Mimpi Generasi Emas Indonesia dan Imbas Budaya Politik Lokal

(Refleksi Hardiknas 2 Mei 2012)

Tema Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) tahun ini adalah Bangkitnya Generasi Emas Indonesia. Sebuah tema futuristik yang menyajikan imaji kebangkitan anak bangsa di bawah bayang-bayang pelangi nusantara yang pluralis dan multikultural. Tema ini sekaligus juga menyiratkan “kehendak politik” untuk membangun optimisme di tengah kompleksitas persoalan bangsa yang hingga kini masih silang-sengkarut. Aroma korupsi begitu menyengat di setiap lapis dan lini birokrasi. Panggung-panggung sosial dan politik sarat dengan darah dan air mata. Hukum yang seharusnya menjadi tempat untuk menemukan keadilan dan kebenaran ternodai oleh perilaku busuk para “mafioso”.

otodaSaat ini –meminjam istilah Rektor Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Sunaryo Kartadinata– telah terjadi anomie, yakni kehilangan pegangan moral dan nilai budaya. Beberapa aturan hukum dan norma sosial kehilangan daya paksanya dan terkesan saling bertentangan sehingga memicu konflik dan menimbulkan kebingungan. Akibatnya perilaku main hakim sendiri dan berbagai tindakan melecehkan hukum mencuat ke permukaan menyertai beragam tindak kekacauan dan perilaku menyimpang. Seiring dengan itu, gejala demoralisasi juga merajalela di kalangan masyarakat. Mentalitas masyarakat di perkotaan dibentuk oleh budaya pop dan dibuai irasionalitas iklan yang serba instan dan hedonistik. Sementara itu, di pedesaan, otoritas dan sumber kewibawaan tradisional hancur sehingga generasi muda meniru model dan sumber nilai dari luar. Sebagian mahasiswa, buruh dan kaum muda lebih memilih berkomunikasi dengan batu dan bom molotov ketimbang memajukan nalar dan akal sehat.

Kondisi semacam itu diperparah dengan makin menguatnya budaya politik lokal yang bergaya neo-feodalistik. Penguasa lokal bagaikan adipati yang memiliki otoritas tunggal untuk mengendalikan laju kekuasaan. Para pejabat bawahan bagaikan “abdi dalem” yang harus manut dan sendika dhawuh terhadap titah sang adipati. Demikian juga para pejabat yang diberi kewenangan untuk mengatur rumah tangga Dinas Pendidikan. Budaya politik patron-client kembali menyeruak. Penguasa lokal menjadi sumber kekuasaan, sementara para pejabat membuat lingkaran politik untuk melindungi kepentingan politik penguasa. Dalam situasi demikian, bongkar-pasang pejabat Dinas Pendidikan menjadi fenomena yang lumrah terjadi. Imbasnya, “grand-design” dunia pendidikan di tingkat lokal mengalami proses stagnasi akibat frekuensi pergantian pejabat yang begitu tinggi; kian jauh dari kesan visioner dan sekadar untuk memenuhi “selera” penguasa di tingkat lokal. Para pejabat profesional di tingkat lokal sudah mengalami metamorfosis menjadi pejabat politik.

Fenomena gaya neo-feodalistik dalam dunia pendidikan yang (nyaris) menggejala di setiap daerah pasca-otonomi jelas akan berdampak besar terhadap upaya mewujudkan tema Bangkitnya Generasi Emas Indonesia. Di tengah situasi anomali budaya politik yang semacam itu, salahkah bangsa kita “bermimpi” memiliki “generasi emas”?

Kita sangat mengapresiasi langkah Mendikbud, Mohammad Nuh, yang memiliki “kehendak politik” untuk menanam investasi generasi emas mulai tahun ini yang konon dikaitkan dengan rencana besar Kemdikbud untuk mempersiapkan generasi emas 100 tahun Indonesia merdeka (2045). Secara demografis, negeri ini memang memiliki potensi besar untuk menjadi negara besar yang dihuni oleh generasi cerdas, unggul, dan kreatif. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2011, jumlah penduduk Indonesia tahun 2010 yang berusia muda jauh lebih banyak ketimbang yang berusia tua. Dalam data itu terlihat, jumlah anak kelompok usia 0-9 tahun sebanyak 45,93 juta, sedangkan anak usia 10-19 tahun berjumlah 43,55 juta jiwa. Pada tahun 2045 nanti, mereka yang usia 0-9 tahun akan berusia 35-45 tahun, sedangkan yang usia 10-20 tahun berusia 45-54 tahun. Bukankah ini sebuah potensi bangsa yang layak menjadi modal sosial untuk menggapai mimpi besar itu?

Meski demikian, mimpi besar tanpa diimbangi upaya serius untuk memperbaiki kultur bangsa hanya menumbuhkan obsesi berlebihan. Realitas budaya politik lokal yang cenderung neo-feodalistik dengan gaya interaksi patron-client dalam dunia pendidikan akan menjadi penghambat serius dalam melahirkan “generasi emas”. Dalam konteks demikian, perlu sentuhan reformasi kultural di negeri ini melalui perbaikan sistem dan suprastruktur yang mendukung terciptanya penguasa lokal yang berkarakter dan visioner. Realitas sosial yang pluralis dan multikultural membutuhkan sentuhan pengelolaan penguasa lokal yang sarat dengan wisdom dan keteladanan.

Jika hajatan Pilkada gagal melahirkan penguasa lokal yang berkarakter dan visioner, tidak ada salahnya proses rekruitmen sang penguasa dipilih melalui proses fit and proper test dengan mempertimbangkan rekam jejak calon penguasa lokal selama berkiprah dalam ranah pemerintahan. Buat apa uang rakyat dihambur-hamburkan untuk pentas Pilkada kalau kenyataannya hanya melahirkan koruptor-koruptor baru yang abai terhadap dunia pendidikan? Jika siklus semacam ini terus berlanjut, mana mungkin bangsa yang besar ini mampu mewujudkan mimpi “generasi emas”? ***

48 Comments

  1. Ehhhhhmmmzzz akhirnya bisa juga koment pertama.
    Saya masih sangat prihatin dengan dunia pendidikan saat ini. Hardiknas menurut penilaianku hanya sekedar seremonial dan berhenti pada tema yang bombastis. Belum ada langkah signifikan dari pemerintah—–kemdikbud untuk memperbaiki sistem pendidikan.

    Boleh jadi mendikbud punya “mimpi” besar tapi jikalau tidak disupport oleh stake holder pendidikan lainnya maka peluang musro menjadi pertaruhan.

    Pendidikan merupakan bagian tak terpisahkan dari sistem yang ada di Indonesia saat ini. So, membenahi dunia pendidikan perlu dukungan dari semua pihak terutama presiden, dpr, para kepala daerah dan juga guru sendiri.

    Tengok guru yang telah menyandang sebagai’guru profesional’ dengan satu kali gaji pokoknya, apakah telah beranjak menjadi guru yang betul-betul profesional, komitmen dan berdedikasi tinggi.

    Maaf, ini hanya ungkapan keprihatinan hati saya.

    Selamat hardiknas Pak Sawali dan para pelaku pendidikan tanah air. Semoga dunia pendidikan ke depan lebih baik dan maju.

  2. Salam kenal pak Sawali, buat saya yang tinggal di daerah kabupaten, pendidikan lebih terasa sebagai komoditas dagangan terutama pada saat musim penerimaan muri baru. Tapi saya yakin Indonesia memiliki potensi besar untuk melahirkan generasi emasnya, terlepas dari carut marut dunia politik, pendidikan dan ketidak-beresan otonomi daerah. Semua akan luruh pada waktunya oleh seleksi alamiah kehidupan.

    Para pemimpin nasional mau pun lokal yang tidak memiliki kearifan dan keteladanan akan tersingkir dengan sendirinya.

  3. saya setujua dengan gagasan yang pak Sawali sampaikan yaitu rekrutmen pemimpin daerah. Uang rakyat habis hanya untuk melahirkan koruptor-koruptor baru

  4. Kita boleh bermimpi untuk menjadikan pendidikan kita menjadi maju (bahkan menjadi nomor satu di dunia) tetapi tanpa wujud tindakan nyata semuanya pasti tidak akan tercapai. Ada juga “batu penghalang” yang menghalangi cita2 itu. Termasuk para pemimpin kita apabila mereka kurang peduli terhadap dunia pendidikan kita.
    Sudah selayaknya para pemimpin kita peduli akan nasib di dunia pendidikan kita agar bangsa kita tidak ketinggalan dari negara2 lain.

  5. penguasa lokal sekarang kebanyakan jadi raja kecil di daerah, lebih sering menumpuk kekayaaan daripada perhatikan rakyatnya, walaupun ada juga beberapa yg memiliki itikad baik..

  6. masalahnya yang sangat vital menurut saya adalah yang di atas berlomba-lomba membuat program sebagus mungkin, tapi tidak pernah terealisasi secara meenyeluruh. Kenyataan dilapangan justru seperti yang diungkapkan pak Sawali di atas, kalau boleh meminjam bahasa kasar, ibaratnya ‘bawahan itu babu’ kalau tidak nurut ya mutasi. Semoga untuk kali ini bisa terwujudlah, agar saya punya minat lagi untuk menjadi guru 🙁

  7. Mumet saya kalau harus mikir seberat itu pak, hanya saja, marilah kita berbuat sebaik yang kita bisa pada bidang kita. Kita yang guru, marilah jadi guru yang baik, jangan larut dalam budaya hedonisme, materialisme serta konsumerisme karena mendapat tunjangan sertipikasi.

  8. Bangsa ini sedang mengalami krisis moral dan budi pekerti, bahkan bisa dibilang sedang berada di titik nadir. Sopan santun telah hilang, berbuat buruk dianggap biasa. Seharusnya prioritas pemerintah bukan hanya aspek ekonomi, tapi menyiapkan generasi2 mendatang yang memiliki lagi budi pekerti yang baik, lewat pendidikan.

  9. mimpi generasi emas bila hanya terfokus tentang prestasi akademis dan fisik semata hanya akan menciptakan generasi emas yang “kering”, kepekaan terhadap budaya lokal dan empati sosial yang tinggi harus tetap dibekalkan pada proyek generasi emas ini, bila ingin negeri ini berkembang di berbagai bidang dan menyejahterakan seluruh rakyatnya

  10. Ada suatu pepatah “Generasi muda adalah calon pewaris hutang bangsa om.. “.. Jadi berhati-hatilah dalam melangkah untuk bangsa ini om.. 😀

  11. Generasi emas yang kita tahu hanya di masa gajah mada dan soekarno, setelah itu kita diporak porandakan gejala penyakit kronis anak negeri. salah satunya koruptor yang sudah melekat dihampir setiap pemimpin kita 🙁

  12. Setidak-tidaknya masih ada mimpi generasi emas Indonesia, manakala fit and proper test dapat terwujud dalam rekruitmen penguasa. Selamat pagi pak Sawali. Semoga dapat terwujud bangkitnya generasi emas Indonesia. Amin.

  13. Bangkitnya generasi emas Indonesia, meski tidak mudah untuk direalisasikan, setidaknya sebagai insan pendidikan, mari kita senantiasa meningkatkan profesionalisme demi kemajuan pendidikan Indonesia.
    Salam pendidikan!

  14. jadi heran juga pak, masyarakat terpelajar kita juga lebih suka memakai otot untuk menuntut haknya daripada menggunakan jalan dialog yang menjadi ciri khasnya

  15. sedih jika melihat bahwa dunia pendidikan hanya dijadikan alat politik lokal, cara apa pun dilalukan demi langengnya penguasa lokal, termasuk di Dinas pendidikan, saya setuju sekali bahwa bupati/wali kota mirif adiapati sedangkan lingkup kadis serta jajarannya sbagai abdi dalem

  16. Salam kenal pak Sawali,
    ….
    Saya yakin, bahkan haqulyakin 100% guru telah berusaha (dari dulu tidak hanya sekarang) untuk melahirkan generasi EMAS, BERLIAN atau apapun namanya.
    Dan keyakinan saya yang lain adalah tidak ada guru yang mengajarkan menyontek, berbohong, mencuri, korupsi dan hal2 keji lainnya.
    Coba kita bernostalgia saat kita TK, SD,SMP,SMA betapa tulusnya hati Bapak/Ibu guru.

    Terima kasih

  17. Sekarang ini pembentukan mental di luar yang lebih berpengaruh pak, jadi tidak bisa disalahkan gurunya jika dianggap tidak bisa membentuk generasi emas

  18. INDONESIA CAR LIFE STYLE AWARD 2012 BLOG COMPETITION adalah lomba blog dalam menyambut Indonesia Car Lifestyle Award 2012 (ICLA 2012).

    Lomba ini bertujuan bagi para blogger atau kalangan umum untuk menulis dan memuat pandangan individualnya mengenai Indonesia Car Lifestyle Award 2012 sebagai ajang penghargaan mobil terbaik berdasar kepribadian dan gaya hidup. Kami ucapkan selamat mengikuti lomba bagi seluruh peserta.

    More Info : http://bosmobil.com/icla/blog-competition.html

  19. salahkah bangsa kita “bermimpi” memiliki “generasi emas”?

    tidak banyak potensi emas di generasi kita dan mendatang, tetapi banyak juga yang keluar dari itu,yang pasti waktu tetap berjalan

  20. nyatanya memang otonomi daerah belum benar2 bisa berguna buat masyarakat. baru pejabat2 yang bisa naik pangkat jadi “raja kecil”.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *