Ujian Nasional: Haruskah Jadi Momok?

densusuJika tak ada aral melintang, Ujian Nasional (UN) akan dilaksanakan pada tanggal 20-24 April 2009 (SMA/MA), 27-30 April 2009 (SMP/MTs), 11-13 Mei 2009 (SD/MI), dan 20-22 April 2009 (SMK/SMALB). Dengan ditetapkannya jadwal UN (berdasarkan kesepakatan bersama antara BSNP, Depdiknas, dan Depag), kontroversi tentang perlu tidaknya UN digelar yang selama ini mencuat ke permukaan, tak akan memengaruhi niat pemerintah untuk menggelar hajat rutin tahunan itu. UN dinilai masih efektif jika dibandingkan dengan pelaksanaan ujian yang diserahkan sepenuhnya kepada sekolah sebagai penyelenggara pendidikan. Selain rentan dengan “tipu-tipu”, ujian sekolah dinilai juga semakin menjauhkan kualitas lulusan dari standar kompetensi lulusan yang sesungguhnya. Bisa jadi, itulah yang menyebabkan Mendiknas perlu menetapkan UN melalui Surat Keputusan No. 77, 78, dan 82 Tahun 2008 beserta Prosedur Operasi Standar (POS) oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP).

Harus diakui, UN telah menyedot perhatian secara berlebihan. Tak hanya dari siswa didik dan orang tua. Guru, kepala sekolah, bahkan para birokrat pendidikan atau pejabat daerah pun tak jarang kena syndrom kecemasan. Maklum, UN telah dicitrakan sebagai tolok ukur keberhasilan suatu daerah dalam mengelola dunia pendidikan. Lebih-lebih setelah BSNP secara rutin membuat analisis hasil UN yang disebarluaskan kepada masyarakat luas. Dari hasil analisis ini, akan terlihat daerah mana saja yang berada di peringkat atas, menengah, atau bawah. Sangat beralasan kalau setiap daerah berupaya mencapai hasil UN yang terbaik untuk menciptakan citra dan mengangkat marwah daerah. Dari sisi ini, UN tak jauh berbeda dengan sebuah kompetisi yang akan memicu munculnya persaingan sengit antardaerah dalam mencapai hasil UN.

Sepanjang upaya untuk mendapatkan hasil UN yang terbaik itu dilakukan secara fair dan jujur, jelas tak ada masalah. Namun, tak jarang ada pihak-pihak tertentu yang berupaya mendongkrak nilai UN dengan menghalalkan segala cara. Yang lebih menyedihkan, ada upaya sistematis untuk membiarkan berbagai bentuk pelanggaran terus terjadi tiap tahun. Para pengawas UN yang berupaya untuk melaksanakan tugasnya secara jujur, justru sering kena intimidasi dan dikucilkan. Mereka dianggap tak memiliki “kemauan baik” untuk meningkatkan hasil UN.

Atmosfer persaingan antardaerah dalam mencapai hasil UN inilah yang dianggap telah memicu terjadinya berbagai bentuk “anomali” pelaksanaan UN. Setiap sekolah ditarget harus memperoleh nilai rata-rata UN dan tingkat kelulusan sesuai keinginan pejabat. Karena dihantui rasa takut mendapatkan teguran dan amarah, tak jarang pihak sekolah melakukan kecurangan dengan membantu siswa didiknya dengan berbagai cara ketika UN berlangsung agar target yang ditetapkan bisa terpenuhi.

UN seharusnya perlu dimaknai sebagai upaya untuk melakukan pemetaan mutu pendidikan secara nasional. Jika dilakukan secara fair dan jujur, akan terlihat daerah mana saja yang telah sukses menyelenggarakan UN dan mampu mencapai hasil UN seperti yang diharapkan. Agar ketimpangan antardaerah tak semakin melebar, seharusnya ada upaya serius untuk memantau dan memberikan perhatian khusus kepada sekolah/daerah yang masih rendah hasil UN-nya. Mereka perlu dipermudah dalam mendapatkan akses informasi dan subsidi dari pemerintah.

Namun, yang terjadi selama ini justru sebaliknya. Sekolah-sekolah yang nilai UN-nya tinggi itulah justru yang di-“anakemas”-kan, sehingga mereka bisa dengan mudah memperoleh berbagai fasilitas dan subsidi. Sedangkan, sekolah-sekolah yang rendah nilai UN-nya –bisa jadi lantaran tak mau larut dalam melakukan jamaah pelanggaran UN—justru dikebiri dan dimarginalkan. Sekolah dianggap telah gagal dalam melaksanakan UN sehingga tak perlu diurusi kelengkapan fasilitas, sarana, dan prasarana sekolahnya sebagai sanksinya.

UN selamanya akan menjadi momok yang mencemaskan jika tak diimbangi dengan upaya serius untuk memosisikannya pada aras yang benar. Sudah berkali-kali muncul “perlawanan” publik terhadap pelaksanaan UN yang dianggap tidak fair dan jujur. Berbagai bentuk pelanggaran dan penyimpangan dibiarkan terus berlangsung tanpa ada upaya serius untuk menindaknya. Pembiaran semacam inilah yang membuat UN tak lagi memiliki nilai “gengsi” yang membanggakan bagi siswa didik yang berhasil. UN tidak lagi dianggap sebagai alat untuk mencapai tujuan, tetapi justru menjadi tujuan itu sendiri. Kalau sudah begini kondisinya, jelas makin merepotkan. ***

No Comments

  1. Kalo UN merupakan hajat Nasional, dan setiap daerah berkepentingan untuk memenuhi bahkan melampaui ukuran standar kompetensi, tahapannya sampai kepada pengawasan pelaksanaannya pun tentunya sudah menjadi mekanisme sistem yang “hopefully running well”.

    Saya pikir optimalisasi teknisnya yang perlu terus dikembangkan, khususnya dalam hal pengawasan. Entah (di luar pengetahuan saya) apakah komite sekolah dilibatkan dalam hal ini, Pak? Kalau dilibatkan apakah perlu di “tugas silang”-kan mengawasi pelaksanaan UN di sekolah yang tidak di”komite”-i?

    Baca juga tulisan terbaru dhoni berjudul Ketika 2 Sukhoi TNI AU Dikunci Missile, …

    1. @dhoni,
      terima kasih masukannya, mas dhoni, bagus banget nih pendapatnya. selama ini yang menjadi pengawas UN adalah guru dg menggunakan sistem silang penh antarsekolah. mereka dipantau oleh tim independen yang berasal dari lembaga pendidikan tinggi. tapi efektif atau tidak, saya juga belum tahu nih, mas.

  2. jaman dulu kan juga ada ujian macem begini ya om sawali, dan jaman dulu kan dianggap biasa saja. hanya frekuensi dan kualitas belajar ditingkatkan sedikit sebelum ujian.

    siswa harus diajarkan berbuat yang terbaik dan jujur

  3. Ya mw gmn lg, kita dsni cm bs brharap thn ini tingkat kelulusannya smkin tinggi drpd thn yg lalu.. Thn kmrn pas angkatanku lbh parah lg, mndadak dr 3 mata ujian lngsng jd 6 mata ujian.. Kshan guru & muridnya.. Untung aku lulus dgn nilai yg sngat memuaskan.. Hehehe.. ^.^

  4. sekarang kok ribet banget banget ya kalau dulu pokoknya ikut ujian pasti lulus. kalau sekolah yang hasil UN-nya bagus justru mendapat fasilitas lebih namanya nggak adil dong. ini namanya yang pinter tambah pinter yang nggak begitu pinter tambah nggak pinter.
    semoga menuju ke arah perubahan yang lebih baik

    Baca juga tulisan terbaru endar berjudul Kesederhanaan yang perlu saya teladani.

    1. @endar,
      iya, makanya itu, mas endar, un idealnya dijadikan sebagai alat pemetaan mutu pendidikan, bukan penentu kelulusan. sekolah yang nilai UN-nya rendah justru perlu dipermudah dalam mendapatkan fasilitas agar bisa mengejar prestasi.

  5. kebijakan yang selalu membuat meradang seluruh orang, hentikan dulu budaya kekerasan di sekolah, baru bisa bicara soal UN….kasian anak-anak…di hantui oleh kebijakan negara yang tidak ramah dengan kehidupan anak….

    1. @imoe,
      iya, memang realitas seperti itulah yang masih sering tampil ke permukaan, mas imoe. tapi sepertinya UN akan jalan terus, meski kekerasan demi kekerasan dalam dunia pendidikan masih terus terjadi.

  6. bner banget pak sawali, UN bkan sprti sbuah ujian yg hsilx bner2 dbnggkan oleh siswa. Hnya mnjadi smcam kcmasan dan nyris tak brarti slain hnya untk sbgai mdal mlnjutkan ke jnjang pndidikan slnjutnya…

    sya hran, knpa pola pikir mnjdi sprti itu yah? ap krena sistem pndidikannya? atw krna sstem UN-nya?

    Baca juga tulisan terbaru Ardy Pratama berjudul Hosting si ‘Beruang’, murah meriah…

    1. @Ardy Pratama,
      mas ardy, bisa jadi memang sistem UN-nya yang belum terkmas dg bagus. selama masih ada pembiaran terhadap berbagai macam bentuk pelanggaran dan penyimpangan pelaksanaan UN, agaknya UN belum bisa menjadi media yang valid utk pemetaan mutu pendidikan nasional.

  7. Ujian Nasioal memang salah satu daya ukur bagi siswa jaman sekarang, cuma terkadang apakah nilai-nilai tersebut bisa menjadikan tolok ukur bagi kehidupan masa depan bagi siswa tersebut? sampai saat ini, saia masih miris dengan berita-berita yang menyedihkan tentang siswa yang terpaksa rela membunuh dirinya sendiri (bahkan masa depannya) hanya karena suatu nilai dari Ujian Nasional yang kurang bagus…
    semoga banyak pihak memaklumi dan menindak lanjuti semua permasalahan yang sudah melanda di negeri ini…

    Baca juga tulisan terbaru gajah_pesing berjudul Tentang Sperma

    1. @gajah_pesing,
      maraknya siswa yang stres akibat gagal mengikuti UN mungkin disebabkan sistem UN yang belum memberikan rasa keadilan buat siswa, mas fay. siswa yang cerdas justru ancur nilainya. itu terjadi sekitar dua tahun yang lalu, semoga saja tahun ini dan mendatang tak terjadi lagi.

  8. Pertama, saya bersyukur, entah karena ini respon dari usulan & usilan saya terdahulu ataukah dalam rangka menyambut hari valentin. Maksudnya bingkai di blog ini sudah tidak ijo kendhit lagi tapi malih jambon.
    Kedua, selamat menjadi DENSUS, Pasukan Khusus Pemberantas Ketidaklulusan…

    Baca juga tulisan terbaru marsudiyanto berjudul Target

    1. @ircham,
      idealnya sih bukan sebagai sebagai penentu kelulusan, mas ircham, tapi sebagai alat pemetaan mutu pendidikan secara nasional, agar bisa terdeteksi daerah mana saja yang nilai UN-nya masih rendah, sehingga perlu mendapatkan perhatian khusus.

  9. bila semenjak awal murid dikondisikan untuk bisa lancar menempuh ujian nasional, tentunya saat tiba waktu UNAS, nyantai-nyantai aja… btw… saya baru ada dua tulisan di blog podosari, mohon dilihat… 🙂 masih sangat kacau mohon direvisi…

    Baca juga tulisan terbaru alifahru berjudul Kardi Bisa Terbang

  10. jujur nih ya, sebagai siswa yg lulus tahun kemarin..kecurangannya semakin menjadi-jadi
    1 jam sebelum UNAS dilaksanakan, teman-teman saya yg punya relasi dapet bocoran, dan bayangkan! jawabanya akurasinya 70%, segoblok-gobloknya anak kalo jiplak jawab itu plek-plek masih lulus….
    ck ck ck ck ck

    semoga tahun 2009 masih dapet kayak gitu hahahah

    1. @monyetgaul,
      duh, kok ya ada ya orang2 yang bersikap seperti itu, peristiwa seperti itu bisa jadi malah menghancurkan masa depan siswa itu sendiri, dan imbasnya pasti terhadap nasib masa depan bangsa.

      1. @Sawali Tuhusetya,
        kalo contekan antar teman sih lumrah mas
        lha ini bukan’e, ada juga yg mengatasnamakan bimbingan belajar yang pake iming2 “uang kembali jika tidak lulus” makanya biar lulus mereka memberi “sedikit” bocoran.
        semakin rusak aja moralnya, walau saya masih setuju budaya contekan antar teman , setidaknya masih ada yg mikir. kalo yg gini mah ga ada yg mikir

        piss buat yg tersinggung 😀

        1. @monyetgaul,
          duh … sungguh celaka kalau modelnya seperti itu, mas vachzar, bukannya membekali mereka dg pemahaman konsep yang bener, tapi jalan pintas dg memberikan bocoran utk membawa nama baik bimbingan belajarnya. sungguh, dalam hal ini justru peserta bimbingan belajar yang jadi korban.

  11. Ujian Nasional menjadi momok karena menggunakan kata “ujian”. Konotasinya memang mengandung makna sesuatu yang berat, misalnya: ujian dari Tuhan.

    Coba gunakan kata evaluasi lagi seperti dulu, EBTANAS. Walaupun kriteria kelulusannya sama, saya yakin nggak akan terlalu jadi momok buat guru dan murid, maupun pejabat-pejabat Dindik dan orang tua.

    Saya sendiri tidak melihat UN sebagai momok. Apabila nanti anak saya harus UN juga dan hasilnya ternyata tidak lulus, biarlah dia ngulang untuk ujian lagi. Daripada lulus tapi ngah-ngoh…

    1. @moh arif widarto,
      wah, sebuah sikap yang arf, mas arif, hehehe … anak2 kita memang perlu dibiarkan mengalami dan masuk ke dalam proses yang sesungguhnya. mereka tdk harus ditekan sehingga akhirnya menghalalkan segala cara utk mencapai tujuan.

  12. Salam pepanggihan meleh bapak Sawali sang MUJADID Pendidikan.. 😀 .

    Berbicara mengenai UN sebagai MOMOK???. Boleh jadi seperti itu adanya. Anak saya yg kelas 3 SMP, kini tiap 2 minggu sekali harus menjalani Tray Out di sekolahnya sampai 10 kali rencana kedepannya.
    Hanya saja yg menjadi permasalahan sekarang Guru pendidik di kelas sudah bergeser seperti jaman saya dulu. Kini Guru banyak yg dalam memberikan pelajaran TINGGAL ENAKE wae. Tugas-tugas yg diberikan kepada si Murid selalu berkaitan dengan pernanan Teknologi khususnya Internet. Jadi di daerah saya, jika di rumah tidak ada Internet…jelas anak-anak akan mengalami kesulitan. Ahhhg…Pendidikan memang SELALU MAHAL yah pak???… 😳

    Salam
    http://kariyan.wordpress.com/2009/02/22/memahami-elmu-kamanungsan/

    Baca juga tulisan terbaru Santri Gundhul berjudul MEMAHAMI ELMU KAMANUNGSAN

    1. @Santri Gundhul,
      wah, matur nuwun sanget rawuhipun, mas santri. dhawah kaleresan sanget. duh, itulah kalau sukses UN selalu dikaitkan dengan hitungan angka2 dan target2, mas santi. hakikat pendidikan telah berubah; sekolah hanya memproduk manusia2 penghafal kelas wahid.

  13. Tak hendak bermaksud menjelekkan, waktu SMP dan SMA saya dulu, kecurangan-kecurangan dan bocoran soal sudah menjadi hal yang lumrah. Yang rugi justru yang sudah mati-matian belajar sungguh-sungguh, bisa “kalah” oleh mereka yang (maaf) kurang berprestasi. Saya sendiri benar-benar terhina dan tidak terima waktu itu, tapi ya apalah yang bisa saya gugat, alih-alih saya malah dicap tidak solider dan sok suci. Ckk… 😐
    .
    Sempat saya membuat konklusi seperti ini:
    1. Guru-guru terpaksa berkoalisi dengan pihak-pihak tertentu dalam membocorkan soal ujian dan mendapat jawaban soal, adalah karena didorong rasa malu apabila sekolah yang menjadi tempat ia mengajar menyisakan murid yang tidak lulus. Di Jawa Barat, khususnya di Cianjur kota saya, pihak-pihak sekolah dilanda kekhawatiran apabila ada anak didiknya tidak lulus UN. Hanya dua-tiga sekolah (SMU) yang benar-benar berani tidak meluluskan siswanya yang memang tidak memiliki kompetensi dan kualifikasi untuk lulus. Entah kalau di kota lain, seperti sekolah tempat Bapak mengajar. Barangkali keadaannya lebih berbeda lagi.
    2. Guru-guru yang saya kenal memiliki track-record baik, namun ketika UN ikut memberi jawaban bocoran, sepertinya karena didesak oleh ancaman psikis berupa cap “tidak sayang murid” atau, seperti yang saya terima, “sok suci”, dari guru-guru lain. Jadi mereka (guru-guru) yang sebetulnya berjiwa guru dan mengutamakan integritas, bisa goyah di saat-saat UN menjelang.
    3. UN itu menyebalkan, setidaknya buat saya. Kebanyakan murid-murid yang malas, ketika UN biasanya kurang persiapan. Yang mereka andalkan cuma satu, yakni otot dan ancaman. Murid-murid yang cerdas akan diancam akan dipukuli, atau dicegat ketika pulang kalau mereka tidak memberi jawaban kepada mereka yang malas-malas tadi. Nah, apa itu juga tidak bermasalah, tuh, Pak? :mrgreen: Tekanan psikis UN selain karena ketatnya limit nilai yang harus dicapai, juga berupa ancaman dari teman-teman sekelas sendiri. Saya mengalami ini sepanjang UN dulu. Sangat-sangat-sangat menyebalkan :mrgreen:

    Saya selalu bermimpi, UN kelak akan berisi pertanyaan-pertanyaan essay, dan tolok ukur keberhasilan adalah dari daya analisis jawaban sang siswa. Tapi ya kelemahannya, akan makan waktu lama sekali untuk menilai jawaban-jawabannya :mrgreen:

    *yah, namanya juga mimpi*

    Semoga UN tak lagi jadi momok ke depannya. Senang, ada yang masih concern dengan UN.

    Baca juga tulisan terbaru ariss_ berjudul Tuhan dan Agama? Analogikan Saja!

    1. @ariss_,
      mimpi mas ariss sesungguhnya sama dengan apa yang saya mimpikan. sejak kebijakan UN diterapkan, saya selalu mengkhawatirkan, siswa didik hanya dicetak menjadi generasi penghafal kelas wahid. soal pilihan ganda yang selalu digunakan dalam UN dari tahun ke tahun, saya ragukan tingkat kesahihannya, terlepas dari sisi keunggulannya. akibatnya, banyak siswa cerdas yang harus jadi korban. yang bagus memang soal esai yang akan melatih siswa utk mengungkapkan pemikiran2 kreatif sehingga kelak mereka memiliki pola dan daya berpikir yang runtut dan sistematis. meski demikian, utk waktu dekat, model soal seperti itu agaknya belum bisa diterapkan selama korektornya belum bisa bersikap fair dan jujur. dalam kondisi demikian, guru memang dihadapkan pada situasi dilematis, antara idealisme dan aturan main yang berlaku.

  14. sangat amat susah memengaruhi pemerintah dalam hal pandangan mereka ttg pendidikan. sulit mengharapkan adanya terobosan di tingkat kebijakan. mau tak mau, terobosan harus diciptakan di dalam kelas oleh guru2 yang masih mau repot dan kreatif, atau justru di luar lingkup sekolah sama sekali.

    Baca juga tulisan terbaru haris berjudul Kita Berbelanja Maka Kita Ada

    1. @haris,
      memang benar, mas haris, apalagi UN memang masih memiliki landasan hukum yang jelas melalu UU sisdiknas dan PP 19/2005 ttg BSNP. padahal, kebijakan UN ini dianggap tak sejalan dg kurikulum yang sekarang ini digunakan.

  15. pelaksanaan UN masih saja mengundang pro dan kontra ya, pak? rasanya wajar saja, karena tujuan ideal UN belum segaris dengan pelaksanaan di lapangan dan hasil keluarannya.
    kalau saja setiap guru dan pihak-pihak yang terkait bisa berpikir seperti njenengan, pak, menganggap UN bukan sebagai momok, mungkin ke depannya ujian ini bisa lebih bersih dan jauh dari praktek-praktek kecurangan.
    tapi di mana pun, prestasi memang berimbas besar terhadap nama baik dan kesejahteraan. pantas saja orang bersedia melakukan apa saja untuk itu.

    Baca juga tulisan terbaru marshmallow berjudul Nusa 3 In 1

    1. @marshmallow,
      iya, mbak yulfi, kita hanya bisa berharap agar generasi yang kahir dari proses UN yang semacam itu masih memiliki idealisme sehingga tak gampang melakukan tindakan konyol yang bia merugikan dirinya sendiri, hehehe ….

  16. Pak Sawali, saya sepakat, pelaksanaan UN memang menyita perhatian banyak pihak! Sepupu saya yang masih SMA pun tak kurang merasakan “ontran-ontran” ini.

    Saya prihatin bukan dengan UN-nya tapi lebih karena ungkapan bahwa keberhasilan sebuah sekolah dalam meluluskan anak didiknya di UN!

    Hal ini tentu rawan untuk dipermainkan, seperti biasanya, Pak Sawali.

    Baca juga tulisan terbaru DV berjudul Weker Alarm

  17. Saya tak tahu mau komen apa….
    Tapi rasanya dulu ujian adalah hal yang memang harus dipersiapkan jauh hari, dan kok kayaknya nggak ada masalah.
    Teman-teman SD ku banyak yang belajar sambil angon kebo…teman SMP pun begitu….dan mereka itu sekarang bisa menjadi seorang dokter dari lulusan PTN (biaya murah), kuliah sambil bekerja.

    Untuk bisa lulus ujian SMA dan mendapatkan bangku PTN, anak-anakku dipersiapkan sejak SMA kelas I, karena kalau dimulai sejak kelas 3 semua sudah terlambat….

    Baca juga tulisan terbaru edratna berjudul Mencoba makanan di “Omah Sendok”

    1. @edratna,
      betul banget, bu enny, kematangan sisa dalam mempersiapkan diri menghadapi un akan sangat menentukan kelulusan siswa ybs. sayangnya, sisa sekarang jarang yang mau repot2 mempersiapkan diri dg baik.

  18. UN emang sepertinya bebaaaaaaaaannnnnnnnnn gitu…rasanya lulus/tidaknya hanya ditentukan slma 5 hari itu……
    tapi kalo persiapannya matang, insyaallah UN bukan lagi momok melainkan sebuah jembatan menuju pintu gerbang SNMPTN

  19. UN memang bikin guru serasa pny gawe yg super heboh..kdg malah ada oknum guru yg berani mempertaruhkan jabatan demi lulusnya sang murid..opo tumon… :mrgreen:

Tinggalkan Balasan ke ariss_ Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *