Pengajaran Sastra di Tengah Fenomena Involusi Budaya

buku sastraDalam dua dekade terakhir, nurani kita dikejutkan oleh berbagai ulah anomali yang dilakukan oleh kaum remaja-pelajar kita. Perilaku bringas dan kasar seolah-olah telah menjadi tontonan rutin di atas panggung sosial kita. Tawuran, ngepil, pergaulan bebas, dan berbagai ulah tak terpuji lainnya seolah-olah sudah menjadi trend yang wajar, bahkan telah menjadi bagian dari budaya “kontemporer” pelajar kita. Dengan kata lain, kehidupan kaum pelajar kita telah terperangkap ke dalam kubangan involusi budaya; gaya hidup telah kehilangan daya rem moral dan terhipnotis oleh kekaguman-kekaguman lahiriah yang mewujud dalam sikap hidup pragmatis, materialistis, dan hedonistis.

Dunia pendidikan pun tak luput terkena imbasnya. Lembaga persekolahan dituding telah gagal menjalankan fungsinya sebagai “pusat” transformasi budaya yang seharusnya mampu menghasilkan keluaran yang memiliki memiliki kecerdasan utuh dan “paripurna”; cerdas intelektual, emosional, sosial, dan spiritualnya.

Meski lebih banyak salah alamat, tudingan semacam itu memang perlu menjadi bahan refleksi bagi dunia pendidikan sehingga lebih mampu berperan dan berkiprah dalam melahirkan generasi masa depan yang beradab dan berbudaya. Dalam konteks demikian, pengajaran sastra perlu mengambil peran sebagai “katalisator” sekaligus filter yang akan mampu membentengi pelajar kita dari berbagai ulah anomali dan tak terpuji.

Manusia Berbudaya

HLB Moody pernah menyatakan bahwa pengajaran sastra yang baik akan mampu memberikan sumbangan terhadap dunia pendidikan, di antaranya dalam hal kemampuan berbahasa, pengetahuan budaya, mengembangkan cipta dan rasa, serta menunjang pembentukan watak. Hal senada juga dikemukakan oleh Jakob Sumardjo dan Saini K.M. bahwa karya sastra mampu memberikan kesadaran kepada pembaca tentang kebenaran-kebenaran hidup, memberikan kegembiraan dan kepuasan batin, mampu menunjukkan kebenaran manusia dan kehidupan secara universal, dapat memenuhi kebutuhan manusia terhadap naluri keindahannya, dapat memberikan penghayatan yang mendalam terhadap apa yang diketahui, bahkan dapat menolong pembacanya menjadi manusia yang berbudaya, yakni manusia yang responsif terhadap nilai-nilai keluhuran budi.

Namun, secara jujur harus diakui, pengajaran sastra di sekolah selama ini belum berlangsung seperti yang diharapkan. Ada banyak alasan yang bisa dikemukakan terhadap kegagalan pengajaran sastra di sekolah. Pertama, kurang tersedianya buku-buku sastra yang sesuai dengan latar belakang sosial-budaya pelajar. Kedua, masih minimnya guru sastra (dan bahasa) yang terlibat secara aktif dalam dunia kepenulisan teks sastra kreatif di berbagai media. Ketiga, guru seringkali tak berdaya menghadapi tuntutan dan target kurikulum, sehingga setting pembelajaran di kelas jadi kaku dan monoton. Keempat, para sastrawan kita, disadari atau tidak, cenderung asyik dengan dunianya sendiri dan jarang berdialog dengan pelajar di sekolah.

Yang lebih memprihatinkan, kebijakan pemerintah selama ini cenderung tidak berpihak kepada pendidikan nilai kemanusiaan (humaniora). Pengajaran sastra yang diharapkan mampu berperan dalam menyuburkan nilai-nilai kemanusiaan belum mendapatkan perhatian yang cukup dari pengambil kebijakan. Status “nunut” kepada mata pelajaran bahasa seringkali “memandulkan” pengajaran sastra. Kondisi ini diperparah dengan minimnya guru bahasa yang benar-benar memiliki minat dan kesungguhan dalam menyajikan materi ajar sastra dengan baik.

Jika kondisi semacam itu terus berlangsung, bukan mustahil generasi masa depan yang lahir dari “rahim” dunia pendidikan kita akan terus terjebak ke dalam proses involusi budaya sehingga gagal melahirkan generasi yang “sadar budaya”. Oleh karena itu, perlu ada upaya serius dan sinergis dari berbagai elemen pendidikan agar memosisikan pengajaran sastra menjadi lebih terhormat dan bermartabat. Seidaknya, guru sastra harus memiliki keberanian untuk mengembangkan kreativitas dan inovasi dalam mendesain pembelajaran sehingga tak terjebak ke dalam aktivitas pengajaran yang kaku dan monoton. Selain itu, frekuensi dialog antara pelajar dan sastrawan perlu lebih diintensifkan. Program “Siswa Bertanya-Sastrawan Menjawab” yang pernah digagas oleh Majalah Horizon beberapa waktu yang lalu perlu direvitalisasi dan diperluas wilayah kerjanya sehingga mampu menyentuh pelajar yang tinggal di berbagai daerah.

Melalui pengajaran sastra yang berhasil diharapkan generasi masa depan negeri ini tak gampang terjebak untuk melakukan tindakan-tindakan konyol yang dapat membunuh masa depannya sendiri. Nah, bagaimana? ***

No Comments

  1. Pak Sawali, saya terkadang khawatir, dunia pendidikan kita perlahan tapi pasti menuju ke arah model pendidikan Barat. Pendidikan yang tidak memberi ruang kepada pengayaan moral dan etika. Sekolah dan kampus hanya mencetak orang yang kaya ilmu tapi miskin hati. Ada jurang yang dalam antara ilmu dan moralitas. Akibatnya, timbul fenomena yang seperti Bapak tulis. Di Amerika sendiri, kita berkali-kali mengetahui kasus pelajar atau mahasiswa yang depresi lantas mengamuk dan membunuh banyak orang di kampus atau sekolahnya.

    Baca juga tulisan terbaru racheedus berjudul Sang Pembalak Liar

    1. @racheedus,
      bisa jadi pendidikan berbasis budaya barat tidak tepat diterapkan di indonesia. namun menurut pengalaman dan pengamatan sederhana saya, anecdotal saja, satu yang pasti adalah mereka memasukkan sastra dengan serius di dalam kurikulum, dan guru-gurunya sangat inovatif mengembangkan metode pendidikan bagi kalangan pebelajar. sehingga kita dapati di dalam pendidikan dasar hingga highschool, anak-anak sangat baik pengetahuan sastranya, dan yang mencengangkan saya adalah daya kritis mereka terhadap karya-karya sastra. di kelas tujuh saja mereka sudah bisa memberikan review terhadap karya sastra dan seni.

      hal-hal baik seperti itu mungkin justru perlu kita tiru.

      mengenai depresi, tentunya banyak confounding factor yang lain, sehingga kurang tepat apabila kurikulum pendidikan formal yang dijadikan kambing hitam.

      Baca juga tulisan terbaru marshmallow berjudul Soal Libur Panjang

  2. celakanya, ketika sastra itu seolah berada di udara, TI datang begitu dahsyat. Mungkinkah sastra jadi juru selamat….? Kayaknya guru sastra dan guru agama harus berkolaborasi nih pak…. 🙂

    Baca juga tulisan terbaru zenteguh berjudul legendary

  3. g tahu mo bilang apa. Cuma aQ masih suka bingung dan masih penasaran banget dgn pelajaran sastra, aQ suka ngumpulin buku2 sastra, terutama puisi2 sastra, menyenangkan membaca dan menelaahnya, tp disisi lain, sy jg g yakin bukan seorang pecinta sastra, dikarenakan sy buta sastra, terutm sjrh2 sastra…gmn y..ssh dech jelasinnya..hahaha

  4. sastra dan semua yang mampu mengasah kepekaan sangat diperlukan untuk mengasah sensibilitas jiwa-jiwa yang kering generasi bangsa ini. masalahnya mungkin bagaimana mengemas sastra agar lebih menarik, karena bagi semabgian siswa mengikuti pelajaran sastra bisa jadi sangat membosankan … 😀 😀 😀

    Baca juga tulisan terbaru mantan kyai berjudul Jangan Improvisasi Sembarangan

  5. tapi, jika dihadapkan pada sastra yang bebas dan apa adanya (entah, saya tidak tahu istilah apa yang cocok untuk tipikal sastra karya Jenar Maesa Ayu), bukankah terlalu dini untuk dikenalkan pada usia pelajar?

    Baca juga tulisan terbaru denologis berjudul Reyog atau Reog?

    1. @denologis,
      Ikut komentar :mrgreen:
      .
      Memang tak bisa dipungkiri betapa terlalu vulgarnya karya-karya sastra Jenar Mahesa Ayu, atau Ayu Utami, tapi kalau dilihat sisi substansinya, saya melihat banyak gugatan di sana, dan semuanya itu dipaparkan dengan jujur. Jika anak didik kita dikhawatirkan membaca karya-karya sastra model Jenar dan Ayu Utami dengan pembacaan yang verbatim, alias hanya ditangkap secara literer, maka persuasi Pak Sawali justru masuk momentum pula di sini. Sudah saatnya karya sastra dengan berbagai genre dan metoda pembacaan dan apresiasinya dikenalkan pada anak didik.

      Baca juga tulisan terbaru ariss_ berjudul Serba Salah [sebuah epigram]

      1. @ariss_,
        terima kasih tambahan infonya, mas ariss. kalau saya sendiri cenderung berpendapat, karaya2 jenar mahesa ayu atau ayu utami, akan lebih cocok kalau mulai diperkenalkan kepada siswa sma. utk smp sepertinya belum saatnya.

  6. Mas, saya dulu sebenarnya tertarik sekali dengan sastra. Bahkan sempat terpikir untuk masuk jurusan Sastra Indonesia. Tp entah kenapa, mungkin juga krn waktu itu jurusan itu kelihatan standard dan melempem dimana-mana, saya jadi tdk tertarik untuk memilih sastra waktu ujian masuk ptn.
    Semoga saja sastra kita nanti jadi lebih baik ya mas….

  7. pak sawali, persoalan2 yang anda sebut tadi kayaknya lebih banyak berkaitan dengan soal moral. saya sendiri ragu jika sastra bisa mengatasi masalah2 itu. banyak orang lain yang tidak paham sastra dan tak membaca karya sastra tapi juga tak berkelahi, minum2, dsb. sastra bukan jawaban utk soal2 itu secara langsung, pak. itu kalau menurut saya.:)

    Baca juga tulisan terbaru haris berjudul Bung Kecil

    1. @haris,
      sastra memang tidak bisa melakukan perubahan secara langsung, mas haris, tapi setidaknya dg pembelajaran apresiasi sastra yang baik, anak2 akan terangsang utk menjadi sosok yang berbudaya shg tak gampang terjebak melakukan tindakan2 tak terpuji.

    2. @haris,
      Maaf, ikut nimbrung :mrgreen:
      .
      Untuk pernyataan Mas Haris bahwa “sastra bukan jawaban untuk soal-soal moral secara langsung”, saya sependapat. Tapi jika demikian, bukankah itu artinya sastra bisa menjadi problem-solving meski secara tidak langsung? Sastra itu ‘kan punya fungsi didaktik dan pedagogik, alias fungsi mendidik (dan mengarahkan), dan kedua fungsi ini menurut saya lebih bisa memberi kontribusi besar sebagai rekonstruktor skema bangunan sosial masyarakat kita yang nyaris seluruhnya bobrok (jika bisa didayagunakan dari awal), dari akarnya langsung.

      Baca juga tulisan terbaru ariss_ berjudul Serba Salah [sebuah epigram]

  8. pada akhirnya saya merubah blog saya menjadi blog sastra pak, meski jadi gak terlalu produktif nulis…
    namun – seperti halnya di dunia nyata – jarang sekali ada yang tertarik..
    tapi saya tetap jalan sebagai pemuda yang peduli budaya sastra meski dibilang kuno sekali pun…

    ya kan pak??

    Baca juga tulisan terbaru moerz berjudul Antara Diam

  9. HLB Moody pernah menyatakan bahwa pengajaran sastra yang baik akan mampu memberikan sumbangan terhadap dunia pendidikan, di antaranya dalam hal kemampuan berbahasa, pengetahuan budaya, mengembangkan cipta dan rasa, serta menunjang pembentukan watak, setuju banget pak sawali., trus yang pembentukan watak, itu lho bener2 harus ditekankan didunia pendidikan. karena dunia pendidikan kita, aku rasa belum membentuk watak yg baik pak.

    oh ya, maaf baru berkunjung lagi pak, lagi sempet msalhnya.

  10. sedih ya pak, …
    sekolah yang hanya 7 jam sehari dengan banyaknya pelajaran masih harus dibebani dengan permasalahan moral, sastra dan budaya, mintanya sekolah gratis lagi, opo tumon. Sementara sepulang sekolah udah nggak ada kontrol lagi, dan melihat betapa para sastrawan senior, bahkan para artis tampak semlohe dengan bungkusan gosip seronok dan aroma obat-obat surgawi palsu, ini bukan salah sekolah dan kurikulum pak…, mereka hanya bingung cari kambing hitam dan cuci tangan saja…

    Baca juga tulisan terbaru suryaden berjudul Internet Explorer 8 bisa dicopot di Windows 7

    1. @suryaden,
      itulah realitas yang terjadi, mas surya. pendidikan anak seharusnya melibatkan semua stakeholedr pendididikan. namun, yang terjadi selama ini urusan pendidikan seolah-olah hanya menjadi tanggung jawab institusi pendidikan. makin repot kan? hehehe …

  11. Nah, kalau ini saya setuju 🙂
    Setuju kalau pendidikan sastra diterapkan 🙂
    Sastra mampu membedakan mana manusia dan mana bukan manusia, Pak (tentu saja dalam tindakan) hehehhee…

    Baca juga tulisan terbaru DV berjudul Pertanyaan Terbuka

  12. Salam
    Saya setuju Pakde klo sastra bisa jadi media yang efektif untuk menanamkan budi pekerti dan moral lah katakanlah, bukankah sastra biasanya bisa menyentuh perasaan paling sensitif dan halus dari hati manusia. *heheh sotoy ya aku ini 😀
    *OOT long time no see ya Pakde, sibuk neeh *sok sibuk tea 😀

    Baca juga tulisan terbaru nenyok berjudul Rimba Belantara

    1. @nenyok,
      salam juga, mbak ney, hehehe … sepakat banget tuh dg pernyataan mbak ney. idealnya memang begitu. sastra bisa menjadi media yang mencerahkan dalam membangun desain peradaban yang lebih baik. btw, gpp, mbak ney, tenang saja, bagaimanapun urusan offline harus lebih diutamakan. blogwalking kan bisa dilakukan kapan saja.

Tinggalkan Balasan ke Sawali Tuhusetya Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *