Cerpen Teror sebagai Bahan Ajar

(Bedah cerpen Triyanto Triwikromo)

Layakkah cerpen-cerpen yang meneror dan mengelaborasi kekerasan menjadi bahan ajar di sekolah? Pembacaan cerpen-cerpen Triyanto Triwikromo yang terhimpun dalam antologi terbarunya, Pintu Tertutup Salju (Bentang Budaya, 2000), oleh Agung Wibowo dan Evi Idawati di aula Depdiknas Kendal, Minggu (28 Mei 2000), agaknya pantas untuk untuk menstimuli kemunculan pertanyaan tersebut. Lebih-lebih auidensinya pada umumnya pengajar sastra di sekolah.

Agung yang membacakan cerpen “Cinta Tak Mati-mati” memang tidak saja mampu menunjukkan kekuatan Triyanto yang mengungkap tema peradaban yang “sakit”, tapi sekaligus meneror penikmatnya dengan tragedi kemanusiaan lewat “sihir-imajinasi” yang ia akesentuasikan dari kata demi kata. Demikian pula yang dilakukan Evi dengan “Megatruh Percumbuan”. Jadi, tak pantaskah cerpen-cerpen itu disajikan sebagai bahan apresiasi sastra bagi siswa?

“Tak mudah menjawabnya,” kata Sawali Tuhusetya, cerpenis dan guru SLTP 2 Pegandon yang menjadi pembicara pada diskusi yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Kendal dan Depdiknas Kendal itu. Menurut pendapatnya, banyak ide dalam cerpen Triyanto yang menjungkirbalikkan logika awam. “Namun, bukankah cerpen apa pun bisa kita ajarkan. Toh kita bisa melakukan pemberontakan secara kreatif.”

Realitas Fiksi
Meski demikian, lanjut Sawali, diperlukan kedewasaan, kearifan, dan kebijaksanaan guru dala, menyikapi cerpen tersebut. “Guru sastra perlu menyadari benar bahwa realitas cerpen Triyanto adalah realitas fiksi.”

Dalam diskusi yang dipandu oleh Kunadi Jusyak itu, Sawali juga mencatat, meski cerpen-cerpen nya sarat potret ketimpangan sosial dan tema peradaban yang “sakit”, seperti kekerasan, pembunuhan, pemerkosaan, ketidakadilan, dan korupsi, Triyanto tak kehilangan greget estetika. “Di tangannya ceceran darah bisa menjadi adonan kisah yang begitu manis, bunyi letusan psitol dan ledakan bom bisa berubah menjadi jalinan orkestra musik yang rancak dan harmonis.”

Selain itu, kata Sawali, cerpen-cerpen Triyanto menampakkan sebuah dekonstruksi ideologi cerpen konvensional. “Plot ceritanya penuh kejutan, tokoh-tokohnya imajiner, dan latarnya tidak dibatasi sekat ruang dan waktu.”

Namun, dia juga mencatat, Triyanto masih punya kebiasaan “memaksakan” pergulatan ide-ide besarnya ke dalam cerpen. “Akibatnya, meskipun terinspirasi oleh fakta-fakta sosial yang muncul ke peukaan, hasil maksimal yang ia capai ialah konfigurasi fragmen-fragmen seperti sebuah sketsa kehidupan.”

Bosan Kekerasan
Bagaimana tanggapan cerpenis asal Salatiga ini? “Saya sebenarnya juga sudah tidak bangga dengan cerpen yang berisi teror kekerasan. Sebab, realitas sosial saat ini jauh lebih keras dan meneror ketimbang yang ada pada realitas fiksi,” kata cerpenis yang menyusun antologi cerpen terbarunya itu bersama Herlino Soleman yang kini tinggal di Jepang.

Karena itu, menurut pendapat Triyanto, harus ada semacam shock therapy terhadap pembaca. “Ketika fakta jauh lebih menghentak ketimbang imajinasi, kita mesti beranjak dari ‘teror’ gaya lama. Ketika pembaca telah mendapatio berita yang seragam tentang kekerasan, semestinyalah pengarang menyajikan daya kejut. Dan itu bisa dilakukan, misalnya, lewat pengadegan awal yang mengentak,” katanya (Sucipto Hadi Purnomo).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *