Fenomena Pilkades di Era Reformasi

Suasana tegang, panas, dan mencekam sempat mewarnai proses pemilihan kepala desa (pilkades) di beberapa desa wilayah Jawa Tengah belakangan ini. Aksi unjuk rasa, kerusuhan, bentrok antarpendukung calon, ulah perusakan rumah tinggal penduduk yang dianggap menjadi “lawan politik”-nya, dan amuk massa terhadap fasilitas umum milik masyarakat nyaris menjadi “irama” khas yang menggema di sela-sela pesta demokrasi itu.
Meski tidak semua desa yang tengah melangsungkan hajat delapan tahunan itu ditingkahi aksi kekerasan, tetapi tak urung juga mencuatkan tanda tanya di benak kita. Ada apa gerangan di balik ulah sebagian warga desa yang cenderung destruktif dan menjurus ke tingkah anarkhi itu? Bukankah selama ini warga desa kita sanjung sebagai rakyat yang polos, lugu, manutan, dan santun dalam segenap perilakunya? Mengapa tiba-tiba saja mereka berubah beringas, rentan terhadap aksi kebrutalan dan begitu mudah larut dalam arus emosi “purba” yang sebenarnya kurang menguntungkan itu?

Seperti diberitakan harian ini, sebuah desa di Kabupaten Purbalingga sempat mengalami chaos, was-was, dan mencekam akibat aksi kelompok massa pendukung calon yang kalah dalam pilkades yang membakar jembalan gantung yang begitu vital sebagai penghubung transportasi antardesa, merusak balai pertemuan, dan bangunan pondok bersalin desa (polindes). Di Brebes, pilkades di 10 desa terpaksa harus diulang akibat gelombang protes warga yang menilai proses pilkades tidak berlangsung demokratis, jujur, dan adil (Wawasan 25/11/98). Dan masih banyak lagi desa yang dilanda kasus serupa.

Fenomena di atas jelas sangat tidak kondusif dalam upaya mendinamisir dan member-dayakan desa dari sentuhan kemajuan. Bahkan, bisa dibilang, desa yang bersangkutan akan mengalami set-back (langkah mundur) yang semakin jauh dari substansi ideal. Betapa tidak? Fasilitas umum yang dibangun bersama dengan susah-payah, akhirnya musnah dalam sekejap. Kepala Desa terpilih yang seharusnya sudah siap terjun ke lapangan memaksimalkan kemampuannya menjadi terhambat.

Warga desa yang tak berdosa, tak tahu lor-kidul pun tak luput terkena imbasnya.Yang mengkhawatirkan, kalau pihak-pihak yang saling berseteru tidak bisa saling menahan diri, bahkan terus-menerus menaburkan benih kebencian, kasak-kusuk, dan dendam. Jika kondisi semacam ini tak teralasi, tentu semakin mempersulit posisi desa dalam upaya mewujudkan tatanan masyarakat yang lebih demokratis, damai, aman, adil, dan makmur.

Euforia Massa
Tak dapat dipungkiri, jabatan kepala desa memang cukup strategis. Sclain menjanjikan naiknya status sosial ekonomi, seorang kepala desa juga memegang posisi kunci (key position) dalam “menghitamputihkan” corak dan warna dinamika desa yang dipimpinnya. Ia menjadi figur yang dianggap masyarakat memiliki “kelebihan” tersendiri, dihormati, disegani, dan acapkali dijadikan sebagai sumber informasi bagi warga desanya.
Sangatlah beralasan, setiapkali siklus demokrasi delapan tahunan ini diputar, tidak sedikit warga desa yang memiliki cukup “modal” siap bersaing untuk memperebutkan kursi orang nomor satu di desanya. Yang menarik, dukungan yang diberikan oleh warga desa kepada calon yang dijagokan masing-masing tampak penuh greget dan antusias. Para pendukung masing-masing calon menjelang hari “H” pelaksanaan pilkades sibuk menarik simpati massa dengan berbagai macam cara. Yang jelas, masing-masing kubu merasa calonnyalah yang paling pantas menjadi kepala desa.

Tidak jarang terjadi, upaya masing-masing kubu untuk menarik simpati massa menim-bulkan situasi panas dan tegang. Ada semacam “keharusan” bahwa calonnya harus keluar sebagai pemenang. Cara yang ditempuhnya pun bervariasi. Ada yang mengobral janji, “memanjakan” calon pemilih dengan pesta, atau membeli suara calon pemilih dengan sejumlah uang.

Seiring bergulirnya roda reformasi, proses pilkades di berbagai desa menampakkan kecenderungan untuk membersihkan praktek-praktek yang tidak jujur, curang, atau tidak adil, mulai saat sang calon menjaring massa hingga proses penghitungan suara. Ada keinginan kuat dari warga desa untuk menampilkan figur kepala desa yang benar-benar mumpuni, berbobot, memiliki integritas kepribadian yang tinggi, dan memiliki komitmen kuat untuk memajukan desa.

Tidak berlebihan kalau di beberapa desa terjadi pengulangan pilkades lantaran prosesnya dinilai tidak berlangsung demokratis, jujur, dan adil, serta masih ditemukan adanya unsur kecurangan. Apalagi kalau calon yang jadi ternyata bukan figur yang dikehendaki oleh sebagian besar warga desa, mereka tak segan-segan melancarkan protes dan unjuk rasa.
Sepanjang tuntutan yang disuarakan warga desa lewat unjuk rasa itu wajar dan murni mengingat adanya praktek kecurangan dalam pilkades, tentu saja hal itu dapat dimaklumi dan ditolerir. Akan teapi, kalau sudah menjurus pada tindakan pemaksaan kehendak ditingkah dengan ulah perusakan, pembakaran, dan amuk massa, lantaran ambisi calonnya tidak tercapai, padahal tidak ditemukan adanya unsur kecurangan dalam pilkades, kejadian itu patut kita sayangkan.

Tindakan seperti itu sebenarnya mengingkari makna hakiki dcmokrasi itu sendiri. Esensi demokrasi yang sebenaraya ialah kesediaan untuk bersikap jujur dan ksatria menerima kekalahan, sekaligus mengakui kemenangan pihak “lawan”.

Fenomena pilkades yang diwamai berbagai aksi kekerasan di era reformasi ini, menurut hemat penulis, setidaknya dilatarbelakangi oleh dua argumen yang cukup mendasar.
Pertama, terciptanya suasana euforia massa setelah lebih dari tiga dasawarsa kebebasannya dibelenggu oleh rezim Orde Baru. Bagaikan kuda liar yang lepas dari kandang, begitu rezim Orde Baru tergusur dari panggung kekuasaan, para warga desa mserasa mendapatkan kembali kedaulatannya yang terampas. Mereka bebas menyuarakan pendapat, mengkritik, bahkan melalukan unjuk rasa, tanpa takut lagi dicap sebagai pembangkang, PKI. atau anti-Pancasila — julukan yang acap kali dilontarkan penguasa Orde Baru kepada rakyat yang suka mengkritik penguasa.

Derasnya arus reformasi yang diwarnai dengan berbagai aksi unjuk rasa seperti yang mereka lihat di layar televisi, kian menyuburkan nyali warga desa untuk menggugat praktek-praktek penyimpangan, penyelewengan, korup, dan berbagai ulah amoral yang dilakukan oleh aparat desa. Tidak mengherankan kalau banyak kepala desa atau perangkat desa yang diduga melakukan penyimpangan harus tergusur dari kursi kepejabatannya akibat gencarnya aksi unjuk rasa warga desa.

Bagi warga desa, pilkades benar-benar ingin dijadikan sebagai momentum untuk memilih seorang pemimpin yang dinilai mampu membawa kemajuan desa melalui proses pemilihan yang benar-benar demokratis, jujur, dan adil. Dari sisi ini, berbagai aksi unjuk rasa warga desa yang menuntut ulang pelaksanaan pilkades lantaran ditemukan bukti-bukti kecurangan, memang hal yang wajar di era keterbukaan ini.

Akan tetapi, patut disayangkan memang kalau situasi dan iklim semacam itu lantas dimanfaatkan untuk melampiaskan “dendam” dari kubu calon yang kalah dengan cara-cara yang kurang fair dalam berdemokrasi.

Kedua, membludaknya pemuda desa yang kembali ke kampung halaman setelah terkena PHK di kota. Membanjirnya tenaga muda yang baru saja kehilangan pekerjaan kemungkinan besar bisa direkrut dan dimobilisasi oleh calon kepala desa untuk ikut menjadi “tim sukses” dalam memperebutkan suara massa.

Sepanjang aksi mereka mampu menimbulkan rasa simpati massa, jelas sah-sah saja adanya. Akan tetapi, siapa dapat menjamin potensi darah muda mereka bisa diredam begitu mengetahui calon yang dijagokannya dalam proses pemilihan? Apalagi, mereka pernah hidup di lingkungan perkotaan yang dianggap begitu rentan terhadap aksi kerusuhan dann kekerasan bukan mustahil kalau akhimya mereka terpancing untuk melakukan tindakan destruktif.

Siapa pun orangnya. jelas tak menginginkan suasana pedesaan yang begitu kuyup oleh sentuhan kedaraman, ketenteraman, dan kerukunan, tiba-tiba menjadi “rusak’ dan porak-poranda oleh konflik antarkelompok kepentingan. Fenomena vandalistis, anarkhis, dan bar-bar yang rnewarnai siklus demokrasi delapan tahunan ini, mestinya dijadikaa cermin berharga untuk tidaik mengulangi kesalahan yang sama. Semua tahu, tindak kerusuhan dan aksi kekerasan bukanlah solusi arif untuk menuntaskan masalah. Bahkan, risikonya pun harus ditebus dengan harga yang cukup mahal. Di negara mana pun yang menganut paham demokrasi mustahil “mengalalkan” cara-cara “purba” yang vulgar itu dalam menegakkan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Ini artinya, mengajak kita semua untuk bisa menjadi “aktor” demokrasi yang jujur, ksatria, dan mampu menahan diri sesuai dengan idaman Ibu Pertiwi. ***
(Wawasan, 5 Desember 1998)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *