya — yang punya hak hidup — secara keji dan tak bermoral.
“Bukan hanya kurang ajar, tetapi betul-bttul tak bermoral,” teriak seekor kambing dengan wajah memancarkan amarah, yang tentu saja disambut dengan yel-yel dan teriakan histeris.
Para kambing benar-benar geram dan marah. Mereka tidak rela sesamanya dibantai dan dibunuh secara biadab untuk kepentingan-kepentingan tertentu. Di bawah komando seekor kambing yang berwibawa, mereka merumuskan pernyataan sikap yang intinya mengutuk ulah biadab itu. Aksi penyembelihan kambing tersebut dinilai telah melanggar susila, etika, tak berbudaya, berderajat lebih rendah daripada derajat kambing, dan bermartabat lebih kotor daripada kotoran kambing
Pada akhir pernyataan, mereka berdoa dengan kerendahan hati agar para pelaku diberi pikiran yang lebih rendah daripada pikiran kambing, serta mengimbau sesama kambing untuk tetap tenang, tidak dendam, dan tidak berbuat anarki.
Selain itu, dalam cerpen tersebut juga tersirat sikap sang penulis yang “mengutuk” habis-habisan para pelaku unjuk rasa di suatu daerah yang telah menebangi pohon untuk menghalangi arus lalu lintas.
“Mereka betul-betul telah dikuasai angkara murka. Hanya dirinya sendiri yang paling betul. Hanya pemimpinnya yang paling bersih, paling suci setelah Allah dan Nabi,” tutur sang penulis pada bagian narasi yang sarat dengan letupan emosi meledak-ledak.
***
Bagi saya, cerpen “DKPH” tak lebih sebuah orasi yang hanya layak diluncurkan di lengah massa demonstran. Atau, meminjam istilah Eko Tunas, tergolong “sampah” dan “gombal”.
Pertama, telah kehilangan substansi estetika yang niscaya tak boleh ditinggalkan dalam sebuah genre sastra (termasuk cerpen). Cerpen menjadi sarat dengan yel-yel, teriakan, dan hujatan vulger, miskin sublimasi nilai-nilai kemanusiaan universal. Dengan mengeksploitasi dunia kambing, “DKPH” telah terjebak menjadi sebuah “postulat” untuk menghakimi kelompok tenentu dengan penggiringan-penggiringan opini yang menyesatkan.
Bahasanya (nyaris) tak mengenal ungkapan dan idiom yang lebih subtil, inklusif, dan menghanyutkan. Bahkan, dalam banynk hal opini-opini sang penulis dalam cerpen diungkapkan secara berlebihan, vulger, dan miskin kontemplasi. Akibatnya, cerpen yang dihasilkan menjadi basah-kuyup oleh ungkapan-ungkapan kasar, umpatan, dan sumpah-serapah seperti orang ‘”frustrasi” yang tengah kebakaran jenggot.
Kedua, gagal merepresentasikan penghayatannya atas kondisi manusiawi sebagai entitas pertanggungjawaban moral sang penulis dalam menyikapi berbagai fenomena hidupo dan kehidupan yang mesti diendapkan lebih menep, sublim, patetis, dan penuh empati.
Esensi cerita pendek yang baik —menurut almarhum YB Mangunwijaya (1995)— adalah bagaimana sang penulis mampu mengolah kisah secara mendalam dan lewat suatu pengisahan peristiwa kecil yang kompak dapat bercahaya suatu pijar pamor kemanusiawian yang menyentuh, yang mengharukan, yang mengimbau pembaca mencicipi setetes madu manis atau racun pahit kemanusiawian sehingga pembaca seolah-olah terpaksa diam dengan hati yang lebih kaya.
Mungkin peristiwa yang dikisahkan hanya soal kejadian kecil, tetapi pada hakikatnya soal makro, universal. Muatan nilai dalam cerpen mestinya harus diungkapkan secara lebih subtil, menyentuh nurani, dan memperkaya dimensi hidup pembaca, bukannya menaburkan kebencian dan kemurkaan kepada pembaca. Mungkin sang penulis lupa kalau cerpennya akan dinikmati oleh para pembaca dengan berbagai ragam karakter dan emosinya.
Yang lebih celaka, sang penulis dengan enteng menyebut kota Kendal sebagai tempat terjadinya penjagalan kambing itu. Penyebutan wilayah teritorial tertentu sebagai sumber penindasan dan kesewenang-wenangan ke dalam sebuah cerpen — meskipun sebuah fakta— adalah sebuah “distorsi” yang bisa mengaburkan esensi teks sastra sebagai sebuah realitas fiksi yang semestinya lebih mengedepankan imajinasi dan intuisi sebagai sumber pengembangan ide.
“Distorsi” semacam itu bisa menjebak imaji publik pada generalisasi menyesatkan yang memberikan “stigma” komunitas orang Kendal.secara primordial scbagai orang-orang sadis dan tak bermoral.
Ketiga, kalau harus digolongkan ke dalam cerpen bergaya realis, “DKPH” tidak proporsional dan seimbang dalam memahami “derita” para kambing. Penafsiran “konyol” dengan memanfaatkan kambing-kambing untuk menghujat massa yang dinilai biadab dan tak bermoral hanyalah kegemaran seorang T. Atmawidjaja yang “gagap” dan dihinggapi cultural-shock dalam memahami perubahan sosial-politik yang tengah berlangsung.
Saya juga tidak setuju terhadap ulah para pengunjuk rasa yang anarkis, merusak, atau membakar fasilitas umum, apalagi menebangi pepohonan untuk menghalangi arus lalu lintas. Namun, sungguh naif jika T. Atmawidjaja –sebagai orang yang menggeluti dunia kepenulisan, yang notabene ingin ikut menyuarakan kebenaran dan keadilan– menafsirkan penyembelihan kambing scbagai perbuatan angkara murka, biadab, dan tak bermoral.
Siapa tahu, justru –dalam bahasa kambing tentu– kambing-kambing itulah yang telah merelakan dirinya menjadi kurban sebagaimana ketulusan Ismail menghadapi ayunan pedang ayahnya, Ibrahim? Lebih biadab mana jika dibandingkan dengan ulah pengunjuk rasa yang mengacung-acungkan pedang dengan mengatasnamakan agama, pembantaian sadistis para guru ngaji di Banyuwangi, atau peledakan bom di berbagai tempat?
Dan keempat, cerpen “DKPH” telah dicemari “limbah” politik keberpihakan pada kelompok tertentu, bukan berbasiskan pendekatan kemanusiaan universal. Apologi berlebihan sehingga menghujat kelompok lain dengan sebutan orang-orang biadab, kolot, kuno, kuper, tak tahu perkembangan dunia, atau kerasukan setan, makin jelas bisa ditebak sikap”politik” dan “ideologi” sang penulis. Bahkan, secara implisit, sang penulis ingin menempatkan dirinya sebagai “primus interpares”, penyuara kebenaran dan keadilan utama dengan menganggap kelompok lain sebagai orang-orang biadab dan tak bermoral.
***
JIKA cerpen sudah dicemari oleh “limbah” politik keberpihakan, maka yang terjadi kemudian adalah pemberangusan nilai-nilai sastrawi yang senantiasa mengagungkan nilai-nilai kemanusiaan universal. Dunia sastra mesti diseterilkan dari “virus-virus” politik agar tetap mampu menjadi watch dog yang jernih dan arif dalam menghadapi pembusukan budaya dan peradaban.
Dunia sastra tak boleh diselubungi oleh “jubah-jubah” politik yang mengotak-ngotakkan komunitas dan publiknya ke dalam berbagai kubu yang pada gilirannya hanya akan ikut menumbuhsuburkan sentimen sektarianisme, primordialisme, partikularisme, dan parokialisme.
Sudah terlalu lama rakyat di negeri ini tergencet oleh arogansi kekuasaan rezim yang korup dan otoriter. Kalau kini rakyat makin berani menyuarakan aspirasinya, itu mesti dimaknai sebagai sebuah keniscayaan scjarah yang wajar terjadi di sebuah negeri yang tengah mengalami masa transisi. Jangan terlalu latah para penulis dan sastrawan kita bilang bahwa rakyat itu kolot, kuno, primitif, kuper, atau tak tahu perkembangan dunia. Justru, kini sudah tiba saatnya para sastrawan kita benar-benar menjadikan rakyat sebagai subjek, bukan hanya sebagai objek an-sich.
Yang tidak kalah penting, para sastrawan harus tetap memiliki komitmen dan dan semangat untuk menjunjung tinggi nilai kemanusiaan universal secara utuh melalui teks-teks yang diluncurkannya.
Dengan demikian, teks sastra –meminjam istilah Hasif Amini (1996)– akan memancarkan nilai edukatif sebagai “panduan” dalam memasuki kompleksitas kejiwaan manusia, hubungan antarpribadi dan masyarakat, hingga alam semesta dan Tuhan, yang menghibur dan menawarkan pathos, nilai kearifan, kedalaman perenungan, dan menjadi semacam model-model perilaku yang dikandungnya.
Teks sastra yang demikian dalam pandangan Jacob Sumarjo dan Saini KM (1994) akan menjadikan pembaca sebagai manusia yang berbudaya (cultural man), yakni manusia yang responsif terhadap sikap arif dan luhur budi.
Sah-sah saja para penulis dan sastrawan kita terjun ke politik praktis atau menjadi pengikut aliran tertentu. Namun, jarak antara “warna” politik atau aliran tertentu dan teks sastra harus tetap terjaga sehingga tidak terkontaminasi oleh penggiringan-penggiringan opini yang menyesatkan dengan menjadikan teks sastra sebagai media penghujatan kelompok lain seprrti yang terjadi dalamcerpen”DKPH”.
Saya tidak tahu pertimbangan dan kebijakan macam apa yang digunakan oleh redaksi sehingga meloloskan begitu saja cerpen “DKPH” yang menurut saya tergolong sampah dan menyesatkan itu. Padahal, kalau ditilik titi mangsanya dibuat di Brebes, 9 Februari 2001. ini artinya tenggang waktu antara pengiriman naskah, penyortiran, dan pemuatan terbilang “luar biasa”aingkat. Namun, saya tidak berpretensi menjadikan opini yang saya lontarkan sebagai sebuah kebenaran, bahkan saya berharap akan muncul apologi dan opini lain terhadap cerpen “DKPH” dengan beragam argumentasi yang lebih cerdas dan kritis. ***
(Suara Merdeka, 4 Maret 2001)