Kesetiakawanan Sosial dan Pengorbanan Ismail

Hampir saja lupa kalau tanggal 20 Desember telah ditetapkan sebagai Hari Kesetiakawanan Sosial. Sebuah momen penting yang diabadikan berdasarkan peristiwa bersejarah ketika terjalin kemanunggalan TNI dan rakyat persis sehari setelah agresi militer Belanda, 19 Desember 1948. Kekuatan sipil dan militer “berkolaborasi” ke dalam sebuah aksi patriorik yang terus menjalar dari kampung ke kampung, hingga akhirnya mampu mengenyahkan kekuatan kaum kolonial. Rakyat memberikan apa saja yang mereka punya untuk mendukung militer. Rakyat dari semua golongan turut bertempur, menolong, dan merawat para prajurit yang terbunuh maupun terluka. Sementara itu, kaum militer dengan amat sadar membangun dan mengawal kesetiaan nurani untuk selalu dekat dan mengayomi rakyat.

59 tahun sudah momen historis itu berlalu. Ibu pertiwi telah melahirkan anak-anak bangsa dari generasi ke generasi. Peristiwa demi peristiwa pun terus bergulir membentuk mozaik kehidupan. Seiring dengan itu, masyarakat kita yang dulu begitu kuyup dengan nilai-nilai kesetiakawanan sosial, disadari atau tidak, makin abai, bahkan cenderung cuek terhadap nilai-nilai komunal. Serbuan egoisme dinilai telah menghanguskan kebersamaan dan kesetiaan dalam menjalin komunitas. Bagaimana tidak? Tahu kalau negeri ini masih dihuni oleh jutaan rakyat yang dililit kemelaratan, masih ada juga oknum yang tega menilap Raskin (Beras untuk Rakyat Miskin). Tahu kalau para korban bencana alam amat butuh uluran tangan, ketika bantuan datang, eh, diembat juga. *Aduh!*

Masih adakah ruang dan space di negeri ini bagi nilai-nilai kesetiakawanan sosial untuk bersemayam? Masih bergetarkah gendang nurani kita saat melihat saudara-saudara kita yang terpaksa harus mengais sisa-sisa nasi di tong sampah karena tikaman nasib?

*Refleksi mode on*

(Saya sangat berterima kasih kepada sahabat saya yang sangat saya hormati, * tetapi maaf tidak perlu saya kemukakan identitasnya, yang telah berkenan menegur kebiasaan makan saya yang jelek yang masih suka menyisakan nasi di piring. Bener-bener saya terharu. Merinding. Saat itu juga, dalam layar memori saya berkelebat jutaan petani yang bermandi keringat dibakar terik matahari untuk “menghidupi” perut kita. Juga saudara-saudara kita yang tak henti-hentinya mengais sisa-sisa nasi di tong-tong sampah. Pengalaman itu saya ceritakan kepada istri dan ketiga anak saya, juga saya tularkan kepada murid-murid saya. Saya lihat mata mereka memerah, menahan rasa haru. Betapa teguran sahabat saya itu telah mampu membuka mata hati saya, keluarga saya, dan mungkin juga murid-murid saya untuk selanjutnya kelak saya berharap mereka menuturkannya juga kepada anak cucu.)

*Refleksi mode off*

Masih berpura-pura tidak tahukah kita ketika banyak saudara kita yang harus berbulan-bulan mengungsi lantaran tempat huniannya ditenggelamkan oleh lumpur Lapindo? Masih tegakah kita mengeluarkan janji-janji untuk memenuhi uang ganti rugi, sementara kita dengan seenaknya memarkir uang di bank demi kita tilap bunga dan buahnya?

Sementara itu, pada tanggal yang sama, 20 Desember 2007, kita juga diingatkan kisah pengorbanan Ismail yang telah memfosil dan menyejarah dalam benak kita yang kemudian diabadikan sebagai Hari Raya Qurban.

Meminjam tulisan Swastioko Budhi Suryanto, dalam Surat Ash Shaffat ayat 104-107 dijelaskan bahwa ibadah qurban berawal dari sebuah mimpi Nabi Ibrahim Alaihi Salam yang menggambarkan dirinya menyembelih putra tercintanya, Ismail sebagai bentuk persembahan dan bukti cinta kepada Allah SWT. Ibrahim sangat cemas, tetapi sang putra justru sangat bersemangat dan ikhlas bersedia menjadi qurban untuk disembelih. Meski pada akhirnya Allah tidak memperkenankan pengorbanan manusia, dan Ismail diganti dengan seekor domba yang dibawa langsung oleh Malaikat Jibril.

Dalam pemahaman awam saya, jatuhnya momentum bersejarah dalam waktu yang bersamaan, bisa jadi sebagai “teguran” Sang Pencipta terhadap bangsa kita yang selama ini sudah telanjur asyik-masyuk dalam lingkaran hipokrisi, kepura-puraan, bahkan kebohongan. Kita sedemikian mudahnya berpura-pura miskin ketika beradu kening dengan seorang pengemis dan kaum dhuafa. Bahkan, jika perlu menghardiknya dengan umpatan-umpatan vulger. Sebaliknya, kita bisa dengan pongahnya berpura-pura kaya ketika menjalin relasi dengan orang-orang berkantong tebal. ***

—————————

Mohon maaf, saya sedang belajar menulis postingan pendek, kawan, tanpa sisipan image. Untuk selanjutnya, silakan menerjemahkan lebih lanjut tentang makna kesetiakawanan sosial dan pengorbanan Ismail ini sebagai bahan refleksi di hari Natal dan Tahun Baru 2008.

—————————

Selamat Hari Raya Idhul Adha 1428 H

Semoga semangat pengurbanan Ismail AS tetap bersemayam

dalam hati nurani kita untuk kembali merajut tali kesetiakawanan sosial

yang sempat terkoyak .

****

No Comments

  1. Renungan yang luar biasa ya, pak. Saya baru tahu tanggal 20 desember itu hari kesetiakawanan sosial. Iya, pak. Dunia ini aneh, lho, pak. Keluarin isi kantong untuk pengemis seribu perak rasanya beratt bangat. Tapi, untuk yang berduit itu malah di berii lebih. Semisalnya ketika lebaran, natal, atau perayaan apa mereka2 itu malah dikirimin parcel-parcel mahal.

    Wah, salam kenal tuk sahabat bapak tu, yach…wakakakakkakakakaka

  2. pak, salam sama temannya yang bicara soal sisa nasi dipiring itu ya. luar biasa. mungkin untuk mendapat sebutir nasi itulah sesungguhnya kita berjuang, bukan untuk sepiring, sebab sepiring adalah cerita yang datang kemudian. sekali salam buat dia…

  3. Waah kebagian di awal2 nih .. duh makasih kang Sawali atas teguran itu.. saya memang kebiasaan jelek kalau makan disisakan… tapi saya niatkan untuk ayam, semut, tikus dan kalau tidak ada itu semua saya hadiahkan untuk bakteri… betapa girangnya mereka mendapatkan nasi dll… tapi maaf itu ternyata salah yaa pak…

    kesetiakawanan itu memang luar biasa mampu melahirkan postingan pendek, ini pasti karena setia pada kawan2 yang pengen baca cepat dan ringkas… aduh kok saya pengen komen pendek malah ngaco… 🙂
    tapi saya tdiak sedang pura2 kaya atau miskin pak tapi saya sedang merasa menjadi orang yang ingin berkurban namun belum memperoleh kesempatan…

    selamat Idul Adha … bagi2 dagingnya pak. 🙂

  4. @ Hanna yang lagi bersemadi:
    Walah, vertamax, yak!
    Username-nya bikin merinding, Mbak, hehehehe 😆
    Itulah ironi yang sering terjadi di negeri ini, Mbak. Kepada kaum dhuafa kita bersikap sewenang-wenang, tetapi dg orang2 kaya malah kita sebaliknya. Emang bener aneh, Mbak! OK, Makasih Mbak Hanna, salamnya nanti kusampaikan, Mbak.

    @ sungai :
    Bener dan sepakat banget Bung pandapotan. OK, nanti salamnya kusampaikan. terima kasih.

    @ kurtubi :
    Walah, kata sahabat saya Mas Kurt, hehehe *sok tahu* kita nggak menghargai mereka yang sudah berjerih payah menanamnya, getu, hehehehe 😆
    Makanya, saya baru belajar bikin postingan pendek, tunjuk poin, getu, hehehehe 😆
    OK, selamat Idhul Adha juga Pak Ustadz. Dagingnya jangan lupa disate, Mas Kurt, hehehe 😆

  5. Seandainya nasi bisa ngomong, dia akan bilang
    “bro, tega nian dikau. susah-susah aku sampe sini, kau hanya memakanku setengahnya. Kau tau, aku datang jauh sekali. Bahkan terkadang melewati ribuan kilo.
    Kalau memang tak suka, kau pilihlah makanan lain. Jangan kau sisakan aku.

    Aku datang bersama, pergipun harus bersama. Tapi kau, membuat aku harus kehilangan kawanku. Coba periksa piringmu, lihat. masih ada kawanku tertinggal disana. Walaupun hanya satu butir, dia tetaplah kawanku, sahabatku.

    Tolong ajak dia bersamaku, kau telah buat dia sedih. Aku rela kau makan, asal kau habiskan aku dan kawan2ku. Ingatlah kawan! inilah kesetiakawanan itu. Suka duka ditanggung bersama. Mulai dari benih, kami tumbuh bersama, di tuai bersama, menjadi beras lalu kau memasak kami.

    Bukahkah sudah tugas kami melayanimu, memenui isi perutmu. Karena itu, jangan buat kami marah. Jika marah kami lebih suka berhenti produksi, memanggil kawan kami yg bernama hama untuk memakan kami. Biar kalian rasakan bagaimana rasanya lapar. Itu lebih baik dari pada ribut dg orang yg tidak menghargai kami. Itulah kami.

    Seharusnya kalian malu. Kalian banyak belajar dari filosofi kami, semakin berisi semakin menunduk. Tapi sama sekali tidak kalian gunakan. Hanya teorikah? Untuk kali ini aku maafkan kalian. Namun dg syarat. Makanlah daku hingga tuntas. Jangan tersisa lagi.”

    Selamat Hari Kesetiakawanan Sosial dan hari raya Idul Adha. 😀

  6. Kesetiakawanan sosial di masyarakat kita memang mulai memudar tetapi bukan berarti sudah tidak ada lagi lho. Pasalnya begini, problematika sosial yang terjadi sebenarnya secara langsung atau tidak langsung juga mempengaruhi masalah atau problematika pribadi. Contoh sederhananya saja: Seorang pengusaha yang kaya monyet raya, tentu dia juga harus memperhatikan kesejahteraan karyawannya kalau tidak, tentu akan terjadi turbulensi dalam usaha bisnisnya yang pada akhirnya juga akan membahayakan kelangsungan usahanya yang tentu juga pada akhirnya akan menjadi problematika masalah pribadinya. Kesetiakawanan sosial memang ada pada saatnya menurun namun nampaknya alam telah mengatur sedemikian rupa hingga kita tidak bisa benar2 meninggalkan kesetiakawanan sosial tersebut, karena kita pada dasarnya adalah makhluk sosial yang saling membutuhkan, dan itu juga terjadi di negara2 lain. 🙂

  7. @ benbego:
    Ungkapan2 Mas Riziq makin memperkuat pesan moral bahwa kita tidak sepantasnya bersikap sewenang-wenang terhadapa nasi. Ungkapan yang simpatik dan menyentuh keharuan.

    @ Hanna yang lagi hiatus:
    Walah, kayaknya lagi musimnya bloger pada hiatus nih, termasuk Mbak hanna, hehehehehe 😆 OK, makasih banget. Mbak.

    @ Hoek Soegirang:
    Sama2, mas Hoek, yak! Sayangnya, ontanya masih di padang pasir. Belum bisa nyembelih, nih. *tersindir malu*

    @ rozenesia:
    Makasih Mas Rioze. Sepakat banget. Semoga makin banyak kaum berkantong tebal yang peduli pada sesama.

    @ Yari NK:
    Bener, Bung Yari. Kayaknya memang ada pasang surutnya, yak, kesetiakawanan sosial itu. Tapi kok kayaknya sikap peduli terhadap sesama tidak akan membuat seorang pengusaha jatuh miskin :mrgreen: bahkan mungkin akan mendapatkan “blessing in disguise” *halah sok tahu*

  8. Selamat Idul Adha. Inti nilai terletak dari bagaimana kita memahami untuk diaplikasikan sesuai dengan … posisi dan kondisi. Istimewa HKSN kali ini, bertepatan dengan Hari Raya Qurban. Selamat berbagi.

  9. selamat idul adha juga ya pak, mo panjang ataupun pendek tetep aja postingan dari bapak dasyat2 huhuhuuh

    makasih juga sudah mau berbagi soal nasihat tentang nasinya.

  10. Selamat berlebaran..

    Sepatutnya, pengorbanan petani kita yang termarjinalkan semenjak revolusi hijau menjadikan setiap butir nasi yang kita makan tak tersisa.

    Juga semoga setiap yang kita makan menjadi berkah seperti anjuran pak kurtubi, dengan demikian keberkahan itu semoga kembali pada petani yang menjaga stabilitas hidup kita dan menjadikan mereka menjadi salah satu pemain kunci yang menentukan mainstream kebijakan.

    Mudah2an pengorbanan apapun yang kita lakukan, termasuk pulsa untuk nge-blog, menjadi berkah dalam kehidupan sebagai nilai lebih kita semua dalam mengampanyekan kebaikan dan kebajikan.

    Amin Allahumma Amin

  11. @ Ersis WA:
    Makasih Pak Ersis. Selamat Idul Adha juga, ya, Pak.

    @ bedh:
    Makasih, Mas Bedh. *Walah* jadi ge-er nih.

    @ sarah:
    Makasih Mbak Sarah. Mat Idul Adha juga, yak!

    @ gempur:
    Sepakat banget Pak Gempur. Semoga setiap tetesan keringat kita membawa berkah, bukan hanya untuk diri sendiri, melainkan juga untuk sesama. Amiin.

  12. Pertama, saya ingin menyampaikan SELAMAT HARI RAYA IDUL ADHA bagi yang merayakan.
    ****
    Tentang kesetiakawanan sosial …
    Ya saya hanya bisa berharap (dan semoga juga bisa menerapkan) tumbuh dan berkembangnya nilai2 kesetiakawanan sosial dalam kehidupan kita.

    Sayangnya … sekarang banyak sekali perceraian antara kesetiakawanan dan sosial. Dan sayangnya yang lebih berkembang adalah kesetiakawanan, bukan sosial-nya. Banyak sekali perbuatan2 “aneh” yang selalu dan terlalu mengatasnamakan kesetiakawanan. Sepertinya kesetiakawanan menjadi senjata yang ampuh untuk melakukan “legalisasi” banyak hal.

  13. Aku juga sedih dengan semakin hilang-nya Kesetiakawan di-antara kita bangsa yang besar ini, yang katanya bangsa yang ber-budaya dan ber-agama Pak Guru. 😐

    Btw, Met Idul Adha ya Pak Guru 😉

  14. Selamat idul adha…..

    Saya sangat berterima kasih kepada sahabat saya yang sangat saya hormati, * tetapi maaf tidak perlu saya kemukakan identitasnya, yang telah berkenan menegur kebiasaan makan saya yang jelek yang masih suka menyisakan nasi di piring.

    Pak kebiassaan makan kita sama…. hue hue…

    *jadi terharu juga*

  15. @ hanna:
    Oh, nggak jadi hiatus ya, Mbak, hehehehe 😆 OK, deh, ntar saya tak segera meluncur lihat PR-nya, hehehehe 😀

    @ alief:
    Makasih infonya, Cak Alief.

    @ aRuL:
    Makasih Mas aRul, semoga pengorbanan Ismail AS memberikan inspirasi kepada kita untuk peduli terhadap sesama secara nyata.

    @ deKing yang biasa2 saja:
    Makaasih, Pak deKing, semoga pengorbanan Ismail AS memberikan inspirasi kepada kita untuk peduli terhadap sesama secara nyata.
    Emang bener, fenomena semacam itu bener2 ada, Pak. Sayang, yak!

    @ Sayap KU:
    Ade pasti bisa! OK? Doaku selalu menyertaimu!

    @ sitijenang:
    Kayaknya bener Pak ungkapan bersayap dari Mas Kurt itu.

    @ Moerz:
    Bagi2 dong.

    @ extremusmilitis
    Sayang, ya, Bung Militis kalau bangsa yang beradab dan berbudaya akhirnya mesti tereduksi oleh kepentingan2 sempit dan sesaat.
    Makasih ucapannya, ya, Bung, semoga pengorbanan Ismail AS memberikan inspirasi kepada kita untuk peduli terhadap sesama secara nyata.

  16. @ bachtiar:
    OH, begitu yak. Makanya, saya berusaha untuk selalu ingat nasihat sahabatku itu. Juga untuk keluarga dan murid2 saya, hehehehe 😆

    @ anggara:
    Makasih Pak Anggara, semoga pengorbanan Ismail AS memberikan inspirasi kepada kita untuk peduli terhadap sesama secara nyata.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *