Catatan dari Balik Kabut

Dari balik kabut
Kurentangkan tangan dhaifku menggapai mega-mega
Kutuliskan namaku di setiap labirin kesunyian
Memberikan tanda-tanda

Aku berdiri di sini
Di balik kabut mega-mega
Kusaksikan para malaikat mengadili para pendosa

Pilu tangis mengiris kolong langit
Menggetarkan semesta
Kabut berwarna merah darah
Mengurung semesta
Namaku tak lagi punya tanda
***

Ya, negeri ini memang tengah diselimuti kabut. Tak hanya tsunami, bencana alam, atau kebakaran hutan. Tapi ada yang jauh lebih parah yang telah membikin negeri terpuruk dalam lumpur kemiskinan, keterbelakangan, dan kebodohan. Ya, korupsi! Maksiat korupsi telah membikin bangsa ini jatuh dalam kebangkrutan. Marwah dan martabat bangsa tergadaikan oleh keserakahan sekelompok elite yang telah melupakan sumpah dan ikrarnya. Demikian parahnya “efek domino” yang ditimpakan oleh para koruptor sampai-sampai bangsa dan negeri ini tak berdaya ketika bangsa lain melempari wajah bangsa kita dengan telor busuk. Bangsa kita yang miskin, terbelakang, dan bodoh seakan-akan sudah tak punya kekuatan untuk sekadar mengingatkan, apalagi berteriak. Sipadan dan Lipadan sudah diembat, batik sudah diklaim sebagai karyanya, lagu-lagu sudah disikat habis dan dipatenkan. Belum lagi terhitung saudara-saudara kita yang menjadi korban arogansi bangsa yang mengaku dirinya sebagai bangsa serumpun itu. Namun, apa yang bisa kita lakukan? Kita hanya bisa mengerutkan jidat dan menunggu-nunggu, ulah apalagi yang akan dipertontonkan oleh negeri jiran itu di depan mata kita.

korupsi.jpgKebangkrutan bangsa kita agaknya sedang dijadikan “amunisi” negeri jiran itu untuk mengumbar arogansi dan kejumawaannya. Mereka punya nyali karena mereka yakin kita tak akan sanggup melawannya. Tak heran jika kasus pemukulan wasit karate Indonesia oleh polisi Malaysia pun hanya dianggap sebagai perkara kecil yang tak perlu diladeni. Kekerasan terbuka yang dilakukan oleh pasukan Ikatan Relawan Rakyat Malaysia (RELA) terhadap imigran Indonesia telah menjadi bagian “hiburan” dari preman-preman yang didesain secara resmi oleh negeri itu.

Ya, posisi tawar negeri kita agaknya benar-benar berada pada aras yang rendah. Kebangkrutan akibat korupsi –yang telah mengeringkan tulang sumsum bangsa ini– nyata-nyata telah membuat nyali kita jadi ciut. Dan stigma bangsa korup telah menjadi bagian dari “kemenangan” mereka.

Sebagai rakyat, kita punya hak untuk berteriak agar maling-maling penjarah harta negara itu segera digiring ke penjara. Aparat penegak hukum punya wewenang untuk menyeret dan mengadili mereka. Anak-anak yatim, gelandangan, anak jalanan, para TKI yang babak belur jadi korban kebiadaban di negeri orang, dan orang-orang yang dhaif, punya “kewajiban” untuk menyuarakan derita batinnya. Para koruptor, maling, dan penjarah harta publik itulah yang telah membikin martabat dan marwah bangsa ini kehilangan kesejatian dan kehormatannya sebagai sebuah bangsa. Dari titik ini, sudah seharusnya korupsi dan perilaku-perilaku serakah lainnya ditetapkan sebagai musuh bersama, “musuh publik” yang harus diperangi. Sudah saatnya para koruptor “masuk kotak”, dikunci rapat-rapat, dan tak perlu dimunculkan lagi di depan layar pentas kehidupan. Mereka harus secepatnya bertobat apabila tidak ingin pedang para algojo di neraka Jahanam kelak merajam dan mencincang tubuh mereka. Jangan biarkan mereka hidup “merdeka”, berasyik-masyuk memanjakan naluri purbanya di tengah jutaan orang yang miskin dan kelaparan.

Memang bukan hal yang mudah untuk menyeret para koruptor ke penjara. Mereka dikenal piawai dalam menghapus jejak-jejak sundalnya dan tekun belajar bagaimana bisa menjadi koruptor sukses yang bisa lolos dari jeratan hukum. Tindakan korup makin ruwet seperti benang kusut ketika masyarakat kita sendiri juga makin permisif terhadap ulah-ulah amoral semacam itu. Apalagi, konon, korupsi telah “naik gengsi”-nya menjadi sebuah budaya. Korupsi dianggap sebagai hal yang wajar dan tidak termasuk perbuatan yang harus dikutuk. Bahkan, ada sekelompok massa yang lebih suka perang terhadap sesama ketimbang melawan koruptor.

korupsi2.jpgLantaran telah menjadi budaya, harus ada upaya serius untuk memotong mata rantai korupsi agar tidak mengakar dari generasi ke generasi. Selain tegaknya supremasi hukum, harus ada upaya sistematis untuk memotong akar-akarnya. Dunia pendidikan yang notabene dinilai sebagai tempat yang tepat untuk menumbuhsuburkan nilai-nilai hakiki, harus diberdayakan untuk melahirkan generasi-generasi masa depan yang anti dan benci korupsi. Pendidikan antikorupsi yang sempat bergaung beberapa waktu yang lalu sudah saatnya diterapkan dalam dunia pendidikan kita. Pola penyajiannya tidak bersifat indoktrinasi dan dogmatis, apalagi teoretis, tetapi harus lebih bersifat dialogis. Para siswa didik harus lebih banyak diajak untuk berdiskusi dan bercurah pikir sehingga secara eksploratif mampu memperoleh dan menemukan konsep bahwa korupsi nyata-nyata merupakan tindakan biadab yang bisa menghancurkan martabat bangsa.

Yang tidak kalah penting, praktik-praktik dalam dunia pendidikan yang beraroma korupsi seperti yang sering terjadi pada saat penerimaan siswa baru harus dikikis habis. Orang tua murid jangan sekali-kali mencoba menyuap guru untuk mendongkrak nilai anaknya untuk kepentingan apa pun. Kecurangan ujian yang secara tidak langsung telah membawa imajinasi anak-anak untuk melakukan tindakan korup harus dienyahkan. Para pelamar pekerjaan dan calon pegawai yang mencari celah untuk menyogok agar bisa diterima jangan diberi kesempatan untuk untuk menerapkan ilmunya.

Para koruptor yang sudah telanjur menilap dan mengemplang uang negara sudah tiba saatnya untuk melakukan taubatan nasuha sebelum Sang Maha Adil menurunkan azab-Nya. Sepertiga yang terahir pada bulan Ramadhan ini bisa menjadi momentum yang tepat untuk duduk bersimpuh ke haribaan-Nya, memohon ampunan, dan menyatakan pertobatan yang sesungguhnya. Tidak cukup hanya dengan mengeluarkan air mata, tetapi harus dibarengi dengan mengutuki diri sendiri pada setiap detak jantung agar nilai-nilai kebenaran dan kejujuran bisa bersemayam di rongga dada dan hati. Jika perlu, jangan sungkan-sungkan untuk menyerahkan diri kepada hukum daripada harus menjadi buron yang bisa membikin hidup makin tak nyaman. ***

No Comments

  1. Yang keduax nih. 😀

    Ya, betul Pak. Negeri Jiran itu memang kurang ajar. Tak tahu diuntung (dapat kemerdekaan gratis, diberi cuma-cuma hehehe).

    Mereka si Jiran itu, jadi sombong, menginjak-injak negeri kita. Menatng-mentang negeri kita sedang lemah. Mereka bisa seenaknya mengkjlaim berbagai aset bangsa ini. Tak puas dengan laut dan tanah negeri ini yang mereka caplok. Hasil kreativitas negeri kita pun mereka sikat, mereka curi, ya mereka mencuri kekayaan intelektual kita (dari kerajinan batik, sampai lagu “Sayange”, bahkan lagu terang bulan juga katanya dijadikan lagu kebangsaan mereka.) Mungkin di kemudain hari, pulau Sumatra dan Kalimantan pun akan diklaim milik mereka. Bahakn tak mustahil pulau jawa pun diakui mereka. Lantas mengusir kita. Mau kemana kita?

    Sebetulnya kita tak perlu takut dengan Malaysia. Sangat mudah melumpuhkan Malaysia. Ya, sangat mudah! (Bagaimana? Rahsia ah…).

    Ya mungki hal ini akibat kita dianggap lemah. Harimau ompong yang tak berdaya. Makanya, sang monyet yang licik berani mengina dan menginjak-injak kita.

    Duh maaf Pak. Kok jadi emosi begini ya. 😀

    (Ya Allah ampunilah saya. Tunjukkanlah Malaysia pada jalan yang lurus. Ya, jalan lurus melalui jalur lurus yang Engkau ridhoi ini. Amin) 😀

  2. Betul. Akar hampir semua masalah bangsa ini adalah korupsi. Namun karena akibat yang ditimbulkannya dalam jangka waktu panjang maka banyak orang tidak melihat bahaya ini. Yang ada banyak orang malah melihat “manfaat” jangka pendek perilaku korupsi. Hal ini karena koruptor juga akan membagi-bagikan hasil korupsinya pada banyak orang. Anak istri, saudara, tetangga, bahkan untuk amal-amal sosial. Tengoklah salah seorang mantan menteri yang didakwa korupsi, di kampungnya dia dikenal sebagai pahlawan karena membagikan hasil korupsinya untuk membangun ekonomi kampungnya. Di titik inilah pandangan orang tentang korupsi menjadi kabur. Sulit lagi membedakan mana penjahat mana pahlawan.

  3. yang paling menyedihkan saat “efek domino” korupsi menyentuh dunia pendidikan. saya bingung pak, mau gimana ya? masa depan bangsa kita bila pendidikan justru jadi lahan empuk bercokolnya KKN.

    saya dukung generasi muda yang anti korupsi, sayangnya, space buat mereka (kayaknya) banyak dibatasi oleh sistem yang ada, yang bisa jadi, (maaf bila berprasangka buruk) sengaja diciptakan untuk menghambat pembaharuan, status Quo atau pelestarian kekuasaan.

    kalau kaya gini mah…Bangsa kita nggak akan berubah, malah akan makin terpuruk.
    0..iya, terlalu semangat…maaf lahir bathin pak bila komennya banyak salah-salah. masih lebaran di Kendal ?

  4. @ mathematicse: *Pak Al-Jupri jadi geram, nih* Yah, agaknya itulah yang terjadi, Pak. Negeri jiran itu memang benar-benar sudah tak lagi menganggap bangsa kita. Wah, kalau Pak Jupri tahu cara melumpuhkannya, bagi2 dong ya rahasianya.

    @ doeytea: Pandangan semacam itu yang perlu segera diluruskan ya Pak Dudi. Kalau ada koruptor dianggap pahlawan karena juga beramal akan muncul kesan bahwa korupsi itu nggak masalah asalkan mau beramal. Wah bisa jadi makin ancur deh bangsa ini. OK, Pak, Dudi trims.

    @ tan andalas: Ok, Bung, kita harus berdoa bersama-sama. Jika perlu lakukan tobat nasional agar korupsi benar2 enyah dari bumi kita tercinta.

    @ sigid: sami-sami Pak Sigid. Kula ugi nyuwun pangapunten lahir trusing batos.

    @ Sq: Meski demikian parah korupsi menggoyang sendi2 kehidupan bangsa ini, kita tetap cinta Indonesia, ya, pak Syam. Dunia pendidikan dengan sendirinya harus menjadi “benteng” yang mampu mencegah merajalelanya korupsi melalui pembelajaran yang menarik dan menyenangkan.
    *Sebentar lagi mudik, Pak Syam*

  5. Wah nanti kalau saya tuliskan rahasianya, nanti si Jiran itu bakal antisipatif dunk Pak. Hehehehe… 😀

    Ya sudah mohon maaf bila kalimat-kalimat yang tertulis kurang berkenan. *Karena saya geram dengan perlakuan mereka ke bangsa kita* 😀

  6. Ohm Sawal, sungguh awas melihat owah gingsire jaman (bener gak ohm nulisnya??) ada penistaan martabat bangsa…namun ohm sawal lebih melihat sebab ke diri sendiri, baru kemudian pada akibat yang terjadi di negeri lain.
    Matur Nuwun Ohm, sebuah sudut pandang yang baru, membuat saya masih boleh mengharapkan siti nurhaliza *halah??* atau perempuan jiran yang lain?? :mrgreen:

  7. @ mathematicse:
    Oh, begitu, ya, Pak. Memang sudah saatnya kali ya kita bangsa bikin perhitungan dengan negeri jiran itu :mrgreen: Sama2 Pak Al-Jupri, ya?

    @ goop:
    “Owah gingsire jaman”, saya kira nggak salah tuh penulisannya, Mas Goop. Ya, saya kira penyebab penistaan itu juga lantaran kondisi negeri kita yang ancur sehingga bangsa lain tidak lagi menaruh hormat dan respek.
    OK, makasih, saya juga mohon maaf ya Mas Goop, mudah2an kita bisa kembali ke fitrah-Nya.

  8. @ fira:
    Trims Mbak Fira, ya. Jadi malu nih. Pokoknya nulis dan ngeblog terus Mbak, hehehehe 😀

    @ Yari NK:
    Ya, Bung Yari. Emosinya dituntaskan habis lebaran aja ya, hehehehe 😀
    *Merajuk Bung Yari agar lebih tenang dalam menghadapi Malingsia*

  9. Kenapa yaa negeri kita dianggap lemah?
    sementara Malaysia dianggap kuat?
    padahal dua hal itu gak sesuai kenyataan?
    apakah ini berkaitan denganmental?
    mental yang mana?
    mental yang berafiliasi pada ajaran agama?
    ahhh masih banyak deh pertanyaanya….
    yang jelas mau nanya nih bang

    Lantaran telah menjadi budaya, harus ada upaya serius untuk memotong mata rantai korupsi agar tidak mengakar dari generasi ke generasi.

    caranya bagaimana memtonong itu.. apa leher2 koruptor itu yang perlu dipotong.. iiih sadisss nanti ditimpuki oleh komnas anti hukumanmati… 🙂

Tinggalkan Balasan ke kurtubi Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *