Quo Vadis Kurikulum Pendidikan Kita (Sebuah Refleksi Akhir Tahun)

Dalam tulisan saya mengenai “Tiga Bahasa Plesetan tentang KTSP“, saya memplesetkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) menjadi: (1) Kurikulum Tidak Siap Pakai, (2) Kurikulum Tetap Sama Produknya, dan (3) Kalau Tidak Siap Pensiun. Namanya saja plesetan, selain “nyleneh” juga bernada slengekan, hehehehe 😆 Agaknya, ada seorang pengunjung yang terusik. Dia berkomentar:

pak jgn buat plesetan yg tdk mendidik, maka dukunglah tetang KTSP tersebut ok makasih ya.

Saya sangat menghargai komentar pengunjung tersebut. Ini artinya, kurikulum pendidikan kita masih mendapatkan sentuhan perhatian yang cukup dari publik. Lalu, saya meresponnya dengan pernyataan bahwa saya hanya merekam dan memberikan kesaksian terhadap apa yang saya lihat dan saya dengar. Namanya juga otokritik. Dunia pendidikan kita harus selalu siap untuk menerima kritik dari berbagai kalangan agar terus berkembang secara dinamis sehingga mutu pendidikan yang sudah lama didambakan dapat terwujud.

Sebagai seorang guru, jelas saya mendukung KTSP, apalagi sudah disahkan penggunaannya di sekolah berdasarkan Permendiknas No. 22, 23, dan 24 tahun 2006. Ini artinya, mau atau tidak, siap atau tidak, guru sebagai “loko” pendidikan, harus melaksanakannya. Meskipun demikian, tidak lantas berarti bahwa guru tidak boleh bersuara. Gurulah yang menyusun rencana, melakukan aksi, evaluasi, analisis, dan tindak lanjut sebagai wujud implementasi kurikulum. Kalau suara guru dibungkam, lantas siapa yang akan memberikan masukan dan kritik terhadap upaya peningkatan mutu pendidikan. Guru itu bukan penentu kebijakan. Mereka seperti “tukang” yang harus membuat produk yang diinginkan oleh pemesan. Apakah seorang tukang tidak boleh memberikan masukan dan kritik terhadap desain sebuah produk yang diinginkan oleh pemesan kalau memang dinilai kurang bagus? Cukupkah sebuah kebijakan yang menyangkut kepentingan publik, bahkan akan ikut menentukan nasib masa depan bangsa, hanya dirumuskan dari belakang meja sonder mendengarkan suara-suara lain yang justru sangat berkepentingan dengan implementasi sebuah kebijakan?

Selain sertifikasi guru, KTSP agaknya juga menjadi “isu” yang menarik diperbincangkan di sepanjang tahun 2007. Gaungnya tidak hanya bergema di gedung-gedung elit kaum birokrat pendidikan atau di forum-forum seminar, tetapi juga di warung-warung kopi. Hal ini bisa dipahami lantaran bangsa kita dikenal suka bongkar-pasang kurikulum, tetapi dinilai belum memberikan imbas yang cukup berarti bagi peningkatan mutu pendidikan. Dari tahun ke tahun, dunia pendidikan kita dinilai banyak kalangan hanya “jalan di tempat”, bahkan mengalami set-back.

Berdasarkan laporan UNESCO, yang dirilis Kamis (29/11/07), peringkat Indonesia dalam hal pendidikan turun dari 58 menjadi 62 di antara 130 negara di dunia. Education Development Index (EDI) Indonesia hanya 0.935 yang berada di bawah negeri jiran kita Malaysia (0.945) dan Brunei Darussalam (0.965). Indeks ini perlu menjadi “warning” bagi segenap komponen bangsa untuk bersama-sama melakukan sebuah perubahan secara kolektif. Jangan sampai negeri lain sudah melaju kencang di atas tol, tetapi bangsa kita masih terus bersikutat di balik semak-semak.

Sekarang, kita mencoba kembali melakukan kilas balik terhadap perubahan kurikulum di negeri ini. Setidaknya sudah tujuh kali perubahan kurikulum tercatat dalam sejarah, yakni Kurikulum 1962, 1968, 1975, 1984, 1994, KBK, dan KTSP. Namun, apa dampaknya terhadap kemajuan peradaban bangsa? Sudahkah pendidikan di negeri ini mampu melahirkan anak-anak bangsa yang visioner; yang mampu membawa bangsa ini berdiri sejajar dan terhormat dengan negara lain di kancah global? Sudahkah “rahim” dunia pendidikan kita melahirkan generasi bangsa yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga cerdas secara emosional, spiritual, dan sosial?

Yang lebih menyedihkan, tidak sedikit anak bangsa negeri ini yang menjadi objek sentimen nasionalisme bangsa lain. Saudara-saudara kita yang mengadu nasib di negeri orang tak jarang menerima perlakuan-perlakuan yang kurang manusiawi. Tak heran kalau pada akhirnya bangsa kita di mata dunia hanya dikenal sebagai bangsa “kuli”.

Pertanyaan yang muncul, sudah demikian parahkah dunia pendidikan kita sehingga gagal melahirkan tenaga-tenaga ahli dan sosok pekerja yang terampil dan andal? Ada apa dengan kurikulum pendidikan kita sehingga (nyaris) tak pernah berhasil mengangkat nama dan martabat bangsa ini menjadi begitu terhormat di tengah-tengah kancah peradaban global? Quo vadis kurikulum pendidikan kita kalau gagal melahirkan manusia-manusia berkarakter, cerdas, kreatif, terampil, bermoral, berbudaya, dan luhur budi? Bukankah dunia pendidikan kita sudah berkali-kali mengalami perubahan kurikulum?

p8200134.jpg

Kini, pertanyaan itu menjadi penting untuk dijawab setelah KTSP mulai diimplementasikan. Mampukah KTSP mengantisipasi perubahan dan gerak dinamika zaman ketika semua negara di dunia sudah menjadi sebuah perkampungan global? Mampukah KTSP mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana amanat UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas?

Mari kita bicara blak-blakan sebagai refleksi akhir tahun. Secara jujur harus diakui, implementasi KTSP masih jauh dari harapan. Kesenjangan informasi antardaerah, keragaman kompetensi guru, atau sarana-prasarana sekolah menjadi “cacat” utama. Ketika “lonceng” KTSP dipukul, idealnya semua “properti” dan sumber daya manusia-nya sudah dalam kondisi siap. Sosialisasi harus lebih dini dilakukan. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Meski sudah diluncurkan oleh Menteri, masih banyak sekolah, lebih-lebih yang ada di daerah, yang masih simpang-siur dalam memahami KTSP. KTSP yang seharusnya berlangsung mulus seiring dengan kebijakan otonomi sekolah agaknya juga stagnan.

Untuk menyusun silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) saja mesti mengacu pada produk Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Memang seharusnya hanya sekadar menjadi model. Namun, tampaknya silabus model BSNP telah menjadi acuan baku untuk dilaksanakan di seluruh penjuru tanah air. Akibatnya, KTSP yang seharusnya berbeda di setiap daerah, bahkan di setiap sekolah, yang terjadi justru telah terjadi penyeragaman. Budaya kopi-paste berlangsung sukses. Flash-disk pun laris-manis bak pisang goreng. KTSP pun menjadi Kurikulum yang Tetap Sama Produk-nya.

Tahun 2008 hanya tinggal hitungan hari, bahkan jam. Momen tersebut perlu dijadikan sebagai tonggak untuk melakukan sebuah perubahan. Implementasi kurikulum dalam dunia pendidikan kita harus dibarengi perubahan sistem pembelajaran dengan memberikan ruang gerak kepada siswa didik untuk mengembangkan potensi dirinya. Anak-anak negeri ini perlu memiliki basis kekuatan spiritual, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang andal agar tidak sekadar menjadi “kacung” dan “tukang”, tetapi juga menjadi enterprenur-enterprenur sejati yang siap menghadapi tantangan di tengah peradaban global. Jangan sampai terjadi, secara lahiriah kurikulum kita menggunakan “branding” kurikulum baru, tetapi sejatinya masih menggunakan “roh” kurikulum yang lama.

Kita berharap, implementasi kurikulum tidak lagi terjebak ke dalam praktik semu di mana perubahan kurikulum hanya sekadar jadi momentum “adu konsep”, sedangkan dimensi proses dan hasil-hasilnya sama sekali tak terurus. Jangan sampai terjadi, dunia persekolahan kita hanya menjadi ladang “kelinci percobaan” yang pada akhirnya hanya akan melahirkan generasi-generasi “setengah jadi” yang gagap menyelesaikan persoalan-persoalan riil yang sedang dihadapinya.

Yang tidak kalah penting, implementasi kurikulum harus diimbangi dengan intensifnya peran pendidikan dalam lingkungan keluarga. Berbagai kajian empiris membuktikan bahwa peranan keluarga dan orang tua memiliki pengaruh yang signifikan terhadap prestasi belajar anak. Hal ini penting dikemukakan, sebab globalisasi, disadari atau tidak, telah membawa perubahan dan pergeseran gaya hidup dalam lingkungan keluarga. Kuatnya gerusan gaya hidup konsumtif, materialistis, dan hedonis ke dalam ruang keluarga seringkali menimbulkan dampak memudarnya komunikasi antaranggota keluarga. Orang tua sibuk di luar rumah, sedangkan anak-anak yang luput mendapatkan perhatian dan kasih sayang seringkali menghabiskan waktunya dengan cara yang sesuai dengan naluri agresivitas mereka sendiri.

Dalam upaya menghadapi “penjajahan” kultur yang dominan sebagai imbas globalisasi, keluarga harus menjadi “barikade” yang mampu menciptakan “imunisasi” terhadap anasir-anasir negatif. Anak-anak tetap berperan aktif dalam lingkungan global, tetapi pendidikan dalam keluarga memberinya kekebalan terhadap pengaruh-pengaruh negatif dari globalisasi. Dengan kata lain, dari ranah keluarga anak-anak bangsa negeri ini perlu diarahkan secara optimal untuk meraih manfaat dan nilai positif dari segala macam bentuk pengaruh globalisasi yang demikian liar membombardir keutuhan keluarga.

Sudah terlalu lama bangsa kita merindukan lahirnya generasi bangsa yang “utuh dan paripurna”; berimtak tinggi, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Hanya potret generasi semacam ini yang akan mampu membawa bangsa ini menjadi terhormat dan bermartabat sekaligus sanggup bersaing di tengah kancah peradaban global yang demikian kompetitif. Nah, apakah perubahan kurikulum mampu menjadi momentum bangkitnya kemajuan dunia pendidikan dan peradaban bangsa kita? Agaknya, kita harus sabar menunggu, yak! ***

No Comments

  1. Wah… Saya baru saja mau membuat tulisan tentang kurikulum. Eh, sudah keduluan Pak Sawali… 😀

    Saya cenderung setuju dengan pendapat yang menyatakan bahwa rendahnya tingkat kesuksesan kurikulum itu karena penerimaan dan pemahaman para guru dan dinas di daerah tentang kurikulum itu sendiri. Trus, kira-kira, apa yang dapat dilakukan pada 2008 nanti agar kurikulum itu benar-benar dipahami dan tidak lagi terjadi KTSP yang seragam seperti yang sekarang terjadi itu ya, Pak? 🙄

  2. *mode IMHO: on*
    Perubahan kurikulum sebenar-nya ber-tujuan baik untuk meningkat-kan mutu, tapi perencanaa dan proses-nya juga harus sejalan, infrastruktur, peralatan, target waktu, juga hal-hal yang tidak bisa di-tiada-kan pada proses pen-capai-an ini Pak Guru.

    Jadi, kalau semua itu sudah siap, seperti-nya baru semua-nya akan ber-jalan dengan seharus-nya. Dan yang ter-penting adalah optimisme dari semua faktor dan lapisan yang juga di-perkuat sehingga kita tidak ber-kutat hanya pada ke-pesimis-an belaka 😉

  3. Perubahan kurikulum sebenar-nya ber-tujuan baik untuk meningkat-kan mutu, tapi perencanaa dan proses-nya juga harus sejalan, infrastruktur, peralatan, target waktu, juga hal-hal yang tidak bisa di-tiada-kan pada proses pen-capai-an ini Pak Guru.

    Saya setuju dengan yang ini. Cuma problemnya rentang waktu perubahan kurikulum sekarang ini terlalu cepat dan guru harus cepat tanggap dalam menghadapinya agar tidak gugup. Jika guru siap benar, murid pun bisa. Tapi yang terpenting tetap sinkronisasi guru-murid.

    Aih, ganti menteri ganti lagi kurikulum.. Capeeee…. 🙁

  4. Ketika “lonceng” KTSP dipukul, idealnya semua “properti” dan sumber daya manusia-nya sudah dalam kondisi siap. Sosialisasi harus lebih dini dilakukan. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Meski sudah diluncurkan oleh Menteri, masih banyak sekolah, lebih-lebih yang ada di daerah, yang masih simpang-siur dalam memahami KTSP. KTSP yang seharusnya berlangsung mulus seiring dengan kebijakan otonomi sekolah agaknya juga stagnan.

    saya sependapat *hayah ngikut ajah* memang perlu persiapan matang dan sosialisasi harusnya bisa merata dan diberikan sedetailnya sehingga “orang daerah” lebih memahami konsep yang diterapkan.
    ada pendapat”ganti menteri pasti ganti kurikulum” 🙁

  5. liat gambar diatas jadi inget waktu jaman dulu, koar2 di depan siswa dan para guru saat upacara 17an…. :mrgreen:
    “kepada sang merah putih, hormat……….grakkk!” :mrgreen:
    *OOT*

  6. KTSP…? Kurikulumnya Tutup Saja Pak…!! *maksa niihhh* hihi, atau Kurikulumnya Tidak Sesuai Pak…!!…hehe.

    Angkatan saya barangkali korban perubahan kurikulum terbanyak deh kayaknya 🙁

  7. Menyikapi ini,

    Pertama, pusat harus mematangkan dulu konsepnya, agar bawah tidak amburadul menerimanya. Ketidakmatangan konsep tercium dari perubahan-perubahan yang terkesan dipaksakan dari KSPBK menjadi KBK lantas KTSP adalah bentuk tidak matangnya konsep para pengambil kebijakan. Kemudian infrastruktur yang tak merata memang menjadi kendala tersendiri bagi pusat. dan saya kira, salah satu pemicu KTSP adalah masalah perbedaan infratruktur yang mencolok ini

    Kedua, tak dapat dipungkiri, ketidakmerataan SDM guru menjadikan penerimaan KTSP menjadi demikian berbeda, bahkan ekstrim. Maaf, kepada bapak/ibu yang menjelang pensiun dan enggan meng-upgrade diri, mereka masih menggunakan paradigma dan budaya lama dalam pengajaran. Contoh KTSP dari BSNP sebagai acuan minimal dalam pengembangan kurikulum sekolah, langsung dikopi habis2an tanpa ada perubahan dan pengembangan berdasarkan kondisi sekolah. Sebagian malah menganggap, mengubah apa yang ditetapkan oleh pusat adalah keharaman. Saya jadi menghela napas panjang. La, wong sekolah2 swasta berstandar internasional itu aja hanya mengadopsi KTSp hanya sekitar 30%-70%, selebihnya ada yang mengadopsi kurikulum amerika, inggris, al-azhar mesir dlsb. Terus terang, saya sendiri sudah tidak punya waktu untuk mengurus tetek bengek mengajar, seperti silabus, rpp dst. Saya lebih disibukkan urusan pengembangan sekolah dan mencari jalan alternatif memajukan anak didik saya dengan cara saya sendiri. Maaf, saya terlalu capek dengan mereka yang enggan meng-upgrade diri dan masih konservatif dalam mengajar. Prinsipnya, sing penting ngajar.

    Ketiga, saya pribadi sebenarnya sepakat dengan KTSP, kurikulum yang diharapkan membumi sesuai keadaan sekolah, sesuai harapan masyarakat sekitarnya, sesuai dengan kebutuhan daerah. Hanya saja, paradigma berfikir kita yang masih lama, belum mau diajak berubah dan enggan mengembangkan kreatifitas karena melawan sing mbaurekso.

    hehehehehehe..

    Terakhir, dalam kegamangan saya hanya bisa berdo’a dan berupaya sebisa saya. Semoga Kualitas pendidikan Indonesia semakin membaik.

  8. OOT sebentar
    Quo Vadis itu apa pak??
    *deuh malu karena nda’ ngerti* 😳
    _________________________________
    Apakah memang kita ini senang dengan mencoba-coba ya pak??
    karena sadar atau tidak, bukankah mengganti-ganti kurikulum itu juga merupakan suatu bentuk percobaan-percobaan??
    semoga semua menjadi lebih baik, dengan percobaan-percobaan itu
    *parengg*

  9. ass.
    wah telat lagi komennya.

    saya berpendapat *dg sudut pandang seorang pelajar yang awam*

    sebenarnya apa yang membuat pemerintah mengganti kurikulum sampai 7 kali??
    saya rasa apapun bentuk kurikulumnya dan seperti apa kurikulum penggantinya jika prosesnya kurang baik ya…. tetap saja hasilnya pun tak akan baik.
    seperti halnya kita membuat kue, walaupun kita sudah rencanakan dan siapkan semua bahan2 dan apa yang diperlukan tetapi kita tidak tau bagaimana proses menuju hasil kue yang memuaskan itu tetap saja kita tak akan dapat hasil sesuai keinginan walaupun di hari lain kita mengganti bahannya yang lebih berkualitas.

    jadi intinya apapun kurikulumnya *kualitas bahan* jika kita tidak tahu bagaimana proses menuju hasil yang diharapkan , maka tak akan pernah pendidikan di indonesia sesuai harapan.

    hehe… sok tahu ya??? maf

    pak efek saljunya bagus, ajari blh kan??hehehe…

    wss

  10. Apa pun kurikulumnya, bagaimanapun bagusnya, betapapun canggihnya, minumannya (e … maaf) ‘the man behind teh gunnya’ tetap guru. Selama guru tidak mampu ‘menerjemahkan’ kurikulum —apa saja— mengkerasi, memaknai dalam tataran kondisi obyektif kelas … berani taruhan, tidak akan membawa dampak positif apa pun terhadap perbaikan kualitas.

    Kalau sebelum suatu kurikulum diaplikasikan … perangkatnya, sarana dan parasarana, buku penunjang, guru disiapkan —bukan ditatar ala proyek—- secara matang, lalu diaplikasi, Insya Allah ada dampaknya.

    Dalam perubahan, atau penyempurnaan kurikulum, selama guru hanya sebagai obyek, dan mereka mau, selama itu pula perubahan apa saja hampir tidak ada gunanya. Guru bukan obyek, tetapi sewajibnya, subyek?

    Kapan kita punya guru yang mampu jadi subyek? Yang tidak hanya sebagai ‘pelaksana’ maunya orang-orang tertentu (pemerintah, BNSP?), guru yang ‘punya otot’? Hal itu yang harus dijawab.

    Anjuran saya, mari kita para guru berbenah diri, mau belajar dan membelajarkan diri, memotivasi diri, dan … bersama-sama meningkatka kemampuan kolektif. Saya sungguh bosan dengan guru yang mengeluh ini-itu, tapi tidak menyiapkan diri.

    Ingat, yang namanya birokrasi (birokrat) pendidikan adalah ‘pelayan’ agar PBM berjalan mulus, bukan sebagai atasan yang apa maunya diikuti. Kita perlu guru ‘berotot’, kuat di pikiran, mumpuni di ilmu, berkepribadian tangguh, membaca hal-hal terbaru, mampu menegosiasikan kepentingan pendidikan.

    Maaf, tidak ada profesi (mungkin di dunia) yang beranggota sebanyak asosiasi guru —setara penduduk Singapura. Partai-partai politik kalah jauh dari komunitas guru. Cerdik cendekianya guru, dari sarjana, Master, sampai Doktor sangat banya. gak bakalan bisa ditandigi partai politik manapun, profesi apapun, dan organisasi siapa pun. Pertanyaanya: Apa yang dilakukan selama ini? Jawablah di batin sendiri-sendiri wahai para guru.

    Era mengeluh sudah lewat, kini saatnya berbenah diri, berjuang dalam arti sesungguhnya. Sanggupkan? Hanya para guru yang bisa menjawab.

  11. Hmmm setiap kali ganti kurikulum heboh gini ya pak?? :mrgreen:
    Tiap kali ganti kurikulum, kalau konsepnya bagus, di lapangan penerapannya belum tentu mulus, kalau konsepnya berantakan ya jangan harap deh di lapangannya jadi mulus, kalau di negeri ini.
    Ya udah, daripada bingung menegakkan benang kusut yang ngga bakalan lurus2, gampangnya kita mikirin pendidikan anak2 kita aja masing2! Mulai mikirin gimana agar anak kita berkualitas secara intelektual dan moral. Ya, gitu aja! Abis mau bagaimana lagi?? Kalau kita tidak bisa meluruskan benang kusut pendidikan, ya kitanya terpaksa cari jalan keluar sendiri agar bisa lolos dari itu yang namanya benang kusut. 😀

  12. Implementasi kurikulum dalam dunia pendidikan kita harus dibarengi perubahan sistem pembelajaran dengan memberikan ruang gerak kepada siswa didik untuk mengembangkan potensi dirinya. Anak-anak negeri ini perlu memiliki basis kekuatan spiritual, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang andal agar tidak sekadar menjadi “kacung” dan “tukang”, tetapi juga menjadi enterprenur-enterprenur sejati yang siap menghadapi tantangan di tengah peradaban global

    Setuju Pak. Sehingga bisa berjalan beriringan antara IMTAQ & IPTEK dan tidak hanya menonjolkan salah satunya ataupun mengambil yg satu lalu meninggalkan yg lainnya 😉

    Wassalam

  13. Kalo kurikulum berbasis kompetensi itu, apa sudah dibuang? Terakhir saya ikutan pelatihan yang itu. Kalo di Universitas tempat saya belajar sekarang, malah dikasih nama yang aneh lagi, outcome based education. Namanya aja yang beda, tapi isinya sama aja, apalagi pelaksanaannya juga tetep seperti belum diperkenalkan kurikulum apapun.
    So jangan-jangan, kurikulum baru adalah proyek baru untuk memberi nama baru bagi isi yang lama. Macam sepeda motor honda gitulah, mesinnya sama dikasih strip moderen versi terbaru.

  14. @ suandana:
    Pak adit nulis lagi ttg kurikulum nggak apa2 kok, hehehehe 😆 makin banyak yang menulis makin bagus, pak. agar kurikulum berjalan mulus saya kira praktisi pendidikan yang berkaitan langsung dg kurikulum hrs paham substansinya. jangan setengah2 *halah sok tahu yak*

    @ extremusmilitis:
    sepakat Bung Militis. semua pihak harus optimis. meski demikian jangan alergi kritik, yak.

    @ rozenesia:
    emang bener mas Roze. guru belum pada siap tetapi sk sdh diluncurkan. walah, banyak guru yang gagap. bikin silabus saja meti harus kopi psate :mrgreen:

    @ abee:
    hahaha 😆 mas abee akan merasakan sendiri kelak betapa repotnya seorang guru ketika kurikulum diganti secara tiba2, hehehehe :mrgreen:

    @ Donny Reza:
    Waduh, plesetannya bertambah dong mas reza, hehehe 😆 dapat tambahan lagi nih: “Kurikulumnya Tutup Saja Pak…!!” dan “Kurikulumnya Tidak Sesuai Pak”. ada2 saja, hehehehe 😀

    @ Gempur:
    sepakat banget apa yang dinyatakan Pak Gempur. saya pun juga bersikap begitu, pak. KTSP lebih kontekstual dg kondisi sekolah dan budaya masyarakat setempat. moga2 ke depan implementasinya menjadi lebih baik, ya, Pak.

    @ goop:
    walah, pura2 nggak tahu nih, mas goop. itu seperti ketika mas goop bawa laptop ditanya orang: “mau dibawa ke mana tuh laptopnya? getuh *hayah*
    ttg perubahan kurikulum, sebelum dilaksanakan mestinya juga diujicobakan terlebih dahulu sehingga mendapatkan masukan yang lebih baik.

    @ djagung:
    mas djagung nggak telat dan nggak sok tahu kok. emang begitulah seharusnya, mas. proses pelaksanaan kurikulum yang akan lebih menentukan sehebat apa pun kemasannya. karena itu, roh kurikulum sebenarnya tereletak pada proses pembelajarannya.

    @ Ersis W. Abbas:
    sepakat banget pak ersis, guru tidak perlu lagi banyak mengeluh, hehehehe 😆 setiap guru hrs siap utk melakukan perubahan. salut nih buat pak ersis yang tak henti2nya memotivasi guru utk beraksi secara nyata.

    @ Yari NK:
    emang bener Bung Yari. persoalan kuriukulum sering muter2, tak jauh beda seperti benang kusut alias benang basah. karena itu perlu diurai agar tdk lagi menjadi kusut. butuh keterlibatan semua komponen bangsa secara kolektif utk bersama membenahi dunia pendidikan.

    @ Fakhrurrozy:
    ok, mas rozy trims, yak. semoga generasi bangsa di masa depan bener2 seperti yang diharapkan, menjadi generasi yang utuh dan paripurna.

  15. Hmm… berat nich. Iya, 7 kali ganti tapi ga kelihatan hasilnya… malah menurun. Yang penting memang tenaga operasional nya ya pak…

    Tenaga operasionalnya hasil pendidikan yang dulu soalnya. Susah memang langsung menyesuaikan diri ke sistem baru

    Rumit pak memang… Dan lagi gaji guru kecil + perubahan yang terlalu sering secara tidak langsung bisa bikin malas juga pak.

  16. Itulah masalahnya, Pak… Banyak praktisi pendidikan yang justru tidak memahami sepenuhnya substansi dari perubahan kurikulum (dan berbagai kebijakan lainnya sih… 🙄 ). Di tempat saya juga terjadi hal seperti yang disampaikan Pak Gempur. Penggunaan 100% acuan BSNP. Dan, semua wajib mengikuti.

    Hmm… Kalau pulang nanti, mungkin saya harus mencoba melakukan seperti yang dilakukan Pak Gempur ya? Walaupun agak berat juga sih… 🙄

  17. @ Ersis WA: Sepenuhnya sepakat dengan pak Ersis, sepatutunya guru berhenti mengeluh, maaf kalo saya sering mengeluh pak Ersis.. hehehehehe.. dan harus berbenah diri dan memperbaiki kualitas diri..

    @ Sawali: mari kita cari rumusan paling manjur dan ampuh untuk daerah kita msaing2, pak! Stop mengeluh tapi jangan berhenti melakukan otokritik, jelas beda substansinya.. hehehe.. semangat otokritik bapak yang saya kagumi.. sekaligus solusi yang mencerahkan.. thanks pak!

    @ Suandana: Gak perlu begitu, Pak! hehehehe.. melawan arus itu namanya… Tapiii, asyik lho pak mencipakan arus kita sendiri.. hahahahahahaha… maaf, pak! gak bermaksud ngompor2i… Namun yang jelas resiko agak berat, dulu saya seringkali dikata-katai oleh guru2 senior bahwa saya guru muda yang kebablasan lah, kurang ajar lah, masih bau kencur sudah berlagak lah! hehehehe.. untungnya, sekarang perlakuan itu mulai luntur karena beberapa prestasi murid saya yang mengharumkan nama baik sekolah di tengah kekeringan presstasi dalam dasawarsa terakhir.. hhmmm.. saya hanya menjawab dengan aksi dan prestasi.. mudah-mudahan di tahun depan konsistensi aksi dan peraihan prestasi itu terjaga dan terus berkembang… aminnnn.. doakan ya pak!

  18. Saya setuju dengan pendapat pak Ersis WA. Faktor guru (pelaksana) lebih menentukan secara signifikan ktimbang kurikulum (konsep2) yg selangit dan tidak stabil lagi.

    Sama dengan negeri kita yg punya konsep kenegaraan yang selangit (Pancasila + uud 45), tapi kalo penerapannya cuma diujung bibir ya gak guna …

    Biarlah konsep2 nya biasa2 dan sederhana saja, tapi pelaksananya, atau kontrol di tahap implementasinya, OK punya, ini lebih mengarah ke perbaikan.

    —————————
    Gur memang harus berani berbenah dan mencoba berbagai strategi demi kemajuan siswa nya …
    Maka, mereka layak [lebih] diperhatikan. 🙂

  19. @ za:
    ok, makasih, salam kenal mas za, yak. salam ngeblog.

    @ akafuji:
    oh, berkaitan dengan gaji guru, ya, Bu. tapi kalo niatnya emang dah mau jadi guru *halah* beban berat akan jadi ringan, loh. bener nggak, bu, hehehehe 😆

    @ Gyl:
    bisa jdi bener, mas Gyil. butuh kerja kolektif untuk melakukan perubahan. jangan sampai perubahan hanya retorika belaka. harus ada aksi nyata utk mewujudkannya.

    @ suandana:
    hal itu bisa terjadi karena guru belum banyak yang paham. kenapa? karena memang tidak diperkenalkan dg konsep dan pemahaman kurikulum yg baru secara benar. pemerintah sih inginnya serba instan. padahal, jumlah guru di indonesia kan banyak sekali dan beragam kompetensinya. yak, ide2 pak gempur yang inovatif memang layak utk kita pakai, pak adit.

    @ gempur:
    hahahaha 😆 itulah risikonya jadi guru di tengah2 kultur pendidikan kita yang status quo, pak gempur. ketika kita ingin melakukan sebuah perubahan dan melakukan inovasi, banyak temen kita sendiri yg belum siap menerimanya. ironis, yak.

    @ Herianto:
    bener, pak heri. saya juga sepakat. faktor pelaksana kurikulum (guru) menjadi penentu berhasil atau tidaknya tujuan pendidikan itu tercapai. makasih juga trackbacknya, pak.
    walah, pak heri jadi ikut2an hetrik nih, hehehehe 😆

  20. KTSP benar2 membuat guru teman saya itu kelimpungan dibuatnya. Saya memiliki teman2 begitu sibuknya dan waktu dhabiskan untuk membuat prosedur2 adminsitrasi. Padahal ngajarnya begitu singkat tapi sekenarionya begitu panjang. Persis seperti adegan film satu scene tapi skenarionya berlembar-lembar…

    Namanya juga bikin film pak jadi pendidikan yang tergolong rendah diantara 128 negara itu wajar lah. Namun dibalik itu semua, rakyat Indonesia berharap banyak pada dunia pendidikan agar lahir sebuah sistem yang bisa mengantarkan generasi muda Indonesia yang tranpil, pragmatis, ideologis dan kreatif.. ya gak usah jauh2 deh, seperti pak Sawali ini.

  21. Jadi ingat zaman dulu…kalau aljabar pasti bukunya CJ Adler (tulisannya lupa)…jadi buku bisa dipake turun temurun. Ini menguntungkan orang-orang kayak saya, yang hidup pas2an…bayangkan zaman sekarang bukunya ganti melulu.

    Saat saya mahasiswa, buku-buku dalam bahasa Inggris, tiap mahasiswa diberi satu, jadi nggak rebutan di perpustakaan. Sekarang, karena mahasiswanya banyak, terpaksa harus fotokopi karena tak cukup lagi…..

    Rasanya setiap kali ganti kurikulum ya…maksudnya sih baik, tapi banyak pengajar yang tak sempat mendalami, dan menjadi perdebatan tersendiri di kelas kalau muridnya pinter-pinter (saat anak sulungku SMA, berkali-kali saya dapat panggilan kesekolah, gara-gara anakku suka mendebat….)

  22. @ edratna:
    wah, bener sekali tuh, bu. setiap kali ganti kurikulum pasti ganti buku. jelas merepotkan semua pihak, termasuk penulis buku, di antaranya saya, hehehehe 😆 buku belum habis dipasarkan mesti nulis buku model kurikulum yang baru.

  23. Pak Guru Sawali, sungguh lho, saya tidak melihat “Kurikulum Kate Siape” ini adalah kurikulum baru. Model baru yang punya “sesuatu” yang bisa dijual. Kurikulum ini hanyalah melanjutkan “Kurikukum Banyak Keliru” yang tidak pernah disahkan oleh Mendiknas sebelumnya. Lebih karena faktor kekuasaan pindah ke Pak Bambang Sudibyo maka diganti namanya menjadi KTSP.
    Kurikulum ini juga dalam perjalanan adalah Kurikulum yang proses sosialisasinya paling amburadul, main pukul rata, tembak langsung tanpa memperhatikan pentahapan proses yang sebenarnya sudah tersusun rapih oleh Mendiknas sebelum beliau ini.
    Yang paling tampak berubah adalah format rapor (eh itu sih sudah dimulai dari KBK kan).
    Karena esensinya penggantian nama saja dari KBK ke KTSP maka pengaruh perubahan nama dan keterburu-buruan ini mengakibatkan kerugian besar sekali baik dari segi anggaran. Salah satu contohnya, dana ratusan milyar untuk pembelian buku yang ditetapkan oleh BNSP adalah buku KBK (periode 2005-2006) sedangkan sekolah suka-suka menetapkan pemakaian KTSP di seluruh kelas (kelas 1-12) dengan buku bernama KTSP. Banyak sekolah dan guru berpendapat ganti kurikulum harus juga ganti buku (karena sering urutan materi berganti atau pindah ke materi ke kelas lain). UAN juga main pukul rata, akibatnya jeblok di banyak sekolah. Akhirnya, standar mutu diturunkan.
    Turunnya peringkat Indonesia adalah wajar karena memang implementasi sistem berorientasi kekuasaan.

    Mungkin yang paling baik nantinya perlu ganti ke KCP.
    Kurikulum Cape Deh….

    Eh maaf komen kok sinis ya Pak…. Kesel dan marah seeh, ratusan milyar dana BGB banyak tersia-sia karena ganti nama untuk sesuatu yang esensinya sama saja……

  24. aku mau komentar juga ah tentang kurikulum, sebenarnya intinya adalah pada kita sendiri punya niat ga untuk memajukan negara ini. nah kalo uda gitu gampang aja bikin da kurikulum yang simpel dan dapat di mengerti oleh semua pihak dan jangan banyak teori tapi banyak pengaplikasian dilapangan denagan membuat penelitian dan experimen pasti de negeri ini maju.

Tinggalkan Balasan ke Herianto Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *