Perlukah Kontrol Bahasa di Ruang Publik?

Menurut rencana, RUU Bahasa akan disahkan pada tahun 2007. Namun, hingga saat ini tanda-tanda ke arah itu belum tampak. Bahkan, tahap sosialisasi kepada publik belum juga usai. Terkesan alot dan berbelit-belit. Padahal, RUU itu sudah disusun sejak awal 2006. Alotnya pengesahan UU Bahasa memang bisa dipahami. Berbahasa sangat erat kaitannya dengan kebebasan berekspresi. Kalau orang berbahasa mesti harus diatur segala oleh undang-undang, bisa “mati kutu”. Orang tak bisa lagi mengekspresikan pikiran dan perasaannya sesuai dengan gaya, kebiasaan, dan latar belakang kulturalnya.

Beberapa pasal dalam RUU yang terdiri dari 10 bab dan 22 pasal ini memang bisa ditafsirkan menghambat kreativitas publik dalam berbahasa, lebih-lebih bagi kalangan pers dan dunia usaha yang mendapatkan perhatian khusus dalam RUU ini. Bahkan, seorang pejabat pun bisa “kena batu”-nya. Dalam RUU yang dibuat oleh Pusat Bahasa Depdiknas ini –konon– disebutkan pula pasal-pasal tentang penggunaan bahasa, termasuk sanksi hukuman penjara dan denda yang akan diterima pihak yang dinilai telah melanggar peraturan dalam berbahasa.

Berikut ini adalah beberapa pasal dalam RUU Bahasa yang dinilai menjadi biang penyebab alotnya pengesahan UU Bahasa.

  • Pidato kenegaraan, termasuk naskah pidato, baik yang disampaikan di dalam negeri maupun di luar negeri, harus menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. (pasal 9 ayat 2)
  • Media massa, baik cetak maupun elektronik wajib menggunakan bahasa Indonesia. Demikian juga film, sinetron, dan produk multimedia dari negara lain harus dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia dalam bentuk sulih suara atau terjemahan. (pasal 11)
  • Merek dagang, iklan, nama perusahaan, nama bangunan/gedung, dan petunjuk penggunaan barang harus menggunakan bahasa Indonesia. (pasal 12)
  • Pejabat negara dan pejabat publik diwajibkan mempunyai kemahiran berbahasa Indonesia hingga tingkat tertentu. (pasal 13)

Menyikapi pasal-pasal dalam RUU Bahasa yang demikian krusial, reaksi yang keras justru muncul dari kalangan linguis. Jos Daniel Parera, mantan dosen IKIP Jakarta, misalnya, menilai RUU Bahasa dan Kebahasaan bisa membunuh kreativitas dan inovasi masyarakat dalam bahasa dan berbahasa. Bahasa dan berbahasa adalah fenomena alam. Oleh karena itu, tidak ada seorang manusia pun yang berhak mengatur bahasa dan orang berbahasa. Pakar linguistik yang selalu kritis terhadap keberadaan Pusat Bahasa ini justru mengusulkan agar Pusat Bahasa dibubarkan dan dibentuk satu lembaga bahasa yang bersifat independen.

Sainul Hermawan, pengajar Ilmu Budaya Dasar FKIP UNLAM, Banjarmasin, menilai bahwa UU Bahasa akan senasib dengan UU yang lain, seperti UU Kekerasan dalam Rumah Tangga yang berbenturan dengan kultur keluarga di Indonesia yang malu menceritakan aib dalam keluarga. Atau, juga tak jauh berbeda dengan nasib UU Lalu Lintas dan UU Hak Cipta yang tidak lebih dari sebuah pajangan. Yang bermain adalah tangan-tangan kekuasaan tunggal dan tradisi bungkam serta saling memanfaatkan.

Sementara itu, Ariel Heryanto, menyatakan kalau RUU Bahasa lebih didorong oleh keprihatinan atas jumlah dan cara pemakaian istilah-istilah Inggris secara obral dan serampangan, UU Bahasa agaknya bisa diterima sebagai perwujudan sikap nasionalis. Namun, kalau motifnya sebagai media “pengekangan” terhadap kebebasan seseorang dalam berekspresi, yak, tunggu dulu! Bisa jadi masih banyak pendapat lain yang tidak setuju apabila UU Bahasa disahkan. *Aduh, repot juga, nih!*

letstalk_graphic1.png Menyikapi berbagai reaksi yang muncul, guru Besar Linguistik Universitas Indonesia, Harimurti Kridalaksana, mengatakan, undang-undang bahasa nantinya hanya mengatur penggunaan bahasa dalam tingkat pemerintahan. Menurutnya, aturan bahasa di masyarakat tak akan berlaku efektif karena masyarakat bisa mengatur sendiri penggunaan bahasa dalam kehidupan sehari-hari. Namun, pernyataan ini berbeda dengan apa yang dikemukakan oleh Mustakim, Kepala Bidang Pembinaan Pusat Bahasa Depdiknas. Dia mengatakan bahwa nantinya akan ada sanksi bagi penggunaan bahasa asing di tempat umum dan sekolah standar internasional yang menggunaan bahasa asing sebagai bahasa pengantar. *Walah, makin repot dan mana nih pernyataan yang benar? 😆 *

Berbahasa sangat erat kaitannya dengan kebebasan seseorang dalam berekspresi. Ekspresi inheren dengan gaya dan kepribadian seseorang yang sangat personal sifatnya. Kalau kebebasan berekspresi yang bersifat personal itu lantas diatur dan dibatasi oleh UU, lantas di mana lagi hakikat manusia sebagai makhluk sosial mesti diposisikan? Bukankah (hampir) setiap ruang dan waktu kita butuh berkomunikasi dengan sesama? Berbahasa pun sangat erat kaitannya dengan kultur dan kebiasaan seseorang. Jangan-jangan, rakyat Indonesia nanti kehilangan sikap ramah dan cenderung menjadi pendiam setelah UU Bahasa disahkan. :mrgreen: Daripada terkena sanksi?

Okelah, kalau memang sikap nasionalisme kita akan lebih dipertajam lewat UU Bahasa. Agaknya anak-anak bangsa negeri ini memang perlu diingatkan bahwa sejarah kita telah mencatat bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional sejak 79 tahun yang silam. Kecintaan dan kebanggaan terhadap bahasa nasional perlu terus dibangkitkan dan dihidupkan dari generasi ke generasi. Meskipun demikian, tidak lantas berarti kita kehilangan kearifan dengan menghalang-halangi seseorang untuk bebas berekspresi dan bertutur sesuai dengan kultur mereka.

UU Bahasa agaknya akan lebih bermakna jika digunakan untuk mengatur hal-hal yang lebih khusus, seperti berbahasa di lingkungan formal, berbahasa di lingkungan elite pejabat, atau di tempat dan ruang tertentu yang bisa melunturkan kecintaan dan kebanggaan seseorang terhadap bahasa Indonesia apabila bertutur dengan bahasa “gado-gado”. Selebihnya, berikan kebebasan kepada siapa pun yang menjadi penghuni negeri ini untuk bertutur sesuai dengan kebiasaan dan kultur mereka masing-masing.

Kalau setiap berbahasa di ruang publik mesti dikontrol, lantas siapakah nanti yang akan menjadi pengawasnya? Kalau memang ada, siapkah mereka bertugas 24 jam non-stop untuk mengontrol dan mengawasi setiap tuturan yang meluncur di ruang publik?

Pengalaman selama rezim Orde Baru berkuasa menunjukkan, justru yang miskin memberikan keteladanan dalam berbahasa di ruang publik adalah para elite pejabat. Mereka yang seharusnya menjadi “patron” teladan bagi rakyat dalam berbahasa justru terkesan seenaknya dalam berbahasa. Ironisnya, hal itu ditiru dengan sikap latah oleh bawahannya sebagai bentuk penghormatan kepada atasan. Sebuah contoh sikap yang masih menggejala di tengah-tengah lingkungan masyarakat paternalistis.

Sebelum disahkan, sebaiknya RUU Bahasa dikaji lebih cermat. Jika perlu, lakukan uji publik dengan melibatkan berbagai komponen bangsa agar kelak UU Bahasa benar-benar menjadi milik bangsa. Nah, bagaimana? ***

AddThis Social Bookmark Button

40 Comments

  1. Betul pak, bahasa itu bukan hanya urusan aturan belaka.

    bahasa itu simbolisasi dari apa yang ada dalam benak masyarakat pengguna bahasa. dia bisa diatur tapi hanya dalam lingkup terbatas, dalam lingkup yg lebih luas itu namanya mematikan kreativitas bangsa ini dalam hal berbahasa.

    kita tidak bisa mengontrol pemakaian bahasa pada level aplikasi di arus bawah. Bahasa adalah ekspresi kreativitas.

    Saya kok jadi ingat dengan polemik bahas prokem, bahasa gaul, dan bahasa sehari-hari yang “katanya” adalah proses memiskinkan bahasa Indonesia. 🙂 Bahasa kok dimiskinkan ? Bahasa itu berkembang dan dinamis. dia tidak statis. Aturan-aturan dlm berbahasa itu diperlukan di berbagai keperluan saja, dan tidak bisa diterapkan di semua kalangan.

  2. Bahasa identik dengan budaya, dan budaya bukanlah sesuatu hal yang statis. Ia selalu mengalami interaksi dengan dunia luar, dan akan mengalami perubahan sesuai dengan kebutuhan komunikasi pemakainya. Bahasa bukan hanya soal rangkai merangkai kata, ia adalah seni berkomunikasi, seni mengolah rasa dan ekspresi. Ada hal yang lebih mengena disampaikan dalam bahasa Jawa, atau bahasa Inggris atau Arab, atau bahkan cukup dengan bahasa tubuh. Maka, sang pemakailah yang paling tahu bahasa yang dia butuhkan untuk menyampakan pesan secara tepat, baik arti secara linguistiknya, maupun makna rasa bahasa itu. Sementara, UU Bahasa tetap harus diperlukan dalam rangka menyeimbangkan antara komunikas formal dengan komunikasi informal, sehingga Bahasa Indonesia tetap bsa berkembang sesuai jamannya, dan bangasa kita terdorong untuk lebih bisa menggunakan bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi utama. Tetapi, bukanlah dalam wujud pemaksaan yang kaku, lebih kepada pemberian amar dan petunjuk tentang menggunakan dan menempatkan bahasa Indonesia secara proporsional.

    *Yang semakin prihatin atas merebaknya penggunaan bahasa asing yang seringkali dianggap lebih berkelas dibandingkan bahasa pribumi, serta semakin menghilangnya bahasa-bahasa ibu di bum Indonesia*

  3. niat untuk penggunaan bahasa indonesia yang baik dan benar memang bagus, tapi perlu ada tempat-tempat tertentu dimana bahasa itu akan digunakan.
    Untuk ruang lingkup kenegaraan dan pendidikan, bahasa dengan EYD sudah tentu wajib diterapkan. Tetapi untuk hal-hal yang bersifat sosial budaya, tentunya kontrol bahasa akan membuat kaku dan menghambat kreativitas. Ga’ akan mungkin kita akan nyaman nonton film atau bersosialisasi dengan menggunakan bahasa baku. Dengan bodohnya tiba-tiba saya ngomong sama tetangga saya dengan EYD *bisa2 ditimpuk pake sendal tetangga*.. hehehe

  4. Ha ha ha … sebagai acuan formal bagus saja, minimal ada UU-nya. Soal pelaksanaan dan penggunaannnya, apalagi sampai sanksi segala macam, nah … kita sudah terlalu paham ‘gaya’ bangsa ini, terutama para …

    Bahasa adalah ‘cermin’ bangsa, kaca diri. Sebagai pengungkapan berawal dari pola pikir, logika pagutan. Kalau ‘diri’ itu kurang beres, bahasanya juga ngak bagus. Apakah penggunaan bahasa perlu ‘polisi bahasa’? Itu lagu lama yang kembali didendangkan.

    Bahasa termasuk kategori tindak kreatif, wakil pemikiran. Misal, kalau mencipta ‘sesuatu’ orang akan ikut menggunakan. Begitulah kita terpaksa paham roket, nuklir, atau internet. Penerjemahan boleh, tetapi itu prilaku sekadar pengkiut.

    Artinya, kalau bahasa ingin diikuti, ya banyak mencipta. Remaja mencipta bahasa sendiri, dunia pergaulan, dunia bandit, blogger, punya gaya sendiri. Bahasa berkembang sesuai maunya pengguna.

    Dengan kata lain, untuk yang resmi OK. Negara memang sebaiknya mengaturnya dan menerapkan dalam keresmian, tapi dalam keseharian, ya terserah pengguna. Belajar sosiolinguistik jadi menarik.

    Soal pokok apungan Pak Swali, soal kontrol di ruang publik pantas dicoba. Tertib berbahasa itu kan penting. Tapi, jangan sampai bahasa menjadi kendala berkreatif. Bahasa adalah ungkapan diri, alat berkomunikasi.

    Bagaimana menurut Sampeyan?

  5. @ Pyrrho:
    Tepat sekali, Bung Fertob. Bahasa akan terus berkembang seiring dengan perkembangan masyarakatnya. Masyarakat penuturlah yang menjadi “pewaris” sah sebuah bahasa sebagai media komunikasi. Saya sependapat, Bung, kalau memang jadi disahkan, UU Bahasa hanya mengatur pemakaian bahasa pada konteks khusus.

    @ tobadreams:
    Ya, ya, ya, pendapat Bung Huta saya kira tepat sekali. Penguasa atau siapa pun tidak mungkin mampu mengontrol bahasa masyarakat penutur. Sejarah sudah membuktikan hal itu.

    @ Dee:
    Trims banget Mas Nudee. Pendapat Sampeyan semakin memperkuat pendapat bahwa kontrol bahasa di ruang publik akan sangat sulit diwujudkan karena berkaitan berbahasa sangat erat kaitannya dengan kultur atau budaya. Dus, ada yang merasa lebih komunikatif ketika berinteraksi dengan bahasa daerah atau mungkin dengan bahasa asing. UU Bahasa hanya diperlukan untuk mengatur hal2 yang bersifat formal.

    @ brainstorm:
    Tepat sekali, Mas, kalau kita bicara dengan tetangga atau teman akrab menggunakan ragam bahasa baku. Jelas, komunikasi jadi kaku dan menghambat suasana akrab.
    *Mungkin tak hanya ditimpuk sandal, sepatu pun bisa melayang 😆 *

  6. @ Ersis WA:
    Walah, setuju banget, Pak Ersis. Saat ini sudah bukan zamannya lagi diatur-atur dan dipaksa-paksa, hehehe :mrgreen: apalagi dalam hal berbahasa. Berbahasa sangat erat kaitannya dengan aksi kreatif seorang penutur dalam mengekspresikan gagasan, pikiran, dan perasaan. *Halah* kalau diatur harus begini harus begitu, bisa jadi kita justru jadi orang yang nggak pernah bisa jujur, Pak, hehehehe 😆 Mau ngomong begini takut salah, begitu takut salah. Blaik, jadi nggak jadi ngomong atuh, Pak. Selan itu, bahasa juga sangat erat kaitannya dengan kultur, situasi, dan konteks. Bahasa gaul kaum remaja tentu nggak bisa disamakan toh dengan bahasa para pejabat, hehehehe 😀 Soal bahasa baku memang perlu dipakai, tetapi sebatas pada situasi formal saja, termasuk ketika seorang pejabat menggelar acar tertentu yang bersifat seremonial. Yang repot itu nanti, seperti yang dikatakan Pak Ersis. Polisi bahasa atau dalam istilah RUU-nya Dewan Pengawas Bahasa. Siapa mereka nanti? Hehehehe 😆 OK, salam.

  7. Setuju dengan Pak Daniel… dan komen-komen dari semuanya… Sebaiknya UU Bahasa itu diberlakukan khusus untuk kalangan pemerintahan saja. Sebagai contoh berbahasa yang baik dan benar. Selama ini kan, memang mereka itu yang paling kacau penggunaan bahasanya… 🙁

    Kalau pemakaian bahasa di semua ruang publik diatur, wah… susah 🙁

  8. @ almascatie:
    Silakan Mas Almas. Makasih, absennya dah saya cheklist, kok, hehehehe 😆

    @ suandana:
    OK, makasih Pak Adit, pendapat Sampeyan makin memperkuat opini bahwa berbahasa di ruang publik tak harus diatur melalui UU Bahasa, kecuali kalau berlangsung dalam situasi formal.

  9. Ehm… hampir tidak bisa koment lagi nih, Pak.
    Mungkin tata terbit berbahasa itu diperlukan. Kalau tidak bisa-bisa bahasa Indonsia kita dilupakan begitu saja. Saya setuju dengan Pak Sawali bahwa UU bahasa lebih bermakna bila diterapkan dalam situasi
    atau lingkungan formal. Kadang bahasa itu bisa mengakrabkan dan menimbulkan rasa kekeluargaan. Kalau dalam kehidupan sehari-hari kita diwajibkan berbahasa secara formal, repot juga yach…

    Tapi, alangkah baiknya bila kita semua bisa lebih bangga dan mencintai bahasa kita sendiri yaitu bahasa Indonsia.

    Salam, Pak. Postingan menarik. Kadang saya sampai melonggo tidak bisa koment, he he he.

  10. @ Hanna:
    Walah, Mbak Hanna senangnya berlebihan nih. Postingan biasa2 aja kok. Ya, ya, Mbak. Kalau dalam situasi santai mesti harus dikontrol juga lewat UU, bisa2 penjara nggak muat, karena banyak pelanggar bahasa yang kena vonis di pengadilan. Repot juga 😆 Ok, salam kembali, Mbak. Makasih.

  11. UUD bahasa tetap perlu loh pak, seperti yang pak Sawali bilang itu untuk bahasa formal. Ini tidak ada kaitannya dengan maju tidaknya bahasa.

    Kalau bapak pernah dengar, di Arab Saudi, orang yang belajar bahasa Arab di sini, semahir apapaun nahu sorofnya (tatabahasa), maka di sana 100% tidak dipakai. Jusru yang dipakai adalah bahasa daerahnya sendiri (amiyah) sementara bahasa formalnya (fushoh) itu dikapai untuk jurnalis, akademik dan petinggi. Jadi so what gitu loh.

    Saya justru untuk memajukan bahasa, msyarakat justru digiatkan untuk menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa alternatif. kalaubisa diperbanyak, sehingga seperti Malay dan Filiphina, English itu menjadi bahasa yang digemari dan merekayang pergi ke LN tidak mengalami kendala.

    Yanga penting gunakanlah bahasa Indonesia dengan baik dan mendingan heheheh 🙂

  12. Saya belum baca ruu bahasa jadi belum bisa berkomentar terlalu banyak. Akan tetapi, kalau saya lihat kok semangatnya bukan untuk membunuh kreativitas. Saya memandang baik penertiban nama perusahaan, merek dagang, papan reklame, iklan dsb. Saya kira bagian itu tidak membunuh kreativitas. Apa ada pasal dalam ruu bahasa itu yang mengatui karya sastra, pak?

  13. UU Bahasa agaknya akan lebih bermakna jika digunakan untuk mengatur hal-hal yang lebih khusus, seperti berbahasa di lingkungan formal, berbahasa di lingkungan elite pejabat, atau di tempat dan ruang tertentu yang bisa melunturkan kecintaan dan kebanggaan seseorang terhadap bahasa Indonesia apabila bertutur dengan bahasa “gado-gado”. Selebihnya, berikan kebebasan kepada siapa pun yang menjadi penghuni negeri ini untuk bertutur sesuai dengan kebiasaan dan kultur mereka masing-masing

    Setuju Pak Sawali. Dan menurut saya, di lingkungan formal pun, jika terlalu di atur atau di awasi, malah akan menciptakan suasana yg kaku. Dan sebenarnya, rambu untuk berbahasa ini sudah di atur sejak belasan abad yg lalu oleh seorang Rasulullah, yakni Nabi Muhammad SAW dengan sabdanya “barangsiapa beriman pada Allah dan hari akhir, hendaklah berkata yg baik atau diam”. Jadi, silakan saja berekspresi dan berbahasa dgn gaya tutur yg diinginkan, asalkan tidak melanggar rambu tadi. (Bukankah kebebasan pun juga mempunyai rambu?) 😆

    Wassalam

  14. @ caplang™:
    Walah, kayaknya nggak sampai ngurusi blog tuh Bung Caplang. Kalau blog di WP kan dah ada “polisi”-nya sendiri. Mr. Matt? hehehehehe 😆

    @ kombor:
    Untuk karya sastra (dan tulisan pada umumnya) kayaknya nggak sampai diatur-atur, Kang Kombor. Yang dipersoalkan banyak kalangan, terutama pers, harus minta izin menteri jika menggunakan bahasa asing, kemudian juga berbahasa di tengah2 publik. Kalau sampai sejauh itu ya seperti dikatakan Pak Parera, bisa membunuh kreativitas berbahasa. Utk penertiban bahasa dunia usaha, kayaknya hanya kalangan pengusaha yang mempersoalkan.

  15. @ Rozy:
    Untuk berbahasa di lingkungan formal (dalam dunia pendidikan, misalnya) masih banyak pihak yang bisa memahaminya apabila UU Bahasa disahkan. Tujuannya agar siswa didik memiliki pemahaman dan sikap yang benar tentang aktivitas berbahasa. Tapi, kalau dipandang tidak perlu UU, saya kira juga nggak ada masalah. Yak, pendapat Mas Rozy makin memperkaya wacana RUU kebahasaan sebelum disahkan menjadi UU. OK, makasih.

  16. Wah kalau ini aku sangat – sangat setuju Pak Guru, meskipun kita juga tidak bisa memaksakan ke-baku-an suatu bahasa harus mengekang ke-absah-an atau keyakinan dari suatu ide yang mungkin tidak menuruti kaidah-kaidah yang ber-laku… 😉

  17. @ iphan:
    Walah, lha yaitu Mas Iphan, padahal masih banyak urusan penting yang masih harus diselesaikan, yak! Kok malah mau ngatur2 orang berbahasa, hehehehe 😆

    @ extremusmilitis:
    Ya, Mas Militus. Kita tunggu saja, nanti undang-undangnya. OK!

  18. Bahasa Indonesia kan sebetulnya ilmu, sama seperti ilmu-ilmu lain. Dia digunakan hanya kalau dibutuhkan.

    Tapi itu tetap bukan dalih bagi seorang WNI untuk tidak bisa berbahasa Indonesia. Sebagai WNI kita selayaknya bisa, tapi bukan berarti dimana-mana selalu berbicara “EYD Style”, nggak seru banget 😛

  19. membaca posting bapak ini membuat badan saya kaku, tangan saya lemas, hidung seperti tersumbat dan bayangan gambar di kepal seperti berputar-putar……saya tidak begitu mengerti apakah ini karena postingan bapaka ataukah disebabkan virus bahasa ini sudah menggerogoti saya huhuhuhuuh susah kali lah berbahasa dengan baik dan benar itu ternyata….oups titiknya kebanyakan.

    kalau nanti uu itu disahkan saya rasa saat itu adalah hari kiamat buat saya, mudah2an aja ada ratu adil yang muncul nanti membumi hanguskan uu tersebut. tapi kalau ratu adil gagal nanti saya tidak akan putus asa dulu karna saya akan melamar jadi patung ma pemerintah biar masih bs bicara walaupun udah nggak bisa ngomong huhuhuhuhu.

  20. Dia mengatakan bahwa nantinya akan ada sanksi bagi penggunaan bahasa asing di tempat umum dan sekolah standar internasional yang menggunaan bahasa asing sebagai bahasa pengantar.

    Waduh! Ini beneran nih? Wah…. saya siap2 terkena sangsi dong yah! :mrgreen: Kok UU-nya kekanak2an begitu sih??? Negara mana yg mengatur pelarangan bahasa asing di tempat umum???????? Wong Inggris aja yang bahasanya dipakai di seluruh dunia tidak pernah mengatakan bahasa Inggris adalah bahasa resmi di kerajaan Inggris di konstitusinya. Lha ini kok…. malah melarang bahasa asing di tempat umum! Jangan2 ini malah membuat bangsa ini menjadi semakin bodoh! :mrgreen:

    Ya udah deh…. saya nggak bisa berkomentar lebih jauh lagi…
    ** hanya bisa menggeleng2kan kepala**

  21. @ cK:
    Walah, kalau pidatonya dalam acara nonformal nggak apa-apa, Mbak, malah tampak akrab. Tapi, kalau suasananya formal kok malah kacau jadinya. :mrgreen:

    @ mardun:
    Betul sekali, Mas Mardun. Kalau “EYD Style” melulu yang dibawa ke mana-mana, bisa nggak komunikatif, bahkan kaku.

    @ bedh:
    Walah, bawa2 ratu adil segala, hehehehe 😆 Mudah2an saja bahasa sebagai salah media berekspresi secara pribadi dalam suasana nonformal tdak ikut2an dikontrol. Siapa pun orangnya, bukan hanya Mas Bedh, kalau ngomong dengan sesama teman atau nulis di blog, misalnya, kok ikut2an jadi sasaran, walah, bisa dipastikan banyak orang yang lebih senang jadi “patung”, hehehehe 😀

    @ Yari NK:
    Betul sekali Bung Yari. Bisa2 RUU ini kalau disahkan malah bikin bangsa kita makin setback. Dunia ilmu pengetahuan sulit berkembang karena ada kontrol dalam berbahasa asing, padahal sebagain besar ilmu pengetahuan bersumber dari sana. Ok, mudah2an para pengambil kebijakan masih memiliki kearifan untuk berpikir lebih jauh sebelum disahkan.

  22. nggak perlu, masak bahasa diundang-undangkan sih? lalu nanti ada sanksi pidananya lagi, kalau dah gitu penjara bakal penuh, apa polisi dan jaksa nggak ada kerjaan yang lebih serius selain mengatur soal bahasa?

  23. Menurut hemat saya,
    Rencana Undang-undang bahasa itu memang diperlukan,
    namun tentu penggunaannya harus dilakukan pada tempat dan waktu yang benar.
    Misalnya saja, dalam memberikan komentar di dalam blog ini, saya berusaha sedapat mungkin agar sesuai dengan EYD,
    namun tidak dapat saya pungkiri, tentu banyak sekali kesalahan, dan alih-alih menarik, malah menjadi aneh bukan??

    _______________________________________________
    RUU yang aneh dan membuat repot :mrgreen:

    *maaf Paman Sawal, semoga apa yang saya tulis termasuk sesuai dengan kaidah EYD, saya khawatir ditangkep, btw. itu yang mo nangkep udah dibikin blum?? :mrgreen: *

  24. @ GRaK:
    Agaknya bahasa gaul sudah ada yang melirik untuk mengamuskannya secara khusus menjadi bahasa gaul, Mas.

    @ anggara:
    Ya, ya, Pak Anggara. Masih ada perkara lain yang menumpuk di pengadilan. Kalau urusan berbahasa ada sanksi hukumnya juga, wah ini Pak Anggara pasti lebih banyak tahu nih dari sisi hukumnya, bisa2 hakim dan jaksa harus kerja 24 jam. :mrgreen:

    @ goop:
    Walah, bikin komen aja mesti pakai EYD, Mas Goop, hehehehe 😀 Malah kaku nantinya. Yak, memang ada kesan bikin repot nih Mas, apalagi harus memikirkan juga “polisi” bahasa atau dalam RUU disebut Dewan Pengawas Kebahasaan. Lantas, apa kriteria dan persyaratannya? Apa yang mau nangkep dah benar2 hebat bahasanya, :mrgreen: Serba repot ya, mas Goop?

  25. busyet, ngomong aja musti diatur-atur.
    masih bnyk kerjaan menumpuk, malahan ngurusin yg aneh2.
    bahasa itu menunjukan bangsa. kalau bahasa berkembang, berarti jg bangsanya berkembang kan ? knp pula harus dimacem2-mi, pake UU segala.

  26. @ telmark:
    Walah, ya itu, Mas yang dipersoalkan banyak kalangan. Masih banyak persoalan lain yang lebih penting, kenapa ngurusi bahasa, toh bahasa akan terus berkembang mengikuti dinamika perkembangan masyarakatnya.

  27. Ma’af pak mungkin OOT nih… belum sempat baca semua posting dan komentar teman2 semua … 🙂

    Yang mo dikontrol itu ejaan atau struktur bahasanya atau EYD ya istilahnya, atau ide substansi dari penggunaan bahasa itu …
    Atau memang ada kaitan antara bahasa sebagai simbol ide dengan substansi (isi) sebagai kandungan dari bahasa itu sendiri.

    Maklum pak, kepala masih belum fit benar … 🙂

  28. @ Herianto:
    Agaknya menyangkut semua aspek berbahasa, baik lisan maupun tulis, Pak Heri Tapi yang paling banyak mendapat sorotan tampaknya media cetak dan dunia usaha.

    @ rozenesia:
    Saya kira untuk bahas di blog atau website nggak masuk dalam pasal RUU. Tapi entah nati realisasinya. Kita tunggu saja, mas Roze.

  29. saya berfikir bahwa perlu kita mengontrol diri kita dalam berbahasa atau dalam menyampaikan suatu pidato dan baik itu dalam menyampaikan suatu khotbah atau ceramah mengapa? karena dengan kita bisa mengontrol diri kita dalam berbahasa maka orang-orang akan lebih mudah untuk menyimak dan memahami apa yang telah kita sampaikan. nah semua itu merupakan kegiatan berbahasa yang memberikan kepada kita cara untuk memperoleh pandangan baru, sikap baru dan tindakan yang baik

  30. Sangat insviratif dan Menarik untuk saya baca Terimakasi suda membaerikan informasi.
    Kunjungan pagi sob, kunjungan baliknya juga 😀

Tinggalkan Balasan ke GRaK Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *