Ujian Nasional Mengebiri Potensi Siswa Didik

Jika tak ada aral melintang, para siswa SMA/MA, SMALB, dan SMK akan menempuh Ujian Nasional (UN) utama pada 22 – 26 Maret 2010. Sedangkan, siswa SMP/MTs dan SMPLB pada 29 Maret – 1 April 2010. Berbeda dengan tahun sebelumnya, UN tahun ini ada UN ulangan yang diperuntukkan bagi siswa yang tidak lulus. Itulah sebabnya, jadwal UN tahun ini dipercepat, sehingga siswa yang mengikuti UN ulangan masih memiliki kesempatan untuk mengikuti pendidikan jenjang berikutnya. UN ulangan untuk siswa SMA/MA, SMALB, dan SMK berlangsung 10 – 14 Mei 2010, sedangkan untuk siswa SMP/MTs dan SMPLB berlangsung 17 – 20 Mei 2010.

UNMomen-momen semacam itu, diakui atau tidak, telah membuat banyak pihak cemas dan khawatir. Guru mengerahkan sekian jurus untuk memberikan trik terbaik buat siswa didiknya, orang tua terus memberikan ruang dan waktu kepada anaknya untuk ikut les sana-sini, siswa dengan segala keterbatasan dirinya dipaksa harus memasuki dunia yang sarat persaingan, pejabat pun tak kalah sibuk menggelontorkan sejumlah kebijakan agar institusi dan daerahnya bisa terangkat citranya lewat hasil UN yang bagus. Dengan kata lain, UN telah menciptakan situasi yang memaksa para pemangku kepentingan beradu strategi untuk mendapatkan hasil terbaik. Sepanjang strategi yang dipilih mengedepankan nilai kejujuran, sudah pasti UN bisa menjadi momen yang tepat sebagai “starting point” peningkatan mutu pendidikan. Namun, persoalannya menjadi lain ketika banyak pihak yang menempuh cara-cara curang untuk meluluskan siswa. Ironisnya, itulah realitas sosial yang terjadi dari tahun ke tahun. UN selalu diwarnai kecurangan, tetapi (nyaris) tak ada tindakan tegas. UN yang seharusnya bisa menjadi “starting point” peningkatan mutu, justru telah menjadi awal pembusukan proses pendidikan.

Kecurangan UN yang terjadi, baik secara terselubung maupun terang-terangan, dalam jangka pendek mungkin bisa menolong siswa dari ketidaklulusan. Namun, dalam jangka panjang, justru akan berdampak buruk terhadap kualitas generasi masa depan. Anak-anak akan belajar dari lingkungan dan situasi yang membentuknya. Ketika kecurangan dibiarkan, cara-cara instan ditempuh untuk menggapai sukses, maka yang terjadi kelak adalah lahirnya generasi yang memuja gaya hidup instan, nihil apresiasinya terhadap budaya proses dan kerja keras, dan merajalelanya sikap hidup pragmatis yang membahayakan masa depan bangsa.

Pendidikan pada hakikatnya merupakan investasi masa depan. Buahnya baru bisa dipetik dalam kurun waktu antara 15 hingga 25 tahun mendatang. Kalau sejak dini anak-anak masa depan negeri ini sudah “diracuni” strategi potong kompas dalam meraih sukses semu, jangan salahkan mereka kelak kalau menjadi generasi bebal yang miskin nurani, menjadi pewaris semangat Machiavelli yang menghalalkan segala macam cara untuk mencapai tujuan, bahkan bukan mustahil kelak mereka akan menjadi generasi yang mau menang sendiri dengan menerapkan strategi ilmu permalingan yang tega menjual nilai kebenaran dan kejujuran demi memenangkan ambisi dan keserakahan.

Dalam konteks demikian, UN yang salah urus setidaknya telah memiliki andil terhadap merebaknya budaya instan lengkap dengan segala asesoris kecurangannya. Pendidikan yang seharusnya menjadi kawah candradimuka peradaban justru dianggap telah menjadi altar persembahan buat para dewa kebohongan dan kecurangan yang menghancurkan nilai-nilai luhur baku. Anak-anak jadi kehilangan semangat dan etos belajar. Buat apa belajar keras kalau pada akhirnya terkalahkan dan terkebiri oleh cara-cara curang dan ketidakjujuran.

Negeri kita memang sudah memiliki pengalaman cukup matang dalam penyelenggaraan UN. Namun, kebijakan pemerintah yang selalu abai terhadap berbagai kritik yang selama ini mengemuka dari para pengamat dan pemerhati dunia pendidikan, UN yang salah urus tetap jalan terus. Penentuan kriteria kelulusan dengan nilai terendah, misalnya, disadari atau tidak, telah mengebiri potensi siswa didik. Mereka yang memiliki talenta dan potensi majemuk diseragamkan dan dikerangkeng dalam proses homogenitas kompetensi. Agar dapat lulus, seorang siswa, misalnya, harus memenuhi kriteria “memiliki nilai rata-rata minimal 5,50 untuk seluruh mata pelajaran yang diujikan, dengan nilai minimal 4,00 untuk paling banyak dua mata pelajaran dan minimal 4,25 untuk mata pelajaran lainnya”. Ini artinya, seorang siswa yang mendapatkan nilai kurang dari 4,00 pada satu mata pelajaran, mustahil bisa lulus, meskipun nilainya bagus untuk mata pelajaran yang lain.

Saya mempunyai sebuah ilustrasi seperti ini. Si A, misalnya, mendapatkan nilai UN Matematika = 3,90, IPA = 7,50, Bahasa Indonesia = 9,60, dan Bahasa Inggris = 8,80, sehingga jumlah nilainya mencapai 29,80 dengan nilai rata-rata akhirnya mencapai 7,45. Dengan perolehan nilai seperti itu, si A jelas tidak akan lulus. Bandingkan dengan si B, misalnya, mendapatkan nilai UN 5,50 untuk semua mata pelajaran yang diujikan. Meskipun dengan jumlah nilai 22,00 dengan nilai rata-rata hanya 5,50, si B tetap bisa lulus dengan mulus. Dari sisi talenta dan potensi, seharusnya si A jelas memiliki kompetensi lebih jika dibandingkan dengan si B. Si A hanya memiliki kelemahan di satu bidang, yakni Matematika, tetapi memiliki banyak kelebihan di bidang yang lain, sedangkan si B memiliki kelemahan yang merata di seluruh bidang. Jika mau jujur, seharusnya si A yang lulus, sedangkan si B yang masih perlu dipertanyakan kompetensinya. Namun, akibat sistem UN yang salah urus dan mengebiri potensi siswa didik, banyak siswa hebat dan bertalenta yang mengalami nasib tragis.

Karena sudah diputuskan lewat Permendiknas dan diperkuat dengan Prosedur Operasi Standar (POS) oleh BSNP, mau atau tidak, kriteria kelulusan yang tidak berpihak kepada keberagaman potensi siswa didik semacam itu akan tetap digunakan sebagai acuan penentuan kelulusan tahun ini. Itu artinya, pelaksanaan UN tahun ini agaknya juga masih sulit menghindari kecurangan dan kebohongan.

Kita berharap, ada perubahan sistem UN secara signifikan untuk tahun-tahun mendatang. Kriteria kelulusan yang menggunakan nilai terendah idealnya dihapuskan dan cukup menggunakan nilai rata-rata sebagai penentu kelulusan. Dengan cara demikian, keberagaman talenta dan potensi siswa didik terakomodasi dan terhindar dari upaya sistematis untuk “membunuh” siswa hebat dan bertalenta.

Nah, selamat menempuh ujian nasional. Gunakan semboyan, “Saya tak peduli orang lain melakukan kecurangan, yang penting saya jujur dan ksatria.” ***

No Comments

  1. saya sangat setuju pak. dulu saya juga pernah menulis tentang ini. tapi tindak lanjutnya tidak ada sampai sekarang. cuma mengelus dada aja. siswa berpotensi yang dirugikan akhirnya

  2. untuk usia sekolah (SD-SMA) pelaksanaan ujian model ini menurut saya masih sangat relevan pak. meski ada sisi buruk yaitu menyetarakan seluruh siswa se indonesia yang mendapatkan input berbeda. tentu ini tidak adil.

    tapi kondisi ideal dimana peserta didik bebas sebebas-bebasnya akan diperoleh jika nanti melanjutkan ke level yang lebih tinggi dimana ilmu yang dipelajari bukan lagi tataran implementasi, tapi tataran basic atau filosofi ilmu itu sendiri

    sepakat dengan mottonya pak!
    .-= Baca juga tulisan terbaru budiono berjudul "Blogger: Blogging, Talkshow, Tutorial dan Kopdar" =-.

    1. betul sekali, mas dion. tapi sesungguhnya sejak smp talenta anak2 sudah bisa terlihat, kok, sehingga ketika mau melanjutkan ke sma/smk dia bisa mengambil jurusan yang sesuai dengan talentanya.

  3. Artikel yang menunjukkan kondisi saat ini, siswa – guru – orangtua semuanya merasa tegang akan hasil akhir belajar selama 3 dan 6 tahun hanya ditentukan UN, sungguh tidak adil! Sekolah gratis, nyatanya malah pengeluaran besar karena harus kursus dan mengikuti pelajaran tambahan yang tidak murah! Jam belajarpun sudah tidak manusiawi lagi dan hasilnya hanya jawab soal pilihan! Mau dikemanakan generasi kita!
    .-= Baca juga tulisan terbaru nuansa pena berjudul "ketakutanku di malam yang panjang" =-.

  4. Pembahsan UN memang selalu menarik, pasalnya dari tahun ke tahun selalu ada ajah penolakan dan ada pula yang tetap mendukung. akibatnya tarik ulur pun tak kunjung selese mana yang sebenarnya menguntungkan dan berpihak ke siswa 🙂
    .-= Baca juga tulisan terbaru saifuna berjudul "Info Beasiswa Santri Berprestasi" =-.

  5. UN menurut saya bertentangan dengan kurikulum yang ada sekarang yaitu Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan yang lebih menitiktekankan pada kebutuhan lokal sekolah dan daerah.
    kedua, adaalah Jika kemudian harus distandarisasi nilai secara nasional saya rasa tidak adil karena kemampuan masing2 siswa berbeda. tingkt kecerdasan anak masing kawasn berbeda2…
    .-= Baca juga tulisan terbaru ciwir berjudul "Award Nyeleneh dari Soewoeng" =-.

    1. betul sekali, mas santri. sejak UN diberlakukan, semester 2 bukan lagi bersemangat KTSP. ttg standarisasi memang diperlukan sepanjang bukan sbg penentu kelulusan, melainkan hanya sbg pemetaan mutu ahg bisa terlihat daerah mana yang sudah sesuai standar nasional dan yang belum.

  6. Indonesia memang berpengalaman menyelenggarakan UN tapi kebijakan kurikulum dan pendidikan secara umum selalu berubah alias babat alas. lha apa ndak kasihan guru dan siswa nya mengikuti perkembangan kebijakan.
    .-= Baca juga tulisan terbaru ciwir berjudul "Amprokan Blogger 2010" =-.

  7. weww.. postingan yg sangat bagus.. memberikan gambaran klo UN hanya mengebiri potensi dan memiliki banyak efek negatif. sudah terbukti banyak kecurangan yg dilakukan oleh siswa bahkan gurupun ikut membantu kecurangan itu. disisi lain dapat memaksa para pemangku kepentingan beradu strategi untuk mendapatkan hasil yg terbaik walau didapatnya dengan cara curang. begitupun dengan seorang siswa yg cerdas dengan nilai rata2 yg tinggi karena hanya salah satu mata pelajaran aja yg tidak lolos maka siswa cerdas itu terpaksa tidak lulus. inikan proses yg salah yg hanya mengedepankan standar kelulusan tapi sangat tidak teruji baik mental dan kualitas yg ada pada siswa.

    salam hangat.. 🙂

  8. Uraian yang sangat bagus, Pak. Sayangnya ibarat pepatah: Anjing Menggonggong Kafilah tetap Berlalu. Ini adalah megaproyek komersial berskala nasional yang sangat sayang untuk dilewatkan.
    Pihak yang merasa dirugikan akan selalu bertarung melawan pihak yang merasa diuntungkan.

  9. Jika pendidikan mengedepankan tujuan dibanding proses maka sekolah akan berusaha menggapai kesuksesan hasil UN meskipun dengan cara-cara haram.
    UN yang jujur dan Kredible demikian Visi pelaksanaan UN tahun semoga tidak hanya moto semata.

  10. Sekolah sekarang beda banget dengan masa lalu… Apa setiap tahun atau beberapa tahun sistem pendidikan di Indonesia berganti? Kan jadi membingungkan semua orang. Terlebih bagi siswanya….

  11. kemungkinan para orang tua pun mulai melirik cara2 instant ini dan menghalalkannya demi kelulusan sang anak. Saya pernah ngobrol2 dgn tetangga yg ketakutan anaknya tidak bisa lulus…disamping malu juga berimbas pada urusan biaya yg membengkak. Saya setuju dgn pandangan Bapak bahwa dampak psikologis dari aturan UN ini mampu membentuk pola pikir yg serba instan :((
    .-= Baca juga tulisan terbaru oelil berjudul "Mohon Doa" =-.

  12. salam
    cara-cara instan memang selalu tidak sehat. ia hanya menjadi obat bius yang bisa menghilangkan rasa nyeri dalam waktu yang singkat, atau hanya mengganjal perut dari rasa lapar untuk sementara waktu, laiknya mie instan atau bubur instan..tidak heran ketika para lulusan kita (yang diluluskan, sebenarnya:-) ketika memasuki jenjang pendidikan selanjutnya atau pun memasuki dunia kerja, mereka seolah ketagihan dengan cara-cara instan, tak heran kolusi, korupsi dan nepotisme pun menjadi cara yang akhirnya sering ditempuh…
    sampai kapan UN akan seperti ini? sampai pak Sawalo berkenan menjadi Mendiknas 🙂

    1. salam juga, mas amsi. hehehe … saya siap jadi mendiknas, asalkan mas amsi presidennya, hehe … itu dia yang jadi masalah, mas. anak2 sudah terpola dg budaya instant lantaran kesalahan kolektif bangsa kita.

  13. Artikel di atas juga sama dengan bila seseorang hanya pintar di matematika, dan nilai yang lain jeblok ya Pak…. pemerintah belum menghargai spesialisasi

    Wah ternyata sang Guru pun berpikiran sama seperti saya, Masih mending jaman EBTANAS ya Pak ? Test dan evaluasi tetap ada, Sekolah memiliki kontribusi kelulusan, dan nilai EBTANAS kontribusi kelulusan hanya 40 %. Sebab bisa saja seorang yang pintar sedang sakit saat ujian nasional

  14. itu makanya ada ilmu eksak, sosial, seni, sastra dan lainnya… sedikit kemungkinan ada siswa yang menguasai semua bidang ilmu tsb.
    wong guru aljabar saja cuma ngajar aljabar kok 😀

  15. Memang masih ada pro kontra dengan UN ini didunia pendidikan, sebenarnya ada untung dan ada ruginya juga. hanya saja mungkin masyaraka kita masih belum sepenuhnya bisa mengikuti apa yang telah distandarkan dalam UN. Ironisnya lagi didunia kerja kita juga harus melewati test lagi demikian pula jika masuk Perguruan Tinggi, jadi UN bukanlah suatu faktor yang mengindikasikan seorang anak dapat lulus atau tidak serta tidak sepenuhnya mencerminkan potensi anak.
    Saya yakin suatu saat kelak dunia pendidikan kita akan semakin maju..
    Nice post pak, salam kenal dan salam blogger

    1. betul sekali, mas irfan. pro kontra memang bagus2 saja, kok, tapi seharusnya para pengambil kebijakan perlu mempertimbangkan sistem yang dinilai terbaik buat anak2, sehingga mereka ndak jadi korban kebijakan yang salah urus.

  16. ya begitulah pak, saya saja ga’ paham sama sekali tentang UAN atau UN, yang jelas saya sudah merasakan yg namanya UN, rasanya setengah mati, antara hidup tidak hidup, mati tapi tak mati :mrgreen: , yang ada cuma menunggu dewa keberuntungan hinggap 😉

  17. “siswa dengan segala keterbatasan dirinya dipaksa harus memasuki dunia yang sarat persaingan”.

    membaca kalimat di atas, saya merasa telah menjadi salah satu korban 😕

  18. Inilah fase kehidupan yang mesti dihadapi oleh setiap orang, meskipun istilahnya beragam. Ada ujian nasional, ada ujian iman, ada juga ujian keberanian, dan banyak lagi yang lain. Akan tetapi, sejarah telah banyak menunjukkan bukti bahwa eksistensi tetap ada dan diakui dalam rentang waktu tak terhingga manakala ketika menghadapi ujian mengedepankan kejujuran. Menyentuh benak membaca semboyan yang Bapak tawarkan. Salam kekerabatan.
    .-= Baca juga tulisan terbaru Sungkowoastro berjudul "ADIK LAHIR, KASIH SAYANG TERAMPAS" =-.

    1. salam kekerabatan juga, pak. kita masih terus berharap, semoga ada perubahan sistem UN, pak, sehingga talenta anak2 yang seharus dihargai dan ditumbuhkembangkan tdk sampai dikorbankan.

    1. kalau dilihat pedomannya, salah satu tujuan un kan sebenarnya utk meningkatkan mutu pendidikan. tapi dg sistem yang membuka banyak celah kecurangan, agaknya sulit mutu pendidikan kita akan meningkat.

  19. mungkin tugas pemerintah, dalam hal ini departemen pendidikan untuk selalu mengarahkan pendidikan anak bangsa jauh lebih baik dan tidak kebal terhadap kritik dan saran rakyat. Yang kita mau adalah bangsa ini maju dengan semua ksatria yang ada bagi masa depan bangsa! 🙂
    .-= Baca juga tulisan terbaru Aulia berjudul "Techtree Beberkan Fitur iPhone 4G" =-.

    1. itulah yang kita harapkan, mas aulia. semoga sistem UN diperbaiki mulai tahun depan sehingga anak masa depan negeri ini benar bisa tumbuh dan berkembang sesuai dengan minat dan talentanya.

  20. Meski saya kurang setuju dengan UN, tapi kok para siswa yang demo membawa poster itu kayak agak sedikit berlebihan, Pak?
    Bukankah harusnya diperjuangkan lewat jalur yang benar saja?
    Mungkin saya terlalu skeptis tapi takutnya setelah lulus mereka malah jadi tenaga ahli demo bayaran yang skarang marak hehehe..:)
    .-= Baca juga tulisan terbaru DV berjudul "Siapa pencetus ASI mula-mula?" =-.

  21. iyya benar… akhir..akhir merajalela

    teman2 saya justru menjadi takut…
    masa usaha kami yang bertahun2 cma ditentukan 3 hari?

    apalagi..justru temen2 jadi tertekan..
    kapan ya bisa berubah?
    🙁

  22. Maju terus pantang mundur untuk UN nya. Yang penting ada pendidikan massal biar bisa murah meriah. Kenapa takut untuk membuktikan hasil kerja bertahun-tahun dalam 3 hari saja? Kalau percaya diri sudah mantap hasil usahanya, whatever the result itu adalah hasil terbaik. Apalagi yang bisa membanggakan, kalau bukan kita sendiri yang bangga terhadap hasil kerja.
    Belajar, kerja keras, do the best, berdoa, dan let God do the rest.
    .-= Baca juga tulisan terbaru Paramulya berjudul "Magang Oil and Gas Company" =-.

  23. Saya setuju dengan gambaran yang diberikan oleh Pak Sawali. Penentuan kelulusan model UN ini menunjukkan bahwa pembuat kebijakan tidak memahami keberagaman kemampuan, minat dan bakat siswa. Saya setuju UN tetap dilaksanakan tetapi penentuan kelulusannya yang diperbaiki sehingga fakta bahwa siswa memiliki perbedaan kemampuan, minat dan bakat mendapatkan pengakuan.
    .-= Baca juga tulisan terbaru Moh Arif Widarto berjudul "Seleksi Akademik Calon Siswa SMA Taruna Nusantara 2010/2011" =-.

  24. saya gak paham sama sekali dengan UN. apa sama dengan EBTANAS jaman dulu.
    seingatku dulu ebtanas dibuat gengsi2an, kerena itu menjadi tolok ukur kepintaran. ada NEM disana, yang biasa selalu ditanya orang. berapa NEM mu? dsb. gak jauh beda dengan Test IQ. hasilnya sangat dipengaruhi mental pas ujian / test. sepertinya hasil EBTANAS seperti IQ. tak lagi dipakai untuk kualitas seseorang. karena berikutnya muncul EQ, SQ, ESQ, dst..
    jadi dengan masih dipakainya Ebtanas merupakan wujud stagnanisasi dari perjalanan. alias gak maju2.

    eh, ini koq malah ngomongin EBTANAS. jangan2 udah beda dengan UN ^_^

    1. ebtanas dengan un memang beda, mas novi, hehe … utk kelulusan sekarang ditentukan berdasarkan nilai rata2 dan nilai terendah. nilai terendah itulah yang bikin masalah, sebab talenta anak diabaikan.

  25. kata pemerintah : “jika tdk lulus..kan ada ujian ulang?”
    trs kalo gitu buat apa UNAS?? kalau aku pikir, nilai di atas kertas dg 1 kali ujian itu tdk akan mencerminkan prestasi anak didik selama 3 thn belajar… tul ga pak??
    .-= Baca juga tulisan terbaru waw berjudul "Kompor Magnet" =-.

    1. betul juga, mas dewanto. itulah yang sering dikritik banyak kalangan. UN seharusnya bukan jadi penentu kelulusan, melainkan sekadar alat pemetaan mutu, sehingga proses pendidikan anak selama belajar bisa tetap terpotret.

  26. Saya tetap setuju adanya UN Pak, namun bukan UN sebagai penentu kelulusan tetapi sebagai ‘pembanding’ secara Nasional dan pelaksanaannya benar-benar dikelola dengan profesional dan mutunya selalu ditingkatkan. Sukses Pak.
    .-= Baca juga tulisan terbaru yusami berjudul "KEJUTAN UNTUKKU" =-.

  27. sulit banget pak sekarang itu bg kedua belah pihak..antara guru dan murid, misalnya ni murid pasti akan kecewa kalo sampek tdk lulus hanya karna satu bidang study yg nilainya kurang. dan guru juga akan bingung dan mrasa khawatir kalo muridnya ada yg tidak lulus. soalnya hubungannya dg nama baik sekolah…(maksih jg kalo mw kunjung ke blog saya) hehehe
    .-= Baca juga tulisan terbaru joresan freedom berjudul "tetap semangat…." =-.

  28. UN menjadi momok?
    Entahlah….walau banyak yang mengatakan itu…tapi kok rasanya aneh buat saya. Apalagi jika siswa ikutan demo…masih bagus jika tak merusak.

    Sejak anakku masuk sekolah, dan kebetulan mereka juga ikut kursus seperti musik dll…saya telah menjelaskan sejak awal, bahwa cara mengukur kemampuan kita adalah dengan ujian. mialkan..kursus bahasa Inggris..jika mau naik level berikutnya kan juga ujian…atau di sekolah untuk naik kelas juga ada tes atau ulangan. Jadi, sebetulnya ujian adalah untuk mengevaluasi kemampuan kita, apakah memang kita sudah mampu ke jenjang pendidikan selanjutnya atau belum.

    Jujur saja, karena kedua orangtua saya guru, saya terbiasa melalui ujian demi ujian…nggak lulus atau dapat nilai tak memuaskan tak masalah, yang artinya saya belum belajar dengan giat. Saya akui, saat anak-anak mau ulangan, saya telah mempersiapkan mereka jauh hari…untuk ujian SMA juga mempersiapkan sejak kelas 1..tanpa belajar giat mereka hanya sekedar lulus SMA, tapi tak bisa masuk perguruan tinggi bermutu. Dan saya memang mendampingi mereka belajar, walau setiap hari sibuk bekerja dan pulang sampai malam.

    Yang aneh pak Sawali…lha ini kok protes tentang ujian…dan apakah nanti mereka juga akan protes jika tak masuk perguruan tinggi favorit, seperti UGM, ITB atau UI? Juga protes tak bisa diterima bekerja?….
    Mungkin saya agak berbeda pendapatnya disini….karena bagi saya dan anak-anak saya, ujian adalah tantangan yang harus ditaklukkan….dan saya masih terus ikut ujian…bahkan setelah pensiun…kalau tidak. saya tak bisa bekerja paruh waktu seperti sekarang…..

    1. betul sekali, bu enny. saya tetep setuju UN digelar. UN bisa dijadikan sbg alat pemetaan mutu pendidikan secara nasional sehingga akan terlihat mana sekolah/daerah yang sudah sesuai dg standar nasional dan yang belum. memang sistem UN, dalam pandangan saya, masih perlu diperbaiki sistemnya, bu, agar kecurangan demi kecurangan tdk membudaya setiap tahun. idealnya tdk lagi menggunakan nilai terendah, tapi cukup dengan menggunakan rata2. dg cara demikian, kelebihan anak pada bidang yang lain bisa digunakan utk mengurangi kelemahannya pada bidang tertentu.

  29. Saya pernah mengalami sendiri tuh pak menjadi Tim Guru Persiapan UN, ibaratnya sudah berdarah-darah menggojlok anak-anak; Tapi pada akhirnya tetap saja kecurangan dan contekan yang dikedepankan. Rasanya muntab banget mengetahui ini.

    Kembalikan ke jaman Ebtanas deh, setidaknya tidak ada ketakutan untuk tidak lulus karena ini. Kalau jelek, ya jelek. Take it or study! As simple like that.
    .-= Baca juga tulisan terbaru dhodie berjudul "30 Fast Facts of Amprokan Blogger 2010" =-.

    1. bvener sekali, mas dhodhi. dg sistem UN yang berlangsung selama ini, kerja keras dan upaya serius dari guru dan anak2 terkebiri oleh merebaknya kecurangan dan kebocoran UN yang terus terjadi hampir setiap tahun.

  30. polemik yang tiada ujungnya ya.. kembali ke persepsi, saya sempat bikin jajak pendapat pada warga karawang dan hasilnya.. kompleks sekali pendapatnya.. sebagian besar siswa pengen dihapus.. tapi yg udah gak jadi siswa malah mendukung adanya un.. hehe…

    1. hmmm … ternyata mas deni malah pernah melakukan jajak pendapat. wah, mantab. begitulah realitas yang terjadi. tapi rupanya un tetap jalan teus meski mendapat reaksi penolakan dari beberapa kalangan.

  31. kalau saya sih lebih melihat kalau potensi yang dikebiri adalah “minat dan bakat” siswa, pak. bukan cuma kesempatan mereka untuk melangkah ke jenjang pendidikan berikutnya.

    apa pasal? sistem pendidikan kita belum bisa memberikan keleluasaan bagi seseorang untuk berkembang sesuai minat dan bakat mereka masing-masing. contohnya adalah penjurusan di SMA (IPA/IPS/Bahasa). mungkin ada baiknya SMA menerapkan sistem SKS, tanpa ada penjurusan, dengan mata pelajaran beragam, sehingga setiap anak bebas berkembang sesuai bidang mereka masing-masing. tidak cuma sekadar berbondong-bondong ke jurusan tertentu tanpa benar-benar meminatinya.
    .-= Baca juga tulisan terbaru morishige berjudul "Langkah (42): Madura, Lebih Panas Daripada Surabaya" =-.

  32. Kalau saya masih inget bener saat UN SMK tahun 2003, saya bener-bener memprioritaskan si matematika ini, agar nilainya bisa masuk kategori Lulus sehingga porsi untuk belajar mata pelajaran matematika lebih banyak dan akhirnya nilai mata pelajaran Bahasa Indonesiaku jadi turun dari prediksi saya 🙁
    .-= Baca juga tulisan terbaru Agung Haryono berjudul "Hari pertama Advance Training NX7 Software" =-.

  33. UN yang dibuat untuk menjadi barometer kemampuan siswa ini menjadi momok yang sangat ditakutin oleh para siswa yang pada akhirnya hanya membuat siswa stress yang tidak ketulungan

  34. Ping-balik: pendidikan dunia

Tinggalkan Balasan ke itempoeti Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *