Ujian Nasional Pasca-Keputusan MA

Teka-teki jadi atau tidaknya Ujian Nasional (UN) 2010 digelar terjawab sudah setelah Depdiknas, melalui Sekjen Dody Nandika, menyatakan bahwa UN tahun 2010 akan tetap berlangsung, sebab hingga kini Depdiknas belum menerima salinan putusan Mahkamah Agung (MA) terkait kasasi tentang UN (Kompas, 3 Desember 2009). Menurutnya, jika dicermati, ada tiga poin dari putusan MA dan tidak ada satu pun yang melarang UN. Poin pertama adalah tergugat diperintahkan untuk memperbaiki sarana dan prasarana pendidikan serta guru sebelum menjalankan proses pendidikan. Itu sudah dilakukan Depdiknas dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Poin kedua, tergugat diperintahkan juga oleh MA untuk membuat satu skema respon terhadap siswa yang gagal UN atau siswa yang menjadi korban UN, sehingga tidak mengalami stres yang berat. Hal itu, menurut Dodi, sudah dijawab dengan akan diselenggarakannya ujian ulangan yang merupakan skema baru pada tahun ini, karena tahun sebelumnya tidak ada. Dengan adanya ujian ulangan, masih ada kesempatan bagi siswa jika gagal atau tidak lulus pada ujian tahap pertama, tegasnya. Poin ketiga, pihaknya juga diperintahkan MA untuk meninjau kembali dan memperbaiki sistem pendidikan dasar secara umum dan itu sudah dilakukan dengan dikeluarkan undang-undang guru dan dosen, undang-udang BHP, juga undang-undang perpustakaan.

Terlepas dari berbagai kontroversi yang selama ini mencuat ke permukaan, UN perlu dikembalikan ke “khittah”-nya sebagai alat pemetaan mutu pendidikan secara nasional. Artinya, UN jangan dijadikan sebagai penentu kelulusan, tetapi sebagai alat untuk memotret dan memetakan mutu pendidikan secara nasional, sehingga bisa diketahui sekolah mana yang sudah memenuhi standar mutu dan yang belum. Sekolah yang belum memenuhi standar mutu pendidikan perlu terus dikawal, dilengkapi sarana, prasarana, dan fasilitasnya, serta ditingkatkan mutu gurunya, sehingga bisa terus berkembang secara dinamis dan siap bersaing dengan sekolah-sekolah lain yang jauh lebih maju.

Kenyataan menunjukkan, dijadikannya UN sebagai penentu kelulusan telah mengakibatkan merebaknya budaya kecurangan massal dan tak pernah tuntas tertangani. Yang lebih ironis, UN bukan lagi sebagai alat untuk mengukur dan menguji kompetensi peserta didik, melainkan telah jauh menyimpang sebagai alat pencitraan pejabat publik di daerah. Tidak sedikit pejabat daerah yang menjadikan keberhasilan UN sebagai upaya untuk meningkatkan posisi tawar, sehingga mereka berupaya dengan berbagai macam cara agar tingkat kelulusan UN di wilayahnya bisa mencapai target yang diinginkan. Untuk mencapai target kelulusan, dibentuklah Tim Sukses UN untuk mengawal pelaksanaan dan hasil UN. Akibatnya bisa ditebak, UN bukan lagi sebagai alat untuk meningkatkan mutu pendidikan, melainkan sebagai tujuan untuk meningkatkan citra dan marwah daerah.

UNKalau mau jujur, UN selama ini justru telah mereduksi makna pendidikan hakiki. Yang berupaya serius agar bisa lulus bukan peserta didik, melainkan para pemangku kepentingan pendidikan untuk mencapai target-target tertentu. Tak heran apabila UN hanya menjadi rutinitas tahunan yang telah kehilangan aura dan wibawa. Tak ada energi positif yang terpancar dari balik pelaksanaan UN selama ini. Menjelang UN bukannya siswa yang repot, melainkan para pejabat dan birokrat pendidikan mulai lapis atas hingga lini bawah. Guru pun kalang kabut, bahkan mengidap stress tahunan akibat mendapatkan tekanan bertubi-tubi dari berbagai sisi. Menjelang UN, seorang guru mesti berangkat pagi-pulang sore untuk melakukan adegan-adegan akrobatik di kelas guna men-drill siswanya dengan berbagai trik dan kiat demi memenuhi ambisi dan gengsi atasannya. Mereka pun tak jarang mesti mengorbankan kepentingan suami dan anak-anak di rumah. Sebuah pemandangan yang biasa apabila keluarga guru kehilangan sebagian kebahagiaan menjelang UN. Suami uring-uringan, anak-anak pun merasa kurang mendapatkan sentuhan perhatian dan kasih sayang.

Yang lebih menyedihkan, siswa justru kehilangan greget untuk belajar keras karena telah terperangkap dalam kubangan budaya instan. UN bukan lagi sebagai sesuatu yang “sakral”, melainkan hanya dianggap sebuah adegan drama yang sarat dengan kepura-puraan.

Kalau memang UN hendak didesain sebagai “starting point” peningkatan mutu pendidikan, harus ada perubahan mendasar tentang sistem dan mekanismenya. Pertama, serahkan sepenuhnya penentuan kelulusan kepada sekolah dengan menggunakan rambu-rambu dan standar kelulusan secara nasional. Harus ada pemantauan sistemik terhadap proses penilaian kompetensi siswa secara jujur, fair, dan objektif, sehingga tak memungkinkan sekolah untuk melakukan manipulasi penilaian. Kedua, kualitas soal UN harus benar-benar valid sehingga mampu membedakan siswa yang berotak cemerlang dan siswa yang berotak pas-pasan. Jangan sampai anak-anak cerdas justru terbonsai dan harus jadi tumbal pendidikan akibat soal UN yang diragukan mutunya. Sebaliknya, siswa yang kehilangan etos belajar dan bermental pemalas justru termanjakan dengan mendapatkan hasil UN yang bagus dan memuaskan. Ketiga, harus ada sinkronisasi antara kurikulum yang teraplikasikan dalam kegiatan pembelajaran dan sistem UN yang dilaksanakan. Selama ini, UN terkesan menjadi sebuah entitas yang terlepas dari kurikulum. Menjelang UN, siswa tak pernah mendapatkan layanan pendidikan yang inovatif, kreatif, efektif, dan menyenangkan, lantaran mereka hanya dilatih untuk menjadi penghafal kelas wahid, tak ubahnya seperti simpanse dalam permainan sirkus.

Semoga “teguran” MA benar-benar menjadi “warning” buat Depdiknas dalam menggelar UN yang lebih mencerdaskan dan mencerahkan, sehingga UN bisa menjadi alat yang sahih untuk mencapai tujuan pendidikan. Sebuah tantangan yang tidak mudah bagi Pak Muhammad Nuh sebagai Mendiknas di awal pengabdiannya. ***

No Comments

  1. saya setuju Pak kalau UN sebagai alat pemetaan mutu pendidikan secara nasional 🙂 bukan sumber merebaknya budaya kecurangan massal salah satunya lahan paling subur berbisnis cepat lewat adanya UN 😀

    semoga UN benar2 kembali ke khittahnya 🙂
    .-= Baca juga tulisan terbaru IHSAN berjudul "Campuran di Awal Desember 2009" =-.

    1. semua emang bertujuan wat ningkatin pendidikan indonesia.
      tapi ap harus,pendidikan yamg ditempuh selama 3thun dengan susah payah,hanya ditentukan dlm 5hri.padahal,penyelenggara nda thu ky gmn siswa tsb.lum tentu juga hasil yang dperoleh dr diri sendiri.

    2. 😮 aku setuju banget ma keputusan mahkamah agung karena ini gak adil buat semua anak sekolah masak kita uda 3 tahun susah payah dapatin hasil yang maksimal . ko jadi ujian nasional sih penentu kita lulus atau nggak dari sekolah . mohoooooooon prhatian nya dong pak mentri pendidikan plissssssssssssss tunda yah ujian nasional 2010

  2. Sekarang kesannya kok UN itu untung-untungan ya. sama seperti ujian pns. ( kesan pribadi saja, jangan diambil hati :)>- )
    yang jungkir balik sampe ngadain pengajian dan yasinan gak lulus, sedangkan yang biasa-biasa aja lulus 😕

    jadi… sekolah itu gak usah pintar pintar nduk tapi pintar-pintar lah bersekolah :d
    .-= Baca juga tulisan terbaru Wempi berjudul "JaMU-1 JUG Bukit Barisan" =-.

  3. Semoga pendidikan di Indonesia semakin lebih baik khususnya daerah2 yang terpencil yang tidak punya sarana dan prasarana yang tidak memadai (di kota aja ancur….). Untuk para pelajar banyak belajar, jngn keluyuran..

    1. UN memang masih diperlukan, mbak, tapi bukan sbg penentu kelulusan, melainkan sbg alat pemetaan mutu pendidikan, sehingga akan bisa diketahui mana sekolah yang sdh memenuhi standar nasional dan yang belum.

  4. Untuk siswa yang gagal dalam mengerjakan UN tetapi mempunyai nilai akademik yang bagus selama mengikuti KBM juga harus diperhitungkan. Institusi pendidikan pada dasarnya adalah memberikan ilmu, bukan mengejar nilai.

    1. betul sekali, mas adipati. jangan sampai kerja keras selama 3 tahun jadi sia2 kalau kelulusan hanya ditentukan berdasarkan perolehan nilai UN. harus ada perubahan mendasar agar UN benar2 jujur dan adil.

  5. stres juga mikirin waktu mo UN dulu. dan lebih stress lagi kalo gagal. entahlah, mungkin kebijakan yang terbaik yang harus bisa diambil oleh pemerintah agar penerus bangsa ini bisa memberikan yang terbaik pula kelak untuk negeri ini.

    1. kita semua memang berharap mutu pendidikan di negeri ini terus meningkat dan berkembang secara dinamis. UN seharusnya bukan lagi sbg penentu kelulusan, melainkan sbg alat pemetaan mutu pendidikan, sehingga akan terlihat sekolah yang sdh memenuhi standar nasional dan yang belum.

  6. Sebaiknya UN tidak dijadikan satu-satunya alat ukur untuk menentukan kelulusan siswa. Sekolah sebaiknya diberi hak penuh untuk menentukan apakah siswanya berhak lulus atau tidak. Perbaikan fasilitas pendukung juga harus menjadi prioritas utama pemerintah sebelum melakukan standarisasi dalam ujian.

    Pengalaman UN tahun-tahun sebelumnya, banyak siswa yang takut, akibatnya segala cara di tempuh, mencontek, cari bocoran dll tetap ada, apapun sistemnya. Pengawas juga tidak mempunyai keberanian untuk menindak siswa yang ketahuan mencontek, karena akan disingkirkan. Kami yang bekerja di lapangan jadi kami tahu kondisi yang sesungguhnya. Mereka yang sering bicara hanya tahu teori saja, dan belum pernah mengalaminya.
    .-= Baca juga tulisan terbaru istiyanto berjudul "Buku Bank Soal Matematika Untuk SMA" =-.

    1. sepakat banget, pak is. idealnya UN memang bukan sbg penentu kelulusan, melainkan sbg alat pemetaan mutu. apalagi sekarang sudah ada KTSP. menjelang UN, KTSP tak bisa berjalan seperti yang diharapkan karena anak2 terus dicecar dg berbagai soal latihan dan drill.

  7. akhirnya bisa buka postingan di sini :d

    maafkan kekurangpahaman hamba,
    yang masih membingungkan saya :
    kl yang dipelajari sampai puluhan mata pelajaran yang belum tentu murid suka atau menguasai, kok yang di UN-kan cuma 5 atau 6 mata pelajaran?
    kalau begitu, kenapa ndak les di rumah saja mapel UN, trus tau-ttau ikut UN?

    sekali lagi, ini pertanyaan dari hamba yang kurang tau soal dunia pendidikan (worship)
    .-= Baca juga tulisan terbaru Pradna berjudul "Meretih – Letih" =-.

    1. walah, mas pradna? kenapa mesti pakai “hamba” segala, wakaka …. itulah yang sedang disorot banyak kalangan, mas pradna. UN memang tidak harus dipauskan, tapi perlu perbaikan mendasar ttg sistem dan mekanismenya agar benar2 mampu menjadi alat pemetaan mutu pendidikan yang sahih.

  8. Rasanya kita dipusingkan masalah UN terus menerus ya pak?
    Pada kenyataannya, sampai umur berapapun, jika masih dalam status bekerja kita juga dihadapkan ujian sekelas UN, yang menurut saya lebih sulit, karena sudah ada risiko keluarga di belakang kita. Bahkan 3 (tiga) bulan sebelum saya Masa Persiapan Pensiun, saya masih ikut ujian di kantor…hahaha
    Tapi hasilnya, membuat kita selalu siap untuk update ilmu…
    .-= Baca juga tulisan terbaru edratna berjudul "Dari seminar sehari: “Prospek Industri Keuangan dan Perbankan tahun 2010″" =-.

  9. pemerintah sepertinya tidak mau tahu dengan kondisi pendidikan yang ada, UN yang baiknya untuk pemetaan pendidikan malah dijadikan ukuran bahwa pemerintah telah berbuat untuk pendidikan.

    Terlalu naif melihat Indonesia hanya di atas kertas, menyeragamkan semuanya, seakan semuanya sudah memenuhi syarat untuk diukur dengan standar yang tunggal.

  10. Kita memang patut berharap pada intuisi dan langkah taktis Mendiknas M Nuh setelah MA hanya memerintahkan perbaikan kualitas UN pak. Dengan latar belakang M NUh sebagai akademisi, rasanya ada harapan ke jalan yang benar. Setidaknya, saat ini dia bisa disebut orang yang tepat di bidang yang tepat (right man in the right place)

  11. UN sih seharusnya memang ada tapi bukan hanya beberapa pelajaran yang diujikan tapi semua pelajaran yang dipelajari disekolah sebaiknya ikut dimasukkan dalam ujian akhir..
    untuk masalaah penilaian itu semua terserah pada sekolah masing2 tapi sekolah juga sudah mempunyai standart kelulusan dari diknas..
    mungkin dengan solusi ini akan lebih sedikit siswa yang tidak lulus, kan kasian kalo nggak lulus UN
    tahun2 kemaren itu banyak bgt siswa yang nggak lulus soalnya..
    iah semoga apapun keputusan yang telah diputuskan akan membawa pendidikan Indonesia untuk lebih maju…
    .-= Baca juga tulisan terbaru RaRa Wulan berjudul "JOGS show – TUCSON 2009" =-.

    1. kalau tidak lulus karena memang siswanya tidak mampu, saya kira itu hal yang wajar, mas. yang menyedihkan, anak cerdas yang seharusnya lulus, tapi justru hancur karena sistem UN yang tidak adil dan tdk objektif itu.

  12. pak sawali bilang : ” Menjelang UN, seorang guru mesti berangkat pagi-pulang sore untuk melakukan adegan-adegan akrobatik di kelas guna men-drill siswanya dengan berbagai trik dan kiat demi memenuhi ambisi dan gengsi atasannya.” ,
    wah kalimat yang tajam pak, baru ngeh juga ternyata sedasyhat itu efek UN, saya kira cuma muter2 di siswanya saja. Sebagai praktisi sekaligus pemerhati pendidikan, pak sawali cukup jujur dan objektif ….

  13. UN…., beljar dengan serius un hasilnya akan ditentukan dalam 3 hari….

    gak salah mungkin bila para murid banyak yang membuat catatan catatan saat di kasih tes……

  14. saya ndak bisa banyak berkomentar, setiap kali bicara masalah UN ada rasa sesak yang tiba-tiba muncul dalam dada.

    Saya hanya mampu berjuang, bagaimana supaya anak didik saya berjuang untuk bisa supaya hidup mereka bahagia. Mendapat nilai UN tinggi tanpa kejujuran membuat mereka trauma. Suatu saat saya ingin menuliskan hasil penelitian saya.
    .-= Baca juga tulisan terbaru Puspita W berjudul "Setiap Individu Dilahirkan Genius." =-.

  15. Poin pertama dari rekomendasi Pak Guru memang bagus. Saya sebenarnya setuju. Tapi, pengawasannya harus super ketat. UN yang berskala nasional dan didesain ada pengawas independen saja, masih suka terjadi kebocoran. Apalagi kalau ujian diserahkan kepada pihak lokal sekolah. Pengawasan dan pemberian sanksi seringkali kurang berjalan dengan baik dalam sistem pendidikan kita. Hal itu tentu saja jadi batu ganjalan pula.

    1. memang perlu ada perubahan mendasar ttg un ini mas rache. jadikan UN sbg standar pemetaan mutu, selebihnya berikan otonomi kepada sekolah utk mengatur rumah tangganya sendiri, termasuk dalam hal kelulusan. tentu saja perlu ada regulasi yang jelas agar tak terjadi lagi manipulasi dan kecurangan.

  16. mari sama2 doa pak 🙂 semoga UN tahun depan lebih baik lagi dan depdiknas lebih meningkatkan kinerjanya…kinerja yg baik tentunya :d
    .-= Baca juga tulisan terbaru Ria berjudul "Hatiku" =-.

  17. :)Soal putusan MA oke, cuma solusinya nanti bagaimana? yang penting ada kebanggaan semua pihak. Jangan seperti anank tetangga saya kemarin nilai UN nya rata-rata sembilan tapi tidak semua orang disekelilingnya malah mencemooh, kenapa …. soalnya mereka tahu kalau ybs gak pernah belajar kok nilai bagus kan aneh !, jadi saya berpendapat dikembalikan pada sekolah sebagai penentu. Formatnya pakai P.Q dan R.
    Semoga pendidiKan kita maju, siswa, ortu dan masyarakat bangga dengan hasil pendidikannya !

  18. Bagi Para Pelajar, yang penting TETEP FOKUS BELAJAR. Jgn TERBAWA ARUS yang BERKEMBANG. Jika tetep FOKUS BELAJAR, apapun yang terjadi kalian semua sudah SIAP. Majulah PELAJAR INDONESIA karena engkaulah GENERASI BANGSA.

  19. Sudah kembali saja ke era Danem dulu sehingga kelulusan ditentuka oleh sekolah masing-masing. Dan sebagai konsekuensinya, untuk daftar sekolah berikutnya harus ada ujian tulis masing-masing sekolah + plus syarat nilai danem minimal tertentu, sehingga yg lulus dengan danem cekak ya akan terseleksi di sekolah nggak mutu. Sepertinya metode ini lebih manjur untuk mendorong anak belajar demi sekolah idamannya.
    Tapi lain halnya kalau mulai ada uang pelicin……..

    Wah mumet memang mikir pendidikan dan sistem Indonesia. Kayak mikirin anak kecil yg nggak pernah dewasa, bahkan di usia yg 65 tahun masih bingung nyari sistem pendidikan yg ideal. Doh.
    .-= Baca juga tulisan terbaru masnur berjudul "Pesta makan malam buatan Ibu" =-.

  20. ketika standar pendidikan tidak memenuhi syarat, kenapa siswa yang dikorbankan. padahal pendidikan kan tidak cuma siswa, masih ada guru, sekolah (baca:fasilitas)

  21. Salam,
    Kenapa ga balik kek jaman dulu aja ya, semacam EBTANAS gitu, UN jgn dipake penentu kelulusan lah efeknya yaitu ga peduli proses yang penting lulus tea, pake ada tim sukses segala tuh di sekolahan teh 🙂

  22. Saya sangat setuju pak sawali UAN masih diperlukan tp tdk untuk menentukan kelulusan. Kelulusan yang menentukan adalah sekolah masing-masing yang tentunya disesuaikan dengan kondisi sekolah terebut. Akan tetapi nilai ujian jangan digunakan sebagai satu-satunya alat untuk penerimaan siswa disekolah baru tetapi harus melalui seleksi berupa test/ ujian masuk. Sehingga tidak ada alasan ‘kebocoran” dapat siswa bernilai sangat memuaskan tetapi ternyata justru sebaliknya ber IQ ‘jongkok”. SETUJU UAN DIKEMBALIKAN KE KITTAHNYA

    1. terima kasih apresiasi dan supportnya, mas windadi, idealnya memang demikian. dijadikan sbg penentu kelulusan, ternyata justru malah melegalkan kecurangan demi kecurangan dan ndak pernah tuntas tertangani.

Tinggalkan Balasan ke komuter Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *