Marto Klawung

Untuk ke sekian kalinya, Marto Klawung kembali mengamuk. Sorot matanya liar, ganas, menantang. Ke mana-mana, dia membawa parang terhunus, berkilat-kilat. Kalau sedang kambuh, nyaris tak ada seorang pun yang sanggup menjinakkannya.

Meski setengah sinting, Marto Klawung tergolong memiliki ingatan tajam. Dia hapal betul dengan orang-orang yang dianggap pernah menyakitinya. Dengan sikap bagaikan jawara, dia tak segan-segan melabraknya. Suro Gentho, pemuda yang pernah mengejeknya, terpaksa mendekam di rumah sakit setelah berduel dengannya. Demikian juga Kang Jolodong. Pemuda yang pernah berguru di Banten itu pun babak-belur gara-gara berani memelototinya.

Suatu ketika, Marto Klawung bikin onar di tengah pentas campur sari di rumah seorang penduduk yang sedang punya hajat mantu. Ketika para penonton sedang asyik bergoyang menikmati lagu-lagu yang meluncur dari mulut seorang biduan lokal, tanpa diduga dia naik ke atas panggung. Sorot matanya menyala, menyapu wajah para penonton yang membludak. Tangan kanannya yang kokoh mengacung-acungkan parang terhunus. Suasana pentas pun jadi kacau. Para penyanyi dan rombongan pemain musik berlarian turun panggung dengan perasaan was-was. Para penonton dicekam kepanikan.

Tiba-tiba muncul empat pemuda mabuk naik ke atas panggung. Dengan lagak sok berani, mereka serentak melabrak Marto Klawung. Namun, dengan gerakan gesit dan cekatan, Marto Klawung membabatkan parangnya. Dalam sekejap, empat pemuda mabuk terkapar bersimbah darah segar di atas panggung. Mulut Marto Klawung menyeringai seperti serigala lapar. Darah yang tersisa di ujung parang dijilatinya. Para penonton bergidik dicekam ketakutan. Mereka berlarian menjauhi Marto Klawung.

Satu-satunya penduduk yang ditakuti Marto Klawung hanyalah Kyai Sodikin. Entah, kekuatan macam apa yang bersemayam dalam tubuh lelaki sepuh itu. Tubuhnya memang hampir rapuh digerogoti usia, tapi sorot matanya masih tajam, memancarkan kearifan. Cara melumpuhkan Marto Klawung pun terbilang aneh. Kyai Sodikin tidak menggunakan kekuatan fisik. Cukup hanya bersedekap ke arah kiblat. Bibirnya komat-kamit membaca mantra. Jari-jari tangannya gemetar memutar biji tasbih. Aneh, Marto Klawung tiba-tiba meronta dan menjerit dahsyat, minta ampun. Tubuhnya roboh mencium kaki Kyai Sodikin. Kekejaman dan kebringasannya seakan tersedot ke dalam tubuh kyai sepuh itu.

Namun, semenjak Kyai Sodikin meninggal sebulan yang lalu, Marto Klawung merasa mendapatkan angin kebebasan. Dia leluasa mengumbar naluri kekerasannya. Darah kebiadaban ribuan manusia purba seakan mengalir ke dalam tubuhnya. Ke mana-mana menyebarkan hawa maut. Penduduk kampung lebih suka menyingkir jauh-jauh daripada harus beradu kening dengannya sebelum kekejaman yang serba tidak terduga mengancam.

Penduduk makin resah. Suasana kampung bagaikan diselubungi jubah Malaikat Maut. Hawa kematian tercium di mana-mana. Marto Klawung dan kebringasannya seolah-olah hadir di setiap pintu rumah penduduk secara tak terduga, menaburkan dendam dan naluri kebiadaban.

“Tolong Kang Klawung, Mas!” pinta Yu Kentring, isteri Marto Klawung, tergagap dengan wajah memucat, selepas Maghrib di rumahku.

Sekilas, berkelebat bayangan Marto Klawung dengan menenteng parang terhunus. Aku tidak tahu, bagaimana cara menjinakkan lelaki sinthing itu. Secara fisik, aku tak memiliki kesanggupan untuk menghadapinya. Tapi permintaan Yu Kentring jelas mustahil kutolak. Perempuan ini sudah lama menderita. Selain harus terus menghadapi kekejaman suaminya, dia juga harus menghadapi “kebiadaban” para tetangga yang tak henti-hentinya mencemooh dan mengejeknya sebagai isteri lelaki sinthing.

“Em, begini, Yu, Sampeyan tunggu di sini dulu, jangan ke mana-mana sebelum aku pulang!” sahutku sekenanya sambil bergegas menerobos pintu. Aku belum tahu, apa yang mesti kulakukan untuk menjinakkan keganasan Marto Klawung.

Di luar, para penduduk bergerombol dengan ketakutan yang sama. Di sudut-sudut kampung yang gelap, seolah-olah muncul bayangan Marto Klawung dengan kekejaman tak terduga. Namun, mereka cukup lega ketika bunyi jedar-jedor masih terus terdengar dari rumah Yu Kentring . Itu artinya, Marto Klawung belum keluar dari sarangnya.

“Kita harus berbuat sesuatu sebelum Marto Klawung sinthing itu mengamuk! Kalau sampai keluar rumah bisa berbahaya!” teriak Kang Trajang dengan wajah cemas.

“Betuuul! Kita tidak mungkin bisa hidup tenteram sebelum Marto Klawung dijinakkan!” sahut penduduk yang lain serempak.

“Kalau saja Kyai Sodikin masih sugeng, tidak bakalan Marto Klawung ugal-ugalan!” celetuk seorang perempuan.

“Hus! Tidak baik ngrasani orang yang sudah meninggal! Tak ada gunanya!” sergah Mbah Kromo Dongso agak sewot. “Yang perlu kita pikirkan sekarang adalah bagaimana cara menjinakkan Marto Klawung sinthing itu!” sambungnya sambil membetulkan letak ikat kepala hitamnya. Para penduduk saling berpandangan dengan dada diserbu setumpuk pertanyaan. Mereka makin panik ketika dari arah rumah Yu Kentring terdengar bunyi jedar-jedor secara beruntun, lantas diikuti suara gemeretak seperti pintu roboh. “Kita harus segera mengambil sikap!” teriak Kang Trajang cemas. Para penduduk saling bertatapan.

“Bagaimana kalau dibelok saja?” selorohku tiba-tiba.

“Dibelok? Apakah Yu Kentring bisa menerima?”

“Apa tidak lebih baik dibawa ke rumah sakit jiwa saja?”

“Siapa yang berani membawanya dalam keadaan seperti itu? Malah-malah kita yang jadi korban! Dan siapa yang akan menanggung biayanya, hem? Kayak kita nggak tahu siapa Yu Kentring itu! Mau makan saja susah!” sahut Juragan Martubi dengan bola mata membelalak. Para penduduk kembali berpandangan. Saling berbisik. Riuh.

“Kalau lapor polisi bagaimana? Bukankah Marto Klawung nyata-nyata telah meresahkan penduduk? Perbuatan dia itu sudah seharusnya ditangani aparat yang berwajib! Kenapa itu tidak kita lakukan?”

“Sampeyan itu, ya lucu. Mana ada orang sinthing dikenai pidana! Mereka itu kebal hukum! Membunuh pun bebas hukuman!”

“Saya kira belok merupakan satu-satunya cara untuk mencegah kebiadaban Marto Klawung! Cara ini mungkin kurang manusiawi, tapi itu lebih baik daripada membiarkan Marto Klawung berkeliaran. Haruskah kita akan terus-terusan membiarkan perbuatan terornya?” sahutku menegaskan sambil menyapu wajah para penduduk.

“Baik, aku setuju!” sergah Mbah Kromo Dongso diikuti yang lainnya.

Kami segera berembug menyiapkan cara yang tepat untuk membelok Marto Klawung. Mbah Kromo Dongso menyiapkan belok yang terbuat dari kayu jati tua dan kuat. Penduduk yang lain membawa pentungan untuk berjaga-jaga, lantas beramai-ramai menuju ke rumah Marto Klawung seperti iring-iringan masyarakat primitif yang tengah memburu korban untuk tumbal persembahan kepada para dewa. Penduduk tampak bersemangat. Rasa panik menjelma menjadi sebuah keberanian yang bersemayam di dada.

“Kalau dia melawan, gebug saja! Jangan sungkan-sungkan!”

“Ya, harus begitu!”

“Malam ini kita harus berhasil membeloknya!”

“Ya, harus!”

Tiba di rumah Yu Kentring yang sumpek, suasana mendadak sepi. Bunyi jedar-jedor sudah tak terdengar. Pintu rumah terbuka. Marto Klawung tak terlihat batang hidungnya.

“Baik! Jangan-jangan dia sudah kabur!” teriak seorang penduduk mulai cemas. Kami segera bagi tugas. Para penduduk menyebar ke berbagai penjuru untuk menemukan Marto Klawung. Namun, hingga beberapa saat, jejak Marto Klawung belum juga tercium, hingga akhirnya terdengar teriakan seseorang dari sudut belakang rumah.

“Marto Klawung di sini!”

Para penduduk bergegas pasang kuda-kuda dan segera melakukan pengepungan dengan pentungan di tangan. Dalam keremangan lampu listrik 5 watt, jidat Marto Klawung tampak berkilat-kilat. Dia tampak duduk mencangkung sambil mengerok jenggotnya dengan parang. Aneh, dia sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda perlawanan. Para penduduk makin rapat mengepungnya.

Ketika hendak diringkus, tiba-tiba lelaki gendheng itu menyeringai; bangkit, dan dengan gerakan lincah memutar parangnya. Para penduduk tersentak dan cepat bergerak mundur. Antara ketakutan dan keberanian campur-aduk merajam dada. Marto Klawung makin liar mengumbar kebringasannya. Parangnya menyodok ke sana kemari. Aku segera bergerak. Cairan cabai yang telah kupersiapkan segera kuambil, lantas kusemprotkan ke bola matanya. Marto Klawung klimpungan. Tangan kirinya sibuk mengucak-ucak pelupuk matanya yang panas dan pedas. Gerakannya berangsur lamban. Parangnya terlepas. Para penduduk dengan sigap berhasil melumpuhkannya. Marto Klawung meronta, tapi tak bisa berbuat apa-apa. Kedua tangannya ditarik ke belakang dan diikat kuat-kuat. Beberapa penduduk segera menggiringnya menuju ke dalam rumahnya yang sumpek.

Mbah Kromo Dongso segera memasang belok yang sudah dipersiapkan. Marto Klawung didudukkan di atas lantai dengan kedua kaki selonjor. Kedua pergelangan kakinya dimasukkan ke dalam lubang belok, lantas dikunci kuat-kuat dengan bilah belok bagian atas. Para penduduk yang berkerumun bernapas lega. Kebringasan Marto Klawung berakhir sudah. Tubuhnya tampak lelah. Sorot mata yang biasanya liar berubah sayu dan memerah.

“Maafkan kami Marto Klawung. Kami terpaksa melakukannya!” kataku sebelum meninggalkan rumahnya. Para penduduk menatap wajah Marto Klawung dengan perasaan iba. Kini, lelaki sinthing itu benar-benar tak berdaya; menikmati hidup dengan kaki terpasung. Tiba-tiba aku teringat Yu Kentring. Perempuan kurus itu pasti sudah lama menungguku di rumah.

“Demi ketenangan hidup Sampeyan dan para penduduk, Kang Marto Klawung terpaksa kami belok, Yu!” kataku menghiburnya.

“Betul, Yu! Daripada kamu terus-terusan hidup tersiksa, lebih baik begitu!” sahut istriku.

“Tapi aku akan lebih tersiksa kalau melihat Kang Klawung hidup menderita dengan cara seperti itu!” sahut Yu Kentring kecewa.

“Itu hanya sementara, Yu! Nanti kalau sudah sembuh, pasti dilepaskan!”

“Tidak! Aku tidak mau suamiku diperlakukan seperti itu!” pekik Yu Kentring. Aku hanya geleng-geleng, kehabisan akal untuk memberikan pengertian-pengertian kepadanya. ***

Semenjak Marto Klawung dibelok, suasana kampung berangsur tenang. Para penduduk bisa menjalankan rutinitasnya sehari-hari tanpa rasa takut. Anak-anak mulai ceria menikmati dunia bermainnya. Yang masih mengganjal di benakku justru keadaan Yu Kentring. Aku tidak tahu, apakah dia sudah bisa menerima kenyataan itu atau belum?

Belum terjawab pertanyaan-pertanyaan yang menumpuk di kepala, tiba-tiba Marto Klawung muncul dengan parang terhunus di rumahku. Aku tersentak. Bagaimana mungkin dia bisa terbebas dari belok yang kuat itu? Mungkinkah Yu Kentring yang membebaskannya? Tubuhku tiba-tiba menggigil. Keringat dingin mencair di sekujur tubuh. Di luar dugaan, tubuh Marto Klawung tetap segar-bugar. Sorot matanya bahkan makin liar. Dari dalam tubuhnya seakan memancar sebuah kekejaman dan kebiadaban tak terduga. Aku tidak tahu lagi mesti bersikap bagaimana menghadapi “monster” ganas ini.
Dari luar rumah, mendadak terdengar teriakan dan langkah-langkah kaki yang cepat, tergesa-gesa, makin lama makin dekat.

“Bunuh saja Marto Klawung! Cincang tubuhnya!” teriak beberapa penduduk. Tiba-tiba saja Marto Klawung mencium kakiku seperti yang pernah dia lakukan terhadap Kyai Sodikin. Aku makin bingung. Para penduduk yang sudah berdesak-desakan di rumahku hanya bisa saling berpandangan dan mengerutkan jidat. Aku belum juga bisa memahami apa yang bersemayam di kepala Marto Klawung, sehingga dia bisa berubah jinak sedemikian cepatnya. Kebingunganku makin sempurna ketika tanpa kuduga lelaki sinthing ini dengan gerakan kilat membabatkan parangnya ke kaki kiriku. Aku memekik dahsyat. Darah segar muncrat ke segala penjuru. Para penduduk yang kalap makin bernafsu mencincang tubuhnya. ***
Kendal, Akhir Agustus 2003

(Suara Karya, 12 Februari 2004)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *