Mendinamiskan Komunitas Sastra Kendal

Sabtu, 24 Maret 2012, bertempat di Balai Kesenian Remaja (BKR), Kompleks GOR Bahureksa Kendal, Kebun Sastra yang dikomandani penyair Kelana, menggelar diskusi sastra dengan mengangkat tajuk “Rekonstruksi Sastra Kendal”. Ada empat narasumber yang dihadirkan, yakni Bambang Dwiyono (Sekda Pemkab Kendal), Sawali Tuhusetya, Bahrul Ulum A. Malik (penggiat Komunitas Plataran Sastra Kaliwungu/PSK), dan Heri Candra Santosa (penggiat Komunitas Lereng Medini Boja). Kelana sendiri bertindak sebagai moderator.

Dalam diskusi yang dihadiri sekitar 30-an penggiat sastra dari komunitas sastra Kendal, seperti Komunitas Lereng Medini (Boja), Bongkar (Sukorejo), Rumah Diksi (Brangsong), Plataran Sastra Kaliwungu (PSK), Komunitas Kebun Sastra (Kendal), dan beberapa penyair Batang (Edi S. Febri, dkk.) itu terungkap tentang pasang surut dan dinamika sastra Kendal dari masa ke masa. Harus diakui, Kendal termasuk kota kecil yang telah melahirkan banyak sastrawan kondang. Sebut saja nama Ahmadun Y. Herfanda, Nung Runua, Gunoto Sapari, atau Prie GS. Mereka adalah sastrawan kelahiran Kendal yang dikenal cukup produktif dalam melahirkan karya-karya sastra berkelas, baik cerpen, puisi, maupun novel, pada zamannya.

rekonstruksi sastra rekonstruksi sastra
rekonstruksi sastra rekonstruksi sastra

(Screenshot diskusi berkat jasa baik Mas Akar Jerami. Matur nuwun, Mas)

Namun, agaknya Kendal tergolong kota yang kurang “ramah” dalam menghidupi para sastrawannya untuk terus berkarya di “rumah” sendiri. Akibat tuntutan perubahan dan dinamika zaman yang terus berlangsung, para sastrawan Kendal lebih memilih kota lain untuk berkarya dan berkreativitas. Ahmadun Y. Herfanda dan Nung Runua di Jakarta, sedangkan Gunoto Sapari dan Pri GS di Semarang. Praktis, sepeninggal mereka, sastra Kendal dalam keadaan tiarap. Hampir tak ada event-event kegiatan sastra yang bisa dibanggakan. Masih beruntung, Kendal memiliki kelompok Teater Semut yang masih terus eksis pentas dan menggelar event “Gelar Budaya” tahunan. Setidaknya, sastra Kendal tidak sampai “mati suri”.

Tahun 1996-an, ketika saya datang dan mulai menetap di kota Bahureksa, saya terpaksa harus “lari” ke Semarang untuk menuntaskan “naluri” bersastra. Semarang terbilang kota yang mengakrabkan saya pada ranah sastra. Di kota Lumpia itu saya bisa bersilturahmi dan ngobrol apa saja dengan Budi Maryono, Gunawan Budi Susanto (Putu), S. Prasetyo Utomo, Triyanto Triwikromo, Basa Basuki, Yudiono KS, Nurdien HK, dan beberapa sastrawan lain. Simpang Lima atau kawasan Jalan Pemuda sesekali jadi tempat obrolan sambil “nyrutup” teh poci khas Tegal, hingga larut malam. Atmosfer seperti itu sulit saya dapatkan di Kendal hingga beberapa tahun lamanya.

Baru sekitar 2009-an sastra di Kendal mulai menggeliat. Kehadiran penyair Kelana dan Slamet Priyatin, harus diakui, telah membuat peta sastra Kendal berubah. Berbagai event sastra rutin digelar, baik dalam bentuk diskusi maupun pentas. Karya-karya penyair muda dibedah bareng-bareng; diapresiasi dan dikritisi, hingga “adrenalin” para penyair muda potensial bisa terus terpacu dan terasah. Kemudian, puisi-puisi terbaik karya penyair-penyair muda diabadikan dalam bentuk “bunga rampai”, meski harus diterbitkan secara mandiri. Yang tak bisa dilupakan, tentu saja peran Sigid Susanto. Sastrawan yang kini menetap di Perancis itu setiap tahun meluangkan waktu pulang ke kampung halaman (Boja), lantas menggelar event “Apresiasi Sastra” selama beberapa hari dengan mengundang para sastrawan “berkelas” dari berbagai kota, bahkan manca negara. Para penulis muda, penggiat, dan pencinta sastra diundang untuk hadir, lantas berbaur bersama dalam suasana santai dan akrab bersama sastrawan-sastrawan hebat. F. Rahardi, Agus Noor, Wayan Sunarto (Penyair Bali), Shiho Sawai (Jepang), Thomas Blarer (Swiss), Aguk Irawan Mn., Tien Suwartinah (Pontianak), Adi Toha, Ahmad Tohari, Saut Situmorang, dan beberapa sastrawan lain pernah singgah di kota ini.

blog guru
Rumah Diksi Buletin #7/ Maret 2012

Sastra Kendal kian menggeliat ketika bermunculan berbagai komunitas sastra yang cukup eksis dalam menggelar event-event sastra “bergengsi”. Komunitas Lereng Medini (Boja), Bongkar (Sukorejo), Rumah Diksi (Brangsong), Plataran Sastra Kaliwungu (PSK), atau Komunitas Kebun Sastra (Kendal) yang dikomandani masing-masing oleh Heri CS, Setia Naka Andrian, Bahrul Ulum, dan Kelana, terbilang gigih dan visioner dalam berkiprah mendinamiskan sastra Kendal melalui kantong sastra yang dikelolanya. Bahkan, Setia Naka Andrian, punya nyali besar “melompat dengan tradisi” dengan menerbitkan buletin sastra secara rutin yang bisa diunduh secara gratis di Rumah Diksi.

Tentu, komunitas sastra saja tidak cukup. Para penggiat komunitas dengan “ideologi” dan visinya masing-masing perlu terus mengobarkan semangat dan passion berkarya, dengan tak henti-hentinya menggelar event-event sastra untuk menciptakan atmosfer kreativitas bagi para penulis muda agar proses regenerasi tidak “kepaten obor”. Bahkan, jika memungkinkan, dari Komunitas Sastra bergerak dan melaju ke dalam ranah “Sastra Komunitas” sehingga akan bermunculan karya-karya “masterpiece” dan eksotis yang memiliki kekhasan dan tampil beda. Mudah-mudahan “mimpi” itu bisa terwujud, sehingga sastra Kendal bisa terus eksis dalam peta sastra Indonesia mutakhir. ***

No Comments

  1. Dalam rekonstruksi tersebut, sastra Kendal akan dibawa kemana Pak..
    Aku pikir menghasilkan karya saja tidak cukup. Sastrawan sebaiknya juga membangun basis penggemar, pemerhati, penikmat dan bahkan kritikus sastra. Kalau sudah begitu pasti sastra kendal akan menemukan bentuknya yang lebih asli. Just my two cents Pak 🙂

  2. Dengan adanya acara ini semoga dapat menggali dan menemukan satu pemikiran dan tujuan untuk dapat menjadikan hasil budaya anak bangsa menjadi salah satu pendorong dayang tarik tersendiri bagi bangsa asing untuk hadir sini ya Pak.

    Sukses selalu
    Salam
    Ejawantah’s Blog

  3. Wah, ternyata banyak juga sastrawan dari kendal ya pak, saya kenal mas Prie GS lewat beberapa karyanya yg diterbitkan sebuah surat kabar, tapi tidak tahu kalau beliau dari Kendal. Semoga dunia sastra kendal segera hidup kembali.

  4. Satrawan selalu dan hampir pasti idealis. Mungkinkan sastrawan berjalan sejajar dengan blogger ❓ sama idealis namun mungkin beda tujuan 😆

    Salam hangat serta jabat erat selalu dari Tabanan

  5. Terima kasih kepada sastra yang telah membebaskan untuk berkata tentang “apa” tanpa harus menjadi “apa”, sehingga “apa” yang dikatakannya mungkin dirasa “benar” namun yang berkata sendiri, mungkin bukanlah “wajah” kebenaran.

    Selamat berkarya para sahabat, hiburlah dunia dengan sastra. Doa dan harap kami bersamamu.

  6. Ngomong2 orang Kendal bisa juga menghasilkan sastrawan berbakat.
    Kalau di Ngawi sendiri, sepertinya juga banyak sastrawan. Tetapi yang paling terkenal yaitu Umar Kayam. Beliau menghasilkan karya “Para Priyayi”.

    Semoga sastra di Indonesia, termasuk juga komunitas sastra di Kendal semakin maju. Bisa menghasilkan karya-karya yang terbaik, bermanfaat bagi masyarakat. Menghasilkan karya yang mendunia.

  7. Sebenarnya meningkatkan gerakan gerakan cinta sastra di daerah manapun akan berdampak positif untuk mengurangi efek generasi “alay”, jangankan sastra, materi ujian tersulit saat ini adalah bahasa Indonesia. menjadi pelajaran tersulit karena kebiasaan berbahasa baik dan benar sepertinya telah tergerus oleh kebiasaan mencampur-campurkan bahasa Indonesia dengan bahasa asing biar sok keren, tapi sebenarnya menjadi hal yang memalukan sang guru bahasa

  8. saya sangat senang bisa menemukan web ini karena sangat bagus postingannya sehinga bisa memberikan ilmu pengetahuan yang diberikan pada web ini semoga bisa bermanfaat bagi saya dan orang lainnya yang membaca postingan tersebut. terimah kasih banyak.

Tinggalkan Balasan ke Pengobatan Tradisional Kanker Darah Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *