Demi memenuhi “naluri” mudik Lebaran ke kampung halaman, Jumat (17/8/2012), saya bersama keluarga ikut larut dalam perjalanan “ritual” menemui sanak-kerabat dan handai taulan. Secara lahiriah, Pulang kampung (Pulkam) sejatinya tak jauh berbeda ketika kita melakukan perjalanan ke tanah kelahiran pada umumnya. Arah dan rute yang ditempuh pun yang itu-itu juga. Namun, secara rohaniah, mudik Lebaran memiliki “sensasi” tersendiri. Iring-iringan perjalanan bersama saudara-saudara senasib yang hendak memenuhi panggilan tanah kelahiran memiliki makna “emosional” yang sulit diterjemahkan dengan kata-kata.
Perjalanan mudik, dengan demikian, bisa dimaknai sebagai sebuah perjalanan sarat risiko demi memperkokoh jalinan silaturahmi dengan sanak-kerabat dan handai taulan. Begitulah, mudik di negeri telah menjadi budaya yang melampaui batas-batas sejarah. Mereka yang kebetulan berhalangan tak bisa mengikuti “ritual” mudik, jauh di tanah perantauan seperti menggenggam kerinduan luar biasa. Nurani kita terharu-biru ketika gendang telinga kita menangkap kumandang takbir, tahlil, dan tahmid.
Berkaitan dengan perjalanan mudik tersebut, dalam beberapa hari ini, saya tidak melakukan aktivitas ngeblog. Pada kesempatan ini pula izinkan saya dan keluarga mengucapkan:
SELAMAT HARI RAYA IDUL FITRI
MINAL AIDIN WALFAIZIN
MOHON MAAF LAHIR DAN BATIN
Semoga Allah SWT berkenan mengembalikan kita semua kepada fitrah-Nya, amiiin. ***
salam kenal mas bro 🙂
aku telat pak,,,hehe,,met idul fitri mnjelasng idul adha ya,,hehe
mudiknya yang bener yah..
ati2 gan mudiknya hehe
mudik merupakan waktu yg tepat untuk pulang kampung karena libur dan bagi kebanyakan orang yang bekerja ada uang THR untuk ongkos pulang, bawa oleh2 bahkan untuk berbagi dengan orang lain. selain untuk merayakan idul fitri bersama dan menjalin silatuhrami orang tua, sanak saudara dan kerabat. walaupun biasanya hari hari biasapun bisa. tetapi bertemu dengan keluarga pada waktu mudik lebih terasa indah.