“Generasi masa depan yang manusiawi harus menjadi pencipta sejarahnya sendiri. Karena seseorang hidup di dunia dengan orang lain, kenyataan “ada bersama” harus dijalami dalam proses “menjadi” (becoming) yang tidak pernah selesai.” Adagium itulah yang mengantarkan Drs Sawali, MPd meraih juara I dalam lomba Inovasi Pembelajaran SMP Tingkat Nasional Bidang Studi Bahasa Indonesia yang digelar oleh Pusat Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan Badan Penelitian dan Pengembangan, Depdiknas, pada 1-4 Desember 2006 di Hotel Pitagiri Jalan Palmerah Barat 110, Jakarta.
Guru SMPN 2 Pegandon kelahiran Grobogan, 19 Juni 1964 itu berhasil mempertahankan karya ilmiahnya yang berjudul “Diskusi Kelompok Model Kepala Bernomor sebagai Inovasi Metode Pembelajaran Keterampilan Berbicara Siswa SMP dalam Menanggapi Pembacaan Cerpen” di depan dewan juri yang terdiri dari Prof. Dr Sabarti (Universitas Negeri Jakarta), Dr. Kinayati Djoyosuroto (Universitas Negeri Jakarta), Dr. Sugiarto, MA (Universitas Negeri Jakarta), dan Drs Nuhung Ruis, MPd (PPPG Bahasa Jakarta).
“Model pembelajaran yang saya terapkan berbasiskan metode konstruktif bahwa belajar itu pada hakikatnya menemukan. Konstruktivistik dimulai dari masalah untuk selanjutnya berdasarkan bantuan guru, siswa dapat menyelesaikan dan menemukan langkah-langkah pemecahan masalah,” kata lulusan terbaik Program Pascasarjana Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia UNNES Tahun 2005 itu ketika ditemui Ganesha di rumahnya, Perum BTN C-21 Langenharjo, Kendal. “Prof Sabarti tampaknya terkesan dengan model pembelajaran yang saya gunakan sehingga beliau sangat responsif dalam mengkritisi landasan filosofis yang saya gunakan dalam pembelajaran keterampilan berbicara sastra. Alhamdulillah, saya bisa mempertahankan argumentasi berdasarkan kaidah-kaidah keilmuan,” kenangnya. Tidak heran jika peraih penghargaan Gatra Bakti Budaya sebagai seniman berprestasi Kab. Kendal Tahun 2006 itu berhasil mengungguli Suprapto, SPd (Juara II dari SMPN 2 Wonosari, DIY), Basuki, APP (Juara III dari SMPN 21 Malang, Jatim), Harjana, SPd (Juara Harapan I dari SMPN 4 Bantul, DIY), dan Elly Diah Kuntari, SPd–Rahmawati, S.Pd (Juara Harapan II SMP YSP PUSRI Palembang).
“Siswa didik harus dibiasakan untuk membangun konsep berdasarkan cara mereka sendiri. Sudah bukan saatnya lagi anak-anak diperlakukan bagaikan keranjang sampah yang digelontor dengan setumpuk pengetahuan seperti dalam teori behavioristik. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Manusia harus mengkonstruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata. Siswa perlu dibiasakan untuk memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan bergelut dengan ide-ide. Esensi dari teori konstruktivistik adalah ide bahwa siswa harus menemukan dan mentransformasikan suatu informasi kompleks ke situasi yang lain sesuai dengan dunianya,” kata Pak Guru yang juga menjadi penulis lepas di berbagai media cetak, baik lokal maupun nasional itu.
“Apa tidak grogi mempresentasikan karya ilmiah di depan dewan juri yang terdiri dari para pakar perguruan tinggi ternama?” tanya Ganesha. “Wah, grogi juga, sih, apalagi berdasarkan undian saya harus tampil terakhir sehingga harus memperpanjang stress sejak jam 08.30. Setiap peserta diberikan kesempatan presentasi 1 jam penuh. Peserta yang tidak siap bisa dipastikan kelimpungan di depan dewan juri. Tak ada resep lain kecuali harus menguasai materi presentasi, tampil pede, dan berdoa,” jawabnya sambil tersenyum.
Tampil pada even nasional bukanlah kali yang pertama bagi suami Sri Wahyu Utami dan ayah tiga anak (Galih Nirmalahesti, Tuhusetia Mahadhika, dan Yusa Wahid Gifari) itu. Pada tahun 1998, Pak Sawal –demikian dia akrab dipanggil oleh rekan-rekan sejawatnya– pernah meraih Juara II dalam Sayembara Mengarang tentang Pengajaran Sastra di SLTP untuk Guru SLTP Seluruh Indonesia, Pemenang I Tingkat SLTP dalam Lomba Karya Tulis Peningkatan Keimanan dan Ketaqwaan Siswa bagi Guru SLTP/SMU/SMK Tingkat Nasional (Tahun 2000), peserta Simposium Guru IV Tingkat Nasional tahun 2001 di Cipayung, Bogor, tahun 2004 mendapatkan Piagam Penghargaan Menteri Pendidikan Nasional dalam memperingati Hari Pendidikan Nasional sebagai lima penulis artikel pendidikan terbaik di media cetak tingkat nasional.
“Namun, di tingkat kabupaten, saya tidak pernah bisa jadi juara. Tahun 2004, saya mencoba untuk ikut Lomba Guru Berprestasi tingkat kabupaten, tetapi hanya meraih juara II, ha…ha! Mungkin saya memang tidak berbakat jadi jago kandang, he…he. Tapi, paling tidak saya sudah menunjukkan bukti bahwa saya tidak alergi terhadap lomba di tingkat lokal, ” kata ketua MGMP Bahasa Indonesia SMP/MTs Kab. Kendal yang juga Ketua RT itu sambil tertawa ngakak.
Apa dampak prestasi nasional yang Anda peroleh terhadap mutu pendidikan di Kabupaten Kendal, cecar Ganesha. “Ya, bagi saya, prestasi nasional, paling tidak, dapat meneguhkan komitmen dan vitalitas pengabdian untuk berbuat yang terbaik bagi kemajuan pendidikan. Oleh karena itu, saya tidak pernah berhenti belajar. Menempuh jenjang pascasarjana pun atas biaya sendiri, meski harus menggandaikan SK di bank, ha..ha. Beruntung istri dan anak-anak saya sudah terbiasa hidup sederhana. Merekalah yang senantiasa menjadi sumber inspirasi bagi saya dalam mengabdikan diri pada dunia pendidikan,” kata guru berkumis itu mengakhiri perbincangan dengan Ganesha.
Okelah, selamat buat Bapak, semoga prestasi Bapak mampu mengilhami rekan-rekan sejawat untuk berbuat yang terbaik bagi dunia pendidikan sekaligus menggugah para pengambil kebijakan untuk melirik dunia pendidikan yang akhir-akhir ini tersisihkan akibat silang-sengkarutnya berbagai persoalan yang membelit negeri ini. *** (art)