Tayangan TV yang Bias Gender

TVSaya bukanlah pengamat media. Namun, perasaan saya sering kalut ketika menyaksikan tayangan televisi yang makin tidak membumi, bertentangan dengan akal sehat, jauh dari nilai-nilai edukatif, bahkan sangat bias gender. Sesekali, amatilah tayangan hiburan yang demikian marak di layar gelas itu. Sebagian besar tayangan hiburan yang terdedahkan (nyaris) tak lagi mengindahkan nilai-nilai kesantunan dan kelayakan buat publik.

Yang lebih mencemaskan, ketika trend dunia sudah mulai mengarah pada upaya pemuliaan harkat dan martabat kaum perempuan, dunia TV kita justru beramai-ramai mengeksploitasinya. Tubuh kaum perempuan yang memang memiliki daya pesona dan daya pikat “dijual” melalui produk-produk iklan untuk kepentingan kaum kapitalis demi menegakkan pundi-pundi bisnisnya. Dalam dunia sinetron, kaum perempuan seringkali digambarkan sebagai sosok “anomalis” yang sarat dengan tumpukan masalah sosial-kemanusiaan yang begitu kompleks; gila harta, sosok yang lemah dan tak berdaya, sekaligus juga sosok yang kejam.

Tayangan-tayangan lawakan pun acapkali mengeksploitasi tubuh perempuan melalui akting-akting konyol dan vulgar untuk memancing tawa. Lihatlah sosok Tessy atau serial Extravaganza yang demikian nyata dan vulgar menggunakan tubuh perempuan sebagai objek pengocok perut. Dengan karakter feminitas yang dibuat-buat dan artifisial, para pengocok perut bisa demikian mudah dan seenaknya memelintir tubuh perempuan di layar gelas yang disaksikan publik dari berbagai lapisan dan tingkatan usia. Sungguh, sebuah tayangan yang benar-benar abai terhadap nilai keadilan dan kesetaraan gender.

Agaknya benar apa yang dikatakan oleh banyak pengamat media bahwa dunia TV telah masuk dalam perangkap kaum kapitalis. Mereka hanya menyisakan sekian persen dari seluruh tayangan yang masih setia pada nurani. Selebihnya, hanyalah tayangan-tayangan “sampah” yang lebih berorientasi pada keuntungan finansial semata. Berdasarkan catatan Veven Sp. Wardhana, pengamat televisi dan media, setidaknya ada tiga tipologi perempuan dalam tayangan televisi Indonesia, yakni (1) perempuan pembawa petaka; (2) perempuan pelaku duka nestapa yang sama sekali tak pernah punya daya untuk menghadapi dan melawan penyebab duka derita; dan (3) pseudo-manusia alias perempuan “sakti” yang menjadi pendekar aneh macam Mak Lampir atau sekalian menjadi hantu macam Si Manis Jembatan Ancol dan mereka inilah yang bisa balas dendam.

Sebagai media publik, TV idealnya mampu menjalankan fungsinya sebagai media informasi dan hiburan yang mencerahkan. Kehadirannya secara tidak langsung akan membangun opini publik terhadap berbagai topik dan masalah kehidupan yang makin rumit, kompleks, dan sarat tantangan. Dalam konteks dan wacana tentang kesetaraan dan keadilan gender, TV pun seharusnya mampu membangun citra positif terhadap sosok dan kiprah kaum perempuan di tengah ranah dan panggung kehidupan sosial.

Dalam konteks demikian, peran Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sangat diperlukan untuk menjembatani kepentingan publik dengan pengelola media TV. Jangan sampai terjadi, TV menjadi media “sampah” yang hanya sekadar menyajikan hiburan-hiburan “picisan”, vulgar, dan murahan, yang akan berimbas terhadap kekeliruan publik dalam memahami dan mengapresiasi kiprah kaum perempuan di tengah panggung kehidupan sosial. Secara jujur harus diakui, suara KPI tentang keberpihakannya terhadap pengarusutamaan gender selama ini belum terdengar gaungnya. Kita masih terus saja “dipaksa” untuk menyaksikan tayangan hiburan “sampah” yang gagal memberikan pencerahan kepada publik. Para pengelola media TV pun seharusnya tak lagi sewenang-wenang mengekspolitasi sosok perempuan hanya semata-mata untuk memenuhi ambisi bisnis yang dikembangkan oleh kaum kapitalis. Nah, bagaimana? ***

Keterangan: gambar diambil dari sini.

No Comments

  1. Setuju…….keberadaan KPI serasa tak beguna televisi dan isinya tak lebih sekedar sampah .bukan lagi berisi info ,Wacana,dan wawasan ,bukan lagi pengembang Budaya ,tapi media sekarang lacur ….pak ekploitas dan pembunuhan karakter juga berimbas tidak memumpuk mental kearah yang lebih baik …..masingmasing TV latah untuk memiliki program yang nggak jauh beda satu sama lain pak …… Lantas Seperti apa nasib anak didik kita yang setiap hari selalu di jejali tayangan seperti sinetron yang memaparkan ketidakjelasan dan jauh dari nilai budaya,lepas sejarah,seperti lakon lakon yang sok laris aja
    ……………………………………………
    Mengenai Ekploitas perempuan saya sendiri suka pak…..( bergurau pak )
    Lha Judulnya PEREMPUAN BERGAUN PUTIH hehhheheee
    Jangan Marah mbah

    wakakakaka 😀 mas totok ada2 saja nih, haks 🙁

  2. Saya tidak urun rembug, tapi urun nggasruh saja…

    Susahnya, pemainnya juga seringkali mau aja dieksploitasi, contohnya mbak Persik itu pak!… jualan goyang!… mbak Ivan, jualan menthel… dan lain-lain sesuai jualannya masing-masing…

    Oh ya!…
    Saya sebel buangets kalau lihat tayangan ghibah alias nggosipin seleb. Hueks…

    itulah realitas tayangan TV kita, mas andy. kualitasnya baru sebatas itu, haks 🙁

  3. Tapi siapa yang salah sebenarnya, bukannya penontonnya juga yang mengingatkan seperti itu yakz?
    hehehe atau penonton Indonesia sudah aneh2 😀 hihihi

    wah, kalau dicari kambing hitamnya malah ndak ketemu, mas arul, seperti lingkaran setan sad:

  4. bahkan stasiun televisi yang dahulu pernah gembar-gemor ndak bakalan nayangin sinetron, akhir-akhir ini sudah ikut-ikutan nayangin juga.
    menyedihkan memang….

    wah, akhirnya banyak stasiun TV yang kena imbas sinetron maniak juga, ya, mas epat 🙁

  5. Benar dech Pak, banyak tayangan tv tidak memperhatikan nilai-nilai pendidikan. Kayaknya para pemilik stasiun tv lebih mementingkan segi bisnis dan selera pasar. Jarang sekali yang ada dan peduli untuk “mendidik” bangsa ini lewat tayangan tv.

    Hal yang sangat saya tidak suka adalah acara yang mengeksploitasi kaum “banci” sebagai bahan lawakan. Sungguh ironis, penyakit atau kelainan mental yang harusnya dihindari malah dipertontonkan secara vulgar. Mau di bawa kemana bangsa ini, ternyata tanggung jawab pendidikan bukan hanya pada “orang tua”, “masyarakat” dan “pemerintah” ya! Ternyata pendidikan juga tanggung jawab “pemilik stasiun tv”.

    yaps, sepakat banget, pak syam. dunia pendidikan kita makin rumit dan kompleks. semua pihak, termasuk pengelola stasiun TV perlu juga bersinergi 😎

  6. Masih lumayan, walau Pak Sawali bukan pengamat media, tapi perasaannya masih bisa sering kalut ketika menyaksikan tayangan televisi yang makin tidak membumi, bertentangan dengan akal sehat, jauh dari nilai-nilai edukatif, bahkan sangat bias gender.
    Saya lebih parah lagi…
    Saya bukan pengamat media, jarang kalut ketika menyaksikan tayangan televisi yang makin tidak membumi, bertentangan dengan akal sehat, jauh dari nilai-nilai edukatif, bahkan sangat bias gender.
    Saya tak punya pengalaman tentang Ilmu Gender (jadi inget Patih Logender), hanya seseorang yang suka “krupuk gendar”.
    Saya terdedahkan (nyaris) tak punya pendapat tentang Tayangan TV yang Bias Gender. Itulah kenapa banyak kalimat bahkan terdedahkan (nyaris) semuanya sekedar ngopa-ngopy punya Pak Sawali.
    Ampun beribu ampun…
    Nyambung rak nyambung yo disambung-sambung… (mode combine is on).
    [Yang pasti ilmu saya nambah 1 kosa kata yaitu “terdedahkan”]

    wakaakakaka 😆 seperti lagu wajib, sambung-menyambung menjadi satu, haks…. pak mar ingat lagu itu, kan?

  7. masalahnya pengelola stasiun televisi tidak punya bargaining power yg cukup berhadapan dengan pemilik modal. selain solusi untuk mendidik masyarakat agar bisa menyaring tayangan2 yang sesuai dengan hati nurani. mungkin ada baiknya mendidik juga para pe bisnis untuk tidak hanya mementingkan keuntungan materi semata.
    masalahnya para pemodal itu hanya mampu berbicara tentang laba-rugi, tidak lebih.

    yaps, betul banget, mas ardy. posisi tawar para sineas kita demikian rendah di mata pemilik modal sehingga gagal mempertahankan idealismenya lewat sinteron 🙁

  8. iya pak, selain itu karya-karya sinetron juga sudah tidak originalitas, banyak sekali sinetron luar yang di jiplak oleh para sutradara2 kita. sehingga ini yang menyebabkan sinetron tersebut tidak sesuai dengan norma atau adat kita

    yaps, yang lebih parah, dubbingnya sering ndak pas dg aktingnya, haks 🙁

  9. Kayaknya yang namanya sampah pasti kian hari kian banyak deh Pak. Karena sampah itu adalah limbah kemajuan jaman. Artinya makin sulit kita berharap sampah bisa berkurang. Kalo cuma berharap pada KPI, kayaknya berat. Solusinya mungkin kita juga harus mulai belajar hidup bersahabat dengan sampah. Hik hik.

    SALAM PAK Guru.
    Semoga Tuhan memberkati anda sekeluarga.

    hehehehe 😆 nanti jadi makin kumuh dong, mas ari, hehehe 😀

  10. alhamdulillah, pertama2 saya mau kasi kabar, blog saya sedang dalam masa perpindahan pak. masih belajar2 di WP nih..

    oya soal sinetron saya juga nggak suka. Kurang tertarik kalo buatan negeri ini. Kalo puasa paling cuma nonton PPT pas sahur itu hehehe, sama aja ya. cuma sekedar hiburan kok *ngeles.
    Tapi saya tetap anti sinetron sampai detik ini. Entah sampai kapan. Anyway, gambar di atas itu ambil darimana pak? bagus desainnya…

    hehehehe 😆 kan dah saya beri link-nya, mas anto. sinteron kita memang belum layak utk diacungi jempol, mas, hehehe 🙁

  11. Saya tak punya konsern lagi untuk menyaksikan acara televisi, Pak Sawali.
    Saya hanya tertarik ketika tayangan berita dan olahraga saja, selainnya itu saya setuju dengan pendapat beberapa teman di sini bahwa semuanya adalah sampah! Sampah digital!

    KPI atau bahkan stasiun televisi sekalipun menurut pendapat saya tak akan pernah bisa dan berani melawan apa yang namanya “selera pasar”.
    Seakan-akan mereka sendiri juga tutup mata bahwa selera itu tidak akan muncul tanpa ada effort awal dari mereka dulu 🙂

    Membayangkan sebuah harimau yang makan sayur karena sedari dulu diberi sayur dan tak diberi daging, maka saya pun percaya kalau dari dulu masyarakat tidak dicekoki kebobrokan seperti ini, maka mereka juga akan berselera akan hal yang baik-baik saja.

    Tulisan yang sangat menarik!

    begitulah realitas tayangan TV kita, mas donny. repotnya, masyarakat kita menyukainya, haks 🙁

  12. Wah, ternyata tayangan televisi sangat merendahkan wanita ya pak? Baru sadar saya. Soale akhir akhir ini cuma nonton berita aja sih.

    wah, sulit dihitung dg jari, mas dana, haks. 🙁

  13. karena wanita mempunyai sejuta pesona sehingga para kapitalis mengeksploitasi sedemikian rupa hanya untuk kepentingan dewa nya Televisi yaitu Rating yang ujung2nya pengerukan Rp, ironisnya mereka yang tereksploitasi tidak juga menyadarinya tapi malah justru bangga, gejala apakah gerangan yang terjadi …. 💡

    mungkin ini gejala kalau peradaban kita lagi sakit, pak sholeh, hehehehe 🙁

  14. hiks.. hiks… yang bikin saya lebih jengkel lagi… banyak wanita yang mau aja bodynya diekspos buat kepentingan kapitalis 🙁

    Saya lebih milih dibilang ndeso, gak gaul atopun cupu daripada disuruh nonton sinetron ato gosip deh..

    agaknya mereka ndak tahan godaan juga, mbak, hehehehe 🙁

  15. saking banyaknya tontonan yg ga layak buat anak – anak ( walau itu film anak – anak). Tiap kali anak saya nonton adegan yang saya larang ( mengandung unsur kekerasan dsb ) pasti langsung teriak, ” Mamaaaaa tipil nya gantiiiiiiiiii…” hehehe

    *entah apa pikiran dari seorang anak yg belum genap 3 tahun tentang semua larangan lihat ini itu*

    wah, itu artinya putra mbak leah hebat banget tuh. ndak suka tayangan kekerasan. salut banget deh! ➡

  16. Kalau orang Inggris situasi seperti ini namanya adalah catch-22. Tayangan2 seperti itu laku karena masyarakat kita menyukainya. Tapi masyarakat kita menyukainya juga bisa jadi karena TV kita sering menayangkannya !! Betul-betul sebuah paradoks! Dan juga celakanya banyak juga perempuan2 yang menyukai lawakan menertawakan lawakan tubuh perempuan seperti di Extravaganza.

    Nggak usah jauh2 di televisi wong, di blog aja, lihat aja mana blog2 yang masuk dalam BOTD teratas, pasti blog2 yang hanya mengumbar gossip dan menyinggung2 pornografi. Mau menyalahkan kapitalis atau masyarakat?? Lagi2 sebuah paradoks a la catch-22!

    bener bung yari. tayangan TV kita yang begituan agaknya mencerminkan selera dan apresiasi masyarakat kita juga. tapi kalau dicari kambing hitamnya memang spt lingkaran setan 🙁

  17. Stasiun TV sering berkilah:”Masyarakat sukanya yang seperti ini. Ya, kami buat yang seperti ini”.
    Lalu masyarakat berkilah:”Kami disodori yang seperti ini, jadi ya kami menikmatin saja”.
    Perlu orang2 kreatif lebih banyak seperti yang dilakukan Deddy Mizwar dengan PPT. Sinetron dengan cerita yang menarik, mengena dan layak dijadikan tuntunan, tidak sekedar tontonan. Dan terbukti, laku toh?
    Di samping dipuji oleh MUI sebagai acara yang bagus, iklannya juga bejibun.
    Saking banyaknya iklan, terkadang kita bosan juga.
    Beberapa iklan yang ada di dalam cerita seperti iklan oli sudah sangat mengganggu.
    Tapi tak apalah…Yang penting ceritanya bagus…

    hehehehe 😀 seperti lingkaran setan ya, bung azwan, haks 🙁

  18. Lha… lha… lha… yang diprihatinkan pak Sawali, dialami juga mungkin oleh ribuan orang Indonesia yaitu siaran TV Sinetron yang membodohkan. Jika ini merupakan ekses dari sistem hukum pasar, lantas kenapa di Barat acara TV justru jarang menyiarkan Sinetron tetapi lebih banyak news dan science seperti Discovery, BBC, NGC, CNN, ESPN, dsb?
    Bisa jadi karena tingkat pendidikan orang Indonesia masih rendah sehingga acara lawakan TV dalam bentuk lawakan murahan seperti eksploitasi gender!
    Bisa jadi masalah selera, yaitu orang Indonesia berselara rendah!
    Kenapa juga ada aturan bahwa TV asing tidak boleh siaran di Indonesia, padahal secara kualitas dan kuantitas justru TV asing jauh lebih mendidik dibandingkan TV Indonesia yg hanya menyiarkan sinetron!
    Permasalahan yg tidak sedehana pak Sawali.

    memang ironis, pak aryo. agaknya memang selera an apresiasi masyarakat kita baru sebatas itu 🙁

  19. Makanya saya ndak punya televisi saja di rumah. secara perbandingan tayangan yang bermanfaat sangat tidak balance dengan yang bermanfaat. Pas Ramadahn saja tetep ndak bisa diatur biar “lebih baik”.
    Kita bandingkan zaman dulu adegan ciuman atau bikini saja di sensor, sekarang goyang erotis juag sudah nggak di sensor. Degradasi norma……

    wah, sikap yang bagus juga th mas abu, ketimbang dipaksa harus menyaksikan tayangan2 “sampah”, haks 🙁

  20. saya juga selama ini muak dengan acara2 di tivi klo ga acara kekerasan ya acara sinetron.. mereka berdalih demi mendapatkan pemirsa rela mengorbankan generasi muda bangsa yang menonton acara tersebut..

    itulah yang terjadi, mas fajar 🙁 bener2 kaum kapitalis tengah berkuasa, haks …

  21. Setuju sekali, Pak. Tayangan di TV banyak yang tidak sesuai dengan budaya kita. Tayangan-tayangan yang sifatnya tidak mendidik banyak ditayangkan di TV kita. Seperti pada tayangan “Suami-suami takut istri”, itu kan sebenarnya tidak mendidik.

    yaps, bener banget, pak edi. bener2 bias gender yang kelewatan 🙁

  22. sangat di sayangkan, pak…exploitasi anak dalam sinetron pun harus diperhatikan jua pak……. 🙁

    memang semua pihak mesti ulai peduli terhadap masa depan anak2, mas abee, termasuk pengelola stasun TV.

  23. wah..wah. Sedemikian parah. Tugas guru jadi semakin berat menularkan ilmu pengetahuan bila hal-hal sedemikian merasuk ke dalam jiwa siswa. Kayaknya, televisi harus segera berubah menayangkan dan mendoktrin “sampah”. Sebelum budaya dan pola pikir penontonnya “hijrah” ke alam mimpi dan tak lagi hidup dalam alam realita.

    persoalannya makin rumit dan kompleks, mas syam karena harus berhadapan dg pemilik modal yang kayaknya sedang berkuasa, haks 🙁

  24. selain tayangan yang bias gender,
    banyak jg jenis acara yg tak mendidik
    generasi muda bangsa
    ragam acara mencetak bintang secara instan
    juga bisa membuat generasi muda bangsa pengen segalanya serba instan dan tak suka bekerja keras menggapai harapan
    KPI memang blm kelihatan kontribusinya
    membuat TV makin menghibur sekaligus mendidik

    bener banget, mas agus. agaknya mereka tlh kehilangan idealisme utk menyajikan tayangan yang bermutu 🙁

  25. Ada tau tidaknya tayangan tipi seperti itu KPI juga akan mengusik ketenangan. Yah, acara seperti Extrapaganza di TransTV kan cuman semata tontonan tawa, pakaian bencong atau yang lain pun itu tujuannya kan untuk tawa. Lah KPI kok semot.
    kagak ada yang beres dinegeri ini

    begitulah yang terjadi mas badri, haks 🙁

  26. saya justru lebih tertarik menyimak kepedulian pak sawali mengenai isu kesetaraan gender.
    biasanya isu ini justru didengung-dengungkan oleh wanita; jadi terharu membacanya dari sisi keprihatinan kaum pria.
    mengenai tayangan televisi miskin nilai edukasi dan moral rasanya sudah jadi hal biasa ya, pak.
    saking biasanya, orang jadi apriori dan menganggap berlebihan kalau tetap ditindaklanjuti.
    ironis memang, justru di saat media TI yang lain berbondong-bondong untuk menjadi lebih baik dalam kedua hal ini.
    makanya saya suka salut kepada tayangan film yang menunjukkan tokoh (perempuan) yang membumi, tetap apa adanya sebagai wanita, namun mampu berkiprah secara luar biasa, seperti tokoh detektif di CSI dan dokter di ER.
    (hmm… saya memang doyan sekali menonton kedua serial itu)

    wah, sudah seharusnya seperti sikap mbak yulfi itu. kalau masyarakat memboikot, kayaknya bisa jadi “warning” buat para pemilik modal nih 😎

  27. sama seperti yang pernah saya utarakan dalam postingan saya sebelumnya, KPI seperti tidak bernyali, sedangkan produsen berani mengorbankan masa depan anak bangsa demi pundi uang..

    itulah yang tengah terjadi di negeri ini mas mymoen 🙁

  28. jika bicara tentang bias gender, selain produk kapitalis, jangan lupa, media kita juga hidup dalam budaya patriarkhat, pak. ini dunia kaum laki-laki….hehehehehehe

    tapi saat ini juga mulai meningkat kesadaran kesetaraan gender, yang datangnya juga dari laki-laki…contohnya adanya tulisan dari pak sawali di atas heheheheheh

    yaps, patriarkhi memang sudah mengakar, mbak icha. dibutuhkan beberapa genarasi utk membangun konstruksi sosial yang baru 😎

  29. salam
    Entah kapan media elektronik kita mempunyai niat untuk mendidik masyarakat lebih baik, tapi katanya tayangan yang kebanci-bancian sudah di larang ya Pakde, duh yang jelas tayangan sinetron sekarang bener-bener menjual mimpi, ya mungkin boleh jadi buat menghibur masyarakat dan melatih mereka jadi pemimpi 😆
    Sionetron yang saya sukai sekarang cuma PPT aja tuh 😎

    PPT agaknya memang tampil beda dibanding yang lain2, mbak ney, hehehehe 😎

  30. Memang seperti itulah keadaannya saat ini pak.
    Dan sungguh tak arif rasanya jika kita hanya melimpahkan kesalahan pada para pelaku industri pertelevisian. mereka itu hanya mengejar selera pasar, dan karena masyarakat senengnya ama tayangan “menye-menye” seperti ini, maka mereka pun membuat tayangan seperti itu. Jika sekiranya masyarakat lebih senang dengan tayangan yang mendidik dan santun, maka dapat di pastikan para pelaku industri pertelevisian pun akan membuat tayangan yang cerdas. kalo sudah begini sapa yang patut dipersalahkan?

    kalo saya sih, dari pada nonton tv, mending update blog terus blogwalking deh. hehehehe

    hehehehe 😆 memang kalau dicari kambing hitamnya bakal spt lingkaran setan, mashair, haks 🙁

  31. Sinetron di TV sekarang banyak yang nggak bener… isinya nggak mendidik.
    *saya hanya nonton Para Pencari Tuhan 😀 *

    PPT memang layak utk ditonton, mas 😎

  32. Rasanya acara-acara di televisi sangat membosankan. Tidak mendidik dan hanya memberikan impian-impian kosong. Kalau niat, sesungguhnya TV adalah media yang paling efektif untuk turut mencerdaskan para penontonnya melalui tayangan yang mendidik.

    yapss, sepakat banget dg bu enggar ➡

  33. apalagi kalo udah menyangkut uang pak, yang namanya kejar tayang pasti didahuluin… yang penting uang ngalir ke produser dan team.

    betul mas imam, itulah repotnya kalau sdh harus berurusan dg pemilik modal, haks 🙁

  34. Kira-kira sekaligus cerminan ‘pola pikir’ (sebagian) masyarakat kita. Ada yang kreatif (memproduksi) dan ada yang menikmati (konsumen), jalinan ‘kesepakatn’ keduanya, jadilah. Dan … bagi pengamat cerdas seperti Pak Sawali, jadi beban. Kita memang harus menyuarakan ha kurang positif. Salam Pak.

    yaps, sepakat banget, pak ersis, wah, saya hanya suka iseng saja kok, pak. salam kembali buat pak ersis. matur nuwun 😎

  35. sebenarnya tujuan televisi itu baik,Pak. memberikan informasi jaraj jauh dalam kurung waktu cepat. Tapi benar…kalau akhir-akhir ini fungsinya sudah banyak yang menyalahgunakan….

    ya, tentu sajalah, mas fuad, kalau dikendalikan oleh orang2 yang cerdas dan memilii kearifan 😎

  36. beduull skali Kang…
    Sekiranya para pemilik stasiun televisi dan para produser sinetron itu takkan menayangkan jika tidak ada yang menonton. Namun yang terjadi, masih banyak dari rakyat Indonesia ini rela menghabiskan waktu mereka hanya untuk menyaksikan kekerasan dan ke-matrealisme-an.
    Jika ingin terjadi perubahan, dari sisi masyarakat terlebih dahululah yang dapat kita rangkul. Setidaknya pembatasan tayangan sinetron di rumah dan pemberian pendidikan yang lebih layak dari sekadar tayangan tidak bermutu tersebut.
    Saya ‘kangen’ dengan slogan TPI sebagai Televisi Pendidikan Indonesia yang sebagian besar menyajikan acara pendidikan untuk anak dan remaja DAHULU KALA. Apa daya, acara seperti itu TIDAK LAKU lagi sekarang..

    nah itu dia kang rully yang jadi persoalan, sebagian besar pengelola TV kita sdh tereduksi oleh kepentingan kam pemilik modal, haks 🙁

  37. televisi tak hanya terperangkap dalam kaum kapitalis. Tapi televisi itu menjadi virus yang menyebarkan kapitalisme untuk mengajak masyarakat hedonis dan konsumtif.
    Dan penyakitnya itu berasal dari RATING yang nggak jelas….

    yapas, bener banget, mas qizink. seperti itulah realitas engelola media TV kita, haks 🙁

  38. Media emang sulit dibendung.. saatnya mempunya MEDIA yang lebih cocok untuk negeri ini…. tidak hanya UANG UANG UANG dan UANG….

    yaps, sepakat dg mas jauhari 😎

  39. Saya seneng dengan kotak komentarnya Pak Sawali, yang ada panel instrumennya, si Komentar pakai OS apa dan browser apa. Mulane tak jajal2. Ini saya nyoba opera…

    saya pakai plugin firestats, pak mar, hehehehe 😆

  40. salam kenal om..

    pinter kita aja mau nonton apa ngga..
    toh kan saluran tivi lain masih banyak yang ngga gitu (atau ngga ada kali ya)

    salam kenal juga, mas izandi. wew…. bener juga tuh, mas tergantung pandai2nya kita pilih acara ➡

  41. hehe… justru kalau perfilman kita serba edukatif, religius dan serba bermanfaat, maka bukan Indonesia lagi dong, namanya. Nggih tho, Pakdhe? 😀
    .
    NB. Nyuwun saget nampilke avatar ing komentar panjenengan pripun sih, Pakdhe? Saya sudah login kok ya masih harus ngisi nama, email dan blog. Ono opo ya?

    mas aris mungkin benar, hehehe 😆 ttg setting avatar, waduh, nggak tahu juga yah, kenapa bisa begitu?

Tinggalkan Balasan ke emfajar Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *