Ketika Kang Putu Mengkritisi Fenomena Zaman Edan

Beberapa waktu yang lalu, usai seminar “Pengajaran Sastra, Kurikulum, dan Kompetensi Guru Bahasa” di Unnes (Minggu, 10 April 2011), saya menyempatkan diri bertandang ke rumah seorang sahabat lama, Gunawan Budi Susanto, bersama Achiar M. Permana, alumnus Unnes yang kini menjadi wartawan Warta Jateng. Bagi saya, Gunawan Budi Susanto, alumnus Sastra Undip yang lebih akrab saya sapa “Kang Putu”, memang bukan lagi sosok yang asing. Sekitar tahun 1985-an, saya sudah mengenalnya ketika sama-sama mencoba mengakrabi sebuah dunia sastra yang saat itu tergolong ranah yang langka diminati mayoritas mahasiswa. Kang Putu di Fakultas Sastra Undip, sedangkan saya di Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, IKIP (sekarang Unnes) Semarang.

buku kang putubuku kang putuMeski berbeda kampus, hubungan saya dengan Kang Putu tergolong dekat. Ini merupakan efek ikutan ketika kami sama-sama menyukai dunia kepenulisan. Kang Putu mengelola majalah sastra “Hayam Wuruk”, sedangkan saya lebih banyak menjadi “penulis lepas” di koran lokal (Suara Merdeka dan Wawasan). Pertemanan makin akrab ketika sering bertemu di beberapa seminar sastra. Meski sama-sama hadir dalam seminar, kami lebih banyak ngobrol ketimbang mengikuti penyajian materi yang disampaikan narasumber, hehe …

Pertemanan kami sempat renggang setelah saya lulus dari IKIP (tahun 1988). Beberapa tahun melewat, kami hanya sebatas bisa mengikuti kiprah kepenulisan melalui tulisan (cerpen dan esai) yang sesekali dimuat di koran lokal. Nah, pertemanan kami kembali terjalin ketika saya diundang untuk mengikuti acara “Nurdien Kembali” (17/7/1996) di aula Fakultas Sastra Undip yang digelar oleh Yayasan Sastra Merdeka, sebuah yayasan nonprofit yang didirikan Kang Putu bersama Budi Maryono. Saat itu saya sudah tinggal di Kendal. Usai acara, saya diminta menginap di rumah kontrakannya yang berada di kompleks Candi Baru, Semarang. Saya masih ingat, Kang Putu saat itu memberikan saya sebuah buku bunga rampai gagasan-gagasan kritisnya yang terkumpul dalam buku Kesaksian Kluprut; sebuah buku karya khas mahasiswa sastra yang kritis, jujur, dan apa adanya.

Itulah yang saya ingat dari sosok seorang Kang Putu. Apa yang tertuang dalam bunga rampainya yang kritis, jujur, dan apa adanya itu juga tampak dalam laku hidupnya. Meski waktu terus berlalu, sikap seperti itu agaknya tak pernah berubah. Kang Putu tetap menjadi sosok yang sederhana, kritis, jujur, dan apa adanya. Gaya bicaranya ceplas-ceplos; tanpa tedheng aling-aling. Hal itu bisa saya lihat ketika beberapa waktu yang lalu, dia bersama saya didaulat untuk menjadi pembedah buku kumpulan cerpen Bom di Ruang Keluarga karya sahabat saya, Jimat Kalimasadha, yang digelar oleh Komunitas Kebun Sastra Kendal.

Selang beberapa hari kemudian, saya didaulat untuk menjadi salah satu narasumber dalam seminar “Pengajaran Sastra” di Unnes. Ketika di Kendal, Kang Putu sudah me-wanti-wanti saya agar menyempatkan diri mampir di rumahnya, Gunung Pati, Semarang. Konon ada sebuah buku baru karyanya yang akan dihadiahkan buat saya.

“Buku itu akan saya berikan apabila Sampeyan mampir ke gubug saya, haha ….,” kelakarnya saat itu. Walhasil, usai seminar, saya bersama Achiar M. Permana, buru-buru bertandang ke rumahnya. Alhamdulillah, kebetulan saja Kang Putu tak ada acara, sehingga kami bisa ngobrol tentang banyak hal di rumahnya yang tenang dan sunyi. Di tengah obrolan yang renyah dan bersahabat ketika hujan deras mengguyur kawasan Gunung Pati dan sekitarnya, ternyata Kang Putu tidak lupa janjinya. Ia memberikan tiga buah buku; Edan-edanan pada Zaman Edan (kumpulan tulisannya yang pernah dimuat di berbagai media), Kebenaran Akan Hidup Terus (Wiji Thukul, dkk.), dan buku kumpulan cerpen karya Budi Maryono, Di Kereta Kita Selingkuh.

Buku Edan-edanan pada Zaman Edan (EPZE), sebagaimana dituturkan dalam “Sekapur Sirih”, merupakan wujud empati Kang Putu terhadap berbagai permasalahan di masyarakat. Menyimak tulisan-tulisannya yang terkumpul dalam buku ini, Kang Putu ternyata tetap tak berubah. Meski sudah hidup “mapan” dan menyatu dalam paguyuban komunal di tengah bebrayan masyarakat, sikap kritisnya tak pernah bergeser. Kang Putu ternyata seorang pengamat yang teliti. Ia amati berbagai fenomena yang terjadi di tengah-tengah kehidupan masyarakat, diendapkan berdasarkan kepekaan nuraninya, lantas mengkritisinya dengan menonjolkan sikap empati terhadap nasib wong cilik yang disadari atau tidak telah “dikorbankan” oleh para pengambil kebijakan yang “gagal” mengurus negara.

Ada 30 judul tulisan yang tersaji dalam EPZE. Salah satu yang menarik adalah “Ngedan, Edan-edanan pada Zaman Edan” (hal. 13-17) yang bertiti mangsa 25 Agustus 2002. Tulisan ini diawali dengan adagium yang sangat menyentakkan nurani, sebuah plesetan ungkapan Pujangga Ranggawarsita dalam Serat Kalatidha yang terkenal itu: “Sakbeja-bejane wong waras, isih luwih beja wong edan ning kuasa” (seuntung-untungnya orang waras, masih lebih untung orang gila tetapi kuasa). Hmm … sebuah adagium yang tepat untuk mengkritisi pengelolaan kehidupan bernegara dan berbangsa yang amburadul, edan-edanan.< Dengan mengutip pendapat Kevin O Browne (2001), Kang Putu bilang, “Pada zaman edan, kekuasaan seolah-olah lebih memancarkan daya pukau luar biasa. Hampir setiap orang ingin menjadi penguasa, dengan segala cara, segala daya. Bukankah dengan menjadi penguasa, Anda bisa dengen enteng menyatakan lupa di mana meletakkan cek Rp40 miliar untuk membeli beras yang bakal dibagikan kepada rakyat yang kelaparan? Bukankah dengan secarik kertas keterangan bahwa Anda sakit bisa membebaskan diri dari jeratan hukum? Apalagi kalau Anda sakit di luar negeri. Lebih mewah, bukan? Ya, orang-orang yang tidak sabar, tidak eling … menggunakan kekuasaan untuk korupsi.”

Begitulah gaya Kang Putu mengkritisi keadaan. Cablaka dan blakasuta. Menurutnya, saat ini adagium “eling lawan waspada” menjadi tawaran asketis ngayawara. Orang tak mau lagi menghargai proses dan etos kerja keras dalam menggapai impian dan harapan. Sikap hidup serba instan dan pragmatis menjadi pilihan jalan hidup. Untuk bisa menjadi penguasa tak harus cerdas dan punya kemampuan. Yang penting punya modal bersaing untuk memperebutkan kekuasaan dengan segala cara pun jadilah. Imbas ikutan dari sosok kepemimpinan model Machiavelli semacam itu adalah lahirnya sekian rakyat yang harus menjadi korban, sehingga terpaksa berbuat ngedan alias nggedheng seperti yang pernah diterapkan oleh masyarakat Samin sebagai perlawanan simbolik terhadap kekuasaan.

Mengakhiri tulisan reflektifnya, Kang Putu melontarkan sederet pertanyaan, apakah sepanjang masa, dari abad ke abad, sejak Ajisaka mengalahkan Dewata Cengkar, rakyat jelata harus senantiasa menjadi korban? Apakah, sebagaimana Kluprut, rakyat Cuma bisa menggerendeng? “Dumeh kuwasa. Tansah daksiya marang sapepadha, nak-kepenak pek-pinek colong jumput, mbedhog, nggedhor …” (Lantaran kuasa, terus berbuat sekehendak hati terhadap sesama, hidup enak-kepenak dengan cara mencuri, merampok, korupsi, dan seterusnya).

Ya, ya, di tengah situasi peradaban yang makin memberhalakan gebyar materi dan kekuasaan, Kang Putu secara kritis dan reflektif telah melakukan laku nyata dengan memberikan “kesaksian” berdasarkan kepekaan nuraninya. Tulisan Kang Putu memang tak bisa mengubah keadaan sepanjang tak ada “kemauan politik” dari mereka yang silau kekuasaan. Namun, setidaknya bisa menjadi filter agar kita tidak ikut-ikutan ngedan, karena seuntung-untungnya orang yang lupa, masih beruntung orang yang eling dan selalu waspada.

Terima kasih banget atas pemberian bukunya, Kang Putu. Sampeyan telah mengingatkan saya akan makna kearifan hidup; sebuah ungkapan sederhana yang (nyaris) terlupakan akibat makin meruyaknya berbagai fenonema hidup yang makin korup, edan, dan hedonis! ***

No Comments

  1. Pak Budi alamat persisnya di mana Pak SS? Gunungpatine ngendi? he.he..
    mau ikut bertandang sowan nih, siapa tahu juga dapat geratisan. ngarep.com

  2. mengupas karya seseorang dr orang yg mengenalnya secara pribadi sebagaimana yang Pak Sawali sampaikan di atas bagi saya selalu lebih menarik dan lebih kredibel, sehingga bisa tau apakah tulisan/karya tersebut keluar dari hati atau dari “kantong”.

  3. memang sekarang jaman persaingan membuat orang haus akan kekuasaan dan berlomba memenuhi kebutuhan hiodupnya dengfan menghalalkan segala cara memang sungguh zaman edan ,serba instan dan orangnya banyak yg gendeng

  4. teringat Wiji Thukul, jadi teringat lirik lagu “Darah Juang” yang acapkali dinyanyikan semasa di gerakan dengan sejumlah kawan berdemo di depan gedung DPRRI…

    Disini Negeri kami, tempat padi terhampar
    Samuderanya.. kaya raya
    Negeri kami subur Tuhan….
    Di negeri permai ini
    Berjuta rakyat bersimbah luka
    Anak buruh tak sekolah
    Pemuda desa tak kerja
    Mereka dirampas haknya
    Tergusur dan lapar
    Bunda relakan darah juang kami
    Tuk bebaskan rakyat
    Padamu kami berjanji
    Padamu kami berbakti

  5. Orang yang haus akan gelimang harta dan kekuasaan, cenderung melupakan bahwa hidup di dunia ini hanya sementara, Urip paribasane amung mampir ngombe, tidak ada dalam kamusnya …
    Salut buat Bung Putu, sahabat Pak Sawali …

  6. Halo Mas Sawali,
    Kisah pertemanan yang baik diantara dua orang bersahabat
    dengan minat yang dalam pada kesusasteraan Indonesia.
    Review yang menarik atas buku yang menarik pula.
    Congrats!

  7. lama nggak ngeblog, lalu mampir kesini dan seperti biasa
    menikmati tulisan pak sawali,

    kali ini setidaknya saya dapat dua wawasan baru

    “seuntung-untungnya orang waras, masih lebih untung orang gila tetapi kuasa”
    “seuntung-untungnya orang yang lupa, masih beruntung orang yang eling dan selalu waspada. ”

    semoga saya tetap eling pak sawali,

    salam saya

    *sedang warming up nih pak

  8. ”’Kang Putu tetap menjadi sosok yang sederhana, kritis, jujur, dan apa adanya”’,,,

    Sosok yang sangat mensifati Fitrah manusia’. Semoga saya bisa mengugguli mas Sawali dan Kang Putu, doakan saya ya, yang sedang kuliah di jurnalistik dakwah islam. semoga bisa mengikuti jejak langkah anda sekalian

    ”’ Orang tak mau lagi menghargai proses dan etos kerja keras dalam menggapai impian dan harapan. Sikap hidup serba instan dan pragmatis menjadi pilihan jalan hidup. Untuk bisa menjadi penguasa tak harus cerdas dan punya kemampuan. Yang penting punya modal bersaing untuk memperebutkan kekuasaan dengan segala cara pun jadilah. ”’

    Wah dasyat sekali tulisannya, Semoga rakyat semakin sadar, untuk bisa melihat siapa yang benar dan salah, negara yang edan’ atau negara yang peduli terhadap rakyatnya, karena mengikuti titah Ilahi yang lama terpendam.

    Semakin banyak para kader sastrawan yang bersih’. Semoga bukan Reformasi lagi yang terjadi di Indonesia, tetapi Revolusi untuk merubah Hukum buatan manusia yang sudah tidak cocok mengatur urusannya, karena Dialah Allah yang mengetahui urusan Makhluk yang diciptakannya’.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *