Cerita rekaan yang penulis maksud adalah cerita rekaan yang ditulis berdasarkan khayalan, tetapi mengandung nilai-nilai sastra. Sednagkan, cerita rekaan yang digarap secara vulgar (kasar) tanpa mempertimbangkan bobot sastranya tidak termasuk dalam lingkup pembicaraan ini.
Seperti yang diungkapkan Rene Wellek dan Austin Warren dalam bukunya “Theory of Literature” (New York: 1956), sebuah cerita rekaan akan mengandung nilai-nilai sastra jika memenuhi ciri-ciri: fiction (rekaan), imagination (daya angan), dan invenstion (penemuan). Dengan demikian, jika ada salah satu unsur ciri yang tidak digarap, maka cerita tersebut tidak memiliki bobot ditilik dari kansungan nilai-nilai sastranya.
Benarkah dengan banyakn membaca cerita rekaan batin seorang pembaca semakin kaya? Nah, untuk menjawabnya, mari kita mencoba melacaknya dari sudut pandang eksistensi penulis, cerita rekaan, dan publik (pembaca). Sebab, menurut pemahaman penulis, ketiga elemen tersebut membentuk satu keterkaitan yang padu sehingga membentuk satu sistem yang mokal dapat dipisahkan eksitensinya.
Penulis
Seorang penulis mustahil berproses kreatif tanpa ada tendensi tertentu yang ingin dicapai lewat karyanya. Penulis memiliki semacam komitmen moral untuk memperbaiki kondisi masyarakat yang buram. Nah, komitmen mereka kemudian disalurkan lewat media tulisan. Dari tulisan inilah akhirnya pembaca dapat menangkap visi pengarang dalam memandang dunia, latar sosiokultural, dan sejumlah pengalaman lain yang digunakan untuk membangun cerita sehingga muncul rasa kekaguman dan simpatik terhadap sang pengarang.
Pembaca melalui daya serapnya akan memberikan nilai lebih kepada pengarang yang benar-benar memiliki komitmen moral dalam upaya mengentaskan kondisi masyarakat yang buram melalui persoalan-persoalan yang digarap melalui ceritanya.
Dengan demikian, batin pembaca akan tersusupi oleh gagasan, pendapat, sikap, dan keyakinan penulisnya yang secara sugestif mampu meluruskan sikap hidup pembaca yang nglempuruk sekaligus dapat menghindari segala rangsang hedonis yang cenderung memburu kepuasan ragawi.
Cerita Rekaan
Melalui cerita rekaan yang telah berhasil disuguhkan sang pengarang, pembaca dapat mengidentifikasikan dirinya dengan bebas terhadap tokoh-tokoh dalam cerita sehingga pembaca memperoleh sentuhan manusiawi untuk menyiasati kehidupan yang kian pengap ini.
Kadang kala pembaca dibuat terpukau oleh lukisan-lukisan tokoh cerita yang amat majemuk jenisnya. Kemudian, pembaca berupaya untuk meneladani tokoh cerita yang berwatak manusiawi, lemah tetapi memiliki nilai lebih.
Selain itu, pembaca dapat menikmati adegan-adegan tertulis yang dapat menerbangkan alam pikirannya terhadap hal-hal yang tak mungkin dijangkau dengan pancainderanya. Dengan membaca buku “Catatan Harian” karangan Anne Frank, misalnya, batin pembaca diajak untuk menyiasati suka-deuka sebuah keluarga Yahudi yang terpaksa menyembunyikan diri di atas loteng sebuah rumah waktu pendudukan Jerman. Atau, pada saat membaca cerpen “Kisah Sebuah Celana Pendek”-nya Idrus, batin pembaca diajak untuk menyusupi lorong kehidupan wong cilik yang harus bergulat dengan kesengsaraan yang mencekiknya pada saat Jepang berkuasa setelah pecahnya Perang Pasifik tahun 1941. Orang-orang gehean mencurahkan perhatiannya pada persoalan politik, tetapi wong cilik harus meratapi nasibnya karena kelaparan. Dan, masih banyak cerita-cerita rekaan lain sanggup menyuburkan sikap humani pembaca dalam mengimbangi arus teknostruktur yang kian menggila.
Melalui bahasa dan pengolahan bahan dalam cerita rekaan, mata batin pembaca akan terbuka untuk menerima pengalaman-pengalaman baru yang begitu kompleks. Bahasa dalam cerita rekaan adalah bahasa bebas, bahkan dengan bebasnya pengarang berupaya untuk tidak terbelenggu oleh benturan dimensi ruang dan waktu sehingga sanggup mengekspresikan perasaannya dengan sejelas-jelasnya kepada pembaca.
Bahan yang diolah pengarang pada umumnya adalah persoalan yang aktual, menarik, merangsang pembaca untuk merenungkan hakikat kehidupan manusia sesungguhnya sehingga bisa menumbuhkan wawasan dan pandangan baru bagi pembaca dalam menghadapi fenomena-fenomena hidup yang muncul ke permukaan. Dengan demikian, batin pembaca akan diwarnai oleh berbagai ragam pengalaman yang majemuk yang melingkupi sosok kehidupan manusia.
Publik
Ada semacam kepuasan batin ketika publik berhadapan dengan sebuah cerita rekaan yang sarat dengan nilai-nilai susastra. Tanpa disadari, batin pembaca akan tersaluri oleh idiom-idiom falsafi yang mengungkap makna kearifan hidup, analisis watak manusia secara psikologis, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, ragam sosial budaya yang melingkupi paguyuban masyarakat secara komunal, renungan-renungan religius, dan sebagainya.
Unsur-unsur multidisipliner ini akhirnya membuat mata batin pembaca menjadi tajam, khazanah batinnya semakin kaya akan berbagai ragam kehidupan manusia yang berkutat dengan segala macam persoalan yang dihadapi pada masa lampau, masa kini, atau masa yang akan datang.dari uraian di atas dapat kita tarik semacam garis kesimpulan bahwasanya dengan banyak membaca cerita rekaan yang berbobot sastra, batin pembaca semakin kaya, terisi oleh pengalaman-pengalaman baru yang unik yang sulit diperoleh dari realitas yang tampak dalam kehidupan sehari-hari. *** (Sawali Tuhusetya)