Taufiq Ismail tentang “Gerakan Syahwat Merdeka”

Tulisan ini mungkin bisa dikatakan terlambat. Pasalnya, fenomena “Gerakan Syahwat Merdeka” ini telah mencuat pada 20 Desember 2006 yang lalu dalam sebuah pidato kebudayaan yang disampaikan Taufiq Ismail di depan Akademi Jakarta. Namun, sekadar untuk ikut urun rembug dalam menyikapi dinamika dunia sastra, tak apalah kalau akhirnya saya ikut-ikutan latah membuat postingan “sampah” ini. hehehehe 😀

Di depan Akademi Jakarta pada 20 Desember 2006, Taufiq Ismail dengan gayanya yang memukau menyampaikan sebuah pidato kebudayaan berjudul “Budaya Malu Dikikis Habis Gerakan Syahwat Merdeka” yang berisi 37 paragraf. Dalam pidatonya, penyair Angkatan ’66 itu mengeluhkan dan merisaukan munculnya arus besar yang menyerbu negeri ini, yakni gelombang yang dihembuskan oleh Gerakan Syahwat Merdeka (GSM). Menurutnya, gerakan tersebut tak bersosok organisasi resmi yang tidak berdiri sendiri, tapi bekerjasama bahu-membahu melalui jaringan mendunia, dengan kapital raksasa yang mendanainya, ideologi gabungan yang melandasinya, dan banyak media cetak dan elektronik jadi pengeras suaranya. Dismpulkan oleh Taufiq Ismail, GSM telah mendestruksi moralitas dan tatanan sosial. Ideologinya neo-liberalisme, pandangannya materialistik, disokong kapitalisme jagat raya.

Disebut-sebut ada 13 komponen yang melahirkan gelombang Gerakan Syahwat Merdeka, di antaranya: (1) praktisi sehari-hari kehidupan pribadi dan kelompok dalam perilaku seks bebas hetero dan homo, terang-terangan dan sembunyi-sembunyi; (2) penerbit majalah dan tabloid mesum, yang telah menikmati tiada perlunya SIUPP; (3) produser, penulis skrip dan pengiklan acara televisi syahwat; (4) 4,200,000 (empat koma dua juta) situs porno dunia, 100,000 (seratus ribu) situs porno; (5) penulis, penerbit dan propagandis buku syahwat – sastra dan – sastra; (6) penerbit dan pengedar komik cabul; (7) produsen, pengganda, pembajak, pengecer dan penonton VCD/DVD biru; (8) fabrikan dan konsumen alkohol; (9) produsen, pengedar dan pengguna narkoba; (10) fabrikan, pengiklan dan pengisap nikotin; (11) pengiklan perempuan dan laki-laki panggilan; (12) germo dan pelanggan prostitusi; dan (13) dokter dan dukun praktisi aborsi.
Pidato kebudayaan Taufiq Ismail mendapatkan respon yang cukup keras dari Hudan Hidayat, salah seorang penggagas Memo Indonesia. Dalam sebuah esainya, “Sastra yang Hendak Menjauh dari Tuhannya yang dimuat di harian Jawa Pos, sastrawan muda itu menyatakan seperti berikut ini.

“Nakal” dan”‘santun”, “pornografi” atau “suara moral”, “gelombang syahwat” seperti kata Taufik Ismail, ternyata bersandar pada-Nya jua dalam scenario nasib manusia dan takdir dunia. Budaya “kekerasan” itu telah ditandaskan Tuhan sebagai nasib manusia dan takdir dunia. Turunlah kamu semuanya. Sebagian dari kamu akan berbunuhan satu sama lain…(QS 2 ayat 30). “Berbunuhan”, bagi saya adalah nasib manusia dan takdir dunia. “Berbunuhan” bisa dirujuk pada semua yang diteriakkan Taufik Ismail. Kata-kata saling “membunuh” ini, dalam sastra, menemukan bentuknya pada pelbagai cerita yang seolah “menjauh” dari Tuhannya. Sastrawan akan membuat kisah, dengan “pornografi” sebagai sampiran, bukan inti cerita. Pornografi diletakkan sebagai pintu ke dalam makna yang lebih luas, di mana keluasaannya akan mengatasi scene pornografi. Cerita bergaya Nick Carter, kata Taufik Ismail, telah meruyak ke dalam sastra. Tapi, saya belum pernah menemukannya. Lagi pula, apa yang salah? Bukankah “pembaca” dewasa akan menerobos “ketelanjangan” Adam dan Hawa di surga, dalam dua versinya.

Alhasil, esai Hudan Hidayat (HH) pun mendapatkan respon yang tak kalah seru dari Taufiq Ismail. Di harian yang sama, dalam sebuah esainya “HH dan Gerakan Syahwat Merdeka”, penyair yang liriknya sering dinyanyikan oleh group musik Bimbo ini menyatakan bahwa ada serangkaian rencana kegiatan menarik yang disarankan dilaksanakan HH sebagai seorang penulis fiksi. Rangkaian kegiatan ini merupakan suatu bentuk sosialisasi karya ke masyarakat, terdiri dari empat tahap. Tujuannya adalah untuk memperjelas posisi sebagai penganut paham neo-liberalisme dari HH dan kawan-kawannya. Salah satu tahap yang penting dilakukan saya kutipkan berikut ini.

Tahap keempat, undanglah seluruh komponen Gerakan Syahwat Merdeka berkumpul melakukan show of force seminggu di ibu. Komponen itu terdiri dari pembajak-pengedar VCDDVD porno, redaktur majalah cabul, bandar-pengguna narkoba, produsendistributor-pengguna alkohol, penulispengguna situs seks di internet, germopelaku prostitusi, dokter spesialis penyakit kelamin, dokter aborsi, dan dokter psikiatri. Bikin macam-macam acara sosialisasi. Penulis FAK beramai-ramailah baca karya di depan publik dengan peragaannya. Mintakan pelopor penulis Angkatan FAK Ayu Utami dan Djenar Mahesa Ayu tampil lebih dahulu baca cerpen. Lalu adakan promosi buku kumpulan cerpen dan novel FAK dengan diskon 40 persen. Catatlah bagaimana reaksi publik. Tarik kesimpulan. Dalam evaluasi terakhir sehabis tahap keempat, tim dokter psikiatri akan menentukan diagnosis terhadap para pasien penulis Angkatan FAK, sampai seberapa parah sindrom patologis kejiwaan mereka. Terutama dalam kasus klinis nymphomania, overproduksi kelenjar hormon kelamin dan obsesi genito-philia, yaitu cinta berlebihan pada alat kelamin, termasuk adiksi pada onani-masturbasi.

Pasca perdebatan seru antara Taufik Ismail dan Hudan Hidayat, seperti biasa, akan memancing reaksi pro dan kontra dari kubu-kubu yang berseberangan. Tanpa bermaksud untuk memperuncing polemik, yang pasti dalam hampir setiap polemik, suasana “narcisme” tampak betul “menyetubuhi” masing-masing pihak dalam mempertahankan kebenaran pendapat mereka. Justifikasi terhadap nilai-nilai kebenaran tampak “belepotan” untuk menghantam “kesesatan opini” yang dilancarkan oleh kubu lawan.

Dalam konteks ini, ada baiknya kita bercermin dari Goenawan Mohamad dalam merespons polemik yang seolah-olah mempertentangkan antara kebebasan berkarya dan standar-standar moralitas itu. Goenawan Mohamad yang juga pengelola blog Catatan Pinggir yang juga dituding berada di balik Gerakan Syahwat Merdeka (GSM) karena aktif di Teater Utan Kayu yang berkolaborasi dengan Jaringan Islam Liberal (JIL) yang dimotori Ulil Abshar Abdalla itu menilai bahwa “TUK itu Bukan Organisasi, Bukan Mazhab”. Berikut kutipan wawancara Rizka Maulana (RM) dengan GM yang berlangsung di Teater Utan Kayu (TUK)

RM: Wah, kan Mas GM orang TUK. Kan TUK tidak suka karya-karya sastrawan yang tidak dekat dengan TUK. Apalagi Saut.

GM: TUK itu bukan organisasi. TUK tempat kegiatan seni dan gagasan. Di TUK tidak selamanya kami sepaham dalam menilai karya – dan kami umumnya tidak membicarakan karya Saut, atau yang lain, karena masing-masing sibuk. Kami cuma bertemu seminggu sekali untuk merancang program. Itu saja sudah berat.

RM: Jadi Mas GM, Hasif Amini, Nirwan Dewanto dan Sitok Srengenge tidak selalu sependapat?

GM: Ya, dong. Sekali lagi, TUK itu bukan organisasi, bukan mazhab. Hasif Amini bekerja untuk Kompas dengan timnya sendiri, Nirwan di Koran Tempo begitu juga. Malah sajak saya pernah tidak dimuat oleh Hasif.

(Sekadar catatan: Saut Situmorang adalah penggagas “Ode Kampung” di Rumah Dunia Banten yang sering “menghajar” TUK. Dia beserta kelompoknya dinilai tak kenal lelah terus ‘mengonceki’ para tokoh TUK, seperti Nirwan Dewanto, Ayu Utami, Hasif Amini, Sitok Srengenge dan lainnya. Menurutnya, mereka tidaklah layak digelari sebagai sastrawan.)

Ya, betapa penyair yang mencuat lewat antologinya Parikesit (1969) dan Interlude (1971) yang disebut-sebut sebagai puisi ber-genre puisi kontemplatif, puisi imajis, atau puisi suasana itu terasa lebih tenang dan arif dalam menghadapi berbagai tulisan yang memojokkan dirinya. Sampai-sampai Gerakan Syahwat Merdeka yang disingkat GSM pun dinilai identik dengan singkatan namanya GSM (Goenawan Soesatyo Mohamad).

Saya bukanlah anggota TUK. Saya juga bukan pengikut setia Taufiq Ismail. Namun, mencermati polemik yang terjadi, agaknya masing-masing kubu perlu menurunkan tensi dan “syahwat”-nya dalam berpolemik. Sastra adalah sebuah dunia imajiner yang sangat erat kaitannya dengan kemerdekaan berkarya dan berkreasi. Persoalan standar moral itu sangat erat kaitannya dengan penafsiran-penafsiran. Oleh karena itu, daripada menghabiskan waktu dan tenaga untuk terus berpolemik, lebih baik dimanfaatkan untuk berkarya.

Pak Taufiq Ismail, sebagai sosok “pinisepuh” yang amat disegani dan dihormati dalam dunia sastra, –mohon maaf bukan sok menggurui– hendaknya juga lebih banyak memberikan apresiasi, dorongan, dan suntikan moral kepada sastrawan-sastrawan muda yang kini banyak bermunculan, bukannya mencemooh dan”menistakan” karya-karya mereka lantaran dianggap bertentangan dengan standar moral bangsa. Biarkanlah publik sastra yang akan menilai sebatas mana kualitas karya-karya mereka. Jangan sampai terjadi pemberangusan karya-karya sastra dari kalangan sendiri yang justru akan melahirkan sebuah preseden dalam dunia penciptaan teks-teks sastra.

Demikian juga bagi sastrawan-sastrawan muda yang kebetulan terkena imbas dan stigma “gerakan syahwat merdeka” mungkin sudah saatnya melakukan refleksi agar tak lagi “men-syahwat-kan” teks-teks sastra yang diluncurkannya. Nah, salam budaya! ***

No Comments

  1. Menurut saya seorang sastrawan/seniman tidaklah lepas dari tanggung jawab moral. Sekalipun mereka memiliki ideologi sendiri dengan menerbitkan karya SMS tsb, tidak bisa mereka cuek terhadap cara penyampaiannya.

    Bicara soal seks, memang siapa yang melarang? AL-Qur’an pun bicara soal seks. Tapi apakah Tuhan dalam bicara soal seks harus menggunakan kata-kata yang erotis? Panas? Cabul? Tuhan saja Yang Maha Benar, masih menjaga kesopanan dalam berkata-kata melalui firman. Masa’ baru sekedar jadi sastrawan saja mau mengesampingkan ‘sensor diri’ dalam kata-katanya?

    Menurut saya, apapun ideologi yang ingin disampaikan, ‘sensor diri’ harus tetap ada. Jangan membuat karya sastra dengan adegan seks yang ‘vulgar’, apalagi sampai memancing syahwat, dan lalu menggunakan ‘-isme’- ‘-isme’ sebagai sebuah pembenaran belaka.

    ooo
    yups, saya kira idealnya begitu, bung. yang saya risaukan adalah munculnya friksi dan konflik yang saling mengklaim diri sebagai pihak yang paling benar. itu yang bisa membikin sastra jadi stagnan.

  2. (Dikutip dari: Harian RADAR Banjarmasin, Jum’at, 26 Oktober 2007)

    Strategi Paradigma Baru Kongres Cerpen Indonesia V
    (Studi Kasus: Polemik Ukuran Nilai Sastra)
    Oleh Qinimain Zain

    FEELING IS BELIEVING. ILMU diukur dari kekuatannya merumuskan hukum-hukum yang berlaku umum dan hubungannya atas kenyataan, seni dinilai dari pergulatannya dengan hal-hal yang partikular dan penciptaannya atas sesuatu yang belum ada dalam kenyataan (Nirwan Ahmad Arsuka).

    JUM’AT, Sabtu dan Minggu, 26-28 Oktober 2007 ini, berlangsung Kongres Cerpen Indonesia V di Taman Budaya, Banjarmasin, yang rencana dibuka orasi budaya oleh Wakil Gubernur Kalimantan Selatan, HM Rosehan Noor Bachri, yang dihadiri ratusan sastrawan, budayan dan intelektual seluruh Indonesia. Dan, panitia sudah memastikan akan tampil pembicara hebat seperti Lan Fang, Korie Layun Rampan, Jamal T. Suryanata, Agus Noor, Saut Sitomorang, Nirwan Ahmad Arsuka, Ahmadun Yosi Herfanda, Kantrin Bandel, dan Triano Triwikromo. Dari forum ini diharapkan banyak masukan kemajuan. Sedang, tulisan ini hanyalah oleh-oleh kecil dari saya (Kalsel) akan masalah polemik panjang Taufiq Ismail-Hudan Hidayat yang masih jadi ganjalan.

    Polemik adalah fenomena biasa. Namun, untuk memecahkan dan menjelaskannya polemik sastra (baca: seni) menonjolkan seks sekalipun, harus berdasar sistem ilmu pengetahuan. Jika tidak, hasilnya berbantahan dan sakit hati berkepanjangan. Artinya, bagaimana pun harus dengan kritik akademis, yang diharapkan mampu memberi jalan ke arah penyehatan kembali kehidupan kesusastraan.

    Lalu, apa kesulitan sesungguhnya memecahkan hal seperti ini?

    Kembali berulang-ulang memberitahukan (dan tidak akan bosan-bosan – sudah ratusan pemecahan), akar masalahnya adalah sebelum tahun 2000, (ilmu) pengetahuan sosial belum dapat disebut sebuah ilmu pengetahuan, karena tidak memenuhi Total Qinimain Zain (TQZ) Scientific System of Science yaitu memiliki kode, satuan ukuran, struktur, teori dan hukum (kecuali Teori Hirarki Kebutuhan Abraham H Maslow, proposisi silogisme Aristoteles, dan skala Rensis A. Likert tanpa satuan, belum cukup monumental). Adalah tidak mungkin menjelaskan sebuah fenomena apa pun tanpa kode, satuan ukuran, struktur, teori dan hukum, mendukung sistemnya. (Definisi klasik ilmu pengetahuan adalah kumpulan pengetahuan yang tersusun secara teratur. Paradigma baru, TQZ ilmu pengetahuan adalah kumpulan pengetahuan yang tersusun secara teratur membentuk kaitan terpadu dari kode, satuan ukuran, struktur, teori dan hukum yang rasional untuk tujuan tertentu).

    YANG baik tidak dapat terletak dalam pertanyaan sendiri, melainkan harus dalam jawaban (Robert Spaemann).

    Mengenai polemik. Inti pertentangan adalah beda pandangan akan nilai kebenaran sesuatu. Menurut Eric Johnson, setiap orang selalu mempunyai reference point atau titik referensi, yaitu apa yang sudah dialami, diketahui atau diyakininya. Artinya, bila titik referensi seseorang atau kelompok masyarakat dengan orang atau kelompok yang lain tentang sesuatu berbeda, apalagi dimuati kepentingan, polemik mungkin terjadi. Namun sesungguhnya, seorang pribadi dan sebuah kelompok masyarakat yang bahagia, bukan disebabkan tidak adanya pertentangan, tetapi karena tidak adanya keadilan kebenaran. Jadi yang penting dalam pertentangan, mengetahui keadilan pandangan kebenaran pribadi seseorang dihadapkan dengan pandangan orang lain yang berseberangan akan sesuatu hal itu. Artinya, untuk menengahi sebuah pertentangan dan menentukan nilai kebenarannya agar obyektif, harus berdasar kerangka referensi pengetahuan pengalaman yang teratur, yang tak lain sebuah sistem ilmu pengetahuan.

    SETIAP kebijaksanaan harus bersedia dipertanyakan dan dikritik oleh kebijaksanaan-kebijaksanaan lain. Keberlakuan universal harus dapat membuktikan diri dalam konfrontasi dengan mereka yang berpikir lain (Benezet Bujo).

    Dalam paradigma TOTAL QINIMAIN ZAIN: The Strategic-Tactic-Technique Millennium III Conceptual Framework for Sustainable Superiority (2000), TQZ Philosophy of Reference Frame, terdapat jumlah lima fungsi, berurutan, berkaitan, dan satu kesatuan, kebenaran sesuatu dinilai berdasar titik referensi (1) How you see yourself (logics), (2) How you see others (dialectics), (3) How others see you (ethics), (4) How others see themselves (esthetics), sampai ke level (5) How to see of all (metaphysics), yang harus ditanyakan sebelum keputusan menjatuhkan nilai kebenaran sesuatu dalam pertentangan.

    Di sini terdapat hubungan dan pergeseran referensi nilai kuantitatif dengan kualitatif. Dari level logics (benar) yang kuantitatif, ke dialectics (tepat), kemudian ethics (baik), lalu esthetics (bagus), sampai ke level metaphysics (abadi) yang semakin kualitatif. Atau, penekanan referensi sesuatu bergeser dari nilai kebenaran kelompok besar menjadi lebih secara satuan individu, dari hal bersifat konkrit (logika) menjadi abstrak (metafisik). Nampak jelas pula, sesuatu yang dianggap benar oleh seseorang atau sekelompok orang, bisa dianggap tidak benar oleh yang lain karena mempunyai titik referensi yang berbeda. Atau malah, sesuatu yang dianggap benar oleh seseorang atau sekelompok orang, tetapi tidak tepat bagi yang lain, tepat tetapi tidak baik, baik tetapi tidak bagus, dan mungkin saja bagus tetapi dianggap tidak abadi sebagai kebenaran suatu keyakinan tertentu. Dan, jika sampai pada keyakinan nilai kebenaran abadi, ini sudah sangat subyektif pribadi. (Sudut pandang level How you see others dan How you see others, How others see themselves dan How others see you, adalah subyektif karena dalam sudut pandang reference object dan reference direction, sedang How to see of all, adalah lebih obyektif, level adil).

    Ada paradoks di sini. Semakin menilai kebenaran sesuatu mengutamakan kepentingan umum (kuantitatif) akan meniadakan kepentingan pribadi (kualitatif). Sebaliknya, semakin mengutamakan kepentingan pribadi (kualitatif) akan meniadakan kepentingan umum (kuantitatif). Ini yang harus disadari dalam menghadapi dan dijelaskan menengahi suatu polemik atau pertentangan apa pun, di mana pun dan kapan pun. Dan, sastrawan (baca: seniman) sadar, harga sesuatu karya terletak kemampuannya menciptakan momentum nilai di antara tarik ulur paradoks ini. Antara konvensi dan revolusi, antara pengaruh nilai lama dan mempengaruhi nilai baru.

    SENI kemajuan adalah mempertahankan ketertiban di tengah-tengah perubahan, dan perubahan di tengah-tengah ketertiban (Alfred North Whitehead).

    Kembali ke polemik ukuran nilai sastra menonjolkan seks. Dalam ilmu pengetahuan sosial paradigma baru TQZ, saya tetapkan satuan besaran pokok Z(ain) atau Sempurna, Q(uality) atau Kualitas, dan D(ay) atau Hari kerja (sistem ZQD), padanan m(eter), k(ilo)g(ram), dan s(econd/detik) ilmu pengetahuan eksakta, sistem mks). Artinya, kebenaran sesuatu bukan hanya dinilai skala kualitasnya (1-5Q dari sangat buruk, buruk, cukup, baik, dan sangat baik), tetapi juga sempurnanya (1-5Z, lima unsur fungsi TQZ, yang untuk TQZ Philosophy of Definition, yaitu logics, dialectics, ethics, esthetics, dan metaphysics secara berurut). Artinya, kekurangan atau keburukan salah satu fungsi membuat suatu karya nilainya tidak sempurna.

    Contoh, definisi paradigma lama, kesusastraan adalah tulisan yang indah. Paradigma baru, nilai keindahan tidak lengkap kalau tidak dikaitkan dengan unsur kebenaran, ketepatan, kebaikan, dan keabadian. Kini, definisi TQZ kesusastraan adalah seni tulisan yang benar, tepat, baik, bagus (indah), dan abadi secara sempurna. Artinya, bila ada pertentangan nilai akan karya sastra (juga yang lain), menunjukkan karya itu memiliki salah satu atau lebih unsur filsafatnya buruk, sebagai sebuah karya yang sempurna. (Memang, sah saja penulis mengejar keunikan atau kebaruan pribadi, mengeksploitasi unsur seks dalam karyanya. Mungkin saja berkualitas segi logika cerita, dialektika nilai, keindahan teknis penulisan dan karya monumental (abadi) suatu genre sehingga juara dalam satu perlombaan. Tetapi dalam paradigma TQZ, tidak sempurna karena abai unsur etika).

    Sekarang jelas, yang dikejar penulis mana pun, bukan sekadar ukuran nilai kualitas beberapa unsur, tetapi karya dengan kualitas nilai kebenaran (lima unsur yang) sempurna. Inilah titik kerangka referensi bersama menilai karya sastra (dan juga apa pun) dalam sistem ilmu pengetahuan paradigma baru.

    SEKOLAH dan kuliah, seminar dan training, buku dan makalah, ulasan dan kritikan, tanpa menyertakan alat metode (sistem ilmu pengetahuan) pelaksanaannya hanyalah dorongan mental yang membosankan, yang tidak efektif, efesien dan produktif (Qinimain Zain).

    BAGAIMANA strategi Anda?

    *) Qinimain Zain – Scientist & Strategist, tinggal di Banjarbaru – Kalsel, e-mail: tqz_strategist@yahoo.co.id (www.scientist-strategist.blogspot.com)

  3. Saya sedang cari bahan postingan untuk isi blog saya GAPPROK NO PORN. gapprok itu singkatan : gerakan anti pornografi & pornoaksi, bisa juga diartikan : ganyang pornografi & pornoaksi. Saya akan masukan bahan tulisan tentang GSM ini dalam artikel GAPPROK.
    Terus saya mau tanya juga nih, bisa gak permintaan saya ini sampai ke bpk. taufiq ismail ?, yakni sudikah kiranya beliau mengirimi gapprok hadiah berupa tulisan, atau puisi beliau yang indah & berisi, serta peduli terhadap eksistensi moralitas – akhlaq kharimah masyarakat yang tidak boleh “menipis” karena tergerusnya rasa malu, karena banjirnya budaya permisif sperti fenomena GSM yang telah dicermati dengan baik & peduli oleh bpk Taufiq Ismail, Jazakallah khairan.

    1. silakan, mangga saja, mas. wah, utk akses ke pak taufik, doh, mohon maaf, saya tdk bisa membantu. ada baiknya borwsing saja di search engine. insyaallah ada alamat pak taufik yang bisa dilacak.

Tinggalkan Balasan ke Sawali Tuhusetya Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *