Jam di tembok ruang tamu menunjuk angka 08.30 pagi. Miranti terkesiap ketika tiba-tiba saja seorang lelaki –entah dari mana datangnya—sudah berdiri di depan pintu. Tubuhnya kurus. Dekil. Rambutnya gondrong acak-acakan. Pakaiannya lusuh. Matanya yang kuning kemerahan menyorot liar. Daraha Minranti mendesir. Ia letakkan koran yang barusan dibacanya ke atas meja.
“Selamat pagi, Nyonya!” sapa lelaki itu tersenyum. Tampak deretan giginya yang kotor. Mulutnya seperti menyemburkan hawa busuk. Miranti tergagap. Tenggorokannya tercekat seperti ada beban yang menyumbatnya. Napasnya sesak. Dadanya naik-turun.
Miranti tercenung. Siapa tahu lelaki yang berdiri di depan pintu itu seorang mata-mata perampok atau bahkan seorang perampok yang nekad ingin menjarah rumahnya. Siapa dapat menjamin kalau lelaki itu orang baik-baik? Siapa pula dapat menebak gelagat yang menyembul di dada lelaki itu? Bisa-bisa saja ia menyeruak masuk rumah; menguras perhiasan, duit, teve, atau harta berharga lainnya. Bahkan, bukan tidak mungkin malah merampas nyawanya. Miranti bergidig. Keringat dingin tiba-tiba meleleh di tengkuk dan jidatnya. Cemas! Ia hanya sendirian di rumah bersama Bik Supiyah yang tua tak berdaya. Kepada siapa ia harus minta tolong? Pada saat-saat seperti ini, kampungnya memang sepi. Para lelaki –termasuk suaminya—mungkin tengah terlibat dalam kesibukan kerja rutin. Anak-anak belajar di bangku sekolah. Kampung hanya dihuni ibu-ibu rumah tangga berikut pembantu. Sesekali melintas seorang pemulung atau penjual sayur. Rasa takut mendadak menyerbu dadanya.
Belakangan ini, seperti yang ia baca dari koran, aksi para perampok memang sudah kelewatan. Tak peduli lagi waktu, tempat, dan sasaran. Barusan ia juga baca, seorang nasabah bank harus menjadi korban perampokan hanya dalam jarak 100 meter dari tempat satpam bertugas. Celakanya lagi, dari jarak 500-an meter, satu regu polisi tengah berbaris menerima indtruksi komandan. Dan nasabah itu akhirnya tewas dengan kepala tertembus peluru sang perampok. Sungguh mengerikan!
Kemarin, ia juga membaca, beberapa perampok beraksi dalam sebuah bus yang melaju kencang di tengah kota. Sopirnya diancam dengan kalungan clurit. Barang milik penumpang dijarah. Dua penumpang yang nekad melawan mengalami luka parah terkena sabetan clurit sebelum akhirnya sekarat meregang nyawa. Darah muncrat di kaca bus. Para penumpang menjerit ketakutan.
Kemarin lusa dan kemarinnya lagi, Miranti juga membaca berita perampokan di toko emas, di pasar swalayan, di rumah penduduk, dan di tempat-tempat lain yang menjanjikan kerincing duit. Hampir setiap hari, koran selalu berwarna merah oleh darah para korban perampokan. Miranti semakin bergidig, cemas, dan takut. Tiba-tiba saja, hidungnya mencium bau kematian. Peluh dingin semakin berleleran di permukaan kulitnya yang halus.
“Dalam wujud saya seperti ini, saya percaya Nyonya sudah lupa dengan saya!” sergah lelaki kurus itu yang kini sudah duduk di hadapan Miranti. Wanita bertubuh sintal itu tersentak. Gugup. Ia ingin secepatnya lari dari tatapan liar lelaki dekil itu.
“ Saudara jangan pura-pura mengenalku! Lebih baik saudara segera pergi dari rumahku sebelum aku terlebih dahulu mengusir saudara!” sahut Miranti mencoba memberanikan diri dengan nyali yang dikumpulkan di tengah kecemasan dan ketakutannya. Lelaki itu menyeringai seperti serigala lapar yang ingin menerkam mangsanya.
“Baik, saya akan segera pergi! Tapi tunggu dulu! Tidakkah nyonya ingin berkenalan dengan saya?”. Miranti gusar. Sorot mata lelaki itu semakin liar saja. Miranti merasa muak.
“Cepat katakan!”
“Sabar dulu, Nyonya! Pertanyaan Nyonya hanya sebatas itu dan tak ingin mencoba mengenali saya?”
Mata Marini melotot. Ia merasa dipermainkan. Andai saja punya kekuatan untuk menabrak lelaki dekil itu, pastilah tangan atau kakinya melayang, menggebug lelaki kurus itu.
“Baiklah Nyonya! Tampaknya Nyonya lebih mementingkan maksud kedatangan saya ketimbang mengenal siapa saya! ucap lelaki itu dengan nada tinggi. “Saat ini juga saya mohon Nyonya berkenan menyediakan uang dua juta!” Miranti tertegun. Dugaannya benar. Lelaki itu tak lebih dari seorang penjahat tengik.
“Gila! Segampang itukah saudara menodongku? Huh! Lebih baik saudara angkat kaki secepatnya sebelum lebih dulu polisi menangkap saudara!” Miranti berdiri. Kecemasan dan ketakutannya menggumpal menjadi rasa muak. Cepat-cepat ia mengangkat gagang telepon. Tapi belum sempat menemukan nomor telepon, lelaki kurus itu berjingkat membuntutinya. Tangan kurusnya melolos sebuah belati tajam.
“Saya ingin tahu apakah jari tangan Nyonya masih punya kekuatan untuk menekan nomor telepon!” desis lelaki kurus itu sembari menempelkan belati di leher Miranti. Wajah Miranti memucat. Tangannya gemetar. Gagang telepon yang dipegangnya luruh dengan sendirinya. Matanya nanar. Ia mengalami ancaman serius. “Sedikit saja bergerak, leher Nyonya putus! Saya terpaksa nekad, sebab Nyonya tidak berusaha mengenal siapa saya!”
Pikiran Miranti gusar. Bik Supiyah yang diharapkan mampu meringankan beban yang menindih batinnya hanya bisa ngungun di ruang dapur. Mata perempuan tua itutampak berkaca-kaca. Ia tak bisa memahami betapa selalu saja ada manusia yang ingin menguasai manusia lainnya
“Baiklah! Tapi turunkan dulu senjatamu!” rintih Miranti ketakutan. Belati luruh pelan-pelan. Miranti merasa lega. “Siapa sebenarnya saudara?”
“Saat ini pertanyaan itu menjadi tidak begitu penting! Cepat ambil uang itu!” gertak lelaki kurus yang tiba-tiba bagaikan sosok iblis yang menyimpan kekejaman tak terduga.
Miranti segera menerobos kamar dengan kecemasan yang menyergap dadanya. Sejurus kemudian, tangannya sudah menggenggam segepok uang. Lelaki kurus dekil yang menunggu di dekat pinti kamar itu yersenyum sinis. Menyeringai. Gigi kotornya menyembul. Rambutnya yang gondrong acak-acakan sesekali dikibaskannya.
“Sekarang juga angkat kaki! Dan jangan sekali-kali menjamah lantai rumahku!” hardik Miranti. Lelaki kurus itu menciumi segewpok duit di tangannya.
“Baik, Nyonya! Tapi jangan harap Nyonya bisa mencegahku untuk tidak kembali lagi menginjak rumah ini!” sahut lelaki itu sambil berdiri. “Dan ingat! Nyonya jangan mencoba lapor kepada siapapun, termasuk kepada suami Nyonya sendiri jika ingin selamat dari sekapan penjara!” lanjut lelaki dekil itu sebelum tubuhnya lenyap dari hadapan Miranti yang tergeragap. Kata-kata bernada ancaman itu dirasakan seperti berondongan peluru yang hendak meledakkan jantungnya. Penjara? Bukankah seharusnya dia yang layak tersekap di penjara lantaran telah memerasnya? Benak Miranti dihujani pertanyaan bertubi-tubi yang tak sanggup dijawabnya.
***
Sepekan kemudian, lelaki kurus itu datang lagi. Namun sudah tampil beda. Rambutnya yang sudah terpotong rapi. Wajahnya bersih. Pakaian yang dikenakannya tampak licin. Dada Miranti berdegup kencang.
“Bukankah saudara itu, Kirno?”
“Tepat sekali! Sayalah Kirno yang harus mengakui secara paksa dosa yang telah Nyonya lakukan. Sayalah Kirno yang dipaksa menjadi penghuni penjara enam tahun lamanya karena dituduh telah membunuh Rukmini, pembantu Nyonya!”
Mata Miranti tiba-tiba saja berubah nanar. Tubuhnya terasa beku. Beberapa saat lamanya, perempuan cantik itu seperti terperosok ke dalam pusaran air yang membetot kekuatannya. Limbung.
Kirno, lelaki kurus itu, seperti meraih kemenangan mutlak dalam sebuah pertandingan. Wajahnya berubah garang. Ia lolos belati tajam untuk mengerok kumisnya seperti sengaja menakut-nakuti Miranti. Di mata Miramti, Kirno tak ubahnya Malaikat Maut yang siap merengkut nyawanya. Entah apalagi yang hendak dilakukan Kirno terhadap dirinya.
Tiba-tiba saja pandangan mata perempuan itu berputar-putar. Gelap. Wajah Rukmini –pembantu yang dibunuhnya akibat kepergok mencuri kalung—yang begitu tersiksa sesekali melintas lewat lorong benaknya yang kacau. Miranti ketakutan. Ngeri. Tak berdaya. ***