Kita Hidup di Tengah Peradaban Horor?

(Refleksi Hari Kebangkitan Nasional)

Budaya

Oleh: Sawali Tuhusetya

Benarkah kita hidup di tengah peradaban horor? Bagaimana kita mesti memaknai meruyaknya berbagai bentuk kekerasan, korupsi, manipulasi, atau kejahatan yang tampil begitu telanjang dan vulgar di depan mata kita? Haruskah kita terus tenggelam dalam kubangan budaya “horor” yang nyata-nyata telah menanggalkan hakikat kemanusiaan kita yang tanpa disadari telah menjadikan kita sebagai sosok-sosok buas dan kanibal yang rela memangsa sesamanya demi memuaskan hasrat kebuasan hati?

Pascakemerdekaan, setidaknya kita telah melampaui tiga orde, yakni Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi. Namun, banyak kalangan menilai, dari tiga orde yang kita lalui, (nyaris) belum manghasilkan perubahan yang mampu mengangkat harkat dan martabat kita sebagai bangsa yang berdaulat, bermartabat, dan terhormat. Situasi transisi dari satu orde ke orde berikutnya, selalu saja menampilkan drama horor yang berending tragis; yang telah meluluhlantakkan nilai-nilai kemanusiaan dan peradaban.

Era Orde Lama, misalnya, – meminjam istilah Budiman (2008) — telah menghasilkan manusia Indonesia sebagai “manusia ideologis”, yaitu manusia yang sarat dengan ide dan slogan-slogan ideologis. Berbagai slogan rakyat sebagai “pejuang”, sebagai “berdiri di atas kaki sendiri”, sebagai “nasionalis” menjadi bagian realitas manusia Orde Lama (Orla). Meski demikian, Orla gagal meningkatkan harkat kemanusiaan itu sendiri, disebabkan kegagalannya dalam memenuhi satu dimensi kemanusiaan, yaitu dimensi ekonomi. Kekerasan berlangsung karena ideologi dan kemiskinan.

Era Orde Baru, telah menghasilkan “manusia-manusia mekanis”, yakni manusia-manusia pembangunan yang pikirannya justru dikosongkan dari ideologi-ideologi, untuk kemudian diisi dengan satu-satunya “ideologi”, yaitu ideologi pembangunanisme. Manusia kemudian menjadi sekumpulan komponen dari “mesin pembangunan”, yang di dalamnya berlangsung industrialisasi pikiran, berupa penyeragaman, standardisasi dan pembatasan-pembatasan terhadap manusia. Di dalamnya, berlangsung berbagai bentuk kekerasan dan in-humanitas, seperti penculikan, penyekapan, penangkapan paksa, ketimpangan, marjinalisasi, peminggiran, pemaksaan, represi, subordinasi, jual paksa, penyerobotan hak milik, perampasan hak pribadi menjadi bagian dari mesin pembangunan yang tidak manusiawi.

Sementara itu, pada era Reformasi –disadari atau tidak—telah terjadi fragmentasi besar-besaran manusia sebagai akibat terbukanya pintu demokratisasi dan kebebasan. Akan tetapi, ironisnya, iklim reformasi justru telah menciptakan manusia- manusia yang kini lebih mementingkan diri sendiri, yakni manusia-manusia yang dapat melakukan apa saja terhadap manusia lain dan melahirkan juga manusia-manusia buas yang dapat menerkam dan memangsa negara hingga sekarat, demi memenuhi hasrat dan kepentingannya; mereka suka mengeksploitasi manusia-manusia lain sebagai “manusia komoditas” yang dieksploitasi tenaga, tubuh dan keterampilannya, demi kepentingan ekonomi, politik, dan keselamatan pribadi. Tanpa disadari, bangsa kita telah menjadi “pemuja” ritual arak-arakan, karnavalisme, retorika, pidato, pawai, dan bahkan demonstrasi, yang makin berdampak luas terhadap tatanan nilai dan norma-norma peradaban masyarakat.

Kini, sudah seabad lebih bangsa kita mengalami momentum kebangkitan nasional. Sudah selayaknya segenap komponen bangsa melakukan refleksi terhadap peradaban “horor” yang nyata-nyata telah kita rasakan amat mengusik nurani kemanusiaan kita. Semua pihak yang memiliki kekuatan untuk membangun peristiwa horor dengan segenap implikasi yang ditimbulkannya perlu melakukan “rehumanisasi” untuk menegakkan dan membangun kembali pilar-pilar kemanusiaan dan peradaban sipil yang (nyaris) runtuh.

Yang perlu segera dilakukan adalah meminimalkan efek-efek kerusakan dan mengontrol kompleksitasnya sehingga tidak jauh membentuk lubang-lubang kekerasan yang makin membuka dan meluas. Selain itu, aksi-aksi kemanusiaan yang sanggup membuka ruang untuk menumbuhsuburkan sikap toleransi, setiakawan, berdialog, dan berkomunikasi lintasbudaya perlu diagendakan agar mampu menciptakan generasi masa depan yang lebih toleran, inklusif, damai, dan ramah, yang tidak lagi menganggap dirinya sebagai kelompok promordial yang eksklusif, superior, dan dominan.

Tak lama lagi, bangsa kita juga akan menggelar sebuah hajat besar yang akan ikut menjadi penentu masa depan negeri ini pada kurun waktu lima tahun mendatang, yakni Pemilu untuk memilih presiden dan wakil presiden. Sungguh, tak ada alasan bagi siapa pun untuk membangun sebuah kekuatan “predator” yang akan merusak tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara hanya sekadar untuk memburu hasrat kepentingan dan kekuasaan semata. Segenap komponen bangsa juga perlu mengawal pesta dan hajat besar itu agar jangan sampai berubah menjadi “ladang kekerasan” yang bisa membuat peradaban horor di negeri ini kian memfosil dan menyejarah.

Roh para pendiri negeri ini tentu akan meratap dan menangis apabila negara-bangsa yang telah dibangun dengan susah-payah itu terpaksa harus bersimbah darah akibat pertarungan antarsesama anak bangsa hanya lantaran perbedaan paham dan kepentingan. ***

———————-
Gambar diambil dari inilah.com

No Comments

  1. tragis..
    seperti kembali ke masa kerajaan dahulu
    sering terjadi adu domba yang mengakibatkan hancurnya kerajaan-kerajaan di Indonesia
    Namun, hal ini tidak lepas dari perkembangan bangsa kita sendiri
    yang masih memikirkan kepentingan organisasinya ketimbang memikirkan nasib bangsa ini
    semoga pemenang pilpres adalah orang yang lebih mementingkan bangsanya ketimbang kepentingan parpol atau organisasinya

  2. kehidupan suatu bangsa, sebagaimana manusia juga mengalami naik-turun. ada kalanya diatas ada kalanya di bawah, yang terbaik -menurut saya- adalah tetap konsisten menjaga manusia2 di dalam sistem berbangsa itu tetap sebagai manusia. jika tidak, bukan tak mungkin suatu bangsa musnah akibat kerusakan yang ditimbulkan akibat tidak mau menjadi “manusia” 🙁

    1. @mantan kyai,
      sepakat, mas. dinamika peradaban sebuah bangsa memang herus terjadi, tentu saja dinamika peradaban yang terus mengarah pada upaya2 perbaikan. salah satu sisi yang sering terlupakan dalam dinamika peradaban kita adalah memanusiawan manusia itu sendiri.

  3. Tiada gading yang tak retak, mengutip perkataan salah satu filsuf kuno bahwa negara adalah organisasi yang dipaksakan, karena memang setiap manusianya memiliki kepala yang memiliki otak, rasa dan keinginan. Kadang berlebihan memang ketika salah satu tidak imbang, menjadikan manusia itu sebagai pemangsa sesamanya sendiri. Demi kepentingan ini itu, maka dibuatlah secara resmi sistem pemaksaan untuk melakukan sereoni-seremonial bersama agar terlihat menjadi sebuah keputusan bersama, meski berbagai suku, aliran dan ingatan kolektif masing-masing pihak. Begitupun kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukan orde-orde tersebut masih akan mengakar dan diturunkan, kalau perlu direproduksi kembali dengan kemasan baru sehingga bagi yang memiliki kesempatan dapat menggunakannya untuk menguasai sesamanya, meski dengan keterbatasan ide yang dibenaknya sebagaimana sunatullah manusia itu sendiri, wallahuallam.

    1. @suryaden,
      betul banget, mas surya. memang tak ada sebuah negara-bangsa yang (nyaris) sempurna. selalu ada sejumlah masalah yang menghadang. yang diperlukan sejatinya adalah upaya utk mewujudkan hubungan antarsesama yang egaliter sehingga tak ada lagi yang menghegemoni. sungguh disayangkan kalau pembangunan justru menghasilkan homo homonilupus yang tega memangsa sesamanya sendiri.

  4. satu hal yang selalu tersisih di setiap orde, yaitu pendidikan. Awalnya aja koar2 akan meningkatkan pendidikan…tapi selanjutnya? aaahhh…omong kosong!

  5. iya betul itu Pak Sawali. para pahlawan udah susah payah ngorbanin nyawanya untuk memperoleh kemerdekaan. setelah merdeka eh malah banyak rusuh antar saudara. di daerah casualcutie pernah ada kejadian saling senggol, cuma krn saling senggol 2 kecamatan rusuh. malah ada 1 korban jiwa (bapak-bapak). mayat bapak itu malah digantung, kepalnya di bakar, bajunya dirobek, seram dah…(casualcutie nonton filmnya, ga sengaja dapat dari temah yg berprofesi sbg wartawan, kapok ah nonton!!)

  6. Kalau memang sudah tiga ‘orde’ dilalui dan selalu berujung kegagalan…, ada pertanyaan yang muncul, “Apakah kita, bangsa ini, begitu bebal sehingga tidak pernah belajar dari kesalahan masa lalu?”

    “Ataukah memang ada virtual power yang bekerja secara sistematis untuk membuat bangsa ini menjadi bangsa yang terbelakang dan tidak berdaya?”

    Jangan sampai apa yang dikuatirkan Freire…, “Blaming the victims” itu yang terjadi…

    Baca juga tulisan terbaru itempoeti berjudul Sajak kangBoed…

    1. @itempoeti,
      wah, pertanyaan yang tdk mudah dijawab itu, mas. idiom2 yang bagus itu sepertinya hanya terapung-apung dalam bentangan slogan belaka. padahal, keledai yang dungu sekalipun tak akan mau terperosok ke dalam lubang yang sama.

  7. ” ..maju dua langkah…mundur lagi selangkah…maju lagi selangkah…mundur lagi dua langkah…alias maju-mundur terus…lha kapan majunya ya..?? He…he..

  8. Saia juga merasakan hal itu, di saat reformasi dijadikan topeng untuk dijadikan sebagai alat kepentingan pribadi dengan dalih untuk kebersamaan dan persamaan. Sebagai warga negara yang berusaha untuk menjadi baik, saia hanya mampu meneruskan sisa-sisa hidup.

  9. Setuju Pak Sawali.
    Tapi saya lebih berpikir bahwa awal pergerakan sendiri (seabad lalu) justru menjadi pencipta perbedaan kepentingan dan paham yang terus-menerus berlanjut hingga sekarang.

    Sekarang adalah saatnya untuk mengurangi kehororan dan korban dari gesekan antar kepentingan itu sendiri.

    Tapi ya saya ndak tahu siapa yang bertanggung jawab dalam hal ini 🙂

    Baca juga tulisan terbaru DV berjudul Tentang Pemberian Nama

  10. Semoga aja buka horor ya? Semoga ini adalah proses pembelajaran bagi bangsa ini. Karena saya masih yakin, rakyat akan makin pintar. Shg nantinya tidak kembali ke jaman kediktatoran demi keamanan dan stabilitas. Shg aman dan stabil di masyarakat benar2 muncul dr bangsa ini sendiri. Bukan aman dan stabil spt di masa lalu…

    Baca juga tulisan terbaru waw berjudul Kunci Sukses Dimulai dengan Inisiatif

  11. mungpung ntar lagi pmilihan capres moga aza kedepannya negara ini selangkah lebih maju,, salam kenal mas ditunggu komentar baleknya

  12. Kekerasan tak pernah memberikan jalan keluar….gak politik, dunia pendidikan, olahraga, keluarga… 😥
    Mari kita tunjukkan bahwa kita adalah bangsa yang memiliki jiwa yang arif serta menjunjung tinggi kemanusiaan
    Kita tunjukkan pada dunia bahwa indonesia adalah bangsa yang besar… 😀 ❗
    salah satunya melalui prestasi olahraga
    STOP KEKERASAN. JUNJUNG TINGGI NILAI_NILAI SPORTIVITAS ❗
    Selamat Hari Kebangkitan Nasional Sahabat Indonesia….

  13. Maaf, Pak. Saya tidak berkomentar di form ini. Saya bermaksud memohonkan doa kepada rekan2 blogger di pesanggrahan Pak Sawali ini, doa bagi saudara2 kami dan seluruh korban meninggal maupun luka, juga yang selamat, serta keluarga korban yang ditinggalkan dalam musibah hercules TNI AU A-1325 di Magetan pagi tadi. Terima kasih.

    Baca juga tulisan terbaru dhoni berjudul Everybody Hurts 2 : Musibah Hercules TNI AU A-1325

  14. mengingat-ingat kaca Cak Nun. Dengan indonesia seperti ini (horor spt kata Pak Sawali) lahir tokoh dunia seperti Rendra, Pramoedya, Sukarno, Iwan Fals, dll. Berbeda dengan Malaysia, karena tertibnya sampai-sampai khotbah jumat saja scriptnya harus dari pusat maka masyarakat biasa saja, tak tercipta tokoh heroik.

    benar.. tapi menurutku mending jadi orang malaysia aja dech.. apa karena Indonesia terlalu horor ya pak 🙂

    Baca juga tulisan terbaru novi berjudul 2 Jam disengat Lebah

    1. @S™J,
      sepakat, mas jenang. seharusnya pendidikan n\di negeri ini menjadi “panglima” peradaban. sayangnya, dari waktu ke waktu, dunia pendidikan hanya “jalan di tempat”, bahkan set-back. kalai harus menuggu satriya piningit, duh, misterius betul itu, mas jenang.

  15. sebuah cara merenung yang membangun nih, pak. apalagi kontemplasinya dibagi kepada para pembaca blog ini.

    kalau impresi buruk ketiga orde itu lahir karena kepentingan pribadi dan golongan, maka saling menghormati adalah salah satu sikap yang mustinya peling penting dimiliki. bukan begitu, pak satu? hehe…

    Baca juga tulisan terbaru marshmallow berjudul Baju Kegombrongan

    1. @marshmallow,
      betul banget, mbak yulfi. kalau saja negeri ini bisa menciptakan suasana egaliter di antara sesama anak-bangsa, insyaallah kekerasan itu setidaknya bisa diminimalkan. sayangnua, masih saja nafsu utk berkuasa dan menguasai sesamanya.

  16. Betul, negara ini semakin gak jelas saja. Maju tidak mundur juga tidak. Padahal kita memiliki banyak potensi yang bisa kita unggulkan. Hanya manajemennya saja yang sepertinya sala.

  17. hm… mustinya manusia mekanis yg dikosongin mo di isi jga ama hal2 berbau agamis jga ya? 😀 biar mendingan jadinya,,,
    hmm.. inget harkitnas.. saya ditugasin upacara tadi gak ikut gara2 gak enak badan 😐

  18. mungkin kalo diukur kadar horrornya, yang paling horror orde reformasi sekarang,, dimana semuanya bebas bahkan tak terkendali..

    semoga dengan moment kebangkitan nasional ini menjadikan kita sebagai bangsa untuk bisa bangkit kembali menatap masa depan..

    Baca juga tulisan terbaru emfajar berjudul Telur atau Ayam, Mana Yang Lebih Dulu?

    1. @emfajar,
      bisa jadi benar, mas fajar. situasi eforia reformasi agaknya telah membuat bangsa kita demikian bebas berekspresi (nyaris) tanpa kendali. semoga saja situasi seperti bisa segera berubah ke arah yang lebih baik.

  19. akankah negara ini masih akan terus menunggu kehadiran sosok pemimpin yang ngayomi rakyat dan bisa memajukan negeri ini?

    Semoga negeri ini tidak hanya belajar tetapi tidak mengambil ilmunya 😐

    Baca juga tulisan terbaru dafhy berjudul Saya=Aku

  20. saya pernah baca bukunya yasraf amir piliang, judulnya apa ya saya lupa…dan memang sepertinya kita hidup di dunia horor, dimana kekerasan itu diciptakan dan juga bisa ditularkan…
    kalo sudah menular ini gawat…gimana kalo jadi pandemi kekerasan?

    Baca juga tulisan terbaru geRrilyawan berjudul NEAR DEATH EXPERIENCE

  21. Ping-balik: Relativitas | KECaKOT
  22. Tragis memang !
    melihat fenomena sekarang ini membuat akal dan hati nurani kita semakin muskil, orde reformasi yang diharapkan bisa menjadi jawaban segala persoalan bangsa ini, tetapi justru sebaliknya kondisi ini semakin jauh dari semangat untuk kemakmuran rakyat, mengedepankan kepentingan pribadi dan kelompok dari para elit politik semakin kentara, bahkan pencitraan penegakan hukum, ekonomi sosial dan politik indonesia nyaris tanpa budaya, sekian orde yang mencengkram negeri ini pada tetap mengorbankan rakyat yang pada mebuat luka, derita dan air mata. Astagfirullah, siapa yang salah ?,, Nongkrong yaa, di Email dan blog aku. HD Indra :evil

  23. Betul………………..!!!!!!!!!!!!
    inronis memang? tapi adakah orde yang lebih baik lagi? 😕

  24. Rina wengi tansah dangu,
    manungsa tanah jawi anglangut,
    ngarep-arep jejere adil,
    yaiku manungsa kang nora bisa nampa kawruh nyata kasunyatan,
    nyatane yaiku wong kang wening wis tumeka,
    ngarepake kang ngarep-arep,
    yaiku manungsa kang angsal piwulang suci

    Baca juga tulisan terbaru tomy berjudul KONJUK NGARSA DALEM PANGERAN SEJATI

Tinggalkan Balasan ke gajah_pesing Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *