Dibutuhkan Kesadaran Kolektif Bangsa Menuju Sebuah Perubahan

(Refleksi 15 Tahun Reformasi)

Opini

Oleh: Sawali Tuhusetya

Reformasi di negeri ini telah bergulir dalam bilangan 15 tahun. Memori bangsa ini masih ingat betul peristiwa heroik yang terjadi sekitar bulan Mei 1998. Secara masif, kelompok mahasiswa sebagai motor penggerak berusaha memecahkan kebekuan sikap rezim Orba yang dianggap otoriter dan represif dengan menduduki gedung DPR/MPR. Gerakan yang makin kencang bergaung itu pun disambut dengan riuh rendah. Rakyat yang selama ini merasa terpasung ikut menggeliat secara tiba-tiba. Ekspektasi akan terjadinya sebuah perubahan besar membayang di setiap kepala.

Dengan gegap-gempita penggerak reformasi mengumandangkan enam tuntutan, yakni: (1) penegakan supremasi hukum; (2) pemberantasan KKN; (3) pengadilan mantan Presiden Soeharto dan kroninya; (4) amandemen konstitusi; (5) pencabutan dwifungsi TNI/Polri; dan (6) pemberian otonomi daerah seluas- luasnya. Namun, apa yang terjadi dengan negeri ini setelah gerakan reformasi bergulir dari tahun ke tahun? Sudahkah reformasi memberikan perubahan yang bermakna dan bermanfaat buat rakyat?

Ada yang mengatakan bahwa reformasi telah salah arah. Namun, tidak sedikit yang menyatakan bahwa tuntutan reformasi merupakan sebuah “kecelakaan” sejarah. Pelaksanaan otonomi daerah, misalnya, secara jujur mesti diakui, hanya menguntungkan penguasa lokal dan telah melahirkan oligarkhi politik. Yang menyedihkan, setiap pelaksanaan Pilkada, khususnya pilihan bupati/walikota, selalu melahirkan siklus konflik dan kekerasan horisontal dengan menyedot ongkos politik yang begitu mahal. Otonomi daerah bukannya melahirkan keadilan dan kemakmuran bagi rakyat, melainkan justru hanya melahirkan sekelompok elit di dalam lingkaran kekuasaan yang korup dan anomali.

Lantas, bagaimana dengan penegakan supremasi hukum? Realitas menunjukkan, supremasi hukum hanya menjadi sebuah jargon dan slogan. Alih-alih menegakkan supremasi hukum, aparat kepolisian, jaksa, dan hakim yang seharusnya menjadi pengawal dan benteng keadilan justru malah banyak tersandung dalam kasus mafia peradilan. Demikian juga pemberantasan KKN. Meski negeri ini sudah memiliki KPK yang dianggap sebagai lembaga “super body” dengan kewenangan yang luar biasa, perilaku korupsi bukannya surut, tetapi justru kian menggurita di berbagai lapis dan lini birokrasi.

Pencabutan dwifungsi TNI/Polri juga makin tak jelas arahnya. Selain melahirkan “sentimen” kesatuan sehingga tak jarang terjadi konflik TNI dan Polri, institusi Polri yang langsung di bawah presiden dinilai telah melemahkan fungsi kontrol dan manajemen. Terungkapnya rekening “gendut” di kalangan petinggi Polri yang selama ini masih “misterius”, misalnya, menjadi salah satu bukti lemahnya fungsi kontrol dan manajemen itu. Tidak berlebihan kalau ada yang mengusulkan agar Polri berada di bawah Kementerian Dalam Negeri sehingga memudahkan dalam menjalankan fungsinya sebagai penjaga keamanan negara.

Kalau situasi semacam ini terus berlanjut, bukan tidak mungkin reformasi yang telah bergulir hingga sekian tahun lamanya benar-benar akan menjadi sebuah kecelakaan sejarah yang akan menjadi penghambat dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara. Dibutuhkan kesadaran kolektif semua komponen bangsa menuju sebuah perubahan. Jangan sampai bangsa yang besar ini mengalami “amnesia” sejarah hingga akhirnya benar-benar berada di titik nazir kehancuran peradaban. ***

39 Comments

  1. ia betul banget pak saya sependafat . pada intinya kita harus bersatu dalam semua kalangan dan harus saling mengingatkan. baikm atu buruknya demi masadepan lebih maju lagi 🙂 .

  2. Kesadaran memang susah untuk bagi yang tidak waras ya pak…karena kalau nggak sadar artinya sakit hehe…mungkin dapat saya menambahi pak wali…Kemauan….ya…tanpa kemauan meskipun sudah sadar kayaknya masih sulit untuk move on….

  3. semua berati tergantung niatnya yak, kalo niatnya sudah buruk, apapun bentuknya ya akan menghasilkan sesuatu yg buruk pula..

  4. menuntut kesadaran kolektif alias banyak orang yang sadar membutuhkan waktu yang sangat lama sepertinya Pak, tapi bila Indonesia menemukan pemimpin yang tepat untuk melakukan perubahan yang benar, tiba tiba kesadaran kolektif itu tumbuh sedemikian cepatnya.
    Contoh kasus normalisasi waduk pluit antara jokowi-ahok versus penghuni waduk yang dibela komnas HAM, meski dikompori media dan komnas HAM tetapi lebih banyak warga jakarta yang lebih sadar bahwa semuanya untuk mencegah banjir yang lebih parah melanda jakarta. Isu HAM yang tidak pada tempatnya justru menghambat tumbuhnya kesadaran kolektif atas perubahan yang benar demi mengatasi musibah tahunan jakarta

  5. Numpang komentar nih, saya pikir masyarakat sudah bosan dan tak percaya karena jargon reformasi dan perubahan cuman omong doang, ujungnya korup juga, komentar balik ya ke blog saya myfamilylifestyle.blogspot.com

  6. Sepertinya kita memang sudah terjerumus dalam Reformasi, karena konsep yang belum matang menjadikan reformasi ini salah arah. Sudah 15 tahun tanpa ada arti sebenarnya reformasi sendiri, Sungguh kasihan para mahasiswa dan tokoh tokoh yang mendukung dan menyuarakan Reformasi pada waktu itu. Siapa yang bisa meluruskan Reformasi ini pun sudah tidak ada lagi,, apalagi saya malah bingung mau berbuat apa… Semoga 2014 dengan pemimpin baru bisa mulai meluruskan tujuan Reformasi,,, Aamiin,,,,

  7. tidak ada gunanya kalau topik ini hanya ditulis bersandarkan pemikiran ilmiah… ianya harus ditegakkan dengan memberi kesedaran kepada mereka yang lain.. Pak saya rasa masalah ini bukan dicetuskan oleh satu kelumpuk atau organisasi, tapi oleh ‘pemain’ yang berada di dalamnya… letaklah di kementerian mana pun ‘pemain’ yang saya maksudkan, ianya tetap dan pasti akan berulang, selagi barah tersebut nggak dihapuskan…

  8. perubahan memang bukan gerakan parsial, gerakan kolektif tentu untuk menyatukan kekuatan yg tercerai, semoga banyak orang yg menyadari ini, bahwa perubahan indonesia adalah tanggungjawab bersama. dan kita mulai sejak hari ini, di sini.

  9. saat reformasi mulai digulirkan saya masih jadi mahasiswa. sempat merasakan pedihnya gas air mata.
    jangan sampai reformasi menjadi kecelakaan sejarah.

  10. reformasi yang digulirkan di tahun 1998 dulu semoga bukan sebuah kecelakaan. disetiap orde pasti ada kelebihan dan kekurangan. mulai dari orde lama kelebihan dan kekurangannya ada, dan mungkin jika sistem orde lama di terapkan saat ini bakalan tidak cocok dengan karakter orang indonesia saat ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *